Suku Dayak Benuaq
Benuaq (alias Dayak Benuaq secara suku sakat) adalah kelompok etnis atau suku bangsa yang berasal dari daerah Kutai Barat di Kalimantan Timur, Indonesia.[2][3] SejarahBerdasarkan pendapat beberapa ahli suku ini dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah. Benuaq sendiri berasal dari kata Benua dalam arti luas berarti suatu wilayah/daerah teritori tertentu, seperti sebuah negara/negeri. pengertian secara sempit berarti wilayah/daerah tempat tinggal sebuah kelompok/komunitas. Menurut cerita pula asal kata Benuaq merupakan istilah/penyebutan oleh orang Kutai, yang membedakan dengan kelompok Dayak lainnya yang masih hidup nomaden. Orang Benuaq telah meninggalkan budaya nomaden. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di "Benua", lama-kelamaan menjadi Benuaq. Sedangkan kata Dayak menurut aksen Bahasa Benuaq berasal dari kata Dayaq atau Dayeuq yang berarti hulu. Menurut leluhur orang Benuaq dan berdasarkan kelompok dialek bahasa dalam Bahasa Benuaq, diyakini oleh bahwa Orang Benuaq justru tidak berasal dari Kalimantan Tengah, kecuali dari kelompok Seniang Jatu. Masing-masing mempunyai cerita/sejarah bahwa leluhur keberadaan mereka di bumi langsung di tempat mereka sekarang. Tidak pernah bermigrasi seperti pendapat para ahli.
Tokoh Dayak Benuaq
Penyebaran Geografis Suku Dayak BenuaqSuku Dayak Benuaq dapat ditemui di sekitar wilayah Sungai Kedang Pahu di pedalaman Kalimantan Timur dan di daerah danau Jempang. Di Kalimantan Timur, sebagian besar mendiami Kutai Barat dan merupakan salah satu etnis terbesar di Kutai Barat, (+/- 25%). Mendiami di Kecamatan Bongan, Jempang, Siluq Ngurai, Muara Pahu, Muara Lawa, Damai, Nyuwatan (Nyuwatatn), sebagian (Bentiatn) Bentian Besar, Mook Manar Bulatn serta Barong Tongkok, di Kabupaten Kutai Kartanegara mendiami daerah Jonggon hingga Pondok Labu, Kecamatan Tenggarong, kawasan Jongkang hingga Perjiwa, Kecamatan Tenggarong Seberang. Bahkan Bupati Pertama Kutai Barat adalah putra Dayak Benuaq, termasuk Doktor (DR) pertama Dayak Indonesia dalam studi non-teologi juga dari putra Dayak Benuaq dari Kutai Barat. Karena kedekatan kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Lawangan dan warga di sepanjang Sungai Barito umumnya, maka terdengar selentingan pada Orang Benuaq, mereka merasa layak jika Kabupaten Kutai Barat bergabung dengan wacana Provinsi Barito Raya. Kedekatan orang Benuaq dengan orang Paser dapat disimak dari cerita rakyat Orang Paser "Putri Petung" dan "Mook Manor Bulatn" cerita rakyat orang Tonyoy-Benuaq, kedua-duanya terlahir di dalam "Betukng" atau "Petung" salah satu spesies/jenis bambu. Selanjutnya dialek orang Benuaq yang berdiam di Kecamatan Bongan sama dengan bahasa orang Paser. Kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Suku Kutai Mengenai nama Kutai, ada pendapat bahwa itu memang bukan menunjuk nama etnis seperti yang menjadi identitas sekarang. Sebaliknya ada yang berpendapat nama Kutai selain menunjuk pada teritori. Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai. Dulu dalam buku sejarah Kutai ditulis Kutei, padahal istilah Kutei justru merupakan istilah dalam Bahasa Tunjung Benuaq, entah kapan istilah tersebut berubah menjadi Kutai. Istilah Kutai erat pula dengan istilah Kutaq – Tunjung Kutaq dalam bahasa Benuaq. Di pedalaman Mahakam terdapat nama pemukiman (kota kecamatan) bernama Kota Bangun – sekarang didiami etnis Kutai. Menurut catatan Penjajah Belanda dulu daerah ini diami orang-orang yang memelihara babi, dan mempunyai rumah bertiang tinggi. Menurut Orang Tunjung Benuaq, istilah Kota Bangun yang benar adalah Kutaq Bangun. Demikian pula di sekitar Situs Sendawar ada daerah yang namanya Raraq Kutaq (di Kec. Barong Tongkok, Kota Sendawar ibu kota Kutai Barat). Kutaq dalam bahasa Tunjung atau Benuaq berarti Tuan Rumah, jadi orang Tunjung Benuaq lebih dahulu/awal menyebut istilah ini dibandingkan versi lain yang menyebut Kutai berasal dari Bahasa Tionghoa – Kho dan Thai artinya tanah yang luas/besar. Nama Tenggarong (ibu kota Kutai Kartanegara) menurut bahasa Dayak Orang Benuaq adalah Tengkarukng berasal dari kata tengkaq dan karukng, tengkaq berarti naik atau menjejakkan kaki ke tempat yang lebih tinggi (seperti meniti anak tangga), bengkarukng adalah sejenis tanaman akar-akaran. Menurut Orang Benuaq ketika sekolompok orang Benuaq (mungkin keturunan Ningkah Olo) menyusuri Sungai Mahakam menuju pedalaman mereka singgah di suatu tempat dipinggir tepian Mahakam, dengan menaiki tebing sungai Mahakam melalui akar bengkarukng, itulah sebabnya disebut Tengkarukng, lama-kelamaan penyebutan tersebut berubah menjadi Tenggarong sesuai aksen Melayu. Perhatikan pula nama-nama bangsawan Kutai Martadipura dan Kutai Kartenagara, menggunakan gelar Aji(Indonesia)[1] Diarsipkan 2015-02-22 di Wayback Machine. – bandingkan dengan nama Aji Tullur Jejangkat pendiri Kerajaan Sendawar (Dayak) – ayah dari Puncan Karna leluhur orang Kutai. Sisa kebudayaan Hindu yang sama-sama masih tersisa sebagai benang merah adalah Belian Kenjong, Belian Dewa serta Belian Melas/Pelas. Ketiga belian tersebut syair/mantranya menggunakan bahasa Kutai. Dayak Benuaq dahulu memeluk Agama Kaharingan barulah pada awal 1990 an Suku ini memeluk Kekristenan dan Islam. Agama Islam lebih dahulu diperkenalkan ke kalangan suku Dayak Benuaq melalui kontak langsung dalam hubungan ekonomi dengan suku Kutai dan Kerajaan Islam Kartanegara, akan tetapi Islam tidak diterima secara luas hal ini dikarenakan Suku Dayak Benuaq sangat memegang teguh adat istiadat mereka, hingga akhir abad ke-19 sangat jarang ditemukan Suku Dayak Benuaq penganut Islam kecuali karena menikah dengan suku suku beragama Islam. Agama Kristen disebarkan dikalangan Dayak Benuaq pada awal pertengahan abad ke-19, Misi Kristen Protestan dimulai oleh Gereja Kemah Injil Indonesia dan Gereja Kesebangunan Kalam Allah Indonesia dikawasan Kecamatan Nyuatatn, Damai, Muara Lawa, Siluq Ngurai dan Bentian Besar, sementara Misi Katolik tiba belakangan melalui desa Tanjung Jaan di Jempang dan Barong Tongkok, agama Kristen, baik Kristen Protestan maupun Katolik Roma mendominasi secara menyeluruh di kawasan komunitas Dayak Benuaq, Gereja lain yang juga ditemukan diantara komunitas Dayak Benuaq adalah Gereja beraliran Pentakostalisme Karismatik. Sekitar 52.5% populasi Dayak Benuaq berafiliasi dengan Kristen Protestan (Gereja Kemah Injil Indonesia, Gereja Kesebangunan Kalam Allah Indonesia, Gereja Pentakosta di Indonesia dll) sekitar 42.5% anggota Gereja Katolik Roma, 4% menganut Islam dan 1% mempraktikkan Kaharingan. Sistem KepercayaanDalam buku pelajaran Sejarah Indonesia, Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia. Namun bagi orang Dayak khususnya penganut agama Kaharingan meyakini adanya Tuhan dan percaya bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup mempunyai roh dan perasaan sama seperti manusia, kecuali soal akal. Oleh sebab itu bagi Suku Dayak Benuaq segenap alam semesta termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan harus diperlakukan sebaik-baiknya dengan penuh kasih sayang. Mereka percaya perbuatan semena-mena dan tidak terpuji akan dapat menimbulkan malapetaka. Itu sebabnya selain sikap hormat, mereka berusaha mengelola alam semesta dengan se-arif dan se-bijaksana mungkin. Dayak Benuaq percaya bahwa alam semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh penguasa atau Tuhan tunggal yaitu Letalla (dalam bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Sangiang disebut Ranying Hatalla). Letalla mendelegasikan tugas-tugas tertentu sesuai dengan bidang-bidang tertentu, kepada para Seniang, Nayuq, Mulakng dll. Seniang memberikan pembimbingan, sedangkan Nayuq akan mengeksekusi akibat pelanggaran terhadap adat dan norma. Fungsi Patung (Belontakng) dalam Kepercayaan Dayak BenuaqTerjadi kesalahan anggapan termasuk para ahli, bahwa Suku Dayak membuat patung untuk mereka sembah sebagai symbol sesembahan masyarakat Dayak Benuaq. Oleh karena kesalahan persepsi ini, sering kali masyarakat Dayak Benuaq dianggap suku penyembah berhala. Banyak jenis patung yang dibuat Suku Dayak Benuaq bukan untuk disembah atau dipuja, tetapi justru harus diludahi setiap orang yang melewatinya. Ada juga patung yang dibuat untuk mengelabui roh jahat atau makhluk halus agar tidak menggangu manusia. Jadi patung lebih daripada wujud/tanda peringatan baik untuk berbuat baik atau larangan terhadap perbuatan jahat. Sistem Sosial dan Adat IstiadatMasyarakat Suku Dayak Benuaq menganut system matrilineal. Dalam rangka pengelolaan alam semesta termasuk hubungan antar mahluk hidup dan kematiannya serta hubungan dengan kosmos, haruslah sesuai dengan adat istiadat dan tata karma yang telah diwariskan oleh nenek moyang orang Benuaq. Adat istiadat dan tata karma diwariskan sama tuanya dengan keberadaan Suku Dayak Benuaq di Bumi. Orang Suku Dayak Benuaq percaya bahwa Sistem Adat yang ada bukanlah hasil budaya, tetapi mereka mendapatkan dari petunjuk langsung dari Letalla melalui para Seniang maupun melalui mimpi. Orang Dayak Benuaq, percaya bahwa system adatnya telah ada sebelum negara ini lahir. Itu sebabnya mereka tidak menerima begitu saja, pendapat yang mengatakan bahwa dengan lahir Negara dan aturan dapat menghilangkan aturan Adat Istiadat Suku Dayak Benuaq. Paling tidak ada 5 pilar/tiang adat Suku Dayak Benuaq:
Kelimanya harus dijalankan / menjadi pegangan dalam melaksanakan adat istiadat di Bumi, jika tidak akan terjadi ketidak adilan dan kekacauan di masyarakat. Selain itu penyimpangan baik sengaja maupun tidak sengaja oleh pemangku adat akan mendapat kutukan dari Nayuk Seniang. Perwujudan dari kutukan ini bias berbentuk kematian baik mendadak maupun perlahan-lahan, juga bias berbentuk kehidupan selalu mendapat bencana/malapetaka serta susah mendapatkan rejeki. Lou (dibaca: lo-uu ; Lamin)Sebagaimana masyarakat Dayak umummya, Dayak Benuaq juga mempunyai tradisi rumah panjang. Dalam masyarakat Dayak Benuaq, tidak semua rumah panjang dapat disebut Lou (Lamin). Rumah panjang dapat disebut lou (lamin) jika mempunyai minimal 8 olakng. Olakng merupakan bagian/unit lou. Dalam satu olakng terdapat beberapa bilik dan dapur. Jadi olakng bukan bilik/kamar sebagaimana rumah besar, tetapi olakng merupakan sambungan bagian dari lou. Banyaknya olakng dalam rumah panjang bagi Suku Dayak Benuaq dapat menunjukkan level/bentuk kepemimpinannya. Itu sebabnya rumah panjang yang besar (lou) sering disebut kampong besar atau benua. Berdasarkan pengertian ini lou sering kali berkonotasi dengan kampong atau benua. Berdasarkan ukuran dan system kepemimpinan rumah panjang, masyarakat adapt Dayak Benuaq membedakan rumah panjang sekaligus model pemukiman masyarakat sebagai:
Tanaa Adeut (Tanah Ulayat - Tanah Adat)Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Benuaq merupakan benda/barang adat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan system adat istiadat. Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Benuaq mengalami zaman yang paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi mereka disingkirkan dari orang Benuaq dengan berdalih pada Undang-Undang terutama pada Undang-Undang Agraria. Sehingga rejim Orba dengan mudah memisahkan Suku Dayak Benuaq dengan sumber satu-satu penghidupan mereka saat itu, ditambah lagi dengan disebarnya aparat keamanan dan pertahanan untuk menjadi tameng perusahaan-perusahaan HPH. Namun menjadi keanehan bahwa Orang Dayak (Benuaq)lah yang menyebabkan degradasi hutan besar-besaran sebagai dampak system perladangan bergulir, yang disebut-sebut sebagai perladangan berpindah. Berdasarkan ciri/status hutan dapat dibedakan atas:
Berdasarkan suksesi hutan dapat dibedakan atas:
Prosesi Adat KematianProsesi adat kematianProsesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang. Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya bahwa alam baqa memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat upacara yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat). Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Secara garis besar terdapat 3 tingkatan acara Adat kematian:
Upacara saat kematianTindakan awal yang dilakukan para keluarga pada saat kematian :[4]
Bahasa BenuaqBahasa Benuaq termasuk dalam dialek Bahasa Lawangan dengan kode bahasa lbx-ben.[1]
Budaya BenuaqKain Ulap Doyo Selain Keseniannya, Suku Dayak Benuaq, terkenal dengan kain khasnya yang disebut Ulap Doyo. Ini merupakan satu-satunya kelompok Dayak yang memiliki seni kerajinan kain. Dewasa ini kerajinan Ulap Doyo hanya dijumpai di Kecamatan Jempang.
Lagu Daerah Dayak Benuaq
Organisasi Benuaq
Peta teritorial atau geografi suatu Suku tidak sama dengan geografi administrasi resmi pemerintah, Dayak Benuaq menarik karena kekerabatannya yang kental dengan Kalimantan Tengah. dalam konteks Benuaq, Bahasa (Ongau) Benuaq, (1.) Dayak Taboyan (Dialek Benuaq "Teboyatn), (2.) Dayak Lawangan, (3.) Dayak Dusutn) - yang secara administratib berada di Wilayah Kalimantan Tengah, dan Dayak Paser (WIlayah Kab. Penajam Paser Utara, dan Kab. Paser Gerogot (Kalimantan Timur) berbahasa sama dengan Dayak Benuaq, hal ini menjelaskan bahwa kami merupakan satu Suku sekalipun di kenal dalam penyebutan yang berbeda, menariknya lagi bahwa sebaran Suku ini jelas dalam tarikan Geografi nya, Baik Suku yang ada di Kalimantan Tengah, dan yang di Kalimantan Timur bisa disebutkan sebagai "titik besar" geografi dari satu Suku bahasa ini dari Sungai Teweh (Dayak "Tiwey) (Kalteng), ke Kutai Barat, Kutai Kertanegara, Samarinda, dan sampai ke Paser (PPU dan Tanah Gerogot) WIlayah Kaltim berada dalam satu garisan besar. Dalam Dayak Benuaq sendiri terbagi dalam ciri besar, Yaitu Benuaq Bentiatn, Benuaq Ohookng, lalu Benuaq beneeq -Umum- (Benuaq Pahu, Benuaq Jelau, Benuaq Dayaaq, Benuaq Lingau, Benuaq tana mo, Benauq Lawa, Benuaq bila Bongan/ Benuaq Bawo). yang masih ditelusuri yaitu Suku Dayak Basap (Kutai Timur - Kaltim) yang memiliki bahasa yang cenderung sama dengan Dayak Benuaq. Tentang Suku Kutai dalam pandangan dan pendekatan peradaban dan Budaya Dayak Benuaq, benar bahwa Kutai secara dasar berkembang dari Dayak Benuaq, Kudungga Raja Kutai, dikenal dalam tradisi Benuaq sebagai Raja KUDUKNG, hanya Kutai yang menurut Dayak Benuaq sebagai Kutaq (Ngutaq-Benuaq) yang berarti Tuan Rumah/ atau pemilik kuasa. Kutai ini kemudian berkembang dengan asimilasi budaya Melayu sehingga membentuk Suku baru yang mengambil akar dari kerajaan Kutai yang lebih awal, tentu kerjaan Kutai yang lebih awal jelas apiliasi kepada ciri khas umum Dayak dan Nusantara yaitu Hindu Nusantara. hal ini perlu membuat kita menyadari kuatnya pengaruh Melayu dalam peradaban dunia ini. demikian juga yang terjadi pada separuh Suku Paser, bahwa sebagian dari Suku Paser terpengaruh oleh asimilasi sehingga membentuk Suku Paser dengan Budaya tertentu. Catatan kaki
Pranala luar
Rujukan |