Stasiun Situbondo
Stasiun Situbondo (SIT), dikenal dengan nama lain Stasiun Sumberkolak, merupakan stasiun kereta api nonaktif yang terletak di Sumberkolak, Panarukan, Situbondo Stasiun yang terletak pada ketinggian +30 meter ini dikelola PT KAI Daop IX melalui Wilayah Penjagaan Aset IX Jember walaupun kepemilikan asetnya dimiliki oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, serta merupakan stasiun kereta api terdekat dengan ibu kota Kabupaten Situbondo. SejarahStasiun ini mulai beroperasi bersamaan dengan selesainya jalur kereta api Kalisat–Panarukan pada tanggal 1 Oktober 1897 oleh Staatsspoorwegen. Jalur ini merupakan segmen terakhir dari megaproyek jalur kereta api Probolinggo–Panarukan yang konsesinya keluar pada 23 Juni 1893.[3][4][5] Nama stasiun ini awalnya adalah Soemberkolak, berasal dari nama desa tempat stasiun ini berada. Dari Soemberkolak ini terdapat percabangan menuju "Sitoebondo" yang berjarak sekitar 1,6 km ke arah timur dari Soemberkolak, diresmikan pada 1 Oktober 1897 berbarengan dengan peresmian jalur kereta api Kalisat–Panarukan.[6][7][5] Pada saat beroperasinya Pabrik Gula Panji, dibangunlah kelanjutan jalur kereta api menuju pabrik gula tersebut. Sebelum era kemerdekaan, nama Soemberkolak dan Sitoebondo diganti, tetapi tidak jelas kapan secara resminya diganti. Masing-masing dari pemberhentian kereta api tersebut dari yang semula bernama Soemberkolak diganti menjadi Sitoebondo dan Sitoebondo lama diganti menjadi "Sitoebondo Goederenstation", kelak menjadi "Stasiun Situbondo Gudang". Pada tahun 1950-an, nama kedua stasiun tersebut diganti oleh DKA menyesuaikan Ejaan Republik. Jalur lanjutan dari Situbondo Gudang menuju Panji ini dibuka pada tanggal 1 Mei 1912.[3][5][8] Namun sejak tahun 1965 percabangan ini dinonaktifkan. Jalur tersebut dahulu digunakan untuk mengangkut tebu dari Pabrik Gula Panji. Pada masa kemerdekaan, stasiun ini menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia. Tercatat, seorang ulama asal Situbondo, K.H. As'ad Syamsul Arifin, bersama para pejuang, naik kereta api dari stasiun ini menuju Stasiun Gedangan di Sidoarjo, karena Surabaya di kala itu jatuh ke tangan Inggris sebagai bagian dari serangkaian Pertempuran Surabaya. Ketika kurang lebih seratus pejuang yang dipimpinnya tiba di Stasiun Gedangan, mereka menginap di rumah beberapa penduduk karena mereka tidak memiliki markas.[9] Menjelang nonaktif, stasiun ini dahulu hanya dilayani oleh kereta api lokal Jember–Panarukan p.p. Sering ditarik lokomotif diesel hidraulis produksi Henschel (BB303 dan BB306), serta membawa tiga unit kereta penumpang ekonomi non-AC. Kereta penumpang ini dahulu difungsikan untuk mengumpan penumpang dari pelosok Situbondo menuju Stasiun Jember. Stasiun ini dinonaktifkan penuh pada tahun 2004 oleh PT KA beserta jalur dan seluruh layanannya karena prasarana yang tua dan kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum.[10] Kondisi terkini, bangunan stasiun masih utuh dan ditempati seseorang, sedangkan emplasemen stasiun ini kini berubah menjadi padang rumput. Namun, di sekitar emplasemen stasiun masih terdapat satu gerbong penolong, sebuah sinyal mekanik tipe Alkmaar dan tebeng beserta handelnya, serta tuas-tuas wesel bandul. Stasiun ini beserta seluruh stasiun yang ada pada lintas segmen Jalur kereta api Kalisat–Panarukan masuk dalam prioritas untuk reaktivasi sesuai Perpres Nomor 80 Tahun 2019 yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian Bangunan dan tata letakPada saat stasiun ini aktif, stasiun ini memiliki empat jalur kereta api dengan jalur 1 merupakan sepur lurus, serta memiliki gudang dan dua sepur simpan. Galeri
Referensi
Daftar pustaka
|