Italia Fasis adalah era pemerintahan Partai Fasis Nasional dari tahun 1922 hingga 1943, di bawah pimpinan Benito Mussolini. Kaum fasis memberlakukan pemerintahan totaliter dan menghancurkan oposisi politik dan intelektual, sambil mempromosikan modernisasi ekonomi dan nilai-nilai sosial tradisional, serta melaksanakan pemulihan hubungan dengan Gereja Katolik Roma. Menurut Payne (1996), "Pemerintahan Fasis melewati beberapa tahap yang relatif berbeda". Tahap pertama (1923-1925) adalah kelanjutan nominal sistem parlementer, meskipun dengan "kediktatoran eksekutif yang diselenggarakan secara legal". Kemudian datang tahap kedua, "pembangunan kediktatoran fasis yang sebenarnya, dari 1925 sampai tahun 1929". Tahap ketiga, dengan aktivisme yang lebih sedikit, berjalan dari tahun 1929 ke tahun 1934. Tahap keempat, 1935-1940, berisi kebijakan luar negeri yang agresif: perang melawan Etiopia, yang dijalankan dari Eritrea dan Somaliland; konfrontasi dengan Liga Bangsa-bangsa, yang berujung pada sanksi; pertumbuhan autarki ekonomi, serta penandatanganan Pakta Baja. Perang itu sendiri (1940-1943) adalah tahap kelima, berakhir dengan bencana dan kekalahan, sementara PemerintahSalo, sebuah negara boneka di bawah kendali Jerman Nazi, adalah tahap akhir (1943-1945).[1]
Italia adalah anggota penting kekuatan Poros pada Perang Dunia II, sampai pada akhirnya berganti pihak kepada Sekutu pada bulan September 1943 setelah mengusir Mussolini dan mematikan Partai Fasis di daerah selatan Roma yang dikendalikan oleh penjajah Sekutu. Negara fasis di Italia utara yang tersisa dan terus berperang melawan Sekutu adalah negara boneka dari Jerman, Republik Sosial Italia, masih dipimpin oleh Mussolini dan loyalis Fasis. Tak lama setelah perang, ketidakpuasan sipil menimbulkan referendum konstitusi 1946, yang mempertanyakan bentuk negara Italia, apakah tetap monarki atau menjadi republik. Italia memutuskan untuk meninggalkan monarki dan membentuk Republik Italia, negara Italia yang ada saat ini.
Budaya dan masyarakat
Setelah naik takhta, rezim Fasis membawa Italia pada jalur untuk menjadi negara satu partai dan mengintegrasikan Fasisme ke semua aspek kehidupan. Doktrin Fasisme (1935) mendefinisikan sebuah negara totaliter sebagai berikut:
Negara, menurut Fasisme, dapat meraih semuanya; tidak ada nilai manusia atau nilai spiritual yang dapat hadir, apalagi memiliki nilai, di luar Negara. Dengan demikian, Fasisme bersifat totaliter, dan Negara Fasis—sebuah sintesa dan sebuah unit yang inklusif terhadap semua nilai—memaknai, mengembangkan, dan memberikan potensial bagi seluruh kehidupan sebuah masyarakat.
— Doktrin Fasisme, 1935
Dengan konsep totalitarianisme, Mussolini dan rezim fasis menciptakan agenda untuk meningkatkan budaya dan masyarakat Italia yang berbasis di Romawi kuno, kediktatoran pribadi, serta beberapa aspek futuris intelektual dan seniman Italia.[3] Di bawah fasisme, definisi berkebangsaan Italia bertumpu pada fondasi militerisme dan konsep ideal "manusia baru" Fasis. Konsep ideal ini menyatakan bahwa rakyat Italia akan membebaskan diri dari individualisme dan otonomi, dan dapat memandang diri mereka sebagai sebuah komponen dari negara Italia; serta, siap untuk mengorbankan nyawa mereka untuk negara.[4] Dalam masyarakat totaliter yang demikian, hanya kaum fasis akan dianggap "orang Italia sungguhan". Keanggotaan dan dukungan dari Partai Fasis diperlukan bagi orang-orang untuk mendapatkan "Kewarganegaraan Penuh". Di lain pihak, orang-orang yang tidak bersumpah setia kepada fasisme dibuang dari kehidupan publik dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan.[5] Pemerintah Fasis juga mengajak orang-orang Italia yang tinggal di luar negeri untuk mendukung fasisme dan lebih beridentifikasi dengan Italia daripada dengan tempat tinggal mereka.[6] Meskipun demikian, upaya menciptakan budaya baru kaum fasis Italia ini tidak sesukses negara-negara satu partai lain seperti Jerman Nazi dan Uni Soviet.[7]
Propaganda Mussolini menggambarkan dirinya sebagai juruselamat bangsa dan rezim Fasis berusaha untuk membuat dia ada di mana-mana dalam masyarakat Italia. Ketertarikan orang terhadap fasisme di Italia lebih berdasar pada kultus individu dan kepopuleran Mussolini. Kemampuan berpidato dan kultus individu Mussolini yang bergairah ditampilkan pada unjuk rasa besar dan parade kaum Blackshirts di Roma, yang kemudian menjadi inspirasi bagi Adolf Hitler dan Partai Nazi di Jerman.
Rezim Fasis menyiarkan propaganda dalam warta berita, siaran radio dan beberapa film yang dibuat sengaja untuk mendukung Fasisme.[8] Pada tahun 1926, ada sebuah undang-undang yang disahkan yang mengharuskan penampilan warta berita propaganda sebelum penayangan semua film di bioskop.[9] Warta berita ini lebih efektif dalam mempengaruhi publik daripada film propaganda atau radio karena hanya sedikit orang Italia yang memiliki penerima radio pada saat itu. Propaganda fasis hadir secara luas dalam poster dan seni yang disponsori negara. Namun, seniman, penulis, dan penerbit tidak dikontrol secara ketat: mereka hanya disensor jika mereka terang-terangan bersikap melawan terhadap negara. Ada penekanan konstan pada maskulinitas "orang Italia baru", menekankan agresi, kejantanan, kemudaan, kecepatan dan olahraga.[10] Wanita dihimbau untuk menjadi ibu dan menjauh dari urusan publik.[11]
Gereja Katolik Roma
Hubungan dengan Gereja Katolik Roma meningkat secara signifikan selama Mussolini menjabat. Meskipun sebelumnya pernah beroposisi ke Gereja, setelah tahun 1922, Mussolini membuat aliansi dengan partai pro-gereja Partito Popolare Italiano, atau Partai Orang Italia. Pada tahun 1929, Mussolini dan Paus bersepakat untuk mengakhiri kebuntuan sejak tahun 1860 yang telah mengasingkan Gereja dari pemerintah Italia. Pemerintah Orlando memulai proses rekonsiliasi selama Perang Dunia I dan paus melanjutkan dengan memotong hubungan dengan Kristen Demokrat pada tahun 1922.[12] Mussolini dan para fasis terkemuka adalah ateis, tetapi mereka mengakui kesempatan untuk mendapatkan dukungan dari elemen Katolik Roma yang besar di Italia.[13]
Perjanjian Lateran adalah sebuah perjanjian yang mengakui paus sebagai kepala baru mikrobangsaVatikan di Roma. Dengan status ini, Vatikan menjadi independen dan menjadi penghubung diplomasi yang penting di dunia. Konkordat 1929 membuat Katolik Roma sebagai satu-satunya agama yang diakui negara (meskipun agama-agama lain ditoleransi). Para imam dan uskup dibayarkan gaji, pernikahan agama diakui (sebelumnya pasangan harus melewati sebuah upacara negara) dan pelajaran agama masuk ke sekolah-sekolah umum. Sebagai gantinya, para uskup bersumpah setia kepada negara Italia, yang memiliki hak veto atas jabatan mereka. Ada perjanjian ketiga untuk membayar Vatikan sebanyak 1,75 miliar lira (sekitar $100 juta) untuk properti Gereja sejak tahun 1860. Gereja memang tidak secara resmi diwajibkan untuk mendukung rezim fasis dan perbedaan yang kuat tetap ada, tetapi permusuhan yang panas berakhir. Secara umum, Gereja mendukung kebijakan luar negeri seperti dukungan rezim untuk sisi antikomunis dalam Perang Saudara Spanyol dan dukungan untuk penaklukan Etiopia. Gesekan kembali terjadi tentang jaringan pemuda Aksi Katolik, yang Mussolini ingin gabungkan ke dalam kelompok pemuda fasis.[14] Pada tahun 1931, Paus Pius XI mengeluarkan surat ensiklik Non abbiamo bisogno("Kami Tidak Butuh"), yang mengecam persekusi rezim atas Gereja di Italia dan mengutuk "penyembahan berhala yaitu negara".[15]
Pemungutan suara nasional diadakan pada bulan Maret tahun 1929 untuk mendukung perjanjian tersebut. Partai Aksi Katolik (Azione Cattolica), terintimadi atas rezim fasis, menginstruksikan orang Italia yang menganut agama Katolik Roma untuk memilih calon fasis untuk mewakili mereka dalam posisi di Gereja dan Mussolini menyatakan bahwa "tidak ada" suara yang datang dari "orang-orang antipendeta yang keliru dan menolak Pakta Lateran".[16] Hampir 9 juta orang Italia memilih (90 persen dari pemilih terdaftar), dan hanya 136,000 yang memberikan suara "tidak".[17] Pakta Lateran tetap berlaku hingga sekarang.
Antisemitisme
Sampai Mussolini beraliansi dengan Adolf Hitler, dia selalu membantah keberadaan antisemitisme dalam Partai Fasis. Di awal tahun 1920-an, Mussolini menulis sebuah artikel yang menyatakan bahwa fasisme tidak akan pernah mengangkat sebuah "Persoalan Yahudi" dan bahwa "Italia tidak mengenal antisemitisme dan kami percaya bahwa Italia tidak akan pernah mengenal itu". Pernyataan ini kemudian dijelaskan lebih lanjut: "mari kita berharap bahwa orang Yahudi Italia akan terus menjadi cukup rasional agar tidak menimbulkan antisemitisme di satu-satunya negara tempat hal itu tidak pernah ada".[18] Pada tahun 1932, dalam percakapan dengan Emil Ludwig, Mussolini menjelaskan antisemitisme sebagai "dosa Jerman" dan menyatakan: "Tidak ada "Persoalan Yahudi" di Italia, dan hal itu tidak bisa ada di sebuah negara dengan sistem pemerintahan yang sehat".[19] Pada beberapa kesempatan, Mussolini berbicara positif tentang orang-orang Yahudi dan gerakan Zionis.[20] Mussolini awalnya menolak rasisme Nazi, terutama ide ras unggul, sebagai "omong kosong yang bodoh, konyol, dan tidak masuk akal".[21]
Mengenai antisemitisme, sebenarnya para fasis terbelah pada apa yang harus mereka lakukan, terutama dengan munculnya Hitler di Jerman. Sejumlah anggota fasis adalah Yahudi dan Mussolini sendiri secara pribadi tidak percaya pada antisemitisme, tetapi untuk menenangkan Hitler, antisemitisme dalam Partai Fasis terus meningkat. Pada tahun 1936, Mussolini pertama kali mengecam orang-orang Yahudi secara tertulis, dengan mengklaim bahwa antisemitisme hanya muncul karena orang-orang Yahudi telah menjadi terlalu dominan dalam posisi kekuasaan negara dan juga menyatakan bahwa orang-orang Yahudi adalah suku "ganas" yang benar-benar berusaha untuk "mengusir secara total" orang Kristen dari kehidupan publik.[22] Pada tahun 1937, anggota fasis Paolo Orano mengkritik gerakan Zionis sebagai bagian dari kebijakan luar negeri Inggris yang dirancang untuk mengamankan teritori Inggris tanpa menghormati kehadiran Kristen dan Islam di Palestina. Tentang orang Italia Yahudi, Orano mengatakan bahwa mereka "harus menyibukkan diri tidak lebih dari agama mereka" dan tidak repot-repot membual menjadi patriot Italia.[23]
Sumber utama gesekan antara Jerman Nazi dan Italia Fasis adalah sikap Italia pada orang-orang Yahudi. Di awal kekuasaannya sebagai pemimpin Fasis, Mussolini memang memendam stereotip rasial terhadap orang-orang Yahudi, akan tetapi ia tidak bersikap tegas pada mereka dan sikap resminya berubah-ubah sesuai tuntutan politik dari berbagai faksi gerakan fasis. Ia tidak punya sikap yang konkret.[24] Dari 117 anggota asli Fasci Italiani di Combattimento yang didirikan pada tanggal 23 Maret 1919 ada lima orang Yahudi.[25] Sejak tahun-tahun awal gerakan, ada sejumlah kecil kaum fasis yang secara terbuka sangat antisemitik seperti Roberto Farinacci.[26] Ada juga tokoh Fasis yang benar-benar metolak antisemitisme, seperti Italo Balbo. Italo pernah tinggal di kota Ferrara yang memiliki komunitas besar Yahudi yang diterima secara baik dan mengalami beberapa insiden antisemitisme.[27] Mussolini awalnya tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan antisemitik dalam berbagai kebijakannya.[28] Namun, ia menyadari bahwa ada jumlah besar orang Yahudi dalam kaum Bolshevik. Berdasarkan hal ini, ia membuat klaim (yang kemudian terbukti benar) bahwa kaum Bolshevik dan Jerman (yang Italia perangi di Perang Dunia I) terhubung secara politik. Ia membuat pernyataan antisemitik, mengatakan bahwa hubungan Bolshevik dengan orang Jerman adalah "aliansi suci antara Hindenburg dan sinagoge". Mussolini kemudian memercayai rumor bahwa pemimpin kaum Bolshevik, Vladimir Lenin, adalah keturunan Yahudi. Ia juga menyerang bankir Yahudi Giuseppe Toeplitz dari Banca Commerciale Italiana dengan mengklaim bahwa ia adalah seorang agen Jerman dan pengkhianat Italia.[29] Dalam sebuah artikel di Il Popolo d'Italia pada bulan Juni 1919, Mussolini menulis sebuah analisis yang amat antisemitik tentang situasi di Eropa yang melibatkan Bolshevisme setelah Revolusi Oktober, Perang Sipil Rusia, dan Perang Hungaria yang melibatkan Republik Soviet Hungaria. Pada bulan Juni 1919, Mussolini menulis di Il Popolo d'Italia:
If Petrograd (Pietrograd) does not yet fall, if [General] Denikin is not moving forward, then this is what the great Jewish bankers of London and New York have decreed. These bankers are bound by ties of blood to those Jews who in Moscow as in Budapest are taking their revenge on the Aryan race that has condemned them to dispersion for so many centuries. In Russia, 80 percent of the managers of the Soviets are Jews, in Budapest 17 out of 22 people's commissars are Jews. Might it not be that bolshevism is the vendetta of Judaism against Christianity?? It is certainly worth pondering. It is entirely possible that bolshevism will drown in the blood of a pogrom of catastrophic proportions. World finance is in the hands of the Jews. Whoever owns the strongboxes of the peoples is in control of their political systems. Behind the puppets (making peace) in Paris, there are the Rothschilds, the Warburgs, the Schiffs, the Guggenheims who are of the same blood who are conquering Petrograd and Budapest. Race does not betray race ... Bolshevism is a defense of the international plutocracy. This is the basic truth of the matter. The international plutocracy dominated and controlled by Jews has a supreme interest in all of Russian life accelerating its process of disintegration to the point of paroxysm. A Russia that is paralyzed, disorganized, starved, will be a place where tomorrow the bourgeoisie, yes the bourgeoisie, o proletarians will celebrate its spectacular feast of plenty.[29]
Lebih awal lagi, ada Fasis Yahudi Italia terkemuka seperti Aldo Finzi yang lahir dari perkawinan campuran Yahudi dan Kristen Italia dan dibaptis sebagai seorang Katolik Roma.[30] Fasis Yahudi Italia terkemuka lain adalah Ettore Ovazza, seorang nasionalis vokal di Italia dan lawan gerakan Zionisme di Italia.[31] 230 orang Yahudi Italia ikut bagian dalam Pawai ke Roma pada tahun 1922. Pada tahun 1932, Mussolini menyatakan sikap pribadinya tentang orang-orang Yahudi kepada duta besar Austria ketika membahas masalah antisemitisme Hitler dengan mengatakan bahwa: "Saya tidak memiliki cinta untuk orang Yahudi, tapi mereka memiliki pengaruh besar di mana-mana. Lebih baik mereka tidak diganggu. Antisemitisme Hitler telah membawakannya lebih banyak musuh daripada yang ia butuhkan".
Pada Konferensi Fasis Montreaux tahun 1934 yang diketuai oleh Italia melalui Comitati d'Azione per l'Universalita di Roma (CAUR) yang bertujuan untuk mendirikan Fasis Internasional, masalah antisemitisme diperdebatkan di antara berbagai pihak fasis. Ada yang setuju, dan ada pula yang tidak. Ada dua kompromi yang akhirnya menjadikan sikap resmi dari Fasis Internasional:
Persoalan Yahudi tidak bisa dijadikan kampanye kebencian universal terhadap orang Yahudi. Di banyak tempat, banyak kelompok-kelompok Yahudi yang ditempatkan di negara-negara yang ditaklukkan, mereka melakukan pengaruh-pengaruh mistis secara terbuka untuk mengacaukan kepentingan material dan moral negara tempat mereka tinggal, menciptakan semacam negara di dalam negara, mendapat keuntungan dari segala keuntungan, menolak segala kewajiban, mereka telah dan ingin menciptakan elemen-elemen yang dapat meletuskan revolusi internasional yang dapat menghancurkan patriotisme dan peradaban Kristen. Konferensi ini mengutuk aksi-aksi jahat elemen-elemen tersebut dan siap melawannya.
Fasisme italia mengadopsi antisemitisme di akhir tahun 1930an dan Mussolini secara pribadi kembali melontarkan berbagai pernyataan antisemitik seperti yang ia lakukan sebelumnya.[33] Rezim Fasis menggunakan propaganda antisemitik untuk Perang Saudara Spanyol dari tahun 1937 sampai 1938, yang menekankan bahwa Italia adalah pendukung kekuatan Nasionalis Spanyol terhadap "Yahudi Internasional". Pengadopsian resmi doktrin antisemitis rasial rezim Fasis pada tahun 1938 mendapat tentangan dari anggota Fasis termasuk Balbo, yang menganggap antisemitisme tidak ada hubungannya dengan Fasisme dan kukuh menentang hukum antisemitis.
Pada tahun 1938, di bawah tekanan dari Jerman, Mussolini membuat rezim mengadopsi kebijakan antisemitisme, yang sangat tidak populer di Italia dan di Partai Fasis sendiri. Sebagai akibatnya, rezim Fasis kehilangan direktur propagandanya, Margherita Sarfatti, yang merupakan seorang Yahudi dan salah satu pasangan Mussolini. Sebagian kecil kaum Fasis kelas atas seperti Roberto Farinacci merasa senang dengan kebijakan antisemitis, yang mengklaim bahwa orang Yahudi telah mengambil alih posisi kunci finansial, bisnis, dan pendidikan secara curang. Roberto juga mengklaim bahwa orang Yahudi bersimpati dengan Etiopia dan bahwa orang Yahudi bersimpati dengan Republik Spanyol selama Perang Saudara Spanyol.[34] Pada tahun 1938, Farinacci diangkat menjadi menteri kebudayaan dan ia mengadopsi undang-undang rasial yang mempersulit pernikahan antarras, dan undang-undang ini atisemitis. Hingga gencatan senjata dengan Sekutu pada tahun 1943, masyarakat Yahudi di Italia terlindung dari deportasi ke kamp-kamp pembunuhan Jerman. Dengan gencatan senjata tersebut, Hitler mengambil kendali atas teritori yang dikuasai Jerman di Italia Utara dan mulai melikuidasi masyarakat Yahudi. Tidak lama setelah Italia berpartisipasi dalam perang, banyak kamp yang didirikan untuk memenjarakan musuh asing dan orang Italia yang dianggap berlawanan dengan rezim. Tidak seperti kamp-kamp Nasional Sosialis, kamp-kamp Italia memperbolehkan para keluarga tinggal bersama dan ada program-program sosial dan budaya.[35]
Antisemitisme tidak populer di Italia, termasuk di dalam Partai Fasis. Ada sebuah kasus ketika seorang ilmuwan fasis memprotes Mussolini tentang perlakuannya kepada teman-temannya yang Yahudi. Mussolini konon mengatakan: "Saya setuju dengan Anda sepenuhnya. Saya tak percaya sedikit pun teori antisemit yang bodoh ini. Saya melaksanakan kebijakan saya sepenuhnya untuk alasan politik".[36]
Pendidikan
Pemerintah fasis mendukung kebijakan ketat atas pendidikan di Italia yang bertujuan untuk menghilangkan buta huruf, yang merupakan masalah serius di Italia pada saat itu, sambil meningkatkan kesetiaan rakyat Italia ke negara.[37] Untuk mengurangi tingkat putus sekolah, pemerintah mengubah usia minimum meninggalkan sekolah dari dua belas tahun jadi empat belas tahun dan memberlakukan absensi dengan ketat.[38] Menteri pendidikan pertama pemerintahan Fasis dari tahun 1922 hingga 1924, Giovanni Gentile, menganjurkan bahwa kebijakan pendidikan harus fokus pada indoktrinasi siswa agar menjadi fasis dan mendidik pemuda untuk hormat dan patuh kepada otoritas. Pada tahun 1929, kebijakan pendidikan sudah benar-benar dipengaruhi oleh agenda indoktrinasi. Pada tahun itu, pemerintah fasis mengambil alih otorisasi semua buku, semua guru sekolah menengah diwajibkan mengambil sumpah kesetiaan kepada Fasisme, dan anak-anak mulai diajarkan bahwa mereka berutang kesetiaan kepada Fasisme seperti kepada Tuhan. Pada tahun 1933, semua guru universitas diwajibkan untuk menjadi anggota Partai Fasis Nasional. Dari tahun 1930-an sampai 1940-an, Italia memfokuskan pendidikan sejarah Italia, menampilkan Italia sebagai kekuatan peradaban selama era Romawi, menampilkan kembali kelahiran nasionalisme Italia dan perjuangan kemerdekaan dan persatuan Italia selama Risorgimento. Di akhir tahun 1930-an, pemerintah fasis menyalin sistem pendidikan olahraga Jerman Nazi dan membuat agenda bahwa Italia harus menjadi sehat secara fisik.
Bakat intelektual di Italia dihargai dan dipromosikan oleh pemerintah fasis melalui Akademi Kerajaan Italia yang dibuat pada tahun 1926 untuk mempromosikan dan mengkoordinasikan kegiatan intelektual di Italia.[39]
Kesejahteraan sosial
Salah satu kebijakan sosial Italia Fasis yang paling sukses adalah pendirian Opera Nazionale Dopolovoro (OND) atau "Program Pascakerja Nasional" pada tahun 1925. OND adalah organisasi rekreasi nasional untuk orang dewasa yang terbesar di Italia Fasis.[40]Dopolavoro begitu terkenal, sampai-sampai pada tahun 1930, semua kota kecil di Italia memiliki sebuah klub Dopolavoro. Dopolavoro juga bertanggung jawab membangun dan merawat 11.000 lapangan olahraga, lebih dari 6.400 perpustakaan, 800 rumah film, 1.200 teater, dan lebih dari 2.000 orkestra. Keanggotaan bersifat sukarela dan tidak politis. Pada tahun 1930-an, di bawah direksi Achille Starace, OND menjadi organisasi yang hampir seluruhnya bersifat rekreasional dengan fokus pada olahraga dan permainan luar ruang lainnya. Pada tahun 1936, diperkirakan bahwa OND telah mengorganisasikan 80% pekerja bergaji.[41] Hampir 40% tenaga kerja industri masuk ke Dopolavoro pada tahun 1939, dan kegiatan olahraga yang diadakan Dopolavoro ternyata sangat disenangi para pekerja. Jumlah anggota OND lebih besar daripada jumlah anggota organisasi-organisasi massa fasis lainnya di Italia.[42] Kesuksesan besar Dopolavoro di Italia Fasis akhirnya membuat para Jerman Nazi mendirikan versi mereka juga, Kraft durch Freude (KdF) atau program "Kekuatan lewat Kesenangan", yang ternyata lebih sukses daripada Dopolavoro.[43]
Organisasi lain yang sangat populer adalah Opera Nazionale Balilla (ONB), yang sangat disukai anak-anak muda karena memberikan akses masuk ke klub, ruang dansa, fasilitas olahraga, radio, konser, teater, sirkus, dan jalan-jalan naik gunung dengan biaya rendah atau gratis. ONB juga mensponsori turnamen dan festival olahraga.[44]
Negara polisi
Untuk keamanan rezim, Mussolini percaya pada otoritas total negara dan menciptakan Milizia Volontaria per la Sicurezza Nazionale ("Milisi Sukarela Keamanan Nasional") pada tahun 1923, yang dikenal sebagai "Blackshirts" ("Kaum Berbaju Hitam") karena baju mereka yang berwarna hitam. Kebanyakan anggota Blackshirts adalah anggota Fasci di Combattimento. Polisi rahasia yang diberi nama Organizzazione di Vigilanza Repressione dell'Antifascismo ("Organisasi Kewaspadaan dan Represi Antifasisme"), disingkat OVRA, juga didirikan pada tahun 1927. Organisasi ini dipimpin oleh Arturo Bocchini dan bertujuan untuk melawan musuh rezim dan Mussolini (ada beberapa percobaan pembunuhan Mussolini yang hampir sukses pada awal kariernya). Organisasi ini efektif, tetapi tidak membunuh orang sebanyak Schutzstaffel (SS) di Jerman Nazi atau NKVD di Uni Soviet. Namun demikian, metode represi fasis bisa dikatakan kejam. Salah satu metodenya adalah memaksa minum minyak kastor, yang menyebabkan diare dan dehidrasi parah untuk si korban, dan kadang-kadang berujung pada kematian.[45][46][47][48]
Untuk melawan organisasi kriminal di Italia, terutama Cosa Nostra di Sisilia dan 'Ndrangheta di Calabria, pemerintah fasis pada tahun 1925 memberikan kekuatan spesial kepada Cesare Mori, pimpinan prefektur Palermo.[49] Dengan kekuatan spesial ini, Mori diperbolehkan membawa Mafia ke hadapan hukum dan hal ini menyebabkan banyak Mafiosi kabur ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat.[50][51] Namun, Mori kemudian dipecat ketika ia mulai menginvestigasi hubungan-hubungan Mafia dengan rezim fasis. Ia kemudian dilepaskan dari jabatannya pada tahun 1929 ketika rezim fasis menyatakan bahwa ancaman Mafia sudah diselesaikan. Tindakan-tindakan Mori melemahkan Mafia, tetapi tidak berhasil menghancurkannya. Di antara tahun 1929 ke 1943, rezim fasis sepenuhnya membatalkan tindakan-tindakan agresif mereka yang sebelumnya, dan Mafiosi tidak diganggu sama sekali.[52]
Perempuan
Kaum fasis amat memperhatikan peran perempuan, dari perempuan masyarakat elit hingga pekerja pabrik[53] dan perempuan tidak bekerja.[54] Para pemimpin fasis ingin "menyelamatkan" perempuan dari merasakan emansipasi, meskipun mereka juga di sisi lain menciptakan kebijakan "perempuan Italia baru" (nuova italiana).[55] Kebijakan-kebijakan yang ditegakkan menunjukkan adanya konflik yang mendalam antara modernitas dan otoritas patriarki tradisional. Model-model tindak laku Katolik, fasis, dan komersial, semuanya bersaing satu sama lain untuk membentuk persepsi perempuan tentang peran mereka di masyarakat. Kaum fasis menyenangi politik "macho", membesar-besarkan "machismo"-nya sambil memasangkan pajak pada laki-laki tanpa anak untuk membayar subsidi kesejahteraan anak. Invasi Italia di Albania pada tahun 1935, dan sanksi-sanksi yang datang dari Liga Bangsa-bangsa setelahnya, memengaruhi peran perempuan di dalam Partai Fasis. Kontribusi perempuan kepada Imperium Italia menjadi tema besar di dalam propaganda fasis. Perempuan yang ada di dalam Partai dimobilisasi untuk mendukung imperialisme, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Hal ini memberikan mereka peran baru dalam membangun negeri. Kelompok-kelompok perempuan fasis memperluas peran mereka dan menciptakan tugas baru, misalnya melatih perempuan untuk mengurangi sampah rumah. Perempuan Italia muda kemudian dipersiapkan lewat pelatihan-pelatihan khusus untuk menjadi istri-istri kolonial.[56]
Pemerintah mencoba mencapai swasembada pangan total, yang mereka istilahkan "kedaulatan pangan". Kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan di tingkat ini amat kontroversial kepada orang-orang yang peduli tentang makanan mereka. Sasaran mereka adalah mengurangi impor makanan, mendukung agrikultur Italia, dan menciptakan diet hemat berbasis roti, polenta, pasta, sayuran segar dan anggur. Kelompok perempuan fasis mengajarkan perempuan cara "memasak secara autarkis", yaitu dengan bahan-bahan yang sudah tidak diimpor. Harga makanan naik pada tahun 1930an. Bahan susu dan daging tidak disarankan, namun sementara itu banyak pula orang-orang Italia yang beralih ke pasar gelap. Kebijakan-kebijakan itu menunjukkan bahwa kaum fasis memandang makanan dan perilaku manusia secara garis besar sebagai sumber daya strategis yang dapat dimanipulasi, tanpa harus memperhatikan selera dan tradisi.[57]
Ekonomi
Mussolini dan Partai Fasis sebuah sistem ekonomi baru yang dikenal sebagai korporatisme. Sistem ini adalah semacam kelanjutan dari sosialisme, dan di bawah sistem ini sumber daya produksi secara nominal diberikan kepada sektor sipil, namun dikendalikan oleh Negara. Pada tahun 1935, Doctrine of Fascism dipublikasikan dengan nama Mussolini, meskipun penulisnya hampir pasti adalah Giovanni Gentile. Buku ini menjelaskan peran negara di dalam ekonomi di bawah sistem korporatisme. Pada saat ini, kaum fasis lebih tertarik pada dominasi kekuatan pasar ketimbang intervensi negara. Berikut ini adalah cuplikan dari Doctrine of Fascism:
The corporate State considers that private enterprise in the sphere of production is the most effective and useful instrument in the interest of the nation. In view of the fact that private organisation of production is a function of national concern, the organiser of the enterprise is responsible to the State for the direction given to production. State intervention in economic production arises only when private initiative is lacking or insufficient, or when the political interests of the State are involved. This intervention may take the form of control, assistance or direct management.[58]
Para fasis mengklaim bahwa sistem ini akan menjadi sistem yang egalitarian sekaligus tradisional. Kebijakan korporatisme ini cepat gagal karena elemen kiri dari manifesto fasis dilawan oleh kaum industrialis dan pemilik tanah yang mendukung Partai Fasis karena janjinya untuk melindungi Italia dari sosialisme. Sebagai hasilnya, kebijakan korporatis malah didominasi industri. Pada awalnya, legislasi ekonomi lebih menguntungkan bagi kelas-kelas industrial kaya dan kelas agraris, karena memperbolehkan privatisasi, liberalisasi hukum sewa, potongan pajak, dan reformasi administrasi. Akan tetapi, kebijakan ekonomi berubah total setelah Krisis Matteotti, ketika Mussolini mulai mencoba menjadikan negara yang lebih totaliter. Pada tahun 1926, hukum Sindikalis (dikenal juga sebagai hukum Rocco) diimplementasikan. Hukum ini mengorganisasikan ekonomi menjadi 12 serikat buruh dan pengusaha.[59] Serikat-serikat ini secara besar dikenali. Serikat-serikat fasis ini memang tidak dapat melindungi seluruh pekerja dari berbagai konsekuensi ekonomi, tetapi mereka bertanggung jawab untuk masalah penyerahan tunjangan keamanan sosial, pembayaran pensiun, dan kadang-kadang menegosiasikan kontrak yang menguntungkan bagi pekerja.[60]
Setelah Depresi Besar menghantam ekonomi dunia pada tahun 1929, rezim fasis kemudian mengikuti negara-negara lain dengan cara memberlakukan kebijakan tarif proteksionis dan mencoba mengarahkan ekonomi. Pada tahun 1930an, pemerintah meningkatkan produksi gandum, menciptakan swasembada gandum di Italia, dan mengakhiri impor gandum dari Kanada dan Amerika Serikat.[61] Namun, perpindahan penggunaan tanah agrikultur ke produksi gandum mengurangi produksi sayur dan buah. Meskipun meningkatkan produksi gandum, kondisi ekonomi tidak banyak berubah untuk orang-orang biasa karena 0,5% populasi Italia (yang biasanya orang kaya) memiliki 42% tanah pertanian di Italia[62] dan pendapatan untuk orang-orang ini tidak naik, sementara pajak terus naik. Depresi menyebabkan naiknya angka pengangguran dari 300.000 ke 1 juta pada tahun 1933.[63] Efek lain adalah jatuhnya pendapatan real sebanyak 10% serta jatuhnya ekspor. Kondisi di Italia masih jauh lebih baik ketimbang negara-negara barat lainnya saat Depresi terjadi, sebagai hasil dari jasa kesejahteraan sosialnya yang mengurangi dampak Depresi. Pertumbuhan industri dari tahun 1913 ke 1938 melebihi pertumbuhan industri Jerman di masa yang sama. Hanya Inggris dan negara-negara Skandinavia yang memiliki pertumbuhan industri yang lebih tinggi di periode itu.
Ekspansi kolonial Italia ke Etiopia pada 1936 ternyata berdampak negatif pada ekonomi Italia. Anggaran koloni Afrika Timur Italia pada tahun fiskal 1936-1937 menghabiskan biaya 19,136 miliar lire untuk membangun infrastruktur.[64] Pada waktu yang sama, pendapatan Italia tahun itu hanya 18,581 miliar lire.[65]
Teknologi dan modernisasi
Pada tahun 1933, Italia membuat banyak sekali pencapaian dalam bidang teknologi. Pemerintahan fasis menghabiskan banyak sekali uang untuk proyek-proyek teknologis seperti pembangunan kapal samudera SS Rex yang melakukan rekor perjalanan transatlantik 4 hari pada tahun 1933.[66] Selain itu, Italia juga mendanai pesawat air Macchi M.C.72 yang menjadi pesawat air tercepat pada tahun 1933 dan 1934. Pada tahun 1933, anggota pemerintahan fasis, Italo Balbo, yang juga seorang penerbang, melakukan penerbangan transatlantik dalam sebuah pesawat air ke Chicago, untuk merayakan World's Fair yang waktu itu bertema Abad Kemajuan. Penerbangan ini menjadi simbol kekuatan pemerintahan fasis dan kemajuan industri dan teknologis yang telah dibuat negara di bawah pemerintahan fasis.
Kebijakan luar negeri
Stephen Lee menyatakan bahwa ada tiga tema besar dalam kebijakan luar negeri Mussolini. Yang pertama adalah melanjutkan sasaran-sasaran kebijakan luar negeri yang telah ditetapkan pemerintahan liberal yang sebelumnya. Italia liberal bersekutu dengan Jerman dan Austria, dan juga memiliki ambisi-ambisi besar di daerah Balkan dan Afrika Utara. Italia liberal juga kalah besar di Etiopia pada tahun 1896, meskipun pada waktu itu Italia sangat ingin menaklukkan negara itu. Tema besar kedua adalah hilangnya ilusi-ilusi besar setelah kekalahan di Perang Dunia I. Wilayah-wilayah tambahan yang didapat dari Austria terbukti tidak cukup untuk mengompensasi biaya besar perang. Negara lain, terutama Polandia dan Yugoslavia, mendapatkan lebih banyak keuntungan dan Italia merasa dicurangi. Tema besar ketiga adalah janji Mussolini untuk mengembalikan kejayaan dan kebanggaan Bangsa Romawi Kuno.[67]
Mussolini berjanji mengembalikan status Italia sebagai kekuatan besar di Italia dengan cara mendirikan "Kekaisaran Romawi Baru". Mussolini juga menjanjikan bahwa Italia akan mendominasi Laut Mediterania. Dalam propaganda, rezim fasis Italia menggunakan istilah Romawi Kuno, "Mare Nostrum" (bahasa Latin untuk "Laut Kami"), untuk menyebut Laut Mediterania. Rezim fasis meningkatkan pendanaan dan perhatian untuk proyek-proyek militer, dan memulai rencana untuk mendirikan sebuah Imperium Italia di Afrika Utara dan Timur, sambil mengambil kembali dominasi di Laut Mediterania dan Laut Adriatik. Kaum fasis juga meluncurkan perang untuk menaklukkan Dalmazia, Albania, dan Yunani, untuk Imperium Italia.
Afrika
Usaha kolonial di Afrika dimulai pada tahun 1920 ketika perang sipil terjadi di Afrika Utara Italia (Africa Settentrionale Italiana, ASI) karena populasi Arab di tempat itu menolak pemerintah kolonial Italia. Mussolini mengirim Marshal Rodolfo Graziani untuk melakukan kampanye pasifikasi dengan hukuman melawan para nasionalis Arab. Omar Mukhtar memimpin pergerakan resistensi Arab. Setelah gencatan senjata pada 3 Januari 1928, rezim fasis di Libya menjadi semakin brutal. Sebuah pagar kawat berduri didirikan dari Laut Mediterania hingga oasis Jaghbub untuk memotong jalur pergerakan resistensi. Tidak lama kemudian, pemerintah kolonial memulai deportasi masyarakat Jebel Akhdar untuk mengurangi potensi dukungan kepada para pemberontak. Migrasi paksa lebih dari 100.000 orang berakhir di kamp konsentrasi di Suluq dan Al-'Aghela. Puluhan ribu orang meninggal di tempat itu dalam kondisi mengenaskan. Diperkirakan jumlah orang Libya yang meninggal, baik melalui perang atau kelaparan, mencapai 80.000, dan hampir setengah populasi Kirenaika. Al-Mukhtar tertangkap pada tahun 15 September 1931, dieksekusi di Benghazi, dan semangat pemberontakan pun perlahan turun. Perlawanan terbatas terhadap penjajahan Italia terjadi oleh Sheik Idris, Emir Kirenaika.
Terjadi negosiasi dengan pemerintah Inggris mengenai perbatasan koloni Libya yang semakin melebar. Negosiasi pertama dimulai pada tahun 1925 untuk menentukan perbatasan antara Libya dan Mesir di bawah pemerintahan Inggris. Dengan negosiasi ini, Italia mendapatkan wilayah yang sebelumnya tidak ditentukan.[68] Pada tahun 1934, pemerintah Italia kembali meminta lebih banyak teritori untuk Libya dari Sudan di bawah pemerintahan Inggris. Inggris menyetujui beberapa penambahan wilayah dari Sudan ke Libya.[69] Persetujuan-persetujuan ini mungkin terjadi karena adanya hubungan yang baik antara Italia dan Inggris sebelum tahun 1935.
Pada tahun 1935, Mussolini percaya bahwa sudah tepat waktunya untuk menguasai Etiopia (yang juga dikenal sebagai Abyssinia) sebagai koloni. Terjadilah Perang Italo-Abyssinia Kedua. Italia menginvasi Etiopia dari koloni-koloni Italia di Eritrea dan Somaliland. Selama perang ini, Italia melakukan kejahatan perang terhadap Etiopia, termasuk menjatuhkan gas racun dari pesawat kepada prajurit Etiopia yang sedang bertahan. Etiopia menyerah pada tahun 1936 dan Italia mendapatkan balas dendamnya dari penaklukan kolonial yang gagal pada tahun 1880an. Raja Victor Emmanuel III kemudian dinobatkan sebagai Kaisar Ethiopia. Sebagai konsekuensi atas kolonisasi ini, Italia menjadi terisolasi di Liga Bangsa-bangsa. Prancis dan Inggris kehilangan kepercayaan pada Mussolini. Satu-satunya negara yang mendukung agresi Italia adalah Jerman. Setelah dikecam oleh Liga Bangsa-bangsa, Majelis Besar Fasisme menyatakan bahwa Italia memutuskan untuk meninggalkan LBB pada 11 Desember 1937. Mussolini mencap LBB sebagai "kuil kecil".[70]
Hukum rasial
Sampai tahun 1938, Mussolini menolak antisemitisme macam apa pun di dalam Italia Fasis, dan menolak kebijakan rasial Jerman Nazi. Akan tetapi, pada pertengahan tahun 1938, pengaruh Hitler pada Mussolini membuatnya menciptakan sebuah agenda khusus mengenai ras; rezim fasis Italia kemudian bergerak dari kolonialisme yang sebelumnya dipromosikan atas dasar penyebaran budaya Italia ke agenda kolonial yang lebih berorientasi pada ras.
In 1938, Fascist Italy passed the Manifesto of Race which stripped Jews of their Italian citizenship and prohibited them from any professional position. The racial laws declared that Italians were of the Aryan race and forbid sexual relations and marriages between Italians and Jews and Africans.[71] The Fascist regime declared that it would promote mass Italian settlements in the colonies that would—in the Fascist government's terms—"create in the heart of the African continent a powerful and homogeneous nucleus of whites strong enough to draw those populations within our economic orbit and our Roman and Fascist civilization".[72] Fascist rule in its Italian colonies differed from region to region. Rule in Italian East Africa (Africa Orientale Italiana, or AOI), a colony including Ethiopia, Eritrea and Italian Somaliland, was harsh for the native peoples as Fascist policy sought to destroy native culture. In February 1937, Rodolfo Graziani ordered Italian soldiers to pillage native settlements in Addis Ababa, which resulted in hundreds of Ethiopians being killed and their homes being burned to the ground.[73] After the occupation of Ethiopia, the Fascist government endorsed racial segregation to reduce the number of mixed offspring in Italian colonies, which they claimed would "pollute" the Italian race.[74] Marital and sexual relationships between Italians and Africans in its colonies were made a criminal offense when the Fascist regime implemented decree-law No. 880 19 April 1937 which gave sentences of one to five years imprisonment to Italians caught in such relationships.[74] The law did not give any sentences to native Africans, as the Fascist government claimed that only those Italians were to blame for damaging the prestige of their race.[74] Despite racist language used in some propaganda, the Fascist regime accepted recruitment of native Africans who wanted to join Italy's colonial armed forces and native African colonial recruits were displayed in propaganda.[75][76]
Italia Fasis kemudian mengedepankan "Manifesto Para Ilmuwan Ras", yang menegaskan rasisme biologis. Manifesto yang sama juga mengklaim bahwa Italia adalah negara yang berisi orang-orang dengan ras Arya; bahwa orang-orang Yahudi tidak termasuk ke dalam ras Italia, dan bahwa ada sebuah keperluan untuk membedakan orang Eropa dan orang Yahudi, orang Afrika dan orang Eropa lain.[77] Manifesto ini juga menghimbau orang Italia agar mendeklarasikan diri sendiri sebagai rasis, baik secara publik maupun secara politik.[78] Italia Fasis sering memublikasikan karikatur orang Yahudi dan Afrika.[79]
Di Libya Italia, Mussolini menurunkan kebijakan-kebijakan rasis ini karena ia mencoba untuk mendapatkan kepercayaan orang Arab di sana. Orang Libya mendapatkan hak atas kebebasan individual, kedaulatan rumah tangga dan properti, hak ikut ke dalam administrasi sipil atau militer, dan hak untuk bekerja secara bebas, sejak Desember 1934. Dalam sebuah kunjungan terkenal ke Libya pada tahun 1937, terjadi sebuah acara propaganda pada 18 Maret, ketika Mussolini berpose dengan delegasi Arab yang memberikannya "Pedang Islam" (yang sebenarnya dibuat di Florence) untuk menyimbolkan Mussolini sebagai pelindung orang Arab Muslim di Libya.[80] Pada tahun 1939, keluarlah hukum yang memperbolehkan orang Muslim untuk bergabung dengan Partai Fasis Nasional. Selain itu, Asosiasi Liktor Muslim (Associazione Musulmana del Littorio) di Libya Islam serta reformasi 1939 memperbolehkan penciptaan unit militer Libya di dalam tentara nasional Italia.[81]
Balkan
Rezim fasis juga melakukan kebijakan luar negeri intervensionis melawan Eropa. Pada tahun 1923, prajurit Italia menaklukkan pulau Yunani bernama Corfu sebagai bagian dari proyek besar fasis untuk menaklukkan Yunani. Corfu kemudian dikembalikan kepada Yunani dan perang antara Yunani dengan Italia tidak terjadi. Pada tahun 1925, Italia memaksa Albania menjadi protektorat secara de facto, yang mempermudah Italia melawan kedaulatan Yunani. Pulau Corfu penting bagi imperialisme dan nasionalisme Italia, karena sebelumnya pulau itu berada di dalam Republik Venesia, yang meninggalkan banyak monumen dan pengaruh budaya Italia (meskipun orang Yunani, terutama anak muda, amat menolak penjajahan Italia. Hubungan Italia dengan Prancis sedikit rumit, karena rezim fasis sebenarnya memiliki niatan untuk pada akhirnya berperang dengan Prancis untuk mendapatkan kembali teritori Prancis yang berpopulasi orang Italia,[82] akan tetapi dengan naiknya Hitler, kaum fasis semakin lebih mementingkan kemerdekaan Austria dan ancaman Jerman ke Italia. Karena takut dengan ekspansionisme Jerman, Italia bergabung ke dalam Front Stresa, bersama dengan Prancis dan Inggris, melawan Jerman. Front ini ada dari tahun 1935 hingga 1936. Hubungan rezim fasis dengan Yugoslavia selalu negatif karena mereka menginginkan keruntuhan Yugoslavia untuk mengambil wilayahnya dan menguatkan Italia. Italia melakukan spionase di Yugoslavia; Yugoslavia sering menemukan lingkaran mata-mata di Kedutaan Besar Italia di Yugoslavia, misalnya pada tahun 1930. Pada tahun 1929, pemerintah fasis menerima seorang nasionalis ekstrem Kroasia, Ante Pavelić, sebagai eksil politik dari Yugoslavia ke Italia. Kaum fasis memberikan bantuan finansial serta daerah latihan di Italia untuk mengembangkan militia dan kelompok teroris baru Pavelić, bernama Ustaše. Organisasi ini kemudian menjadi pemerintahan Negara Merdeka Kroasia, membunuh ribuan orang Serbia, Yahudi dan Roma selama Perang Dunia II.[83]
Setelah Jerman menganeksasi Cekoslowakia, Mussolini memindahkan perhatiannya ke Albania. Pada 7 April 1939, Italy meluncurkan invasi ke Albania, dan setelah sedikit perjuangan militer, Albania berhasil dijajah dan parlemennya mengangkat Victor Emmanuel III sebagai Raja Albania. Justifikasi sejarah untuk penjajahan Albania ada pada sejarah Kekaisaran Romawi, yaitu ketika daerah Albania menjadi salah satu daerah taklukan awal orang Romawi, bahkan sebelum mereka berhasil menaklukkan Italia Utara. Namun, ketika penjajahan ini dilakukan, orang Italia hampir tidak memiliki koneksi apa pun dengan Bangsa Albania. Kenyataannya, aneksasi Albania bukanlah sebuah penaklukan militer karena negara itu secara de facto menjadi protektorat Italia sejak tahun 1920an, dan banyak tentaranya yang dipimpin orang Italia. Penjajahan ini tidak diterima dengan baik oleh Raja Emmanuel III karena ia khawatir bahwa penjajahan itu mengisolasi Italia lebih jauh daripada invasi Etiopia.[84]
Spanyol
Pada tahun 1936, di Spanyol, rezim fasis Italia melakukan intervensi militer pra-PD II yang paling signifikan. Republik Spanyol pada waktu itu terpecah akibat Perang Sipil Spanyol, antara Republikan sosialis yang antipendeta, dan kaum nasionalis yang mendukung Gereja, dipimpin oleh Francisco Franco di bawah gerakan fasis Falange. Italia mengirimkan pesawat udara, senjata, dan 60.000 tentara untuk membantu kaum nasionalis Spanyol. Perang ini membantu sebagai latihan tentara Italia dan meningkatkan hubungan dengan Gereja Katolik Roma. Intervensi militer ini berujung sukses, berhasil mengamankan akses masuk dan keluar Italia antara Laut Mediterania dan Samudra Atlantik, serta Italia jadi mampu menjalankan kebijakan Mare Nostrum tanpa diganggu Spanyol. Pihak besar lainnya dalam Perang Saudara Spanyol adalah Jerman. Ini adalah kali pertama Italia bersekutu dengan Jerman sejak Perang Prancis-Prusia pada tahun 1870. Pada tahun 1930an, Italia membangun banyak kapal perang besar dan kapal perang lain untuk menahan kuasa Italia atas Laut Tengah.
Jerman
Ketika Partai Nazi mengambil kekuasaan di Jerman pada tahun 1933, Mussolini dan rezim fasis sangat mendukung rezim Hitler. Mussolini sendiri sempat menyatakan: "Kemenangan Hitler adalah kemenangan kita".[85] Rezim fasis juga sempat menyatakan rencananya untuk membuat persekutuan dengan Jerman.[86] Secara pribadi, Mussolini dan kaum fasis Italia sebenarnya kecewa dengan pemerintahan Nazi dan Mussolini, meskipun memiliki ideologi yang mirip, sebenarnya tidak terlalu suka dengan Hitler. Kaum fasis Italia tidak memercayai ide-ide Pan-Jerman dari Hitler, yang mereka pandang sebagai ancaman terhadap wilayah-wilayah Italia yang sebelumnya masuk ke dalam Kerajaan Austria. Meskipun kaum Nasional Sosialis yang lain tidak menyukai Mussolini dan Italia Fasis, Hitler sebenarnya sudah lama memimpikan memiliki kemampuan berpidato dan persona visual Mussolini. Ia mengadopsi banyak sekali simbolisme fasis Italia ke dalam Partai Nasionalis Sosialis, seperti misalnya gaya Hormat Romawi, pidato dramatis, paramiliter berseragam yang disuruh melakukan kekerasan, dan penggunaan pawai-pawai masal untuk menunjukkan kekuatan gerakan. Pada tahun 1922, Hitler pernah meminta saran dari Mussolini tentang cara menyusun versi "Pawai ke Roma"-nya Jerman, yang kemudian ia coba lakukan sebagai Bierkeller Putsch pada tahun 1923. Mussolini tidak menanggapi permintaan Hitler ini karena ia tidak terlalu berminat untuk mengikuti pergerakan Hitler, juga ia menganggap Hitler sedikit gila.[87] Mussolini pernah membaca Mein Kampf untuk mencari tahu apa maksud dari gerakan Nasionalis Sosialis Hitler, tetapi ia kecewa dan mengatakan bahwa Mein Kampf adalah "buku membosankan yang tak pernah bisa saya baca sampai habis" dan pendapat-pendapat Hitler "hanyalah klise-klise biasa". Meskipun Mussolini, seperti Hitler, juga percaya tentang superioritas kultural dan moral orang putih dibanding orang kulit berwarna, ia tidak setuju dengan kepercayaan-kepercayaan antisemitik Hitler. Banyak orang fasis Italia yang Yahudi, terutama pasangan Mussolini, Margherita Sarfatti, yang juga merupakan direktur seni dan propaganda fasis; dan sedikit sekali orang Italia yang mendukung antisemitisme. Mussolini juga tidak menganggap ras sebagai indikator superioritas, tetapi sebagai indikator budaya.
Hitler dan orang-orang Nasional Sosialis mencoba untuk mengajak Mussolini ke sisi mereka, dan pada akhirnya Mussolini memberikan bantuan finansial kepada Partai Nazi dan membolehkan paramiliter Nasional Sosialis untuk berlatih di Italia. Ia kemudian memercayai bahwa meskipun kepercayaan mereka berbeda, sebuah pemerintahan nasionalis di Jerman akan berdampak baik bagi Italia. Karena orang-orang Jerman semakin curiga, pada tahun 1933 Mussolini mencoba memastikan bahwa Jerman tidak menjadi pemerintahan nasionalis yang dominan di Eropa. Untuk melakukan hal ini, Mussolini melawan segala upaya Jerman untuk menganeksasi Austria setelah pembunuhan Presiden Austria fasis, Engelbert Dollfuss, pada tahun 1934; ia juga menjanjikan dukungan militer kepada orang Austria apabila diganggu oleh Jerman. Dengan janji ini, Austria tidak dijajah pada tahun 1934.
Penampilan publik, serta propaganda, selalu menayangkan Mussolini dan Hitler sebagai rekan dekat, serta menampilkan juga kesamaan-kesamaan antara fasisme Italia dan Nasional-Sosialisme Jerman. Meskipun kedua ideologi tersebut memiliki kesamaan, tetapi keduanya saling mencurigai satu sama lain dan masing-masing pemimpin bersaing untuk mendapatkan pengaruh dunia. Hitler dan Mussolini pertama kali bertemu bulan Juni 1934 ketika permasalahan kemerdekaan Austria sedang besar. Setelah pertemuan 1934 ini, secara pribadi Mussolini mengatakan bahwa Hitler "hanyalah seekor monyet".
Setelah Italia terisolasi pada tahun 1936, pemerintah itu hanya dapat bekerja sama dengan Jerman untuk mendapatkan posisi tawar yang layak dalam urusan internasional, dan perlahan melepaskan dukungan mereka atas kemerdekaan Austria dari Jerman. Pada 28 Oktober 1937, Mussolini menyatakan dukungan Italia kepada Jerman untuk mendapatkan kembali koloni mereka yang hilang dalam Perang Dunia I dengan mengklaim, "Sebuah bangsa yang besar seperti Jerman harus mengambil kembali tempatnya di dunia, yang pernah ada di bawah matahari Afrika".[88]
Tanpa perlawanan yang jelas dari Italia, Hitler segera maju dengan Anschluß, aneksasi Austria pada tahun 1938. Jerman kemudian mengklaim Sudetenland, sebuah provinsi Cekoslowakia yang populasinya kebanyakan orang Jerman. Mussolini merasa bahwa tidak banyak yang ia dapat lakukan kecuali membantu Jerman agar menghindari isolasi. Dengan aneksasi Austria oleh Jerman pada tahun 1938, rezim fasis kini mulai berpikir tentang populasi etnis Jerman mayoritas di Tirol Selatan dan apakah mereka mendukung Jerman Raya. Kaum fasis juga khawatir tentang apakah Italia harus mengikuti kebijakan-kebijakan antisemitis Nasional Sosialis ini agar mendapatkan dukungan dari kaum Nazi yang tidak yakin mengenai persekutuan dengan Italia. Pada tahun 1938, Mussolini menekan sesama anggota fasis untuk mendukung kebijakan antisemitis, tetapi hal ini tidak mendapatkan banyak dukungan karena banyak orang fasis yang Yahudi dan antisemitisme bukanlah konsep politik yang aktif di Italia. Mussolini tetap memaksakan legislasi antisemitis, meskipun menantunya sendiri, seorang fasis kelas atas, Count Galeazzo Ciano, tidak setuju dengan hukum itu. Di sisi lain, setelah mencanangkan hukum antisemitis yang sangat tidak populer itu, Mussolini dan pemerintahan fasis meminta konsesi dari Hitler dan Nasional Sosialis. Pada tahun 1939, rezim fasis Italia memberi ultimatum kepada Hitler: pemerintahnya harus menerima rencana pemerintah Italia bahwa populasi Jerman di Tirol Selatan harus meninggalkan Italia atau menerima Italianisasi. Hitler setuju, dan dengan demikian ancaman Jerman kepada Italia melalui orang Tirol Selatan berhasil dinetralisasi.
Persekutuan dengan Jerman
Perang mendekat pada tahun 1939 dan rezim fasis mempercepat kampanye pers melawan Prancis, dengan mengklaim bahwa orang Italia sedang menderita di Prancis.[89] Hal ini penting demi persekutuan karena kedua rezim tersebut masing-masing memiliki klaim teritori di Prancis, yaitu Jerman di wilayah Alsace-Lorraine yang berpopulasi Jerman, dan Italia di daerah yang berpopulasi orang Italia, Korsika, Nizza, dan Savoia. Pada bulan Mei 1939, sebuah persekutuan formal akhirnya dicanangkan. Aliansi ini kemudian dikenal sebagai Pakta Baja, sebuah persekutuan defensif antara Italia dan Jerman, yang mewajibkan Italia bertempur bersama orang Jerman apabila Jerman diserang. Mussolini merasa bahwa ia perlu menandatangani persekutuan ini, meskipun ia tidak yakin bahwa Italia mampu menangani perang di masa depan. Rasa perlu ini berakar dari janjinya kepada orang Italia bahwa ia akan membangunkan sebuah Imperium untuk mereka, dan dari keinginan pribadinya untuk tidak membolehkan Hitler menjadi pemimpin dominan di Eropa.[90] Mussolini tidak menyukai Pakta Molotov-Ribbentrop antara Jerman dan Uni Soviet, yang membagi Republik Kedua Polandia menjadi zona-zona Jerman dan Soviet untuk kemudian diinvasi. Pemerintahan fasis Italia menganggap pakta ini adalah pengkhianatan terhadap Pakta Anti-Komintern, tetapi memutuskan untuk tetap diam.[91]
Historiografi
Kebanyakan kontroversi historiografi bermula dari interpretasi-interpretasi yang amat berbeda tentang fasisme dan rezim Mussolini.[92] Penulis kiri pada tahun 1920an, yang mengikuti pemikiran teoris komunis Antonio Gramsci (1891-1937), menekankan bahwa fasisme adalah sebentuk kapitalisme. Rezim fasis Italia mengendalikan penulisan dan pengajaran sejarah melalui Giunta Centrale per gli Studi Storici, sebuah organisasi sentral, sambil mengendalikan akses arsip dan mensponsori sejarawan dan ilmuwan yang mendukung ide-idenya, seperti filsuf Giovanni Gentile atau sejarawan Gioacchino Volpe dan Francesco Salata.[93] Pada Oktober 1932, rezim fasis Italia mensponsori sebuah Pameran Revolusi Fasis yang besar, memajang seni modernis dan menyatakan semangat baru terhadap kejayaan Romawi.[94] Setelah perang, kebanyakan historiografi menempatkan Mussolini secara buruk dengan menekankan pada tema fasisme dan totalitarianisme.[95] Sebuah pengecualian adalah sejarawan konservatif, Renzo De Felice (1929-1996), yang membuat biografi sebanyak empat volume dalam 6.000 halaman (1965-1997) dan sampai sekarang masih digunakan sebagai penelitian dokumen publik dan pribadi dan dipakai sebagai sumber dasar untuk para ilmuwan. De Felice berargumen bahwa Mussolini adalah seorang pemodernisasi revolusioner dalam urusan dalam negeri, tetapi bersikap pragmatis dalam urusan luar negeri Italia, dengan bergantung pada kebijakan Realpolitik Italia liberal (1861-1922).[96] Pada tahun 1990an, terjadi sebuah belokan budaya dengan studi-studi yang meneliti isu penerimaan populer fasisme, menggunakan perspektif "pengindahan politik" dan "pengudusan politik".[97] Pada abad ke-21, konsensus pascaperang "antifasis" diserang oleh sekelompok peneliti revisionis yang menggambarkan peran Mussolini secara lebih baik, baik tentang urusan luar negeri maupun luar negeri. Kontroversi terus terjadi karena tidak ada konsensus ilmuwan mengenai berbagai interpretasi yang muncul dalam model-model sejarah revisionis, antifasis, intensionalis, atau kulturalis yang saling bersaing.[98]
^Gigliola Gori, "Model of masculinity: Mussolini, the 'new Italian' of the Fascist era." International journal of the history of sport (1999) 16#4 pp: 27–61.
^Lesley Caldwell, "Madri d'ltalia: Film and Fascist Concern with Motherhood." in Zygmunt G. Bara'nski and George N. Yannopoulos, eds. Women and Italy: Essays on Gender, Culture and History (1991) pp: 43–63.
^John F. Pollard, The Vatican and Italian Fascism, 1929–32. Cambridge University Press. (1985). p. 53.
^Kenneth Scott Latourette, Christianity In a Revolutionary Age A History of Christianity in the 19th and 20th Century: Vol 4 The 20th Century In Europe (1961) pp 32–35, 153, 156, 371.
^Claudio G. Segrè. Italo Balbo: A Fascist Life. Berkeley and Los Angeles, California, USA: University of California Press, 1999. P. 346.
^Albert S. Lindemann. Esau's Tears: Modern Anti-Semitism and the Rise of the Jews. Cambridge University Press, 1997. P. 466.
^ abWiley Feinstein. The Civilization of the Holocaust in Italy: Poets, Artists, Saints, Anti-Semites. Rosemont Publish & Printing Corp., 2003. P. 201. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Wiley Feinstein 2003. Pp. 201" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
^Michele Sarfatti, Anne C. Tedeschi. The Jews in Mussolini's Italy: From Equality to Persecution. P. 202.
^Jonathan Steinberg. All Or Nothing: The Axis and the Holocaust, 1941–1943. Pp. 220.
^Perry R. Willson, The Clockwork Factory: Women and Work in Fascist Italy (1994)
^Perry R. Willson, Peasant Women and Politics in Fascist Italy: The Massaie Rurali (2002)
^Victoria De Grazia, How Fascism Ruled Women: Italy, 1922–1945 (1993)
^Perry Willson, "Empire, Gender and the 'Home Front' in Fascist Italy," Women's History Review, October 2007, Vol. 16 Issue 4, pp. 487–500.
^Carol Helstosky, "Fascist food politics: Mussolini's policy of alimentary sovereignty, Journal of Modern Italian Studies March 2004, Vol. 9 Issue 1, pp. 1–26.
^R. J. B. Bosworth, The Italian Dictatorship: Problems and Perspectives in the Interpretation of Mussolini and Fascism (1998); Bosworth and Patrizia Dogliani, eds., Italian Fascism: History, Memory, and Representation (1999)
^"The Centralisation Of Historical Research (1935–1943)," Storia della Storiografia (2010), Issue 57, pp. 63–84.
^R. J. B. Bosworth, "L'Anno Santo (Holy Year) in Fascist Italy 1933–34," European History Quarterly (July 2010) 40#3 pp 436–457.
^James Burgwyn, "Renzo De Felice and Mussolini's Foreign Policy: Pragmatism vs. Ideology," Italian Quarterly (1999), Vol. 36 Issue 141/142, pp 93–103.
^Yong Woo Kim, "From 'Consensus Studies' to History of Subjectivity: Some Considerations on Recent Historiography on Italian Fascism," Totalitarian Movements & Political Religions (2009), Vol. 10 Issue 3/4, pp 327–337.
^Anthony L. Cardoza, "Recasting the Duce for the New Century: Recent Scholarship on Mussolini and Italian Fascism," Journal of Modern History (2005) 77#3 pp. 722–737 doi:10.1086/497722JSTOR10.1086/497722