Time on the Cross: The Economics of American Negro Slavery
Time on the Cross: The Economics of American Negro Slavery (1974) adalah buku karya ekonom Robert Fogel dan Stanley L. Engerman. Fogel dan Engerman berpendapat bahwa perbudakan adalah sebuah usaha yang menguntungkan secara ekonomi dan eksploitasi ekonomi terhadap budak tidak seburuk yang diperkirakan.[1] Buku itu dicetak ulang pada tahun 1995 pada hari jadinya yang kedua puluh. Buku ini bertentangan dengan anggapan lama bahwa perbudakan merupakan hal yang terbelakang secara ekonomi, negara-negara Selatan terbelakang, dan berada di jalur menuju kepunahan sebelum pecahnya Perang Saudara. Hal ini menarik perhatian luas di media dan menimbulkan kontroversi dan kritik pedas atas metodologi dan kesimpulannya. Sarjana Thomas L. Haskell menulis pada tahun 1975 bahwa Time on the Cross mempunyai dua tema utama: untuk merevisi sejarah perbudakan dan untuk mendukung penggunaan metode ilmiah dalam sejarah.[2] Buku ini secara langsung menantang kesimpulan lama bahwa perbudakan di Amerika Serikat tidak menguntungkan, sebuah institusi yang hampir mati, tidak efisien, dan sangat keras bagi budak pada umumnya.[3] Para penulis buku ini mengusulkan bahwa perbudakan sebelum Perang Saudara adalah suatu hal yang efisien secara ekonomi, terutama di negara-negara Selatan, yang menanam komoditas tanaman seperti kapas, tembakau, dan gula. Jenis tanaman ini biasanya ditanam di perkebunan yang menggunakan sistem kerja kelompok, yang diawasi secara ketat dan dianggap lebih efisien dibandingkan pekerjaan berbasis tugas yang dilakukan oleh kelompok yang lebih kecil. KritikDalam tinjauan tahun 1975 terhadap tiga karya yang mengkritik buku tersebut, Thomas Haskell dari The New York Review of Books mengatakan bahwa Time on the Cross "pada mulanya tampak sangat penting, meskipun kontroversial, [tetapi] sekarang tampaknya setidaknya sangat cacat dan mungkin bahkan tidak layak mendapat perhatian lebih jauh dari para sarjana yang serius".[2] Dalam American Slavery, sejarawan Peter Kolchin berpendapat bahwa para penulis buku ini tidak sepenuhnya mempertimbangkan dampak migrasi paksa lebih dari satu juta budak dari Selatan Atas ke Selatan Bawah, tempat mereka dijual ke perkebunan kapas. Ia menulis bahwa buku tersebut adalah "sebuah karya yang sangat berani, namun kini sudah didiskreditkan".[4] Referensi
|