Statisme Shōwa (國家主義code: ja is deprecated , Kokka Shugi) (secara harfiah "Nasionalisme") adalah sebuah sinkretisme politik atas ideologi-ideologi politiksayap kanan dan ideologi-ideologi politik ekstrim lainnya di Kekaisaran Jepang, yang berkembang sepanjang periode Restorasi Meiji sampai ke Era Shōwa. Faham Ini terkadang disebut sebagai Nasionalisme Shōwa (昭和國家主義), Fasisme Jepang (日本のファシズム), Fasisme Shōwa (昭和のファシズム) atau Fasisme Sistem Kekaisaran (天皇制ファシズム).
Dengan kebijakan luar negeri yang lebih agresif, dan kemenangan atas Tiongkok dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama, serta Kemenangan atas Kekaisaran Rusia dalam Perang Rusia-Jepang, Kekaisaran Jepang bergabung dengan kekuatan imperialis Barat. dengan keyakinan bahwa hanya melalui kekuatan militer yang kuat, Kekaisaran Jepang akan mendapatkan rasa hormat dari negara-negara Barat. dan dengan demikian, untuk mendapatkan revisi dari "perjanjian-perjanjian yang tidak adil" yang diberlakukan pada Jepang oleh kekuatan Imperialis Barat di tahun 1800-an.
Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang memandang diri mereka "bersih secara politik" dalam hal korupsi, dan mengkritik partai-partai politik di bawah demokrasi liberal karena mementingkan diri sendiri dan bersifat mengacaman terhadap keamanan nasional dengan kegagalan mereka untuk menyediakan pengeluaran militer yang memadai atau untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan ekonomi yang mendesak. Keterlibatan politisi dengan monopoli perusahaan zaibatsu juga mendapat kecaman keras dari Kaum Militeris, dikarenakan Militer cenderung mendukung dirigisme dan bentuk lain dari kontrol langsung negara atas industri, daripada kapitalisme pasar bebas, serta kesejahteraan sosial yang lebih luas yang disponsori oleh negara. hal ini adalah salah satu cara untuk mengurangi pengaruh sosialisme dan komunisme di Jepang.
Hubungan khusus kaum militer dan pemerintah pusat dengan Keluarga Kekaisaran mendukung posisi penting Kaisar sebagai Kepala Negara dengan kekuatan politik dan hubungan dengan gerakan sayap kanan nasionalis. Namun, pemikiran politik Jepang memiliki kontak yang relatif sedikit dengan pemikiran politik eropa sampai abad ke-20.
Di bawah kekuasaan militer, Jepang mengembangkan sistem ekonomi aristokrat yang sangat hierarkis dengan keterlibatan negara yang signifikan. Selama Restorasi Meiji, telah terjadi lonjakan penciptaan monopoli. Ini sebagian karena intervensi negara. Negara sendiri memiliki beberapa monopoli, dan yang lainnya dimiliki oleh zaibatsu. Monopoli mengelola inti pusat ekonomi, dengan aspek-aspek lain dikendalikan oleh kementerian pemerintah sesuai dengan pengaturan ekonomi. ini dalam banyak hal mirip dengan model korporatismefasis Eropa nantinya.
Selama periode yang sama, pemikir-pemikir intelek dengan cita-cita yang serupa dengan yang berasal dari zaman shogunat mengembangkan dasar awal teori ekspansionisme Jepang dan Pan-Asianisme. Pemikiran seperti itu kemudian dikembangkan oleh penulis seperti Saneshige Komaki dan Shumei Okawa ke dalam doktrin Hakkō ichiu, Yen Block, dan Amau.[1]
Perkembangan di Era Shōwa
Kebijakan Internasional
Perjanjian Versailles tahun 1919 tidak mengakui klaim teritorial Kekaisaran Jepang, dan perjanjian-perjanjian internasional angkatan laut antara kekuatan Barat dan Kekaisaran Jepang (Traktat Angkatan Laut Washington dan Trakat Angkatan Laut London) memberlakukan batasan pada pembuatan kapal dan membatasi ukuran Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. dengan rasio 10:10:6. Langkah-langkah ini dianggap oleh banyak orang di Jepang sebagai penolakan oleh kekuatan Barat untuk menganggap Jepang sebagai mitra yang setara. yang dimana ini nantinya, akan berujung kepada insiden 15 Mei.
Berdasarkan keamanan nasional, peristiwa ini melepaskan gelombang Nasionalisme di Jepang dan mengakhiri diplomasi kolaborasi yang mendukung ekspansi ekonomi secara damai. Penerapan kediktatoran militer dan ekspansi teritorial dianggap sebagai cara terbaik untuk melindungi Yamato-damashii.
Wacana Sipil Terhadap Statisme
Pada awal 1930-an, Kementerian Dalam Negeri mulai menangkap para pembangkang politik sayap kiri, umumnya untuk menuntut pengakuan terhadap kecenderungan prilaku anti-statis. Lebih dari 30.000 penangkapan semacam ini dilakukan antara tahun 1930 dan 1933. Sebagai tanggapan, sekelompok besar penulis mendirikan cabang dari Front Popular Internasional Melawan Fasisme di Jepang dan menerbitkan artikel di jurnal sastra besar yang memperingatkan bahaya statisme. Majalah mereka, Perpustakaan Rakyat (人民文庫), mencapai sirkulasi lebih dari lima ribu dan dibaca secara luas di kalangan sastra, tetapi akhirnya disensor, dan kemudian dibongkar pada Januari 1938.[2]
Karya Ikki Kita
Ikki Kita adalah seorang teoris politik pada awal abad ke-20, yang menganjurkan hibrida statisme dengan "nasionalisme Asia", yang dengan demikian memadukan gerakan ultranasionalisme dengan militerisme Jepang. Filosofi politiknya dituangkan dalam tesisnya yaitu Kokutairon dan Sosialisme murni serta Rencana Garis Besar untuk Reorganisasi Jepang [ja] (日本改造法案大綱Nihon Kaizō Hōan Taikō) tahun 1923. Kita mengusulkan kudeta militer untuk menggantikan struktur politik Jepang yang ada dengan kediktatoran militer. Kepemimpinan militer yang baru akan memperlemah Konstitusi Meiji, melarang partai politik, mengganti Diet Jepang dengan majelis yang bebas dari korupsi, dan akan menasionalisasi industri-industri besar. Kita juga memvisionirkan batasan ketat untuk kepemilikan pribadi atas properti, dan reformasi tanah untuk meningkatkan lahan untuk kaum petani. dengan demikian diperkuat secara internal, Jepang kemudian dapat memulai "perang suci" untuk membebaskan seluruh Asia dari imperialisme Barat.
Meskipun karyanya dilarang oleh pemerintah segera setelah diterbitkan, peredarannya tersebar luas, dan tesisnya terbukti populer tidak hanya di kalangan perwira muda yang bersemangat dengan prospek kekuasaan militer dan ekspansionisme Jepang, tetapi juga dengan gerakan populis karena daya tariknya terhadap kelas agraris.
Karya Shūmei Ōkawa
Shumei Okawa adalah seorang filsuf politik sayap kanan, aktif di banyak gerakan nasionalis Jepang pada tahun 1920-an. Pada tahun 1926, ia menerbitkan "Jepang dan Jalan Rakyat Jepang (日本及び日本人の道, Nihon oyobi Nihonjin no michi)", di antara karya-karya lain, yang membantu mempopulerkan konsep keniscayaan benturan peradaban antara Jepang dan barat. Secara politis, teorinya dibangun di atas karya-karya Ikki Kita, tetapi lebih lanjut menekankan bahwa Jepang perlu kembali ke "tradisi kokutai" tradisionalnya untuk bertahan dari meningkatnya ketegangan sosial yang diciptakan oleh industrialisasi dan pengaruh budaya asing.
Karya Sadao Araki
Sadao Araki adalah seorang filsuf politik terkenal di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang selama tahun 1920-an, yang memiliki banyak pengikut di dalam korps perwira junior. Meskipun terlibat dalam Insiden 26 Februari, ia melanjutkan untuk mengabdi di berbagai jabatan pemerintahan yang berpengaruh, dan menjadi menteri kabinet di bawah Perdana Menteri Fumimaro Konoe.
Tentara Jepang, yang sudah dilatih di sepanjang garis Prusia sejak awal periode Meiji, sering menyebutkan kedekatan antara yamato-damashii dan "Semangat Militer Prusia" dalam mendorong aliansi militer dengan Italia dan Jerman bersama dengan kebutuhan untuk memerangi Marxisme. Tulisan Araki diilhami dengan nostalgia terhadap sistem administrasi militer ala shogun, dengan cara yang mirip dengan Partai Fasis Nasional Italia yang melihat kembali cita-cita kuno Kekaisaran Romawi atau Partai Buruh Nasional Sosialis di Jerman yang mengingat versi ideal dari Reich Pertama dan Ordo Teutonik.
Araki memodifikasi interpretasi kode prajurit bushido menjadi seishin kyōiku ("pelatihan spiritual"), yang ia perkenalkan kepada militer sebagai Menteri Angkatan Darat, dan masyarakat umum sebagai Menteri Pendidikan, dan secara umum membawa konsep gerakan Restorasi Showa ke arus utama politik Jepang.
Beberapa ciri khas dari kebijakan ini juga digunakan di luar Jepang. Negara boneka Manchukuo, Mengjiang, dan Pemerintahan Ter-reorganisasi Nasional Republik Tiongkok kemudian diorganisir sebagian mengikuti ide Araki. Dalam kasus Rezim Wang Jingwei, dia sendiri memiliki pengaruh Jerman—sebelum invasi Jepang ke Tiongkok, dia bertemu dengan para pemimpin Jerman dan mengambil beberapa ide fasis selama berada di Kuomintang. Ini, ia menggabungkan dengan pemikiran militerisme Jepang. Agen Jepang juga mendukung elemen lokal dan nasionalis di Asia Tenggara dan warga Rusia Putih di Manchukuo sebelum perang pecah.
Karya Seigō Nakano
Seigō Nakano berusaha membawa "kelahiran kembali" Jepang melalui perpaduan etika samurai, Neo-Konfusianisme, dan nasionalisme populis yang dimodelkan pada fasisme Eropa. Dia melihat Saigō Takamori sebagai lambang 'semangat sejati' dari Meiji ishin, dan ialah tugas suci Jepang untuk meng-implementasikan-nya kembali.
Pergerakan Restorasi Shōwa
Ikki Kita dan Shūmei Ōkawa bergabung pada tahun 1919 untuk mengorganisir Yūzonsha yang berumur pendek, sebuah kelompok studi politik yang dimaksudkan untuk menjadi organisasi payung bagi berbagai gerakan Statisme sayap-kanan. Meskipun kelompok itu segera runtuh karena perbedaan ideologis yang tidak dapat didamaikan antara Kita dan Ōkawa, kelompok ini memenuhi tujuannya karena berhasil bergabung dengan Gerakan-Gerakan militerisme, Pan-Asianis, anti-sosialis sayap-kanan dengan pendukung basis statis yang kuat dari kaum sentris dan sayap-kiri.
Pada tahun 1920-an dan 1930-an, para pendukung statisme Jepang ini menggunakan slogan "Restorasi Shōwa" (昭和維新, Shōwa isshin), yang menyiratkan bahwa resolusi baru diperlukan untuk menggantikan tatanan politik yang ada yang didominasi oleh politisi dan industrialis korup, dengan yang (dalam mata mereka), akan memenuhi tujuan awal Restorasi Meiji dari pemerintahan Kekaisaran langsung melalui proksi militer.
Namun, Restorasi Shōwa memiliki arti yang berbeda untuk kelompok yang berbeda. Bagi kaum radikal Sakurakai, itu berarti penggulingan pemerintah dengan kekerasan untuk menciptakan negara sindikalis nasional dengan distribusi kekayaan yang lebih adil dan penghapusan politisi korup dan pemimpin zaibatsu. Bagi para perwira muda, ini berarti kembalinya suatu bentuk "militer-shogun" di mana kaisar akan mengambil alih kembali kekuasaan politik langsung dengan atribut diktator, serta simbolisme divinitas, tanpa campur tangan Diet atau demokrasi liberal, tetapi yang secara efektif akan menjadi simbol negara dengan keputusan sehari-hari diserahkan kepada kepemimpinan militer.
Sudut pandang lain didukung oleh Pangeran Chichibu, saudara Kaisar Shōwa, yang berulang kali menasihatinya untuk menerapkan aturan kekaisaran langsung, bahkan jika itu berarti menangguhkan konstitusi.[3]
Pada prinsipnya, beberapa ahli teori mengusulkan Restorasi Shōwa, rencana pemberian kekuasaan diktator langsung kepada Kaisar (karena sifat ketuhanannya) untuk memimpin aksi luar negeri di masa depan di daratan Asia. Inilah tujuan di balik Insiden 26 Februari dan pemberontakan serupa lainnya di Jepang. Namun kemudian, para pemikir yang disebutkan sebelumnya ini memutuskan untuk mengorganisir klik politik mereka sendiri berdasarkan gerakan radikal dan gerakan-gerakan militeristik sebelumnya pada tahun 1930-an; ini adalah asal mula faksi Kodoha dan keinginan politik mereka untuk mengambil kendali langsung atas semua kekuatan politik di negara ini dari suara-suara politik yang moderat dan demokratis.
Setelah pembentukan "klik politik" ini, muncul arus pemikiran baru di kalangan militeris, industrialis, dan pemilik tanah yang menekankan keinginan untuk kembali ke sistem shogun kuno, tetapi dalam bentuk kediktatoran militer modern dengan struktur baru. ia diselenggarakan dengan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang bertindak sebagai klan di bawah komando seorang diktator asli militer tertinggi (shōgun) yang mengendalikan negara. Dalam pemerintahan ini, Kaisar secara diam-diam dikurangi fungsinya dan digunakan sebagai figur untuk kepentingan politik atau agama di bawah kendali kaum militeris.
Kegagalan berbagai percobaan kudeta, termasuk Insiden Liga Darah, Insiden Warna Kekaisaran dan Insiden 26 Februari, mendiskreditkan pendukung gerakan Restorasi Shōwa, tetapi konsep statisme Jepang bermigrasi ke arus utama politik Jepang, di mana ia bergabung dengan beberapa elemen dari fasisme Eropa.
Perbandingan Dengan Fasisme Eropa
Statisme Shōwa awalnya kadang-kadang diberi label retrospektif "fasisme", tapi ini bukanlah sebutan terhadap ideologi tersebut. Ketika alat-alat otoriter negara seperti Kempeitai mulai digunakan pada awal periode Shōwa, alat-alat itu digunakan untuk melindungi supremasi hukum di bawah Konstitusi Meiji dari musuh-musuh negara, baik di kiri maupun di kanan.[4]
Cita-cita geopolitik ini berkembang menjadi Doktrin Amau (天羽声明, Doktrin Monroe Asia), yang menyatakan bahwa Jepang memikul tanggung jawab penuh atas perdamaian di Asia, dan dapat dilihat kemudian ketika Perdana Menteri Kōki Hirota memproklamasikan ekspansi Jepang yang dibenarkan ke Tiongkok utara sebagai penciptaan "zona khusus, anti-komunis, pro-Jepang dan pro-Manchukuo" yang merupakan "bagian mendasar" dari keberadaan nasional Kekaisaran Jepang.
Meskipun sayap kanan reformis, kakushin uyoku, tertarik dengan konsep tersebut, sayap kanan idealis, atau kannen uyoku, menolak fasisme karena mereka menolak semua hal yang berasal dari barat.
Karena ketidakpercayaan serikat pekerja dalam persatuan seperti macam itu, Jepang menggantinya dengan "dewan" (経営財団, keiei zaidan, harfiah "fondasi manajemen", disingkat: 営団 eidan) di setiap pabrik, yang berisi perwakilan manajemen dan pekerja untuk mencegah konflik.[6] Ini adalah bagian dari program untuk menciptakan persatuan nasional tanpa kelas.[7] Yang paling terkenal dari dewan adalah (帝都高速度交通営団, Teito Kōsoku-do Kōtsū Eidan, atau "Dewan Transportasi Kecepatan Tinggi Ibukota Kekaisaran", TRTA), yang selamat dari pembongkaran dewan di bawah pendudukan Sekutu. TRTA sekarang menjadi Tokyo Metro.
Kokuhonsha
Kokuhonsha didirikan pada tahun 1924 oleh Menteri Kehakiman dan Presiden daripada Kizokuin, Hiranuma Kiichirō yang konservatif.[8] Ia meminta patriot Jepang untuk menolak berbagai "-isme" politik asing (seperti sosialisme, komunisme, Marxisme, anarkisme, dll.) demi "semangat nasional Jepang" (kokutai) yang didefinisikan secara samar-samar. Nama "kokuhon" dipilih sebagai antitesis dari kata "minpon", dari minpon shugi, terjemahan yang umum digunakan untuk kata "demokrasi", dan masyarakat umum secara terbuka mendukung ideologi totaliter.[9]
Gerakan Orde Baru (Shintaisei)
Selama tahun 1940, Perdana Menteri Fumimaro Konoe memproklamirkan Shintaisei (Struktur Nasional Baru), mengubah Jepang menjadi "Negara Pertahanan Nasional". Di bawah "UU-Mobilisasi Nasional", pemerintah Kekaisaran diberikan kekuasaan mutlak atas kekayaan negara. Semua partai politik diperintahkan untuk membubarkan diri ke dalam Asosiasi Asistensi untuk Pemerintahan Kekaisaran, yang membentuk negara satu partai berdasarkan nilai-nilai totaliter. Langkah-langkah seperti Rancangan Ordonansi Wajib-Militer Nasional dan Gerakan Mobilisasi Spiritual Nasional dimaksudkan untuk memobilisasi masyarakat Jepang untuk perang total melawan Barat.
Terkait dengan upaya pemerintah untuk menciptakan masyarakat statis, salah satunya adalah pembentukan Tonarigumi (komite penduduk), dan penekanan pada Kokutai no Hongi ("Dasar-dasar Kebijakan Nasional Jepang"), menyajikan pandangan tentang sejarah Jepang, dan misinya untuk menyatukan Timur dan Barat di bawah teori Hakkō ichiu di sekolah sebagai teks resmi. Teks akademis resmi adalah buku lain yang bernama "Shinmin no Michi", "Alkitab moral nasional", yang menyajikan katekismus yang efektif tentang topik bangsa, agama, budaya, sosial, dan ideologis.
Gow, Ian (2004). Military Intervention in Pre-War Japanese Politics: Admiral Kato Kanji and the Washington System'. RoutledgeCurzon. ISBN0-7007-1315-8.
Hook, Glenn D (2007). Militarization and Demilitarization in Contemporary Japan. Taylor & Francis. ASINB000OI0VTI.
Maki, John M (2007). Japanese Militarism, Past and Present. Thomspon Press. ISBN1-4067-2272-3.
Reynolds, E Bruce (2004). Japan in the Fascist Era. Palgrave Macmillan. ISBN1-4039-6338-X.
Baskett, Michael (2009). "All Beautiful Fascists?: Axis Film Culture in Imperial Japan" in The Culture of Japanese Fascism, ed. Alan Tansman. Durham: Duke University Press. pp. 212–234. ISBN0822344521
Bix, Herbert. (1982) "Rethinking Emperor-System Fascism" Bulletin of Concerned Asian Scholars. v. 14, pp. 20–32.
Dore, Ronald, and Tsutomu Ōuchi. (1971) "Rural Origins of Japanese Fascism. " in Dilemmas of Growth in Prewar Japan, ed. James Morley. Princeton: Princeton University Press, pp. 181–210. ISBN0-691-03074-X
Duus, Peter and Daniel I. Okimoto. (1979) "Fascism and the History of Prewar Japan: the Failure of a Concept, " Journal of Asian Studies, vol. 39, no. 1, pp. 65–76.
Fletcher, William Miles. (1982) The Search for a New Order: Intellectuals and Fascism in Prewar Japan. Chapel Hill: University of North Carolina Press. ISBN0-8078-1514-4
Maruyama, Masao. (1963) "The Ideology and Dynamics of Japanese Fascism" in Thought and Behavior in Modern Japanese Politics, ed. Ivan Morris. Oxford. pp. 25–83.
McGormack, Gavan. (1982) "Nineteen-Thirties Japan: Fascism?" Bulletin of Concerned Asian Scholars v. 14 pp. 2–19.
Tanin, O. and E. Yohan. (1973) Militarism and Fascism in Japan. Westport, Conn. : Greenwood Press. ISBN0-8371-5478-2
Referensi
^Akihiko Takagi, [1][pranala nonaktif] mentions "Nippon Chiseigaku Sengen ("A manifesto of Japanese Geopolitics") written in 1940 by Saneshige Komaki, a professor of Kyoto Imperial University and one of the representatives of the Kyoto school, [as] an example of the merging of geopolitics into Japanese traditional ultranationalism."
^Torrance, Richard (2009). "The People's Library". Dalam Tansman, Alan. The culture of Japanese fascism. Durham: Duke University Press. hlm. 56, 64–5, 74. ISBN978-0822344520.
^Herbert Bix, Hirohito and the Making of Modern Japan, 2001, p.284
^Doak, Kevin (2009). "Fascism Seen and Unseen". Dalam Tansman, Alan. The culture of Japanese fascism. Durham: Duke University Press. hlm. 44. ISBN978-0822344520. Careful attention to the history of the Special Higher Police, and particularly to their use by Prime Minister Tōjō Hideki against his enemies even further to his political right, reveals that extreme rightists, fascists, and practically anyone deemed to pose a threat to the Meiji constitutional order were at risk.
^Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p246 1976, Chelsea House Publishers, New York