Doktrin Monroe adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang diterapkan pada 2 Desember 1823. Dalam kebijakan ini, upaya negara-negara Eropa untuk menjajah atau melakukan campur tangan terhadap negara-negara di benua Amerika akan dipandang sebagai agresi, sehingga AS akan turun tangan.[1] Akan tetapi, Amerika Serikat tidak akan mengganggu jajahan Eropa yang sudah ada. Doktrin ini diterapkan setelah sebagian besar jajahan Spanyol dan Portugal di Amerika Latin telah merebut kemerdekaannya.
Karena tidak memiliki angkatan darat dan laut yang kuat dan kredibel, kebijakan Amerika Serikat ini kerap diabaikan secara internasional. Saat Monroe mengeluarkan doktrin tersebut, Pangeran Klemens von Metternich marah dengan pernyataan yang dikeluarkan Monroe, dan secara pribadi menulis bahwa doktrin tersebut adalah sebuah "tindakan pembangkangan" oleh Amerika Serikat yang akan memberikan "kekuatan baru bagi para rasul penghasut dan menghidupkan kembali keberanian setiap konspirator."[2]
Namun secara mendadak, Doktrin Monroe didukung oleh Britania Raya. Mereka meneggakkan doktrin ini sebagai bagian dari Pax Britannica, yang termasuk peneggakkan kebebasan laut. Hal ini sejalan dengan kebijakan perdagangan bebaslaissez-faire Inggris yang sedang berkembang melawan merkantilisme. Industri Inggris yang berkembang pesat mencari pasar untuk barang-barang manufakturnya, dan, jika negara-negara Amerika Latin yang baru merdeka menjadi koloni Spanyol lagi, akses Inggris ke pasar-pasar ini akan terputus oleh kebijakan merkantilisme Spanyol.[3]
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat pemerintahan Presiden Barack Obama, John Kerry, menyatakan kepada Organisasi Negara-Negara Amerika pada November 2013 bahwa "Doktrin Monroe sudah usai."[5] Beberapa komentator telah mencatat bahwa seruan Kerry untuk kemitraan bersama dengan negara-negara lain di Amerika lebih sesuai dengan niat Monroe daripada kebijakan yang ditetapkan setelah kematiannya.[6]
America First
Presiden Donald Trump mempertimbangkan untuk menggunakan Doktrin Monroe pada Agustus 2017 saat ia memikirkan untuk melakukan intervensi militer di Venezuela[7] setelah Direktur CIAMike Pompeo mendeklarasikan bahwa erosi Venezuela disebabkan oleh intervensi dari kelompok pro-Iran atau Rusia.[8] Pada Februari 2018, Menteri Luar Negeri Amerika SerikatRex Tillerson memuji Doktrin Monroe sebagai "jelas … sebuah keberhasilan", memperingatkan ambisi perdagangan "imperialis" Tiongkok dan menggembar-gemborkan Amerika Serikat sebagai mitra dagang pilihan di kawasan tersebut.[9] Pompeo kemudian menggantikan Tillerson pada Mei 2018. Trump kembali mengutarakan komitmennya kepada Doktrin Monroe saat Sidang Umum PBB ke-73 pada 2018.[10]Duta Besar Rusia untuk Perserikatan Bangsa BangsaVasily Nebenzya mengkritik AS atas apa yang dianggap Federasi Rusia sebagai penerapan Doktrin Monroe pada pertemuan darurat ke-8.452 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Januari 2019. Perwakilan Venezuela mencantumkan 27 intervensi di Amerika Latin yang dianggap Venezuela sebagai penerapan Doktrin Monroe dan menyatakan bahwa, dalam konteks pernyataan tersebut, mereka menganggapnya sebagai "ancaman militer langsung terhadap Republik Bolivarian Venezuela". Perwakilan Kuba merumuskan pendapat serupa, "Pemerintahan Amerika Serikat saat ini telah menyatakan Doktrin Monroe berlaku..."[11]
Pada tanggal 3 Maret 2019, Penasihat Keamanan NasionalJohn Bolton menggunakan Doktrin Monroe saat menjelaskan kebijakan pemerintahan Trump di Benua Amerika, dengan mengatakan, "Dalam pemerintahan ini, kami tidak takut menggunakan kata Doktrin Monroe... Sudah menjadi tujuan presiden Amerika sejak masa Presiden Ronald Reagan untuk memiliki belahan bumi yang sepenuhnya demokratis."[12][13]
Kritik
Sejarahwan menilai bahwa walaupun Doktrin Monroe menbendungi ambisi kolonial Eropa baik di Amerika Utara dan Amerika Selatan, doktrin ini mengakibatkan beberapa implikasi agresif bagi kebijakan luar negeri Amerika, karena tidak ada batasan pada tindakan AS sendiri yang disebutkan di dalamnya. Sejarawan Jay Sexton mencatat bahwa taktik yang digunakan untuk menerapkan doktrin tersebut dimodelkan berdasarkan taktik yang digunakan oleh kekuatan kekaisaran Eropa selama abad ke-17 dan ke-18.[14] Sejarawan Amerika William Appleman Williams, melihat doktrin ini sebagai bentuk imperialisme Amerika, menggambarkannya sebagai bentuk "imperialisme anti-kolonialisme".[15]Noam Chomsky berpendapat bahwa dalam praktiknya Doktrin Monroe telah digunakan oleh pemerintah AS sebagai deklarasi hegemoni dan hak intervensi unilateral atas Amerika.[16]
^Dziuban, Stanley W. (1959). "Chapter 1, Chautauqua to Ogdensburg". Military Relations Between the United States and Canada, 1939–1945. Washington DC: Center of Military History, United States Army. hlm. 2–3. LCCN59-60001. Diarsipkan dari versi asli tanggal May 7, 2019. Diakses tanggal December 2, 2016.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)