Dayak Ma’anyan atau Suku Ma'anyan adalah salah satu sub suku Dayak tertua di Nusantara, khususnya di Kalimantan bagian tengah dan selatan.[2] Pemukiman Dayak Ma'anyan tersebar di daerah Kabupaten Barito Timur dan sebagian Barito Selatan di Provinsi Kalimantan Tengah. Di Kalimantan Selatan, pemukiman Dayak Ma'anyan terkonsentrasi di kecamatan Tanta, khususnya desa Warukin, Kabupaten Tabalong, dan desa Uren Kabupaten Balangan.
Suku Ma'anyan secara administrasi baru muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 2,80% dari penduduk Kalimantan Tengah, namun dalam sensus BPS tahun 2010 suku Maanyan tergabung ke dalam rumpun suku Dayak.[3]
Menurut situs "Joshua Project"[4] suku Ma'anyan berjumlah 71.000 jiwa, dan pada seiring berjalannya waktu mungkin telah bertambah sekitar 100.000 lebih yang tersebar.
Sejarah
Orang-orang Ma'anyan dibawa sebagai buruh dan budak oleh orang-orang Melayu dan Jawa dalam armada dagang mereka, yang mencapai Madagaskar pada sekitar tahun 50–500 Masehi.[5][6][7]:114–115 Bahasa Malagasi berasal dari bahasa Barito Tenggara, dan bahasa Ma'anyan adalah kerabat terdekatnya, dengan banyak kata pinjaman bahasa Melayu dan Jawa.[8][9]
Ada kemungkinan bahwa para sarjana dan pengrajin abad ke-10 mencatat peristiwa orang-orang Ma'anyan yang mengungsi dalam jumlah besar ke Afrika dengan perahu layar cadik seperti yang digambarkan pada relief batu Borobudur pada 945 hingga 946 Masehi.[10] Catatan Arab abad ke-10 Ajayeb al-Hind (Keajaiban India) memberikan laporan invasi di Afrika oleh bangsa yang disebut Wakwak atau Waqwaq,[7]:110 mungkin adalah orang-orang Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari kerajaan Medang,[11]:39 pada 945–946 M. Mereka tiba di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 kapal dan berusaha merebut benteng Qanbaloh, meskipun akhirnya gagal. Alasan serangan itu adalah karena tempat itu memiliki barang-barang yang cocok untuk negara mereka dan China, seperti gading, kulit kura-kura, kulit macan kumbang, dan ambergris, dan juga karena mereka menginginkan budak hitam dari orang Bantu (disebut Zeng atau Zenj oleh orang Arab, Jenggi oleh orang Jawa) yang kuat dan menjadi budak yang baik.[7]
Menurut orang Maanyan, sebelum menempati kawasan tempat tinggalnya yang sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito Timur tidak termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan, tetapi wilayah ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860, yaitu wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut, sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia Belanda.
Menurut sastra lisan suku Maanyan, setelah mendapat serangan Marajampahit (Majapahit) kepada Kerajaan Nan Sarunai, suku ini terpencar-pencar menjadi beberapa sub-etnis.
Suku ini terbagi menjadi beberapa subetnis, di antaranya:
Maanyan Jangkung (sudah punah, ada pengaruh Banjar)
Keunikan Suku Dusun Maanyan, antara lain mereka mempraktikkan ritus pertanian, upacara kematian yang rumit, serta memanggil dukun (balian) untuk mengobati penyakit mereka.[13]
Bahasa
Suku Maanyan memiliki bahasa mereka sendiri yaitu bahasa Maanyan, tetapi bahasa Maanyan ini memiliki beberapa dialek yaitu dialek Paku, Kampung Sapuluh, Banua lima, Paju Epat, Maanyan Samihim, Dusun Witu, Dusun Malang. Masing- masing dialek tersebut dapat dipahami oleh dialek- dialek Maanyan lainnya. Namun untuk komunikasi antar suku dayak lainnya umumnya menggunakan Bahasa Banjar atau Bahasa Indonesia.[14]
Mata Pencaharian
Sebagian besar mata pencaharian suku Ma'anyan adalah bercocok tanam di ladang dengan sistem tebang bakar. Sistema tebang bakar dilakukan dengan gotong royong antar 12- 15 orang. Mereka mengadakan pembagian kerja antara wanita dan pria. tanaman utama yang ada di ladang adalah padi. adapun tanaman lainnya seperti ubi kayu, nenas, ubi rambat, terong, tebu, cabe dan tembakau. mereka juga beburu binatang menggunakan bantuan anjing. dan juga mereka mencari rotan dan damar untuk dijadikan kerajinan tangan seperti tikar dan keranjang. Suku Ma'anyan juga terkenal sebagai penenun. mereka bisa menenun menggunakan kapas dan membuat pakaian dari kulit kayu dan juga membuat perahu yang mana nanti perahu tersebut akan dijual.
Yaitu berupa fermentasi daging babi dan ikan menggunakkan tumbukan padi atau beras yang disangrai, biasanya digoreng atau dimasak kuah serta disajikan bersama sayuran rebus.
Rungkai (Banua Lima dan kampung Sapuluh) atau Karu'ang (Paju Epat)
Yaitu sejenis gulai daun singkong yang ditumbuk bersama terong pipit/leunca dan daun "rungkai" yang diberi santan dan Sulur (tunas keladi yang merambat) serta diberi rempah-rempah
Papahakan
Yaitu babi yang dimasak kuah asam gurih segar yang hanya menggunakan rempah sederhana seperti serai dan daun "pakauk" atau daun kedondong. Terkadang masakan ini bisa ditambah umbut rotan dan cempedak muda atau nangka muda sebagai sayurnya.
Kalumpe
Yaitu berupa beragam jenis sayuran yang diremas atau ditumbuk setengah kasar. Biasanya berupa daun singkong, Pucuk pare, daun pepaya, sulur/tunas keladi, buah "ube" (mirip buah tin) dan lain sebagainya yang dimasak kuah dengan tambahan daun rosela dan terasi ataupun udang kering dan ikan asin.
Ayam kampung kuah kuning
Yaitu semacam opor ayam kampung tapi kuahnya berwarna kuning, biasanya dimasak dengan campuran labu atau umbut yang disajikan bersama soun. Makanan ini biasanya dijumpai pada musim orang berladang.
Pakasem
Pakasem mirip dengan wadi, namun yang membedakan adalah bahan tambahan fermentasi yang menggunakan nasi. Di daerah lain biasanya dikenal dengan pekasam.
Babi masak kedondong
Biasanya berupa babi bumbu kuning dengan daun kedondong dan diberi bawang goreng.
Wadai kiping
Wadai kiping adalah kue yg dibentuk bulat sedikit pipih dengan kuah santan kental yang diberi gula merah dan daun pandan. Bentuknya yang bulat melambangkan raga manusia yang masih hidup dan utuh. Nama wadai kiping adalah penyebutan untuk wilayah Banua Lima dan Kampung Sapuluh, namun dalam bahasa Ma'anyan Paju Epat disebut "diki manau".
Wadai Baayak
Wadai baayak adalah semacam bubur sumsum,namun mempunyai tekstur butiran-butiran dari hasil "pengayakan". Wadai baayak biasanya dijumpai dalam acara kedukaan atau hari pengkabungan. Wadai baayak yang lembut namun sedikit bertekstur butiran melambangkan raga seseorang yang telah kembali ke pangkuan pencipta tubuhnya tidak lagi utuh dan perlahan hancur.
Wadai Tumpi
Wadai tumpi adalah kue yang yang digoreng terbuat dari tepung beras yang diberi parutan kelapa,garam dan gula merah. Pada masyarakat tradisional kue tumpi biasanya digoreng dengan minyak babi.
Organisasi
Organisasi suku ini adalah "DUSMALA" yang menggabungkan 3 suku Dayak yang serumpun yaitu Dusun, Maanyan dan Lawangan.
Upacara adat rukun kematian Kaharingan pada Dayak Warukin disebut mambatur. Istilah ini pada subetnis Maanyan Benua Lima pada umumnya disebut marabia.
Kekerabatan bahasa Maanyan Warukin dengan bahasa Banjar Kuala Lupak (Banjar Kuala) sekitar 50%. Kekerabatan bahasa Maanyan Warukin dengan bahasa Banjar Asam-Asam sekitar 57%.
Di Kabupaten Tabalong ini terbagi menjadi empat wilayah keadatan Dayak, salah satu diantaranya wilayah keadatan Dayak Maanyan yaitu:
Di luar keempat daerah-daerah kantong keadatan Dayak Kabupaten Tabalong tersebut juga terdapat suku Banjar yang merupakan mayoritas populasi penduduk Tabalong dan suku Banjar ini tidak terikat dengan Hukum Adat Dayak.
^Chalmers, Ian (2006). "The Dynamics of Conversion: The Islamisation of the Dayak Peoples of Central Kalimantan". Dalam Vickers, A.; Hanlon, M. Proceedings of the 16th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia (ASAA): Asia Reconstructed, Jun 26–29 2006 (dalam bahasa Inggris). Wollongong, NSW: Australian National University. hdl:20.500.11937/35283.
^Dewar, Robert E.; Wright, Henry T. (1993). "The culture history of Madagascar". Journal of World Prehistory. 7 (4): 417–466. doi:10.1007/bf00997802. hdl:2027.42/45256.
^Burney DA, Burney LP, Godfrey LR, Jungers WL, Goodman SM, Wright HT, Jull AJ (August 2004). "A chronology for late prehistoric Madagascar". Journal of Human Evolution. 47 (1–2): 25–63. doi:10.1016/j.jhevol.2004.05.005. PMID15288523.
^ abcKumar, Ann (2012). 'Dominion Over Palm and Pine: Early Indonesia’s Maritime Reach', dalam Geoff Wade (ed.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies), 101–122.
^Otto Chr. Dahl, Malgache et Maanjan: une comparaison linguistique, Egede-Instituttet Avhandlinger, no. 3 (Oslo: Egede-Instituttet, 1951), p. 13.
^There are also some Sulawesi loanwords, which Adelaar attributes to contact prior to the migration to Madagascar: See K. Alexander Adelaar, “The Indonesian Migrations to Madagascar: Making Sense of the Multidisciplinary Evidence”, in Truman Simanjuntak, Ingrid Harriet Eileen Pojoh and Muhammad Hisyam (eds.), Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, (Jakarta: Indonesian Institute of Sciences, 2006), pp. 8–9.
^Melalatoa, M.Junus (1995). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indoesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm. 76.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Wadi (makanan)". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2023-10-06.