Partai Fasis Nasional

Partai Fasis Nasional
Partito Nazionale Fascista
DuceBenito Mussolini
Sekretaris
Dibentuk9 November 1921 |didirikan kembali 1 Januari 2024
Dibubarkan27 Juli 1943
Digabungkan dariFasci Italiani di Combattimento,
Asosiasi Nasionalis Italia
Diteruskan olehPartai Fasis Republikan
Kantor pusatberlin
berlin, 230
, Jerman nazi
Surat kabarIl Popolo d'Italia
Sayap pelajarGruppi Universitari Fascisti
Sayap pemudaOpera Nazionale Balilla
Gioventù Italiana del Littorio
Sayap paramiliterMilizia Volontaria per la Sicurezza Nazionale
Serikat pekerjaOpera Nazionale Dopolavoro
Confederazione Generale del Lavoro
Keanggotaan (1939)6.000.000
IdeologiFasisme (nazi)
Posisi politikKanan jauh
Afiliasi internasionalFasis International (pengamat)
WarnaHitam
HimneGiovinezza (bahasa Indonesia: Pemuda)
Bendera

Partai Fasis Nasional (bahasa Italia: Partito Nazionale Fascista, PFN) adalah partai politik Italia yang dibentuk oleh Benito Mussolini sebagai ekspresi pemikiran politik fasisme (sebelumnya diwakili oleh kelompok bernama Fasci, lihat fasisme Italia). Partai ini menguasai Italia selama 21 tahun, sejak kaum fasis mengambil kekuasaan, hingga tahun 1943, ketika Mussolini dijatuhkan oleh Dewan Agung Fasisme.

Sebelum PFN, partai politik pertama yang dibangun Mussolini adalah Partai Fasis Revolusioner (Partito Fascista Rivoluzionario, PFR), yang menurut Mussolini, didirikan tahun 1915.[1] Setelah kegagalan dalam pemilihan umum 1919, partai ini berganti nama sebagai Partai Fasis Nasional, sesuai hasil Kongres Fasis Ketiga di Roma pada tanggal 7-10 November 1921.[2][3]

Ideologi partai ini berakar pada nasionalisme Italia. Partai ini ingin mengembalikan dan memperluas wilayah Italia; mereka menganggap hal ini penting untuk memastikan superioritas dan kekuatan, serta menghindari keruntuhan Italia.[4] Kaum fasis Italia mengklaim bahwa Italia modern adalah pewaris kejayaan Kerajaan Romawi dan warisannya. Mereka mendukung pembangunan Imperium Italia untuk menyediakan spazio vitale ("ruang hidup") untuk dikolonisasi orang Italia. Mereka juga mendukung penaklukan Laut Mediterania.[5]

Kaum fasis mendukung sistem ekonomi korporatis. Di dalam sistem ini, asosiasi pengusaha dan serikat buruh tergabung bersama dalam sebuah asosiasi untuk mewakili para produsen dalam ekonomi, serta bekerja sama dengan negara untuk menciptakan kebijakan ekonomi.[6] Sistem ini digunakan demi menghindari konflik kelas, dengan cara kerja sama antarkelas.[7]

Partai ini, serta partai pewarisnya, Partai Fasis Republikan, adalah partai-partai yang dilarang didirikan kembali di dalam Konstitusi Italia: "Dilarang untuk melakukan reorganisasi, dalam bentuk apapun, atas partai fasis yang telah dibubarkan".

Sejarah

Latar belakang sejarah

Mussolini pada tahun 1920-an

Setelah berakhirnya Perang Dunia I (1914–1918), meskipun Kerajaan Italia berada di sisi Blok Sekutu dalam Perang Dunia I, kaum nasionalis di Italia mengklaim bahwa Italia telah dicurangi dalam Perjanjian Saint-Germain-en-Laye (1919). Menurut kaum nasionalis, Blok Sekutu merintangi jalan Italia untuk menjadi sebuah "Kekuatan Besar".[8] Sejak saat itu, Partai Fasis Nasional mengeksploitasi anggapan penghinaan terhadap nasionalisme Italia itu untuk menampilkan fasisme sebagai ideologi yang paling pantas memerintah negeri, sambil mengklaim bahwa demokrasi, liberalisme, dan sosialisme adalah sistem-sistem gagal.

Dalam Konferensi Perdamaian Paris, 1919, blok Sekutu memaksa Kerajaan Italia untuk memberikan pelabuhan Fiume (Rijeka) di Kroasia, kepada Yugoslavia. Fiume adalah sebuah kota kecil yang sebelumnya awal tahun 1919 tidak pernah masuk ke radar kaum nasionalis. Lebih lanjut, Italia juga kemudian dikecualikan dari Perjanjian London (1915) yang bersifat rahasia perang. Dalam perjanjian itu, Triple Entente[9] menjanjikan bahwa Italia harus meninggalkan Triple Alliance dan bergabung ke sisi musuh dengan mendeklarasikan perang melawan Imperium Jerman dan Austria-Hungaria, dan sebagai gantinya akan diberikan wilayah yang diklaim Italia pada akhir perang (lihat Italia irredenta).

Pada September 1919, seorang pahlawan perang nasionalis, Gabriele D'Annunzio, marah menanggapi hal ini dan mendeklarasikan pendirian Kabupaten Italia Carnaro.[10] Di negara Italia merdeka miliknya, ia memajukan dirinya sendiri sebagai Bupati Duce (Pimpinan) dan mengajukan Carta del Carnaro (Akta Carnaro, 8 September 1920). Akta ini merupakan sebuah rekaan konstitusi yang sinkretik secara politik, menggabungkan ide-ide anarkisme sayap kiri dan kanan, protofasisme, serta politik demokrasi republikan. Akta ini amat berpengaruh terhadap perkembangan politis-filosofis Fasisme Italia awal. Militer Italia memutuskan untuk menanggapi hal ini sesuai dengan Perjanjian Rapallo (1920); mereka menurunkan Duce D'Annunzio pada hari Natal tahun 1920. Dalam perjalanannya, D'Annunzio kemudian dikenal sebagai seorang nasionalis dan bukan seorang fasis. Warisan praksis politiknya, "Politik sebagai Teater", yaitu anggapan bahwa gaya (upacara, seragam, pawai, dan nyanyian) lebih penting daripada substansi, kemudian dikembangkan menjadi sebuah model pemerintahan oleh Italia Fasis.[10][11]

Fasci Italiani di Combattimento, yang didirikan di Roma pada Kongres Fasis Ketiga pada tanggal 7–10 November 1921,[2] adalah sebuah kelompok dengan posisi politik yang lebih koheren daripada statusnya sebelumnya sebagai kelompok paramiliter (Fasci didirikan oleh Mussolini di Piazza San Sepolcro, Milan, pada tanggal 23 Maret 1919).

Partai Fasis memegang peranan penting dalam mengarahkan dan menyiarkan dukungan bagi ideologi Mussolini. Di awal perjalanannya, kelompok-kelompok di dalam PFN yang dipanggil Blackshirts (squadristi) membangun kekuasaan dengan cara menyerang kaum sosialis serta institusi-institusi mereka di Sungai Po. Dengan demikian, mereka mendapatkan dukungan dari para pemilik tanah. Berbeda dengan para pendahulunya, PNF sama sekali mengabaikan republikanisme, dan sepenuhnya bergerak ke sisi kanan jauh dalam spektrum politik.

Pawai ke Roma

Pada 22 Oktober 1922, Mussolini mencoba melakukan kudeta yang kemudian diberi julukan oleh propaganda Italia sebagai Pawai ke Roma. Sekitar 30.000 orang fasis turut berpartisipasi dalam pawai ini. Kuadrumvir yang memimpin Partai Fasis, yaitu Jenderal Emilio De Bono, Italo Balbo (salah satu ras yang paling terkenal), Michele Bianchi, dan Cesare Maria de Vecchi, mengatur jalannya Pawai sementara Mussolini berada di belakang, meskipun ia membolehkan pengambilan foto berisi dirinya sedang bergerak bersama orang lain. Jenderal Gustavo Fara dan Sante Ceccherini membantu persiapan pawai ini. Panitia lain termasuk Marquis Dino Perrone Compagni dan Ulisse Igliori.

Benito Mussolini dengan para Blackshirts dalam Pawai ke Roma

Pada 24 Oktober 1922, di hadapan 60.000 orang di Kongres Fasis di Napoli, Mussolini menyatakan: "Tujuan kami sederhana: kami ingin memerintah Italia."[12] Sementara itu, kaum Blackshirts yang menguasai daerah Po, mengambil alih semua titik strategis dalam negeri. Pada 26 Oktober, mantan perdana menteri Antonio Salandra memperingatkan perdana menteri yang sedang menjabat waktu itu, Luigi Facta, bahwa Mussolini sedang meminta pengunduran dirinya dan bahwa Mussolini sedang menyiapkan sebuah pawai ke Roma. Akan tetapi, Facta tidak memercayai Salandra dan ia berpikir bahwa Mussolini akan membantunya memerintah di bawah pemerintahannya. Untuk melawan ancaman dari kelompok fasis yang kini sudah ramai di luar kota Roma, Facta (yang pada waktu itu sudah mengundurkan diri tetapi masih memiliki kekuasaan) mendeklarasikan kondisi darurat di kota Roma. Facta yakin bahwa deklarasi kondisi darurat itu akan disetujui oleh Raja karena mereka pernah berbicara tentang represi kekerasan fasis,[13] akan tetapi Raja Victor Emmanuel III menolak menandatangani aksi militer itu.[14] Pada 28 Oktober, sang Raja memberikan kekuasaan kepada Mussolini, yang didukung oleh militer, para pebisnis, dan orang-orang sayap kanan di Italia.

Pawai ke Roma itu sendiri sebenarnya hanya berisi kurang dari 30.000 orang, akan tetapi raja khawatir akan meletusnya sebuah perang saudara karena squadristi sudah mengendalikan dataran Po dan hampir seluruh negeri. Di sisi lain, fasisme sudah tidak dianggap sebagai ancaman bagi negara. Mussolini diminta membangun kabinetnya pada 29 Oktober 1922, dan pada waktu yang sama sebanyak 25.000 Blackshirts sedang berada di Roma. Dengan demikian, Mussolini mendapatkan kekuasaan secara legal, sesuai dengan konstitusi Italia, Statuto Albertino. Pawai ke Roma bukanlah sebuah penaklukan dengan paksa sebagaimana kemudian diklaim oleh rezim fasis Mussolini sendiri, melainkan sebuah kekuatan awal untuk mengambil kekuasaan di dalam batasan-batasan konstitusional. Pengambilan kekuasaan ini juga kurang lebih dimungkinkan karena para otoritas publik menyerah di hadapan intimidasi fasis. Para pemimpin di bisnis dan sektor keuangan yakin mereka akan dapat memanipulasi Mussolini yang pidato-pidato dan kebijakan-kebijakan awalnya mendukung pasar bebas dan ekonomi laissez-faire.[15] Ternyata mereka terlalu optimis karena pandangan korporatis Mussolini lebih menekankan pada kekuasaan total negara pada bisnis, sama besarnya dengan kekuasaan total negara atas individu. Hal ini dilakukan melalui badan-badan industri ("korporasi") pegangan partai fasis yang memerintah perusahaan lain. Di dalam model ini, perusahan-perusahaan boleh memiliki properti, tetapi tidak banyak yang dapat mereka lakukan dengan properti itu.

Meskipun kudeta itu tidak memberikan kekuasaan langsung kepada Partai Fasis, tetap ada perjanjian antara Mussolini dan raja Victor Emmanuel III yang isinya memberikan takhta kepemimpinan pemerintahan Italia kepada Mussolini. Pada 15 Desember, Dewan Agung Fasisme berdiri dan dijadikan organ besar PFN.

Pemerintahan fasis

Setelah melakukan perubahan drastis terhadap hukum pemilu (Hukum Acerbo), Partai Fasis Nasional memenangkan pemilu yang sangat kontroversial di bulan April 1924. Di awal tahun 1925, Mussolini melepaskan segala pretensi demokrasi dan menciptakan sebuah keditatoran total. Efektif sejak saat itu, PFN adalah satu-satunya partai yang diperbolehkan ada secara hukum di Italia. Status ini dimasukkan dalam undang-undang pada tahun 1928 dan Italia menjadi sebuah negara satu partai hingga akhir rezim fasis pada tahun 1943. Hukum-hukum yang baru dikritik kuat oleh pemimpin Partai Sosialis, Giacomo Matteotti, pada pidatonya di Parlemen. Beberapa hari kemudian, Matteotti diculik dan dibunuh oleh para Blackshirts.

Potret resmi Mussolini

Setelah mengambil kekuasaan, rezim fasis mulai menekankan ideologi fasis dan simbolismenya di seluruh negeri. Seseorang harus menjadi anggota PNF untuk mendapatkan pekerjaan atau meminta bantuan dari pemerintah. Simbol fasci dipajang di bangunan-bangunan umum; slogan-slogan dan simbolisme fasis ditunjukkan dalam seni, dan propaganda fasis mendirikan kultus individu di sekitar Mussolini, dengan cara memanggilnya "Il Duce", "Sang Pemimpin". Tugas-tugas Parlemen Italia digantikan oleh Majelis Fasci dan Korporasi, yang diisi sepenuhnya oleh anggota Partai Fasis. PFN menyiarkan imperialisme Italia di Afrika dan menghimbau pemisahan ras dan supremasi kulit putih orang Italia di koloni.

Pada tahun 1930 didirikanlah Fasci Pertarungan Anak Muda. Pada tahun 1930, terjadi kampanye fasisme besar-besaran dalam bentuk upacara-upacara, pawai-pawai, dan penciptaan organisasi-organisasi yang meliputi seluruh aspek negara dan rakyat baik dalam hal pribadi maupun dalam hal publik. Kampanye ini diorganisasikan oleh sekretaris Achille Starace, seorang sekretaris fasis yang berasal dari Italia Selatan dan loyal kepada Mussolini. Agar gerakan anak muda ini tetap berjalan dengan baik, Starace memindahkan kendali Opera Nazionale Balilla (ONB) ke bawah PFN, serta menggabungkan ONB dan Fasci Anak Muda yang baru dibubarkan, ke dalam Gioventù Italiana del Littorio (GIL).

Pada 27 Mei 1933, keanggotaan partai dijadikan sebuah persyaratan umum untuk jabatan publik. Pada tanggal 9 Maret 1937, keanggotaan partai diperlukan untuk masuk ke dalam kantor pemerintah apa pun, dan sejak 3 Juni 1938, rakyat yang tidak masuk ke dalam PFN tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Pada tahun 1939, Ettore Muti menggantikan Starace di jabatan teratas partai. Fakta ini menunjukkan meningkatnya pengaruh Galeazzo Ciano, menteri luar negeri dan menantu Mussolini.

Pada 10 Juni 1940, dari balkon Palazzo Venezia, Mussolini menyampaikan bahwa Italia secara resmi masuk Perang Dunia II di sisi Jerman Nazi pimpinan Adolf Hitler.

Kejatuhan Mussolini

Pada 25 Juli 1943, sesuai dengan permintaan dari Dino Grandi dan berdasar pada kegagalan perang, Dewan Agung Fasisme menurunkan Mussolini dengan cara meminta Raja untuk melanjutkan kekuasaan penuhnya dan melepaskan jabatan perdana menteri Mussolini. Kedua hal ini ia lakukan. Mussolini dipenjara dan sisa kaum fasis segera runtuh dengan sendirinya, dan partai fasis akhirnya dilarang oleh pemerintahan Pietro Badoglio pada 27 Juli.

Setelah serangan Gran Sasso yang dikomandoi Jerman Nazi berhasil menyelamatkan Mussolini dari penjara di bulan September, PFN dihidupkan kembali sebagai Partai Fasis Republikan (Partito Fascista Repubblicano - PFR). Partai ini dideklarasikan sebagai satu-satunya partai di Republik Sosial Italia yang berada di Italia Utara dan dikendalikan oleh Nazi. Sekretarisnya adalah Alessandro Pavolini. PFR tidak berhasil bertahan lebih lama dari eksekusi Mussolini di bulan April 1945.

Ideologi

Fasisme Italia berakar pada nasionalisme Italia dan sindikalisme revolusioner Georges Sorel, yang di Italia berkembang menjadi sindikalisme nasional. Kebanyakan pemimpin sindikalis revolusioner Italia tidak hanya "membantu mendirikan gerakan fasis", tetapi juga memegang posisi kunci dalam pemerintahan Mussolini.[16] Partai ini ingin mengembalikan dan memperluas wilayah Italia; mereka menganggap hal ini penting untuk memastikan superioritas dan kekuatan, serta menghindari keruntuhan Italia.[4] Kaum fasis Italia mengklaim bahwa Italia modern adalah pewaris kejayaan Kerajaan Romawi dan warisannya. Mereka mendukung pembangunan Imperium Italia untuk menyediakan spazio vitale ("ruang hidup") untuk dikolonisasi orang Italia. Mereka juga mendukung penaklukan Laut Mediterania.[5]

Kaum fasis mendukung sistem ekonomi korporatis. Di dalam sistem ini, asosiasi pengusaha dan serikat buruh tergabung bersama dalam sebuah asosiasi untuk mewakili para produsen dalam ekonomi, serta bekerja sama dengan negara untuk menciptakan kebijakan ekonomi.[6] Sistem ini digunakan demi menghindari konflik kelas, dengan cara kerja sama antarkelas.[7]

Fasisme Italia menolak liberalisme dan juga menolak restorasi reaksioner dunia sebelum Revolusi Prancis (restorasi ini dianggap tidak baik karena cara pandang masa depan fasisme).[17] Fasisme Italia juga menolak sosialisme Marxis karena dianggap berlawanan dengan nasionalisme,[18] sambil pada waktu yang sama menolak konservatisme reaksioner yang dikembangkan oleh Joseph de Maistre. Partai ini percaya bahwa keberhasilan nasionalisme Italia akan bergantung pada penghormatan terhadap tradisi dan masa lalu kolektif orang Italia, di samping komitmen untuk memodernisasi Italia.

Nasionalisme

Fasisme Itaila berakar pada nasionalisme Italia dan berdasar pada keinginan untuk menyelesaikan proyek Risorgimento yang dianggap belum selesai, dengan cara memasukkan Italia Irredenta ("Italia yang belum suci") ke dalam negara Italia.[19] Partai Fasis Nasional, yang didirikan tahun 1921, menyatakan bahwa partai tersebut bertujuan untuk menjadi "milisi revolusioner yang melayani negara. Kebijakan-kebijakannya akan diarahkan oleh tiga prinsip: keteraturan, disiplin, dan hierarki."[19]

Italia modern dianggap sebagai pewaris Kerajaan Romawi dan Italia Renaissance, sambil mempromosikan identitas budaya Romanitas ("ke-Romawi-an"). Dalam sejarahnya, fasisme Italia mencoba untuk menciptakan Imperium Italia yang kuat sebagai "Romawi Ketiga". "Romawi Pertama" adalah kerajaan Romawi Kuno, dan "Romawi Kedua" adalah Italia di zaman Renaissance. Fasisme Italia meniru gaya Romawi Kuno, dan Mussolini meniru pemimpin Romawi kuno, misalnya Julius Caesar, sebagai model pengambilan kekuasaan kaum fasis; serta Augustus sebagai tauladan pembangunan imperium. Fasisme Italia juga mendukung imperialisme, sebagaimana dikatakan dalam Doktrin Fasisme (1932) yang ditulis secara rahasia oleh Giovanni Gentile, di bawah perintah Mussolini:

Negara Fasis adalah sebuah keinginan akan kekuasaan dan imperium. Dalam mencapai tujuan ini, tradisi Romawi adalah kekuatan yang besar. Menurut Doktrin Fasisme, sebuah imperium bukanlah semata konsep teritorial, atau militer, atau dagang, melainkan sebuah konsep spiritual dan moral. Pikirkanlah sebuah imperium sebagai sebuah negara yang secara langsung maupun tidak langsung memimpin negara lain, tanpa perlu menaklukkan satu kilometer persegi pun wilayah negara itu.

—Benito Mussolini, Giovanni Gentile, Doctrine of Fascism (1932)

Poster perang Italia

Fasisme menekankan pentingnya restorasi tradisi Risorgimento dari Giuseppe Mazzini, sebuah usaha penyatuan kembali Italia. Tradisi ini, menurut kaum fasis, telah diabaikan dalam kondisi belum selesai di bawah pemerintahan Giovanni Giolitti.[20] Fasisme menghendaki penyatuan kembali wilayah-wilayah "belum tersucikan" yang diklaim oleh Italia.

Di sebelah timur Italia, kaum fasis mengklaim bahwa Dalmatia adalah tanah berbudaya Italia yang orang etnis Italia-nya, termasuk orang dari turunan Slav Selatan yang telah diitalinisasi, diusir dari tanah itu dan dipaksa kembali ke Italia. Mereka mendukung pengembalian orang Italia dengan asal-usul Dalmatia ke daerah itu.[21] Mussolini mengklaim bahwa Dalmatia memiliki akar budaya Italia yang kuat selama berabad-abad, melalui Kerajaan Romawi dan Republik Venesia.[22] Kaum fasis memfokuskan klaim mereka berdasarkan pada peninggalan budaya Venesia di Dalmatia dan mengatakan bahwa pemerintahan Venesia bersifat baik bagi orang Dalmatia dan didukung oleh semua warga Dalmatia.[22] Mereka marah ketika terjadi pembatalan perjanjian yang mengembalikan Dalmatia kepada Italia, yaitu Perjanjian London.[22] Rezim fasis mendukung aneksasi daerah Yugoslavia, yaitu Slovenia, ke dalam Italia yang telah memiliki sejumlah warga Slovenia. Dengan demikian, Slovenia akan menjadi provinsi Italia,[23] dan seperempat wilayah etnis Slovenia dan sekitar 327.000 warga Slovenia dari total 1,3 juta[24] warga akan mengalami Italianisasi.[25][26] Rezim fasis mendukung aneksasi Albania, menganggap Albania adalah warga etnis Italia berdasarkan pada koneksi mereka dengan suku-suku prasejarah Italiote, Iliria, dan Romawi; dan mereka juga mengatakan bahwa pengaruh besar Kerajaan Romawi dan Venesia atas Albania menunjukkan hak Italia untuk memiliki wilayah Albania.[27] Rezim fasis juga menjustifikasi aneksasi Albania berdasarkan pada anggapan bahwa penyatuan Albania ke dalam Italia akan menguntungkan Albania dengan memberikan mereka satu negara (pada saat itu, ada beberapa ratus ribu warga etnis Albania yang masuk di masyarakat Italia Selatan).[28] Rezim fasis mengedepankan konsep irredentisme Albania kepada warga Albania yang tinggal di Kosovo dan Epirus, terutama di Kameria.[29] Setelah aneksasi Albania pada tahun 1939, rezim fasis kemudian mencoba mengasimilasi orang Albania dengan orang Italia, lalu memindahkan orang-orang Italia dari Peninsula Italia ke Albania, untuk mengubahnya menjadi tanah Italia.[30] Rezim fasis mengklaim Kepulauan Ionia sebagai wilayah Italia, berdasarkan fakta bahwa kepulauan tersebut pernah dimiliki Republik Venesia dari pertengahan abad ke-14, hingga abad ke-18.[31]

Di sisi barat Italia, kaum fasis mengklaim bahwa wilayah Korsika, Nicea dan Savoy yang berada di bawah kekuasaan Prancis adalah tanah Italia.[32][33] Pada masa unifikasi Italia pada tahun 1860 hingga 1861, perdana menteri Piedmont-Sardinia, Camillo Benso, yang memimpin usaha untuk unifikasi, dihadang oleh Kaisar Prancis Napoleon III yang menyatakan bahwa Prancis akan melawan usaha unifikasi Italia, kecuali apabila Prancis diberikan wilayah Nicea dan Savoy yang berada di Piedmont-Sardinia. Hal ini dinyatakan karena Prancis tidak ingin ada sebuah negara kuat yang memegang seluruh jalur lewat di Pegunungan Alpen.[34] Dengan demikian, Piedmont-Sardinia ditekan untuk memberikan Nicea dan Savoy kepada Prancis, dan Prancis menerima unifikasi Italia sebagai gantinya.[35] Rezim fasis menciptakan tulisan tentang Korsika, yang menyampaikan bukti bahwa pulau itu berbudaya Italia. Rezim fasis juga menyertakan tulisan tentang Nicea yang menyatakan bahwa Nicea adalah tanah Italia, berdasarkan pada bukti-bukti sejarah, etnis, dan linguistik.[36] Kaum fasis juga mengutip seorang ilmuwan Italia Abad Pertengahan, Petrarca, yang menyatakan bahwa "Batas Italia adalah Var, dengan demikian Nicea adalah bagian dari Italia."[36] Selain itu, ada juga kutipan mereka terhadap seorang pahlawan nasional italia, Giuseppe Garibaldi, yang mengatakan bahwa "Korsika dan Nicea tidak boleh jatuh ke tangan Prancis. Suatu hari, Italia yang menyadari nilai sebenarnya akan mengambil kembali provinsi-provinsinya yang sekarang sedang menderita di bawah dominasi asing.[36] Mussolini pada awalnya menginginkan aneksasi Korsika dengan jalur politik dan diplomatik karena ia percaya bahwa Korsika dapat dimasukkan ke Italia dengan cara menggelorakan tendensi otonomi di Korsika, kemerdekaan Korsika dari Prancis, lalu aneksasi Korsika ke dalam Italia.[37]

Para penduduk Fiume menyoraki kedatangan Gabriele D'Annunzio dan kelompok nasionalisnya yang mengenakan baju hitam

Di sebelah utara Italia, rezim fasis pada tahun 1930-an membidik daerah Ticino, yang memiliki jumlah warga etnis Italia yang besar, serta daerah Graubünden di Swiss, yang memiliki jumlah warga etnis Romansch (kaum Romansch ini memiliki bahasa yang berbasis Latin).[38] Pada bulan November 1938, Mussolini mendeklarasikan kepada Majelis Besar Fasis: "Kita akan memajukan perbatasan hingga Ngarai Gotthard."[39] Rezim fasis menuduh bahwa pemerintah Swiss memperlakukan warga etnis Romansch di Graubünden dengan buruk.[38] Mussolini mengatakan bahwa Bahasa Romansch adalah sebuah dialek Italia, dan dengan demikian Graubünden harus dimasukkan ke dalam Italia.[40] Ticino diklaim karena daerah ini masuk ke dalam Duchy of Milan sejak pertengahan abad ke-14 hingga tahun 1515.[41] Klaim ini juga didasarkan pada anggapan bahwa daerah yang kini menjadi bagian Graubünden, di Lembah Mesolcina dan distrik Hinterrhein, dipegang oleh keluarga Trivulzio dari Milan, yang memimpin dari Kastil Mesocco pada akhir abad ke-15.[42] Selain itu, pada musim panas tahun 1940, Galeazzo Ciano bertemu dengan Adolf Hitler dan Joachim von Ribbentrop dan menghimbau kepada mereka bahwa Swiss harus dibagi dua di pertengahan Pegunungan Alpen. Dengan demikian, Italia akan mendapatkan juga kanton Valais di atas semua yang sudah dibahas sebelumnya.[43]

Di arah selatan, rezim fasis mengklaim kepulauan Malta, yang berada di bawah kepemimpinan Britania sejak tahun 1800.[44] Mussolini mengklaim bahwa bahasa Malta adalah dialek bahasa Italia, sambil menyiarkan teori bahwa Malta adalah asal-usul peradaban Latin.[44][45] Bahasa Italia digunakan secara luas di Malta dalam bidang sastra, sains, dan hukum; digunakan pula sebagai salah satu bahasa resmi di Malta hingga tahun 1937 saat kepulauan ini terpaksa melepaskan status tersebut atas perintah Britania, sebagai respons atas invasi Italia ke Etiopia.[46] Kaum irredentis Italia mengklaim bahwa wilayah-wilayah di sepanjang pantai Afrika Utara adalah Pantai Keempat dan menggunakan rezim Romawi Kuno di Afrika Utara sebagai preseden untuk memasukkan daerah-daerah tersebut ke dalam wilayah Italia. Hal ini mereka klaim sebagai "kembalinya" Italia ke Afrika Utara.[47] Pada bulan Januari 1939, Italia menganeksasi beberapa wilayah Libya yang dianggap masuk ke dalam Pantai Keempat Italia. Empat provinsi pantai Libya, yaitu Tripoli, Misurata, Benghazi dan Derna dianggap sebagai bagian Italia metropolitan yang integral.[48] Pada waktu yang sama, orang asli Libya diberikan kesempatan untuk mendaftar "Kewarganegaraan Spesial Italia". Untuk mendapatkan kewarganegaraan ini, seseorang harus faseh dalam bahasa Italia dan tipe kewarganegaraan ini hanya sah di dalam Libya.[48] Tunisia, yang diambil oleh Prancis sebagai protektorat tahun 1881, memiliki jumlah warga Italia terbesar di Afrika Utara. Penaklukannya oleh Prancis dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap kebanggaan nasional di Italia. Mereka menganggap bahwa mereka "kehilangan" Tunisia dari rencana mereka.[49] Ketika Italia masuk dalam Perang Dunia II, mereka menyatakan niat untuk menaklukkan Tunisia dan departemen Konstantina (Algeria) dari Prancis.[50]

Di selatan Italia, rezim fasis merencanakan ekspansi koloni Italia di Afrika. Pada tahun 1920-an, Italia memandang Portugal sebagai sebuah negara lemah yang tidak cocok memiliki koloni karena pegangannya yang lemah pada koloni-koloninya, serta manajemen yang buruk. Berdasarkan pandangan ini, Italia hendak mengambil koloni-koloni Portugal.[51] Hubungan Italia dengan Portugal dipengaruhi oleh naiknya rezim nasionalis konservatif yang otoriter, dipimpin oleh António de Oliveira Salazar. Ia banyak meminjam metode-metode fasis. Namun demikian, Salazar tetap mempertahankan persekutuan tradisional Portugal dengan Britania.[51]

Totalitarianisme

Pada tahun 1925, PFN mendeklarasikan bahwa ideologi fasis Italia bersifat totalitarian.[19] Istilah "totalitarian" pada awalnya digunakan sebagai tuduhan peyoratif, oleh kaum oposisi liberal, bahwa gerakan fasis hendak mencoba membangun kediktatoran total.[19] Kaum fasis menjawab dengan mengatakan bahwa mereka memang totalitarian, tetapi menyampaikan totalitarianisme dalam cara yang positif.[19] Mussolini menggambarkan totalitarianisme sebagai sebuah ideologi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan Risorgimento, membangun Italia modern yang kuat, serta menciptakan masyarakat Italia baru: orang Italia fasis yang aktif secara politik.[19]

Doktrin Fasisme (1932) menggambarkan totalitarianisme fasisme Italia dalam paragraf berikut ini:

Fasisme hanya mendukung satu-satunya kebebasan, yang bisa menjadi hal yang amat penting: kebebasan negara dan kebebasan individu di dalam negara. Dengan demikian, bagi seorang fasis, semua hal berada di dalam negara; tidak ada hal yang manusiawi atau spiritual yang dapat hadir, atau memiliki nilai, di luar negara. Dalam makna ini, fasisme bersifat totalitarian. Negara fasis yang merupakan sintesa dan kesatuan dari berbagai nilai menginterpretasi, mengembangkan, dan menguatkan, keseluruhan hidup rakyat.

— Benito Mussolini, Giovanni Gentile, Doktrin Fasisme (1932)

Seorang jurnalis Amerika Serikat, H.R. Knickerbocker, menulis hal berikut ini pada tahun 1941: "Negara fasis Mussolini adalah yang paling tidak teroristik di antara ketiga negara totalitarian lainnya. Teror yang mereka lakukan amat lunak ketimbang teror Soviet atau Nazi dan hampir tidak pantas dikatakan teroristik." Ia memberikan contoh seorang teman jurnalis Italia yang menolak menjadi fasis. Ia dipecat dari koran tempatnya bekerja dan kehidupannya diawasi selama 24 jam, akan tetapi dalam hal lain ia tidak diganggu. Kontrak pekerjanya tetap dibayar dalam sekali jalan dan ia diperbolehkan bekerja untuk sebuah badan pers asing. Knickerbocker kemudian memperlawankan perlakuan ini dengan penyiksaan dan eksekusi yang akan terjadi jika jurnalis itu ada di rezim Stalin atau Hitler, sambil mengatakan "ini adalah sebuah gambaran betapa lunak totalitarianisme Italia dibandingkan yang lain."[52]

Di sisi lain, sejarawan Perang Dunia II mencatat bahwa di koloni-koloni Italia, rezim fasis menunjukkan kekerasan dalam tingkat yang ekstrem. Misalnya, pada masa fasis, pemerintahan kolonial Italia di Libya membunuh sepersepuluh warga koloni dengan cara diberikan gas racun, mendirikan kamp konsentrasi, serta menciptakan kelaparan dan membawa penyakit. Di Etiopia, setelah Perang Italia-Etiopia Kedua pada tahun 1938, seperempat juta warga Etiopia dikabarkan tewas.[53]

Ekonomi korporatis

Fasisme Italia menggunakan sistem ekonomi korporatis. Di dalam sistem ini, asosiasi pengusaha dan serikat buruh digabungkan bersama di dalam asosiasi korporatis untuk mewakili produsen ekonomi negara secara kolektif, serta untuk bekerja sama dengan pemerintah untuk menciptakan kebijakan ekonomi.[54] Mussolini menyatakan bahwa sistem ini adalah "Alternatif Ketiga" kapitalisme dan Marxisme, yang dianggap "doktrin kuna" oleh fasisme Italia. Demonstrasi buruh, serta pemenjaraan karyawan, dianggap sama-sama ilegal karena rezim fasis menganggap hal-hal tersebut menimbulkan kesan tidak baik bagi masyarakat nasional.[55]

Peran berdasarkan umur dan gender

Himne politik rezim fasis Italia bernama Giovinezza ("Pemuda").[56] Fasisme menganggap umur muda adalah waktu yang penting untuk pembenahan moral masyarakat, yang akan berdampak pada masyarakat luas.[57]

Fasisme Italia mencoba mencari apa yang dinamakan sebagai "kebersihan moral" anak muda, terutama yang berhubungan dengan seksualitas.[58] Fasisme Italia mendukung apa yang dianggap sebagai tindak seksual normal pada anak muda, dan melawan tindak seksual yang dianggap abnormal.[58] Hal-hal yang termasuk abnormal, antara lain, adalah homoseksualitas, pornografi, dan prostitusi.[58] Negara fasis juga mengkriminalkan penjualan dan penyebaran kontrasepsi, sambil menciptakan undang-undang yang memajaki orang-orang yang tidak memiliki pasangan.[59] Fasisme Italia menganggap ketertarikan seksual pria sebelum pubertas adalah alasan kriminalitas di anak muda pria.[58] Rezim fasis juga merefleksikan kepercayaan kebanyakan orang Italia bahwa homoseksualitas itu salah, bahkan sampai menciptakan hukum yang melarang homoseksualitas.[59] Namun demikian, rezim ini tidak mengambil opini tradisional Katolik tentang dosa, melainkan mencoba menggunakan metode psikoanalisis (yang waktu itu masih baru), untuk mengatakan bahwa hal-hal tersebut adalah penyakit masyarakat.[58]

Rezim fasis di Italia juga melakukan kampanye besar-besaran untuk mengurangi prostitusi perempuan muda.[58]

Mussolini menganggap bahwa tugas utama perempuan adalah untuk mengandung anak. Di sisi lain, tugas utama pria adalah untuk menjadi pejuang. Mottonya adalah: "Perang bagi pria sama halnya dengan keibuan bagi perempuan."[60] Dalam usahanya untuk meningkatkan tingkat kehamilan, pemerintah fasis Italia juga memberikan insentif finansial kepada wanita yang memiliki keluarga besar, dan menciptakan pula kebijakan untuk mengurangi perempuan yang bekerja.[61] Fasisme Italia menyatakan bahwa perempuan akan dihormati sebagai "kaum pereproduksi negara". Pemerintah itu juga melakukan upacara-upacara ritualistik untuk menghormati posisi perempuan di dalam negara Italia.[62] Pada tahun 1934, Mussolini menyatakan bahwa perempuan yang bekerja adalah "aspek besar dari masalah besar kepengangguran", dan bahwa wanita yang bekerja "tidak cocok untuk memiliki anak". Mussolini bahkan menyatakan bahwa solusi kepengangguran bagi laki-laki adalah "mengeluarkan perempuan dari tenaga kerja."[63]

Tradisi

Fasisme Italia beranggapan bahwa kesuksesan nasionalisme Italia memerlukan pengetahuan rakyatnya akan sejarah bersama Italia, sekaligus komitmen akan menciptakan Italia yang modern. Dalam sebuah pidato terkenal pada tahun 1926, Mussolini menghimbau penciptaan karya seni fasis yang "tradisional tetapi tetap modern, yang melihat pada sejarah tetapi juga mengharap pada masa depan."

Pawai fasis di dekat Koliseum di Roma

Kaum fasis juga menggunakan berbagai simbol tradisional peradaban Romawi, misalnya fasces, yang menggambarkan kesatuan, otoritas, dan penggunaan kekuasaan.[64] Simbol tradisional bangsa Romawi Kuno lainnya yang digunakan oleh kaum fasis adalah Capitoline Wolf.[64] Fasces dan serigala itu menyimbolkan warisan bangsa Romawi yang dialami seluruh daerah yang menjadikan negara Italia.[64] Pada tahun 1926, simbol fasces dijadikan simbol negara resmi oleh pemerintah fasis.[65] Pada tahun yang sama, pemerintah fasis juga berupaya untuk mengubah desain bendera Italia dengan memasukkan fasces.[65] Namun demikian, upaya untuk memasukkan fasces ke dalam bendera Italia ini digagalkan oleh kaum oposisi monarkis.[65] Setelah itu, dalam upacara-upacara resmi, pemerintah fasis selalu mengibarkan dua bendera, bendera triwarna tradisional serta bendera hitam fasisme.[66] Akan tetapi, beberapa tahun kemudian setelah Mussolini dipaksa turun dari jabatannya oleh Raja pada tahun 1943 dan diselamatkan oleh tentara Jerman, Republik Sosial Italia yang didirikan oleh Mussolini dan kaum fasis memasukkan fasces ke dalam bendera perang negara. Bendera perang ini sendiri merupakan variasi dari triwarna yang digunakan.

Dalam perkembangan fasisme di Italia, terjadi beberapa kali perubahan sikap atas bentuk negara, antara monarki atau republik. Pada awalnya, fasisme Italia mendukung republikanisme dan melawan monarki Savoy.[67] Akan tetapi, Mussolini secara taktis membatalkan republikanisme pada tahun 1922 dan menyadari bahwa penerimaan monarki adalah kompromi penting yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah yang sudah ada, agar dapat melawan ordo konstitusi liberal yang mendukung monarki.[67] Raja Victor Emmanuel III menjadi pemimpin yang populer setelah menang besar dalam Perang Dunia I. Selain itu, tentara juga amat setia terhadap Raja. Kedua pertimbangan ini membuat kaum fasis berpikir kembali mengenai rencana mereka untuk mengkudeta monarki.[67] Selain itu, pengakuan fasisme terhadap monarki juga memberikan alasan yang nyata tentang keberlanjutan dan legitimasi sejarah fasisme.[67] Kaum fasis juga menyatakan bahwa Raja Victor Emmanuel III, sebagai Raja Italia bersatu pertama yang mencanangkan Risorgimento, dengan figur-figur lain seperti Gaius Marius, Julius Caesar, Giuseppe Mazzini, Camillo Benso, Giuseppe Garibaldi dkk., masih sejalan dengan tradisi kediktatoran Italia yang hendak dicontoh kaum fasis.[68] Akan tetapi, kompromi ini tidak menghasilkan hubungan yang baik antara raja dan Mussolini.[67] Meskipun Mussolini menerima monarki secara resmi, akan tetapi ia juga berhasil mengurangi kekuasaan Raja hingga hanya sebatas simbol.[69][sumber terbitan sendiri?] Raja pada awalnya memiliki otoritas hukum secara nominal pada tentara, melalui konstitusi Statuto Albertino, akan tetapi otoritas ini berakhir ketika Mussolini menciptakan posisi Komandan Pertama Imperium pada tahun 1938, sebuah jabatan dua orang yang mengendalikan militer, dipegang oleh Raja dan pimpinan pemerintah. Jabatan ini menghapuskan otoritas legal Raja yang sebelumnya hanya ada pada dirinya, dan memberikan pula hak tersebut kepada Mussolini.[70] Pada tahun 1930-an, Mussolini marah akan keberadaan monarki yang berlanjut. Ia iri pada koleganya Adolf Hitler yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sebuah republik. Mussolini secara pribadi menghina monarki dan menyatakan bahwa ia memiliki rencana untuk membubarkan monarki dan menciptakan republik dengan dirinya sendiri sebagai kepala negara, dengan alasan untuk memastikan kesuksesan Italia pada perang yang akan segera meletus di Eropa.[67]

Mussolini dengan Adolf Hitler

Setelah dipecat dari jabatannya, dan dipenjara oleh Raja pada tahun 1943, pemerintah nonfasis Italia berpindah posisi dari Blok Poros ke Blok Sekutu. Kaum fasis di Italia kembali mendukung republikanisme dan melawan monarki.[71] Pada 18 September 1943, Mussolini membuat pernyataan publik pertamanya kepada umum setelah diselamatkan oleh tentara Jerman. Ia memuji loyalitas Hitler sebagai sekutu, serta mengecam Raja Victor Emmanuel III dari Kerajaan Italia karena telah mengkhianati fasisme Italia.[71] Mussolini juga menyempatkan pendapatnya tentang pemecatan dirinya oleh monarki dan pembubaran rezim fasis. Ia mengatakan bahwa "bukanlah rezim yang telah mengkhianati monarki, melainkan monarki yang telah berkhianat pada rezim", serta "ketika monarki gagal melaksanakan tugasnya, maka sudah tidak ada alasan bagi keberadaannya... negara yang hendak kita dirikan adalah negara nasional dan sosial dalam makna tertingginya, yaitu sebuah negara fasis, dan kini kita kembali pada tujuan awal kita."[71] Di sisi lain, pada kesempatan ini kaum fasis tidak mengecam House of Savoy secara sepenuhnya dan memuji Victor Emmanuel II atas perlawanannya terhadap "pakta-pakta yang tidak terhormat", sambil mengecam Victor Emmanuel III yang dianggap mengkhianati Victor Emmanuel II karena telah mencanangkan sebuah pakta tidak terhormat dengan Blok Sekutu.[72]

Terdapat hubungan yang ambigu antara rezim fasis Italia dengan Gereja Katolik. Pada awalnya, rezim bersifat antikependetaan dan amat berlawanan dengan agama Katolik. Pada pertengahan hingga akhir tahun 1920-an, sikap antikependetaan tidak lagi menguntungkan gerakan fasis karena Mussolini yang berkuasa mencoba mencari persetujuan dengan Gereja. Pada masa itu, Gereja memegang pengaruh besar di masyarakat Italia karena sebagian besar rakyat Italia beragama Katolik.[73] Pada tahun 1929, pemerintah Italia menandatangani Perjanjian Lateran dengan Gereja Katolik. Perjanjian ini adalah sebuah konkordat antara Italia dan Gereja Katolik yang memperbolehkan pendirian sebuah enklav kecil bernama Vatikan sebagai sebuah negara berdaulat yang mewakili kepausan. Dengan demikian, berakhirlah bertahun-tahun alienasi yang dirasakan oleh Gereja dan pemerintah Italia setelah Italia menganeksasi Negara Gereja pada tahun 1870. Rezim fasis Italia menjustifikasi pencanangan hukum antisemitis pada tahun 1938 dengan mengklaim bahwa Italia sedang melakukan mandat keagamaan Katolik yang diamanatkan oleh Paus Innocent III di Konsili Lateran Keempat pada tahun 1215. Pada saat itu, Paus mengeluarkan regulasi ketat atas hidup orang Yahudi di tanah Kristen. Antara lain, status mereka dikurangi menjadi budak selamanya, mereka tidak diperbolehkan memegang jabatan umum yang memberikan mereka kuasa atas orang-orang Kristen. Mereka juga diwajibkan mengenakan pakaian yang berbeda untuk membedakan diri dengan orang Kristen.[74]

Peninggalan

Meskipun Partai Fasis Nasional kemudian dilarang dalam Konstitusi Italia pascaperang, tetap ada beberapa partai neofasis yang kemudian menjadi kelanjutan mereka. Dalam sejarah, partai neofasis terbesar di Italia adalah Gerakan Sosial Italia (Movimento Sociale Italiano), yang mendapatkan 8,7% suara di Pemilihan umum Italia 1972. Gerakan ini bubar pada tahun 1995 dan diganti dengan Aliansi Nasional, sebuah partai yang menjauhkan diri dari fasisme (pendirinya, mantan menteri luar negeri Gianfranco Fini, mengatakan bahwa fasisme adalah "sebuah kejahatan absolut").[75] Aliansi Nasional dan sejumlah partai neofasis bergabung pada tahun 2009 dan menciptakan Partai Rakyat Kebebasan yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang waktu itu menjabat, Silvio Berlusconi. Partai ini pada akhirnya bubar dengan kekalahan di Pemilihan umum Italia 2013. Kini, banyak mantan anggota Gerakan Sosial Italia dan Aliansi Nasional yang berpindah ke Partai Persaudaraan Italia yang dipimpin oleh Giorgia Meloni.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Benito Mussolini (2006), My Autobiography with The Political and Social Doctrine of Fascism, Mineloa: NY: Dover Publication Inc., p. 227.
  2. ^ a b Charles F. Delzell, edit., Mediterranean Fascism 1919-1945, New York, NY, Walker and Company, 1971, p. 26
  3. ^ Joel Krieger, ed. (2012), The Oxford Companion to Comparative Politics, Oxford University Press, p. 120
  4. ^ a b Aristotle A. Kallis, Fascist ideology: territory and expansionism in Italy and Germany, 1922–1945. London, England, UK; New York City, USA: Routledge, 2000. Pp. 41.
  5. ^ a b Aristotle A. Kallis. Fascist ideology: territory and expansionism in Italy and Germany, 1922–1945. London, England, UK; New York City, USA: Routledge, 2000. Pp. 50.
  6. ^ a b Andrew Vincent. Modern Political Ideologies. Edisi ketiga. Malden, Massaschussetts, USA; Oxford, England, UK; West Sussex, England, UK: Blackwell Publishers Ltd., 2010. Pp. 160.
  7. ^ a b John Whittam. Fascist Italy. Manchester, England, UK; New York City, USA: Manchester University Press, 1995. Pp. 160.
  8. ^ "Mussolini and Fascism in Italy". FSmitha.com. 8 January 2008. 
  9. ^ The Fascist Experience by Edward R. Tannenbaum, p. 22
  10. ^ a b Macdonald, Hamish (1999). Mussolini and Italian Fascism. Nelson Thornes. ISBN 0-7487-3386-8. 
  11. ^ Roger Eatwell, Fascism: A History (1995)p. 49
  12. ^ Carsten (1982), p.62
  13. ^ Chiapello (2012), p.123
  14. ^ Carsten (1982), p.64
  15. ^ Carsten (1982), p.76
  16. ^ Zeev Sternhell, Mario Sznajder, Maia Ashéri, The Birth of Fascist Ideology: From Cultural Rebellion to Political Revolution, Princeton University Press, 1994, p. 33
  17. ^ Eugen Weber. The Western Tradition: From the Renaissance to the present. Heath, 1972. Pp. 791.
  18. ^ Stanislao G. Pugliese. Fascism, anti-fascism, and the resistance in Italy: 1919 to the present. Oxford, England, UK: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2004. pp. 43–44.
  19. ^ a b c d e f Terence Ball, Richard Bellamy. The Cambridge History of Twentieth-Century Political Thought. Pp. 133
  20. ^ Roger Griffin. The Nature of Fascism. St. Martin's Press, 1991.
  21. ^ Jozo Tomasevich. War and Revolution in Yugoslavia 1941–1945: Occupation and Collaboration. Stanford, California, USA: Stanford University Press, 2001. P. 131.
  22. ^ a b c Larry Wolff. Venice And the Slavs: The Discovery of Dalmatia in the Age of Enlightenment. Stanford, California, USA: Stanford University Press, P. 355.
  23. ^ Allan R. Millett, Williamson Murray. Military Effectiveness, Volume 2. New edition. New York City, USA: Cambridge University Press, 2010. P. 184.
  24. ^ Lipušček, U. (2012) Sacro egoismo: Slovenci v krempljih tajnega londonskega pakta 1915, Cankarjeva založba, Ljubljana. ISBN 978-961-231-871-0
  25. ^ Cresciani, Gianfranco (2004) Clash of civilisations, Italian Historical Society Journal, Vol.12, No.2, p.4
  26. ^ Hehn, Paul N. (2005). A Low Dishonest Decade: The Great Powers, Eastern Europe, and the Economic Origins of World War II, 1930–1941. Continuum International Publishing Group. pp. 44–45. ISBN 0-8264-1761-2.
  27. ^ Rodogno., Davide (2006). Fascism's European empire: Italian occupation during the Second World War. Cambridge University Press. p. 106. ISBN 0-521-84515-7.
  28. ^ Owen Pearson. Albania in the twentieth century: a history, Volume 3. London, England, UK; New York City, USA: I.B. Taurus Publishers, 2004. Pp. 389.
  29. ^ Bernd Jürgen Fischer. 'Albania at war, 1939–1945. West Lafayette, Indiana, USA: Purdue University Press, 1999. P. 70-73.
  30. ^ Lemkin, Raphæl; Power, Samantha (2008). Axis Rule in Occupied Europe. The Lawbook Exchange, Ltd. pp. 99–107. ISBN 978-1-58477-901-8
  31. ^ Rodogno 2006, p. 84
  32. ^ Aristotle A. Kallis. Fascist Ideology: Expansionism in Italy and Germany 1922–1945. London, England; UK; New York City, USA: Routledge, 2000. P. 118.
  33. ^ Mussolini Unleashed, 1939–1941: Politics and Strategy in Fascist Italy's Last War. Cambridge, England, UK: Cambridge University Press, 1986, 1999. P. 38.
  34. ^ Adda Bruemmer Bozeman. Regional Conflicts Around Geneva: An Inquiry Into the Origin, Nature, and Implications of the Neutralized Zone of Savoy and of the Customs-free Zones of Gex and Upper Savoy. P. 196.
  35. ^ Adda Bruemmer Bozeman. Regional Conflicts Around Geneva: An Inquiry Into the Origin, Nature, and Implications of the Neutralized Zone of Savoy and of the Customs-free Zones of Gex and Upper Savoy. Stanford, California, USA: Stanford University Press, 1949. P. 196.
  36. ^ a b c Davide Rodogno. Fascism's European Empire: Italian Occupation during the Second World War. Cambridge, England, UK: Cambridge University Press, 2006. P. 88.
  37. ^ John Gooch. Mussolini and his Generals: The Armed Forces and Fascist Foreign Policy, 1922–1940. Cambridge, England, UK: Cambridge University Press, 2007. Pp. 452.
  38. ^ a b John F. L. Ross. Neutrality and International Sanctions: Sweden, Switzerland, and Collective Security. ABC-CLIO, 1989. P. 91.
  39. ^ Aurelio Garobbio. A colloquio con il duce. 1998. Mursia, p. xvi
  40. ^ Carl Skutsch. Encyclopedia of the world's minorities, Volume 3. London, England, UK: Routledge, 2005. P. 1027.
  41. ^ Ferdinando Crespi. Ticino irredento: la frontiera contesa: dalla battaglia culturale dell'Adula ai piani d'invasione, F. Angeli, 2004, p. 284 ISBN 8846453646
  42. ^ Crespi 2004, p. 250
  43. ^ McGregor Knox, Mussolini Unleashed, 1939–1941: Politics and Strategy in Fascist Italy's Last War (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 138.
  44. ^ a b Juliet Rix. Malta. Bradt Travel Guides. 2010. p. 16-17
  45. ^ Jeffrey Cole. Ethnic Groups of Europe: An Encyclopedia. ABC-CLIO. 2011. p. 254
  46. ^ Norman Berdichevsky. Nations, Language, and Citizenship. McFarland. 2004. pp. 70–71
  47. ^ Tony Pollard, Iain Banks. Scorched Earth: Studies in the Archæology of Conflict. p4.
  48. ^ a b Jon Wright. History of Libya. P. 165.
  49. ^ Susan Slyomovics. The Walled Arab City in Literature, Architecture and History: The Living Medina in the Maghrib. Routledge, 2003. p124.
  50. ^ Robert O. Paxton. Vichy France: Old Guard and New Order 1940-1944. Columbia University Press, 2001. p74.
  51. ^ a b Lucas F. Bruyning, Joseph Theodoor Leerssen. Italy - Europe. Rodopi, 1990. P. 113.
  52. ^ Knickerbocker, H.R. (1941). Is Tomorrow Hitler's? 200 Questions On the Battle of Mankind. Reynal & Hitchcock. hlm. 72–73. ISBN 9781417992775. 
  53. ^ Ruth Ben-Ghiat. Fascist Modernities: Italy, 1922-1945. p126.
  54. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama massaschussetts1
  55. ^ George Sylvester Counts. Bolshevism, fascism, and capitalism: an account of the three economic systems. 3rd edition. Yale University Press, 1970. Pp. 96.
  56. ^ Mark Antliff. Avant-Garde Fascism: The Mobilization of Myth, Art, and Culture in France, 1909–1939. Duke University Press, 2007. Pp. 171.
  57. ^ Maria Sop Quine. Population Politics in Twentieth Century Europe: Fascist Dictatorships and Liberal Democracies. Routledge, 1995. Pp. 47.
  58. ^ a b c d e f Maria Sop Quine. Population Politics in Twentieth Century Europe: Fascist Dictatorships and Liberal Democracies. Routledge, 1995. Pp. 46–47.
  59. ^ a b Maynes, Mary Jo., and Ann Beth. Waltner. "Powers of Life and Death: Families in the Era of State Population Management." The Family: A World History. Oxford: Oxford UP, 2012. 101. Print.
  60. ^ Bollas, Christopher, Being a Character: Psychoanalysis and Self-Experience (Routledge, 1993) ISBN 978-0-415-08815-2, p. 205.
  61. ^ McDonald, Harmish, Mussolini and Italian Fascism (Nelson Thornes, 1999) p. 27.
  62. ^ Mann, Michael. Fascists (Cambridge University Press, 2004) p. 101.
  63. ^ Durham, Martin, Women and Fascism (Routledge, 1998) p. 15.
  64. ^ a b c Claudia Lazzaro, Roger J. Crum. "Forging a Visible Fascist Nation: Strategies for Fusing the Past and Present" by Claudia Lazzaro, Donatello Among The Blackshirts: History And Modernity In The Visual Culture Of Fascist Italy. Ithaca, New York, USA: Cornell University Press, 2005. Pp. 16.
  65. ^ a b c Denis Mack Smith. Italy and its Monarchy. Yale University Press, 1989. Pp. 265.
  66. ^ Emilio Gentile. The sacralization of politics in fascist Italy. Harvard University Press, 1996. Pp. 119.
  67. ^ a b c d e f John Francis Pollard. The Fascist Experience in Italy. P. 72.
  68. ^ Christopher Duggan. Fascist Voices: An Intimate History of Mussolini's Italy. Oxford, England, UK: Oxford University Press, P. 76.
  69. ^ Beasley Sr., Jimmy Lee. I Was There When It Happened. Xlibris Corporation, 2010. Pp. 39.
  70. ^ Davide Rodogno. Fascism's European Empire: Italian Occupation during the Second World War. P. 113.
  71. ^ a b c Moseley, Ray (2004). Mussolini: The Last 600 Days of Il Duce. Taylor Trade. ISBN 1-58979-095-2. 
  72. ^ Luisa Quartermaine. Mussolini's Last Republic: Propaganda and Politics in the Italian Social Republic (R.S.I.) 1943-45. Intellect Books, Jan 1, 2000. P. 102.
  73. ^ John F. Pollard. The Vatican and Italian Fascism, 1929-32: A Study in Conflict. Cambridge University Press, 1985, 2005. p10.
  74. ^ Wiley Feinstein. The Civilization of the Holocaust in Italy: Poets, Artists, Saints, Anti-Semites. Rosemont Publish & Printing Corp., 2003. Pp. 56.
  75. ^ "Former fascists seek respectability". The Economist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-05-24. 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41