Skandal penyadapan Australia-Indonesia
Skandal penyadapan Australia-Indonesia adalah kasus dokumen rahasia yang dibocorkan pada tahun 2013 oleh mantan mata-mata Amerika Serikat Edward Snowden yang kemudian dikutip oleh Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan surat kabar The Guardian. Dokumen tersebut berisi berisi daftar target penyadapan percakapan telepon pada tahun 2009 yang menunjukkan sejumlah nama diantaranya adalah Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, istri presiden Kristiani Herawati, Wakil Presiden Boediono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juru bicara urusan luar negeri Dino Patti Djalal, juru bicara urusan dalam negeri Andi Mallarangeng, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo Adi Sucipto, Menteri BUMN Sofyan Djalil, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.[1][2] Latar belakangPada awal Juni 2013, laporan dari berbagai sumber media seperti The Guardian dan The Washington Post mengungkapkan detail operasional pengintaian massal Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat terhadap warga negara Amerika Serikat dan asing.[3] Laporan tersebut didasarkan pada serangkaian dokumen rahasia tahun 2009 yang dibocorkan oleh mantan kontraktor NSA Edward Snowden. Pengungkapan lebih lanjut menunjukkan bahwa operasi pengawasan NSA diperluas hingga mencakup badan pengumpulan intelijen sekutu AS, termasuk Markas Besar Komunikasi Pemerintah Inggris dan Direktorat Sinyal Pertahanan Australia, anggota perjanjian keamanan UKUSA atau "Lima Mata".[4] Pada Oktober 2013, Der Spiegel memberitakan bahwa agensi intelijen Jerman telah menerima "bukti kredibel" bahwa telefon Kanselir Jerman Angela Merkel telah disadap oleh Badan Keamanan Nasional.[5] Pada akhir bulan itu, laporan dari Der Spiegel dan Fairfax Media menyatakan bahwa kedutaan besar dan pos diplomatik Australia di Asia digunakan untuk menyadap panggilan telepon dan data, termasuk selama Konferensi Perubahan Iklim PBB tahun 2007.[6] Kepala Badan Intelijen Negara Republik Indonesia A.M. Hendropriyono mengakui bahwa pada 2004 saat krisis menimpa Timor Leste, Indonesia menyadap kedutaan Australia di Jakarta dan mencoba merekrut warga Australia sebagai mata-mata.[7][8] Resp0nKementerian Luar Negeri RI menarik pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema setelah mengetahui aksi penyadapan tersebut.[9] Perdana Menteri Tony Abbott awalnya tidak mau memberikan klarifikasi ataupun meminta maaf.[10] Ini menyebabkan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyesalkan sikap Perdana Menteri Tony Abbott yang tidak memberikan klarifikasi atau bahkan permintaan maaf atas isu penyadapannya.[11] Memberikan klarifikasinya di Dewan Perwakilan Australia, Abbott menyatakan bahwa Australia tidak perlu meminta maaf untuk pengumpulan intelijen yang masuk akal.[10] Pada hari esoknya, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengkaji ulang seluruh perjanjian kerjasama bilateral dengan Australia[12] termasuk termasuk isu seputar penyelundupan manusia, yang merupakan komponen utama kebijakan Operasi Perbatasan Kedaulatan pemerintahan Abbott.[13] Respon Tony Abbott tidak hanya mengundang kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun juga dikritik oleh berbagai politikus baik di Indonesia maupun Australia, termasuk dari mantan perdana menteri Malcolm Fraser,[14] mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa,[15] dan berbagai pemberitaan negatif dari media massa Indonesia.[16] Aksi demonstrasi dilakukan di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta[17] dan pemerintah Australia mengumumkan peringatan berpergian di Indonesia.[18] Secara kontras, pemimpin oposisi Australia dari Partai Buruh Australia, Bill Shorten, menolak untuk mengkritik Abbott dan malah menekankan pentingnya hubungan bilateral, dan berpendapat bahwa tanggapan pemerintah harus menjadi "momen Tim Australia".[19] Mantan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer berpendapat bahwa tanggapan diplomatik terhadap masalah ini "di luar kendali" pemerintahan Tony Abbott.[20] Tuduhan tersebut dan respon Indonesia menarik perhatian signifikan dari media massa Indonesia dan internasional khususnya setelah tuduhan yang dilontarkan kepada Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat yang telah berupaya untuk menyadap telefon Kanselir Jerman Angela Merkel.[21] DampakPada tahun 2014, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menandatangani Kesepahaman Bersama tentang kode etik antara Republik Indonesia dan Australia dalam implementasi perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia tentang Kerangka Kerja Sama Keamanan.[22] Referensi
Sumber |