Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut

Logo TNI-AL

Sejarah Maritim Nusantara dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dimulai sejak jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan bahkan telah ada semenjak awal-awal munculnya peradaban di nusantara dan era kejayaan kerajaan-kerajaan. Paska kemerdekaan diawali dari dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945. BKR kemudian berkembang menjadi beberapa divisi, di mana BKR Laut, salah satu divisi awalnya, meliputi wilayah bahari / laut.

Pendahuluan

Dalam evolusi pembentukan dunia sudah ditakdirkan rupanya bahwa hampir 75% dari permukaan bumi ini terdiri dari lautan. Lautan ini pulalah dengan segala kekayaannya baik yang terpendam di dasarnya maupun yang berada di badannya itu sendiri, semenjak manusia berusaha mempetahankan hidupnya selalu menentang atau mengikat perhatian manusia untu memperolah kehidupan dari padanya dan biasanya dengan risiko yang sangat besar. Peristiwa dan cerita mengenai hal ini sudah cukup banyak diketahui dan dapat pula di baca dalam literatur baik barat maupun timur. Dari zaman bahari sudah diketahui bahwa manusia telah mempergunakan lautan ini bagi perkembangan umat manusia dan membawa peradaban, agama dan hukum dari suatu benua ke benua yang lain dan dengan demikian peranan lautan sejak masa silam itu telah merupakan alat komunikasi yang sangat vital dalam hubungan antar manusia. Bahkan hingga dewasa ini dalam frekuensi yang lebih †inggi dengan didampingi oleh ilmu pengetahuan modern dan teknologi yang bertaraf tinggi serta kapital yang yang cukup besar memungkinkan adanya eksploitasi-eksploitasi baru bagi keadaan maritim ini untuk mendapatkan cara-cara baru bagi pertumbuhan kemakmuran, mempertahankan martabatnya, meningkatkan ilmu pengetahuan, menarik kegairahan petualangan dan paling akhir merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Sebagaimana ikan di laut harus dapat bertahan dengan lingkungan sekitarnya, berlaku pula bangsa pelaut ditambah usaha melindungi diri terhadap gelombang dan taufan serta karang-karang di laut yang senantiasa merupakan ancaman yang tidak dapat diramalkan bagaimana kesudahannya apabila manusia pelaut ini tidak mempunyai semangat untuk menaklukkan setiap rintangan dan tabah menghadapi segala sesuatunya yang datang dari alam dan laut sekitarnya. Kekayaan dan hasil lautan yang akan memberikan keperluan hidup dan mata pencaharian bagi bangsa nelayan dan bangsa pelaut pada umumnya mempunyai benteng pertahanan atau "safety precautions" masing-masing, sebelum dapat dijamah oleh manusia pelaut itu, yang dapat dikatakan didirikan oleh alam itu sendiri dan dapat berwujud seperti telah disinggung di atas, berupakan gelombang dahsyat, arus yang keras dan deras, taufan dengan guntur yang mengerikan serta kilat yang sambung menyambung.

Halangan dan rintangan banyak yang harus diatasi oleh manusia pelaut, tetapi justru semua halangan ini pulalah yang akan dapat membentuk dan menciptakan sifat-sifat ketabahan, kelincahan, penuh aktivitas dan dinamika, posift aktif dan semangat tidak mudah menyerah (nrimo) kepada keadaan, suatu gambaran jiwa ambivalent atau sifat ambiguous yang senantiasa akan melekat pada setiap orang yang berjiwa pelaut dan berkecimpung dalam dunia bahari. Lautan akan membentuk jiwa seseorang menjadi lincah dan bergolak senantiasa, seperti keadaan lautan itu sendiri yang tidak pernah diam bahkan dikatakan orang akan kembali kepada arus asal setelah berkeliling beberapa waktu lamanya.

Lautan akan senantiasa mengajar seseorang berlaku tabah dan secara berlanjut berusaha meneruskan hidupnya antara pergolakan dan ketenangan atau secara nyata antara kemungkinan hidup dan ancaman maut. Ketabahan seorang pelaut adalah sikap dan ketenangan jiwa dalam menghadapi cobaan dan ancaman maut. Ketabahan seorang pelaut adalah sikap dan ketenangan jiwa dalam menghadapi cobaan can ancaman maut di lautan luas dan buas dengan hasil yang belum dapat ditentukan. Pada waktu yang bersamaan dia juga tidak akan merasa cepat tunduk kepada situasi dan kondisi dikarenakan perjuangan mempertahankan hidup baik secara aktif maupun pasif, lebhi-lebih kalau sudah berada di tengah lautan dan mempertahankan haluan dan keselamatan kapal dan awaknya di waktu saat genting mengancam. Oleh karena itulah semangat dan jiwa pelalut sedikit banyak memang mengandung unsur-unsur spekulatif dan petualangan dan dapat dikatakan sifat adu untung. Seorang pelaut di tengah laut tidak akan dapat meminta nasihat pada orang lain, dia adalah berdiri sendiri dan dia harus daspat melaksanakan suatu keputusan yang telah dipertimbangkan masak-masak dalam waktu singkat, karena aksi yang terlambat akan berarti jiwa dan beda sebagai penggantinya. Bagi orang yang berjiwa pelaut akan selalu mengambil pedoman hidup "better a wrong decision than no decision at all" atau " lebih baik mengambil keputusan yang salah daripada tidak ada keputusan sama sekali".

Lebih jauh lagi karena faktor-faktor tersebut di atas dia menjadi cinta sekali kepada kapalnya sehingga apabila ia dalam keadaan gawat di tengah laut selalu mempunyai pedoman bahwa ia akan tenggelam bersama kapalnya. Ini yang merupakan ciri khas dari jiwa pelaut, sehingga sering diungkapkan dalam syair atau pantun yang menggambarkan betapa melekatnya jiwa pelaut bagi seseorang yang selalu berkecimpung di laut, bahkan dengan perahu layar dan alat-alat yang sangat sederhana mereka mengarungi lautan luas dan penuh bahaya dalam perantauannya ke berbagai pulau. Mereka menjadi pelaut yang berani dan pedagang yang ulet. Aspek kelautan telah begitu mempengaruhi insan di sekitarnya untuk menggerakkannya dan mempergunakannya sebagai salah satu kehidupan dan penghidupannya, sehingga tidak jarang hal ini tercermin dalam syair, pepatah atau pantun. Di samping ketangkasan mereka menguasai lautan, mereka juga mengembangkan hukum pelayaran dan ilmu pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan laut itu sendiri.

Kalau di atas telah disinggung tentang lautan yang membawa perubahan dari suatu benua ke benua lain maka timbul pertanyaan dari manakah adanya waisan jiwa bahari pada bangsa Indonesia dewasa ini. Untuk itu marilah ditinjau sejenak tentang asal mula bangsa Indonesia yang juga membawa peradaban dan kebudayaan ke bumi Indonesia ini. Tidask terlepas pula dari teori asal mula bangsa Indonesia yang dikemukakan oleh sarjana bersaudara Sarasin bahwa datangnya nenek moyang bangsa Indonesia kira-kira 3000 tahun SM sebagai akibat terjadinya suatu perpindahan bangsa secara besar-besaran di Asia Tenggara. Bangsa yang mengadakan perpindahan dari ASia Tenggara termasuk dalam Ras Mongoloid yang m epunyai ciri kulit kuning, berambut lurus hitam. Merka menyebar sampai di Indonesia dan bangsa pendatang ini disebut Proto Melayusambil membawa kebudayaan Neolithik. Lebih lanjut teori itu menyebutkan bahwa kemudian kira-kira 300 tahun S.M. ada gelombang migrasi lagi dari Asia Tenggara. Pendatang baru ini di Indonesia disebut dengan Deutro Melayu yang mendesak Proto Melayu.

Migrasi ini tentu berlangsung dengan menyebarangi lautan yang maha luas dan pada mas dulu hanya dipergunakan perahu berbentuk sederhana dengan cadik di sisi kanan kiri. Dan memang sampai kini perahu bercadik menjadi ciri khas dari bentuk perahu Indonesia. Pada permulaan abad pertama tahun Masehi, kebudayaan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia seperti di China, India, Indonesia sudah tinggi, sudah ada hubungan perdagangan antara negara-negara tersebut melalui selat Malaka dan laut China, bahkan Bangsa Indonesia sendiri telah berlayar jauh sampai ke Madagaskar di sebelah Barat dan sampai pulau Paskah di sebelah timur. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mengerti benar peranan laut sebab dengan melalui lautan mereka dapat mengadakan kontak dengan suku bangsa lin di pulau yang jauh, sehingga mereka mempunyai kebudayaan yang sama sebagai kaum Bahari. Mereka telah mengamalkan watak dan sifat Bahari dalam tata cara kehidupannya, seperti sifat berani, ulet, tegas, sederhana, mempunyai pandangan jauh dan berjiwa besar serta gemar merantau. Sifat dan watak tersebut yang harus menjadi bekal nenek moyang bangsa Indonesia dalam membina bangsanya untu mencapai kejayaan dan kemakmuran serta yang pada dewasa ini dikenal sebagai pewarisan jiwa bahari.

Setelah nenek moyang Bangsa Indonesia menyebar akhirnya mereka mendiami Indonesia sebagai tempat tinggalnya yang terletak paling selatan dari daratan Asia Tenggara. Di tempat yang baru ini mereka mulai menetap dan memilih tempat yang dekat dengan air sehingga pada waktu pertama-tama timbul "daerah pantai" kemudian berubah menjadi "kota pantai" karena banyak kegiatan yang dilakukan diantaranya mengadakan kontak secara langsung melalui laut dengan daerah atau pulau lain. Lebih-lebih setelah mengetahi bahwa kepulauan Indonesia penuh dengan sumber daya alam yang dibutuhkan orang, sehingga hasil sumber daya alam sebagai hasil produksi harus ditukar dengan barang kebutuhan lain. Lama kelamaan tukar menukar itu berubah sifatnya menjadi perdangan luas. Mengingat keadaan geografi dan alam sekitar Indonesia yang terdiri dari kepulauan dengan lkaut dalam dan selat yang membatasi antar pulau maka untuk mencapai perdagangan yang luas membutuhkan sarana laut sebagai penghubung dan pengangkutan barang produksi tersebut. Jadi perdagangan waktu itu banyak dilakukan melalui laut. Kemudian dirasakan bahwa iringi-iringan kapal pengangkut barang dagangan itu harus mendapat penjagaan terhadap serangan kapal bangsa lain yang ingin memiliki hasil laut yang dibawa, sehingga memerlukan pembangunan suatu armada yang dieprsenjatai. Armada ini mempunyai tugas untuk mengawal armada niaga bahkan mengamankan dan menjaga alur pelayaran yang selalu digunakan atau dianggap penting dan strategis.

Berkat adanya perdagangan antar daerah tersebut maka masuk pulalah segala macam pengaruh dari luar yang mempunyai pengaruh pada tata kehidupan bangsa Indonesia. Pertumbuhan masyarakat lama-lama berkisar kepada apa yang datang dari luar dan membawa stempel luar terutama pada daerah pantai, karena tiap migrasi selama ini selalu mendesak msayrakat terdahulu di darah pantai masuk ke pedalaman dan pegunungan. Lama kelamaan struktur masyarakat kian berkembang dan pada umumnya timbullah pada tingkat akhir beberapa kerajaan yang hampir semuanya terbentuk karena pengaruh dari luar. Dari faktor sejarah zaman keemasan jelas dapat diikuti sebagai nenek moyang bangsa Indonesia bekerja membangun dan mengembangkan masing-masing kerajaannya untuk kesejahteraan rakyatnya. Tidak jarang mereka sangat menggantungkan kekuatannya pada perdagangan melalui laut, karena dengan bertambah ramainya dan majunya perdagangan berarti ekonomi kerajaan menjadi baik dan mempunyai efek lebih lanjut pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Untuk memajukan perdagangan laut laut di samping dibutuhkan sumber produksi juga sarana baik sebagai penghubung dan pegangkut barang, maupun sebagai penunjang pengangkutannya dan keselamatannya seperti unsur armada perang, pengkalan, pembuatan kapal. Peranan laut pada waktu itu sangat penting dan vital sekali karena hubungan atau komunikasi melalui darat tidak memungkinkan menginta faktor geografi Indonesia sebagai suatu kepulauan.

Secara sepintas lalu dapatlah disampaikan bahwa dengan adanya migrasi dari zaman ke zaman serta perpindahan nenek moyang dari satu pulau ke pulau lain disebabkan karena adanya gelombang baru maka dapatlah dipastikan bahwa perpindahan itu selalu dilaksanakan melalui laut, terkecuali pendesakan suku-suku bangsa dari pantai ke pedalaman sampai ke pegunungan baik melalui sungai maupun melalui daratan. Tetapi suatu hal yang nyata bahwa bekas-bekas dari unsur kelautan hingga dewasa ini masih tetap dapat dilihat dan diikuti dalam bentuk benda atau penjelmaan kebudayaan dari suku-suku bangsa yang dewasa ini berdiam di pegunungan. Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antar suku-suku bangsa itu sendiri dari migrasi pertama sampai gelombang yang terakhir dalam perkembangan kehidupan antar pulau dari suku-suku bangsa Indonesia selalu dilaksanakan dengan pegamalan dari pertumbuhan teknologi menguasai lautan walaupun dia bersifat secara sederhana didorong oleh mempertahankan keutuhan dari suatu kelompok masyarakat maupun disebabkan oleh perkembangan dari kebutuhan untuk saling mengembangkan kehidupan dan melepaskan diri dari isolasi lingkungan sendiri atau penguasaan daerah lain. Dengan demikian sampai adanya pengaruh dan kedatangan bangsa Asia lainnya dapatlah dikatakan bahwa satusatunya jalan dalam mepertahankan komunikasi antar suku/daerah telah berlangsung melalui laut dengan kibat yang logis perkembangan secara wajar dari teknologi menguasai alur pelayaran di satu pihak dan lain pihak perkembangan dari sarana dan wahana untuk dapat bertahan di lautan itu sendiri.

Era Kerajaan Sriwijaya

Setelah kerajaan Funan sebagai negara maritim yang berkuasa selama empat abad di Asia Tenggara pudar dan digantikan oleh kerajaan Kamboja yang berdasarkan pada pola agraria disebabkan manpower yang besar, maka praktis hegemoni di lautan Asia Tenggara terbengkalai. Kamboja tidak mempunyai armada niaga dan Angkatan Laut yang kuat, tetapi dengan manusia yang banyak akhirnya Funan dapat dikalahkan karena satu demi satu pangkalan-pangkalan, benteng-benteng serta istana Funan dapat dikuasai melalu daratan. Kekosongan hegemoni di alur pelayaran Asia Tenggara secara praktis berlaku selama tiga abad, yang berarti pula dengan pembebasan lautan oleh Kamboja maka perairan Indonesia juga tidak ada yang menguasai secara mutlak.

Sementara itu pada permulaan abad VII (683) timbullah suatu kerajaan yang didirikan oleh seorang raja dari Muara Tamwan di daerah Kampar yang bertolak dengan kapal diikuti oleh dua laksa tentaranya serta kurang lebih 1300 pengiring lainnya menuju ke selatan dan sampai di sekitar kota Palembang yang sekarang. Perjalanan melalui Selat Malaka, melalui Jambi yang ditaklukkannya dan akhirnya mendarat di Palembang. (Keadaan geografi pada waktu itu berlainan sekali dengan sekarang. Kepulauan Lingga Riau, Singkep masih bersatu dengan Pulau Bintan, selat Singapura terlalu dangkal dan sempit. Selat Bangka terlalu lebar, sedangkan kota Palembang berada di tepi/muara sungai Musi, jadi berada di pantai dan berhadapan dengan laut bebas. Jambi juga terletak di muara sungai dan di tepi pantai tetapi lautnya sangat dangkal). Kerajaan ini kemudian diberi nama Sriwijaya. Keadaan Pemerintah Sriwijaya selain diketahui dari batu tulis, juga dapat diketahui dari berita-berita asing antara lain berita dari pujangga China beragama Budha bernama I-TSHING yang pernah tinggal selama kira-kira empat tahun di Sriwijaya bahwa di kerajaan Sriwijaya semua berjalan dengan teratur dan rapi baik organisasi dan susunan pemerintahannya dan kebudayaannya sudah tinggi, agama yang berkembang di kerajaan ini ialam agama Budha Mahayana dan rakyatnya mematuhi perintah-perintah dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan.

Pada waktu Sriwijaya menegakkan kekuasannya di muara sungai Musi terbentanglah di hadapannya perairan Asia Tenggara yang merupakan urat nadi jalan pelayaran perdagangan antara China-India dan dunia sebelah barat. Pantai Timur Sumatera tidak seluas sekarang, kota-kota Jambi, Palembang ada di tepi pantai. Selat Bangka lebih lebar daripada sekarang, sedangkan Selat Singapura masih teralu sempit untuk dilalui kapal-kapal serta belum terkenal seperti sekarang ini. Maka pelayaran perniagaan antara dunia barat ke China atau sebaliknya harus melalui Selat Malaka, Pelambang dan Selat Bangka.

Untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya harus dapat menguasai daerah-daerah yang dianggap mempunyai kedudukan yang sangat strategis sebagai Pangkalan Angkatan Lautnya. Dari batu bertulis Kota Kapur yang bertahun 608 Caka atau 686 Masehi yang terdapat di Pulau Bangka, di sebelah utara sungai Menduk dapat diketahui bahwa pulau Bangka dan Selat Sunda telah dikuasai oleh Sriwijaya untuk dipergunakan sebagai batu loncatan ke arah penguasan lautan di sebelah utara dan selatan. Kekuatan inti Sriwijaya bukanlah wilayah-wilayah seperti halnya kerajaan-kerajaan yang mendasarkan kehidupannya pada bidang agraris, tetapi pada pangkalan-pangkalan Angkatan Laut di sepanjang jalan p erdagangan atau alur pelayaran. Pangkalan-pangkalan atau benteng-benteng adalah pusat-pusat kekuasaan untuk menjaga dan menguasai laut, karena politik negara Sriwijaya mendasarkan kehidupannya pada perniagaan dan penguasaan jalan pelayaran internasional antara lain : Jambi, Palembang, Pulau Bintan (Tanjung Pinang), Pulau Bangka dan Perairan China Selatan, Selat Sunda telah dikuasai. Angkatan Laut Sriwijaya ditempatkan di pangkalan-pangkalan untuk mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut bea cukai dan membinasakan setiap usaha pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal niaga asing.

Pada akhir abad VII, Sriwijaya sudah menguasai jalan pelayaran internasional antar Ujung Utara dan Selatan Sumatera. Dlaam melebarkan sayap pengaruh dan kekuasaannya itu Sriwijaya belum puas dengan hanya menguasai pantai-pantai Sumatera, tetapi juga menguasai Pantai Barat Semenanjung Malaka seperti Kedah dengan tujuan dapat menguasai dengan sepenuhnya jalan pelaaran di Selat Malaka oleh karenanya kapal-kapal dagang yang berlayar melalui Selat Malaka dapat berlabuh baik di Kedah maupun Palembang. Pada tahun 750 Masehi, Sriwijaya dapat menguasai Jawa Barat dan pelabuhan Borgota di Jawa Tengah sebagai gudang beras untuk menunjang kepentingan dan kemakmuran Sriwijaya.

Pelayaran yang dilakukan oleh kapal-kapal dagang baik yang dari China maupun dari dunia barat dengan melalui Selat Malaka dan singgah di Palembang banyak memakan waktu, kadang-kadang mereka menunggu angin Musim untuk mendorong kapal-kapal tersebut. Menurut I Tsing yang pernah berlayar dari negeri asalnya ke India dengan singgah di Palembang sangt banyak memakan waktu, sehingga ia telah membuat suatu catatan mengenai lamanya pelayaran dari satu tempat ke tempat lainnya : seperti dari Palembang ke Kanton memakan waktu 30 hari, dari Palembang ke Jambi melalui laut 15 hari, dari Kambi ke Kedah (Pantai Barat semenanjung Malaka) 15 hari, dari Kedah ke Negapatam (pantai barat daya India Selatan) 30 hari, dari Negapatam ke Ceylon 2 hari. Kemudian dari berita China lainnya pada dinasti Sung (960 - 1279) dan dari dinasti Ming (1368 - 1643) menyebutkan beberapa catatan mengenai lamanya pelayaran dari : Palembang ke Puni (Pantai barat Kalimantan) 40 hari, Pelambang ke Jawa 8 hari, Palembang ke Ceylon (dengan satu armada yang terdiri dari 35 kapal) 30 hari, Palembang ke Singapura (Longya) 5 hari. Dari catatan tersebut di atas betapa lamanya pelayaran yang ditempuh oleh kapal-kapal dagang dari China ke India Selatan atau sebaliknya dengan singgah di Palembang. Hal ini menjadikan para pedagang berusaha mencari jalan lain yang lebih dekat untuk mempersingkat waktu perjalanan mereka.

Memang telah ada jalan lain yang lebih singkat untuk pelayaran antara dunia barat China atau sebaliknya yakni melalui Tanah Genting Kra di bagian utara semenanjung Malaka berbatasan dengan Siam, tetapi belum begitu ramai dikunjungi. Lama kelamaan para pedagang lebih senang menempuh jalan melalui Tanah Genting Kra itu, yakni mereka berlayar hanya sampai di tepi pantai barat atau timur tanah Genting Kra kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menempuh jalan daratan yang jaraknya kira-kira hanya 30 km, baru diteruskan dengan kapal-kapal yang sudah tersedia. Hal ini berarti perjalanan menjadi lebih pendek dan cepat bila dibandingkan berlayar melalui rute biasa dan singgah di Sriwijaya. Sejak Tanah Genting Kra diperunakan oleh pedagang-pedagang, maka pelayaran melalui Sriwijaya menjadi sepi. Hal ini dirasakan oleh Sriwijaya betapa pentingnya kedudukan Tanah Genting Kra waktu itu, dan berusaha untuk menguasainya sesuai dengan tujuan atau politik pemerintahannya.

Untuk memulihkan kedudukan Palembang sebagai pelabuhan distributor dan sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, maka motif penguasaan Tanah Genting Kra itu didasarkan pada motif keagamaan. Dari batu tulis LIGOR yang bertahun 697 Caka atau 775 Masehi dapat diketahui tentang nasib Tanah Genting Kra yang telah dijadikan tempat suci oleh Sriwijaya dengan mendirikan bangunan suci agama Budha berupa stupa peringatan kepada Sang Buddha, Padmapani dan Vajrapani untuk melindungi Sriwijaya, sehingga berdosalah bagi mereka yang melalui Tanah Genting Kra untuk tujuan berdagang. Dengan agama sebagai alat penguasaannya, Tanah Genting Kra ada di tangan Sriwijaya. Pelayaran perdagangan Internasional kembali membanjiri pelabuhan pusat kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Sriwijaya menjadi penguasa tunggal di Perairan Asia Tenggara.

Dari berita-berita asing seperti catatan-catatan dari dinasti di China dapat diketahui bahwa hubungan politik dan dagang sejak abad VIII sudah dilakukan oleh Sriwijaya. Hampir setiap tahun ada duta-duta dari Sriwijaya yang pergi ke China, lebih-lebih para pedagang dengan membawa barang-barang dagangannya. Barang-barang yang dibawa oleh pedagang Sriwijaya terutama adalah barang-barang mewah yang diperlukan untuk istanan dan bangsawan-bangsawan seperti perhiasan-perhiasan, gading, kulit binatang, rempah-rempah. Apabila ada barang-barang yang dibutuhkan oleh negara asing tidak ada di Sriwijaya, maka Sriwijaya akan membawa kapal-kapal dagang dagang dari daaerah-daerah di negara lain untuk singgah di Palembang dan membongkar muatannya dan terjadilan tukar menukar barang dagangan di sana. Jadi Sriwijaya bertindak sebagai distributor barang-barang yang berasal dari India, Persia, China dan sebagainya dan dari daerah-daerah di Indonesia seperti rempah-rempah dari Maluku, beras dari Jawa Barat dan Jawa Tengah yang ditimbun di Pelabuhan Palembang untuk dikirim ke negara yang membutuhkan. Kedudukan Sriwijaya semakin kuat sebagai pusat pelayaran dan lalu lintas internasional, karena itu menjadi titik pertemuan antara kebudayaan dari negara-negara lain.

Berita asing lainnya asing lainnya yang banyak menceritakan mengenai perkembangan Sriwijaya sebagai suatu kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara yakni berita-berita dari pedagang-pedagang Arab sekitar abad IX. Pedagang Ara tersebut antara lain Ubn Hordazbeh (844-848) dan Sulayman menyebutkan mengenai suatu kerajaan bernama Zabag yang besar, rapat penduduknya makmur dan memiliki banyak kapal-kapal yang laju. Pedagang Arab lainnya pada abad X seperti Ibn Rosteh dan Abu Zayd mengemukakan tentang negara Zabag di perairan Asia Tenggara yang kaya dan selalu mengadakan perdagangan barang-barang yang sangat diperlukan bagi bangsa-bangsa barat seperti : rempah-rempah, gading, kayu cendana, kapur barus.

Dari berita-berita asing yang menceritakan mengenai keadaan Siwijaya dapat dianalisa bahwa Sriwijaya betul sebagai suatu kerajaan yang sedang berkembang dengan mendasarkan politiknya pada penguasaan alur pelayaran dan jalan dagang yagn strategis dengan pangkalan-pangkalan Angkatan Lautnya. Untuk menguasai daerah tersebut diperlukan suatu Armada yang cukup kuat di p erairan Selat Malaka dan kekuatan senjata-senjata y ang mampu. Armada perang Sriwijaya ini dapat dipergunakan baik sebagai pelindung keselamatan kerajaannya maupun sebagai pelindung keselmatan armada niaganya serta menguasai alur pelayaran yang strategis.

Dari abad VII sampai abad ke X kebudayaan India yang berintikan pada agama Buddha Mahayana menjadi kebudayaan internasional, oleh karena itu negara-negara Asia Selatan juga giat mengembangkan kebudayaan tersebut. Kerajaan Sriwijaya yang dengan segala peri kehidupannya sebagai bangsa pelaut dan pedagang sudah tentu tidak luput untuk mengambil bagian dalam mengembangkan kebudayaan India yang berintikan Budha Mahayana. Sejak akhir abad VII agama Buddha Mahayana berkembang dengan subur di Sriwijaya dan mencapai puncaknya ketika Sriwijaya dipimpin oleh Balaputradewa yang beragama Buddha Mahayana. Banyak pendeta-pendeta Sriwijaya yang dikirim ke India untuk mempelajari dan meperdalam agama tersebut di samping mereka aktif mengadakan perdagangan dengan kerajaan di India Selatan. Untuk keperluan agama Balaputradewa turun tangan sendiri untuk mengadakan kontak dengan raja di India Selatan, yakni Dewapala dari Benggala. Dari batu bertulis yang diketemukan di Nalanda (India) dapat diketahui bahwa pada kira-kira tahun 860 masehi Raja Dewapala telah memberi hadiah berupa sebidang tanah di Benggala kepada raja Balaputradewa dari Swarnabhumi (Sumatra). Kemudian di atas tanah itu Balaputradewa telah mendirikan sebuah biara untuk keperluan para musafir Indonesia yang datang di India dalam rangka mempelajari dan memperdalam agama Buddha.

Dari peristiwa-peristiwa tersebut di atas jelaslah bahwa peri kehidupan rakyat Sriwijaya sebagai pelaut dan pedagang dengan dengan tidak meninggalkan kepercayaan yang dianutnya yakni agama Buddha Mahayana yang seduai dengan jiwa mereka yang dinamis, karena mereka percaya bahwa untuk mencapai kesempurnaan mereka harus banyak melakukan perbuatan-perbuatan seperti berniaga, berlayar, berperang untuk keadilan dan merantau, sehingga sudah sewajarnya tidak da peninggalan-peninggalan kerajaan Sriwijaya yang besar-besar seperti candi-candi atau bangunan-bangunan suci lainnya seperti lazimnya peninggalan-peninggalan kerajaan-kerajaan di Jawa, karena mereka lebih senang pergi berlayar dan berdagang dengan negara-negara tetangganya seperti India, Siam, China dan daerah-daerah Indonesia lainnya daripada tinggal tinggal diam di daerahnya.

Ada beberapa faktoryang penting yang merupakan pendorong utama bagi perkembangan Sriwijaya yakni :

a. Sriwijaya terletak di suatu daerah yang strateis yakni menghadap Selat Malaka. Selat Malaka ini sejak lama merupakan jalan dagang yang ramai antara India-China. Dan keadaan serta kondisi geografi ini dipergunakan sebaik mungkin dalam menentukan politik pemerintahannya.

b. Kekosongan kekuasaan di laut Asia Tenggara akibat keruntuhan kerajaan Funan telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sriwijaya dalam membangun Angkatan Lautnya untuk penguasaan laut.

c. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh Sriwijaya dari h asil perdagangan menyebabkan Sriwijaya menjadi pusat kebudayaan seperti pusat agama Buddha dan menjadi suatu tempat studi sebelum pergi ke India.

Setelah Sriwijaya selama kira-kira seabad mencapai masa kejayaan maka mulai mengalami kemunduran yang berlangsung selama setengah abad lamanya yang disebabkan antara lain oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. Persaingan baik yang bersifat politis maupun ekonomis dari kerajaan yang berada di Pulau Jawa serta ada kecenderungan dari kerajaan di Jawa yang juga menitikberatkan pandangan hidupnya ke penguasaan lautan.

b. Percaturan politik di Asia Tenggara yang mempengaruhi daerah di kawasan itu sendiri dengan timbulnya kerajaan baru yang sangat berkuasa kemudian di India, yakni kerajaan Cola; Cola akhirnya menguasai perdagangan di Asia Tenggara dengan menguasai Malaka dan perairan di Asia Tenggara.

c. Bertambah kuatnya kereajaan di Jawa Timur secara berturut-turut Medang, Kediri dan Singosari yang mengadakan politik pengepungan terhadap Sriwijaya dengan ekspedisi Pamalayu dengan menduduki Malaka dan merebut hegemoni di Selat Malaka, Selat Sunda sehingga memperlemah Sriwijaya.

d. Keadaan geografis yang menyebabkan Sriwijaya tidak lagi berada di pantai laut bebas dan terbukanya suatu alur pelayaran baru di sebelah utara pulau Bangka.

Era Kerajaan Majapahit.

Sebenarnya kerajaan Majapahit bukanlah suatu kerajaan melainkan timbul dan berkembang sebagai kerajaan agraris, tetapi karena Majapahit berpolitik yan bertujuan perluasan daerah, bahkan mempunyai gagasan untuk mempersatukan Nusantara telah mendorong Majapahit untuk membangun Angkatan Laut yang kuat dan tangguh, sehingga kekuatan laut Majapahit menjadi alat penghubung dan pemersatu. Angkatan Lautnya menjadi pengaman jalan perniagaan, armada dagangnya menjamin kelancaran pertukaran barang antar pulau. Armada dagang ini tidak semata-mata terdiri dari kapal-kapal Jawa Timur, tetapi dari seluruh pelosok tanah air. Di pelabuhan-pelabuhan Majapahit seperti Tuban, Canggu Laut, Ujung Galuh dan Gresik berlabuh kapal-kapal dari Nusantara Tenggara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera di samping kapal-kapal asing yang datang dari India, China, Campa dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Suatu keistimewaan Majapahit ialah bahwa di antara wilayah-wilayah yang merupakan inti kerajaan terdapatlah Singasari, kerajaan tua yang mempunyai tradisi pelayaran perniagaan yang ulung dan pernah menandingi Sriwijaya. Perdagangan Singasari yang berpusat di muara sungai Brantas sangat tergantung pada tiga faktor yakni :

a. Sriwijaya yang menguasai Indonesia bagian barat.

b. Kerajaan Campa yang menguasai jalan laut ke China.

c. Kerajaan-kerajaan Indonesia timur yang menguasai barang-barang yang diperdagangkan ke luar Indonesia.

Inilah yang menyebabkan timbul gagasan untuk mempersatukan Indonesia dan guna melaksanakan hal tersebut dibangunlah Angkatan Perang y ang kuat dan secara berturut-turut dapat menduduki negeri Melayu dan juga merebut hegemoni di lautan Asia Tenggara.

Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit merintis jalan bagi kebesaran Majapahit. Dari Kitab Negarakertagama karangan pujangga Prapanca dapat diketahui bagaimana kerajaan Majapahit timbul dan berkembang menjadi suatu kerajaan yang termasyhur di Asia Tenggara pada abad ke 14 sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh nusantara.[1] Daerah Tarik yang dipilih sebagai pusat kerajaan Majapahit terletak di tepi sungai Brantas, dekat pelabuhan Canggu Laut. Sekarang letaknya di sebelah timur kota Mojokerto. Daerah Tarik ini tidaklah terletak di tepi laut yang dapat disinggahioleh kapal-kapal dagang internasional, tetapi dari tempat inilah Majapahit dapat meluaskan daerahnya sampai ke seluruh Nusantara. Ini disebabkan karena Majapahit mengetahui tempat-tempat stratgis yang harus dikuasainya seperti pelabuhan-pelabuhan yang letaknya di tepi lalu lintas perdagangan internaional. Majapahit yang dialiri oleh dua sungai besar amat menguntungkan pelayaran dan perdagangannya. Dengan mendirikan bandar di Canggu Laut Majapahit dapat menguasai lalu-lintas sepanjang sungai Brantas, sedangkan pangkalan di Sedayu menjamin kekuasaan Majapahit atas Bengawan Solo. Kedudukan Majapahit di muara sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas menjadi kuat dengan didudukinya pangkalan-pangkalan di Pulau Madura. Bandar besar Tuban diperkuat untuk melindungi pantai sekitar muara Bengawan Solo. Untuk memperlancar impor dan ekspor barang-barang dibangunlah jalan dari Tuban ke arah Selatan menuju Jombang. Dengan menguasai tempat-tempat ini pemungutan "Labuan batu" (bea cukai) dapat diawasi sebagai penambah kekayaan Majapahit.

Walaupun Raden Wijaya telah berhasil membangun Majapahit tetapi dalam masa pemerintahannya banyak sekali terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dikobarkan oleh pengikut-pengikutnya dulu karena tidak puas dengan kedudukan yang diberikan. Setelah Raden Wijaya wafat daslam tahun 1309 dia digantikan oleh Jayanegara yang praktis tidak daspat membendung pemberontakan sehingga Majapahit tidak dapat kesempatan untuk memperluas daerahnya ke luar pulau Jawa. Dalam masa inilah muncul seorang negarawan yang berjasa terhadap raja karena dapat membunuh pemberontak dan kemudian diangkat menjadi patih Kahuripan dan patih Daha bernama Gajah Mada.

Setelah Jayanegara wafat Tribuwanatunggadewi naik tahta. Pada masa Tribuanatunggadewi Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih kerajaan Majapahit sehingga ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan jalannya politik pemerintahan. Pada suatu persidangan lengkap tahun 1334 Gajah Mada sebagai mahapatih bersumpah : "Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura, Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura) telah ditundukkan, saya baru akan beristirahat. "Pada hakekatnya sumpah Gajah Mada adalah pengumuman resmi tentang program politik pemerintahan yang dipimpinnya. Program politik yang berbeda dengan program politik yang pernah dijalankan oleh raja-raja sebelumnya. Jika diperhatikan nama negara-negara yang akan ditundukkan maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk dapat menaklukkan negara-negara tadidiperlukan armada yang besar. Memang Majapahit dapat membina kekuatan laut yang hebat, karena bangsa Indonesia pada masa itu bukan hanya mewarisi kebudayaan pelaut dari nenek moyang tetapi masi hterus mengembangkannya. Bangsa Indonesia bukan hanya mahir melayari lautan-lautan tetapi juga mempunyai industri maritim yang menghasilkan kapal-kapal yang cukup besar untuk zaman itu. Angkatan Laut Majapahit berada di bawah pimpinan seorang Jaladhimantri yaitu seorang Laksamana Laut.

Gerakan Majapahit untuk memperluas daerahnya dimulai dengan penaklukan bali pada tahun 1334. Ekspedisi ini dipimpin sendiri oleh Gajah Mada dan sangat besar artinya bagi Majapahit karena dahulu Raja Bali berkuasa aas negara-negara Kangean, sebagian Sumbawa, Lombok, Madura, Ujung Jawa Timur dan sebagian Sulawesi. Setelah bali ditaklukkan maka sekalian negara itu mengakui kekuasaan Majapahit.

Kira-kira pada tahun 1275 datanglah agama Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat. Kaum pedagang Islam ini berhubungan dengan raja-raja atau bupati-bupati yang menguasai bandar-bandar di sepanjang pantai Sumatera Utara dan Semenanjung Melayu. Dan di antara kerajaan-kerajaan kecil itu yang maju dengan pesat adalah Kerajaan Samudra Pasai. Perhubungan erat dengan Gujarat meramaikan perdagangannya dan menghasilkan banyak kekayaan. Mungkin juga oleh karena agamanya yang berlainan dengan Majapahit, raja Pasai itu agak segan menyatakan ketaatannya pada Majapahit. Berdasarkan kekuasaan yang telah didapat atas negeri-negeri Indonesia lainnya, Majapahit sudah tentu tidak suka melihat Samudra Pasai mengadakan perhubungan langsung dengan India. Maka pada tahun 1350 berangkatlah Gajah Mada dengan beratus-ratus kapal perang menuju Pasai. Sebagai akibat tindakan Angkatan Laut Majapahit ini kekuasaan Samudra Pasai merosot, perdagangannya menjadi mundur. Setelah Majapahit dapat melemahkan kekuasaan Pasai lalu mengirimkan Laksamana Nala, pimpinan Angkatan Laut Majapahit untuk menaklukkan Dompo di Sumbawa dan jatuh ke tangan Majapahit tahun 1357. Bersamaan dengan jatuhnya Dompo, di Jawa terjadi peristiwa yang terkenal dengan nama Perang Bubat yang merupakan taktik Gajah Mada untuk menaklukkan negara Pasundan.

Bersamaan dengan maksud Majapahit memperluas pengaruhnya ke utara, pelayaran dan perniagaan di Asia Tenggara bertambah ramai sejak kelumpuhan dinasti Mongol di China. Dinasti Ming yang menggantikan dinasti Mongol adalah suatu dinasti China asli yang bercita-citakan kebesaran dan kejayaan China. Dinasti Ming ini melancarkan politik agresif dan mulailah armada China menjelajah perairan Asia Tenggara. Tujuan armada ini ialah untuk memaksakan hak pertuanan Kaisar China atas kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Di saat genting itu dapat dipahami betapa pentingnya kedudukan Melayu khususnya Tumasik sebagai kunci antara timur dan barat. Apabila Tumasik dikuasai oleh armada China maka Majapahit tidak ada harapan sama sekali untuk ikut serta dalam perniagaan dunia.

Dengan perhitungan-perhitungan itu pada tahun 1377 Majapahit mengirim kembali Laksamana Nala untuk menyerang dan menduduki Tumasik sehingga demikan tak mungkinlah penguasaan jalan dagang itu lepas dari tangan Majapahit. Pendudukan Tumasik adalah bukti yang nyata daripada keunggulan politik Majapahit untuk menahan ekspansi dari utara. Dalam ekspedisi yang sama Laksamana Nala dapat menaklukkan Sriwijaya yang telah mendekati keruntuhannya, sehingga seluruh Sumatra tetap berada di bawah naungan Majapahit. Majapahit belum berhenti sampai di sini, negara-negara di semenanjung Melayu lainnya seperti Pahang, Johar, Patani, Kelantan, Trengganu dan Kedah kembali ditundukkan dan seluruh Indonesia timur dengan cepat pula dimasukkan dalam wilayah Majapahit. Sehingga kerajaan Majapahit meliputi seluruh Indonesia sekarang ini, ditambah dengan semenajung Melayu, Borneo Utara dan Timor Portugis bahkan Kepulauan Filipina mengakui Majapahit sebagai kekuasaan tertinggi. Dengan demikian memancarlah sinar kebesaran Majapahit bagaikan cahaya yang gemilang dalam dunia abad ke XIV.

Walaupun begitu Majapahit tidaklah menempatkan raja-raja Jawa untuk memerintah di daerah taklukannya, melainkan daerah-daerah itu tetap diperintah oleh rajanya sendiri jadi tidak turut campur dalam pemerintahan ke dalam derah taklkukannya. Majapahit hanya mengirim utusan ke pulau-pulau atau negeri-negeri itu untuk memungut upeti dan pada saat tertentu raja tanah seberang atau wakil-wakil mereka harus datang ke Majapahit untuk memperlihatkan kesetiannya. Yang lalai membayar upeti atau tidak setia kepada Majapahit, diperangi sampai ia memegang peranan utama. Angkatan perang Majapahit mengarungi samudera dengan gagah perkasa sehingga tidak ada negara sekitarnya yang berani melanggar kedaulatan Majapahit. Keamanan terjamin dan bila perlu dengan sangat cepatnya kapal-kapal perang Majapahit dengan bangtuan Angkatan Darat yang kuat dapat m emberi pukulan yang dahsyat. Ini semua merupakan jasa Gajah Mada dengan tenaga organisasi yang luar biasa.

Dalam kitab Negarakertagama juga diceritatakan bahwa tidak ada sesuatu hal betapa kecil sekalipun yang mungkin membahayakan keselamatan negara yang tidak dapat diketahui Gajah Mada. Pelaksanaan organisasi ini diwujudkan dalam sekelompok orang-orang yang terkenal dengan nama duta nistyasya, yaitu orang-orang yang oleh Gajah Mada ke daerah dengan maksud mengawasi kehidupan sehari-hari penduduk setempat. Orang-orang itu dapat berfungsi sebagai pendeta-pendeta atau pedagang-pedagang atau pegawai-pegawai pemerintahan yang kesemuanya erat berhubungan dengan angkatan perang Majapahit, sehingga setiap waktu mereka dapat menggerakkkan kesatuan-kesatuannya untuk memadamkan setiap p ercobaan pemberontakan. Dengan sistem inilah Gajah Mada mengawasi seluruh daerah kekuasaannya akan tetapi sistem ini tidak akan berjalan bila pusat pemerintahannya lemah atau lalai. Hanya dengan pimpinan Gajah Mada sistem ini dapat berjalan dengan baik.

Kitab Negarakertagama juga menyebutkan beberapa negara di luar Indonesia yang mempunyai hubungan dengan Majapahit. Pada masa pemerintahan Majapahit yang membawa Indonesia ke puncak keemasan dalam abad ke-XIV dikirimlah seorang utusan diplomatik dari negara Majapahit ke negara Cina. Utusan ini adalah Aditiawarman, saudara sepupu Jayanegara dengan tugas menjelaskan politik yang akan dijalankan Majapahit pada pertengahan abad ke XIV yaitu hendak mengadakan perimbangan kekuasaan di benua Asia, antara Indonesia sebelah selatan dan Cina sebelah utara. Hubungan buruk antara Cina dan Jawa Timur pada zaman Kertanegara diperbaiki dengan adanya pengiriman duta antara dua negara. Cheng Ho adalah duta Cina yang beberapa kali berlayar ke tanah Indonesia pada zaman Majapahit.

Hubungan Majapahit dengan India lebih condong di bidang keagamaan dan kesenian, India sebagai negara asal agama, Hindu-Buddha mendatangkan ahli-ahli agamanya ke Majapahit dengan menumpang kapal-kapal dagang. Ahli-ahli sastra India eperti Cri Buddaditya dan Cri Mutali Sahrdaya tidak mau ketinggalan turut mengembangkan kesusteraan Indonesia yang pada zaman Hayam Wuruk berkembang dengan baiknya. Di samping ahli sastra dari India terdapat pula pujangga-pujangga besar bangsa Indonesia diantaranya Prapanca, Empu Tantular, Seri Brahmaraja dan Sudarma. Prapanca juga menyebutkan beberapa negara-negara Asia Tenggara yang menjadi sahabat Majapahit seperti Birma, Siam dan Vietnam yang kesemuanya mengadakan hubungan dagang dengan Majapahit.

Era Kedatangan Bangsa Barat

Selama 33 tahun Gajah Mada menjabat Mahapatih Majapahit dan selama itu pulalah menjadi orang yang terkuat, sehingga ketika ia wafat tahun 1364 kerajaan Majapahit seoah-seolah terjun jatuh ke bawah dari tempat yang tinggi tanpa ada yang menyambutnya. Apalagi setelah Hayam Wuruk digantikan oleh raja-raja Majapahit sendiri menjadi kacau balau karena perang antar saudara yang masing-masing ingin duduk di atas tahta. Perang saudara ini dikenal sebagai perang Paregreg dan berlangsung lima tahun lamanya dari tahun 1401-1406. Setelah Perang Paregreg Majapahit mundur dengan cepat. Dalam keadaan demikian pengaruh Majapahit di pulau lainnya, teristimewa di Sumatera Utara dan Semenanjung Melayu tidak dapat dipertahankan lagi.

Di tempat itu sedang timbul perubahan besar, karena agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh pedagang-pedagang yang datang di bandar-bandar sepanjang pantai Sumatera Utara dan Semenanjung Melayu dan lambat laun juga menetap di sana. Di pantai-pantai itu timbullah raja-raja kecil yang memeluk agama islam dan hidup dari perdagangan. Di atnaranya yang maju dengan pesat ialah Malaka. Majapahit tidak dapat mengawasinya aalagi ketika Malaka mencapai puncak kejayaannya di bawah Sultan Mansyur Syah (1458-1477). Ia meluaskan daerah kekuasaan Malaka di semenanjung Melayu dan sampai jauh di Sumatera Tengah, sehingga Majapahit hanya terbatas pada wilayahnya semula yaitu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama karena kerajaan-kerajaan yang dulu mengakui Majapahit sebagai kekuasaan tertinggi mulai melepaskan dirinya. Majapahit benar-benar runtuh ketika pada tahun 1478 diserbu oleh Girindrawardhana dari kediri. Sekali lagi Kediri ingin menjadi pusat kerajaan, tetapi kerajaan yang merupakan bayangan dari kebesaran dahulu tidak dapat mengimbangi tumbuhnya kerajaan Demak pada permulaan abad ke 16.

Negara kesatuan Majapahit telah runtuh, kepulauan Indonesia yang dengan kekuatan armada terpecah belah menjadi negara-negara kecil yang menerima nasib menghadapi kedatangan bangsa barat dengan kekuatan yang juga terpecah-pecah di samping persaingan yang tidak sehat dalam merebut kekuasaan baik di darat maupun di laut. Pengaruh peradaban dan kebudayaan serta perkembangan teknologi membawa akibat pula dalam pertumbuhan negara-negara tersebut.

Dengan demikian semenjak berlangsungnya migrasi pertama dan seterusnya serta kedatangan bangsa-bangsa asing lainnya ke daerah nusantara ini dan ikut menetap maka timbullah pada akhirnya berbagai suku bangsa y ang akan menjadi suatu kesatuan baik dalam arti kultural maupun politis. Jelas bahwa perkembangan masyarakat itu mendapatkan banyak pengaruh asing dan membentuk ciri-ciri yang khas pula bagi perkembangan negara atau kerajaan pada abad itu. Secara Geografis Indonesia sejak dalam zaman dahulu kala dalam arti apapun tidak pernah merupakan suatu daerah tertutup dan terpisah dari daratan Asia. Keadaan inilah yang berhasil dimanfaatkan oleh kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dengan landasan wawasan bahari untuk mewujudkan kemakmuran, kejayaan serta persatuan bangsa selama berabad-abad.

Dapatlah dikatakan bahwa masa kejayaan ini ditutup dengan peranan kerajaan-kerajaan kecil sesudah Majapait terutama peranan Aceh dan Demak untuk menghadapi bangsa Barat pertama di Asia Tenggara yakni bangsa Portugis dalam rangka merebut kembali hegemoni di Perairan Nusantara, serta mempertahankan urat nadi pertumbuhan kerajaan itu sendiri. Dengan masuknya peranan Bangsa Eropa dalam jalur perdagangan adn gelanggang percaturan politik di Asia pada awal abad XVI telah menimbulkan kecaman dan kegonacngan pada perimbangan kekuatan raja-raja Asia. Hal ini semakin nyata terasa setelah POrtugis yang sudah menduduki Goa (1510) berhasil mengalahkan armada gabungan pedagang-pedagang Islam di Adeegara dan Diu.

Bagi Indonesia pengaruh perubahan situasi baru ini mulai terasa secara langsung setelah Armada Alfonso d'Albuquerque merebut Malaka (1511) serta berlabuhnya kapal-kapal Portugis di Ternate dan Tidore untuk membeli rempah-rempah. Bahaya yang mengancam ini dilihat oleh Demak dan Aceh sebagai duri dalam daging, oleh sebab itu tidak heran kalau kedua kerajaan tersebut berulang kali melakukan serangan armada gabungan untuk merebut kembali Malaka dari tangan Portugis. Serangan yang terbesar dilakukan oleh Demak pada tahun 1512 di bawah pimpinan Pati Unus dengan kekuatan 100 kapal dan 12.000 prajurit. Dalam pertempuran laut antara Aceh dengan Armada Portugis, dua kapal perang D'Albuquerque musnah terbakar oleh "bola-bola api" yang ditembakkan dari kapal-kapal perang Aceh. Bola-bola itu terbuat dari gumpalan kain yang direndam dalam minyak bumi dan kemudian dilemparkan dengan semacam alat ke kapal-kapal musuh.[2][3]

Mengenai taktik dan peralatan perang yang dipergunakan oleh Portugis dalam pertempuran di laut bukanla hsuatu barang yang baru atau mengherankan bagi bahariwan Indonesia yang telah menggunakan mesiu dan meriam dalam pertempuran di laut dan di darat. Untuk melihat sampai sejauh mana pemakaian meriam sebagai senjata bantuan pada pertahanan pantai di Nusantara dapatlah dilihat dari uraian Van Leur yang menyatakan waktu merebut Malaka, Portugis memperoleh hasil rampasan berupa 500 pucuk meriam berbagai kaliber.[4] Demikian juga mengenai perbandingan besarnya ukuran tonase kapal-kapal perang dan dagang antara bangsa Indonesia dan bangsa Eropa sekitar abad XVI tidaklah begitu mencolok, hal ini dapat dibuktikan dengan kemampuan kapal-kapal armada Pati Unus yang sanggup mengangkut rata-rata 100 orang pasukan lengkap dengan logistiknya. Juga jika dibandingkan besarnya kapal-kapal dagang Indonesia yang berukuran 60 ton dengan satu di antara kapal Belanda yang pertama berlabuh di Banten (50 ton) ternyata tidak kalah.[5] Demikian pula dengan armada kapal perangnya.

Bagi Portugis sekitar tahun sebelasan pada abad ke-XVI pelayaran niaga di Selat Malaka semakin tidak aman akibat tekanan gerilya bahari Pasai dan Sultan Mahmud dari Pulau Bintan serta supremasi Aceh atas perdagangan di Pantai Timur Sumatra. Untuk menetralisir supremasi Aceh ini Portugis merebut Passai pada tahun 1521 dan Pulau Bintan pada tahun 1526, tetapi usahanya untuk mengisolasi Demak melalui Sunda Kelapa dan Blambangan dapat digagalkan oleh Faletehan.

Perubahan situasi Poleksos di Indonesia bagian barat akibat kegagalan armada gabungan Demak dan Aceh Merebut Malaka, pentingnya kedudukan Selat Sunda dan peranan Banten sebagai penyinggahan kapal-kapal yang berlayar melalui Samudera Indonesia/Hindia serta langsungnya Portugis mengambil rempah-rempah ke Maluku akibat pemboikotan pedagang-pedagang Islam atas Bandar Malaka membuat target politik pertahanan dan Keamanan Raden Patah berubaah. Kalau sebelum tahun 1511 target politik Demak ialah untuk merebut Malaka demi kepentingan strategi pertahanan dan keamananannya sebagai negara maritim maka sesudah tahun 1513 ditujukan untuk menguasai Selat Sunda (Banten) dan Laut Jawa guna melumpuhkan Malaka sebagai Kota Bandar[6] dan memblokade armada Portugis yang menuju Maluku. Jadi konsepsi pertahanan keamanan kerajaan Majapahit dipraktekkan kembali oleh Demak dalam percaturan hegemoni politik dan perdagangan di Nusantara pada perempatan pertama dari abad XVI. Tindakan positif tersebut dilancarkan dengan tujuan menghindari jangan sampai posisi ekonomi Demak terjepit sehingga mengakibatkan merosotnya peranan politik internasional dalam gelanggang percaturan hegemoni di Asia Tenggara. Tetapi belum lagi Aceh dan Demak berhasil mengusir Portugis dari Malaka dan Maluku, tantangan baru, yakni Belanda telah muncul di Pelabuhan Banten dan Ambon.

Berdasarkan fakta-fakta di atas walaupun kerajaan-kerajaan Indonesia mengalami pasang surut selama beberapa abad itu dapatlah dikemukakan bagi nenek moyang bangsa Indonesia dengan segala takdir keadaan geografi Nusantara suatu hal yang penting dan vital adalah bahwa lautan dan perairan Nusantara khususnya dan Asia Tenggara umumnya tidaklah dianggap sebagai suatu rintangan yang dahsyat (a formidable barrier) tetapi dalam proporsi yang wajar sesuai situasi dan kondisi pada waktu itu dijadikan jalan raya dalam rangka kemakmuran, kejayaan dan persatuan bangsa. Inilah pada hakekatnya yang dianggap dewasa ini warisan jiwa dan semangat bahari dari nenek moyang bangsa Indonesia yang hampir lenyap setelah kedatangan bangsa Barat terutama selama Belanda bermukim di bumi nusantara.

Masa Penjajahan Belanda.

Seperti halnya dengan pengemukaan apakah Belanda memang selama kurang lebih 350 tahun menjajah Indonesia walaupun fakta sejarah secara nyata mengatakan bahwa Aceh baru ditaklukkan Belanda pada tahun 1905, maka bagi Indonesia kehilangan supremasi dan hegemoni di lautan dan perairan Nusantara juga tidak dapat dipastikan dengan baik, karena selama abad XVII dan XVIII masih dapat dikatakan terjadinya perebutan hegemoni tersebut oleh kerajaan-kerajaan maritim seperti di Aceh dan Makassar. Mendaratnya rombongan Cornelis de Houtman di Pelabuhan Banten dan meneruskan perjalanannya ke Maluku dianggap sebagai permulaan dari berkurangnya hegemoni bangsa Indonesia di perairannya sendiri, sehingga dapatlah dikatakan bahwa menjelang akhir abad XVI perkembangan baru bagi Indonesia dalam rangka usaha mengkosolidasikan peranan ekonominya dan kekuasaan politiknya di Nusantara mulai tergeser dengan ikutnya Belanda memegang peranan.

Kedatangan Belanda ke Indonesia semula didorong oleh karena politik Raja Philip V dari Spanyol yang menutup pelabuhan-pelabuhan Portugis bagi kapal-kapal dagang Belanda sehingga dengan demikian praktis peranan pedagang-pedagang Belanda di Pantai Eropa Barat dan Utara mengalami kerugian besar. Politik Raja Philip tersebut ditujukan guna melumpuhkan Belanda sebab waktu itu antara kedua negara tersebut sedang terjadi perang (1568-1648). Jadi tidak mengherankan kalau baik di daratan Asia maupun di Nusantara permusuhan antara kedua bangsa itu terbawa-bawa pula dan menjadi kelanjutan peperangan di Eropa. Tetapi oleh karena pedagang-pedagang swasta maa faktor-faktor ekonomislah yang paling menentukan politknya dalam menghadapi raja-raja Indonesia yang sudah memeluk agama Islam pada mulanya Belanda tidak menghubungkannya dengan proses kristenisasi. Oleh Sebab itu tidak heran kalau dalam persaingan memikat hati raja-raja nusantara, Belanda jauh lebih berhasil daripada Spanyol.

Untuk menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan sesama pedagang Belanda sendiri maka pada tahun 1602 dibentuklah suatu perusahaan gabungan yang berstatus "Perusahaan Negara" dengan nama VOC. Perusahaan gabungan ini diberi wewenang membentuk kekuatan armada perang sendiri, merampok, berperang dan berdiplomasi dengan raja-raja atau menguasai suatu daerah, mempunyai badan yudikatif tersendiri serta mengeluarkan uang dan lain lain. Dengan kedudukan dan wewenang VOC yang luar biasa itu, mulailah Belanda secara aktif menanamkan supremasinya atas Bangsa Indonesia. Langkah pertama yang ditempuh Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah Maluku ialah dengan merebut Ambon dari tangan Portugis guna dapat dijadikan pusat kedudukan dan konsentrasi kekuatan Belanda di daerah Produsen. Pada tahun 1605 usaha tersebut dapat dengan mudah terlaksana karena benteng Portugis di Ambon hanya dipertahankan dengan kekuatan kecil sedang bantuan yang diharapkan tak mungkin datang dengan cepat karena jarak antara Ambon dengan Malaka sangat jauh.

Dengan terusirnya Portugis dari Ambon maka terbukalah kesempatan bagi VOC untuk menancapkan monopolinya atas produksi rempah-rempah Maluku dengan segala macam tipu daya. Pengusaha-pengusaha daerah yang mencoba melanggar kontrak dagang dengan VOC ditindak dengan tegas. Pada perkembangan selanjutnya tindakan tegas tersebut terkenal dalam sejarah Indonesia dengan nama ekspedisi penghukum "Hongitochten". Secara teoritis pelaksana ekspedisi penghukum ini dapat dikategorikan sebagai "aksi polisionil" yang bertujuan mengamankan isi perjanjian kontrak dagang dengan VOC, tetapi pada prakteknya adalah sangat kejam dan bersifat ekspansi territorial sebagaimana dialami oleh rakyat Banda pada tahun 1650. Dengan demikian setapak demi setapak sifat dan bentuk perusahaan dagang VOC berubah menjadi sifat negara kolonial yang rakus. Di pihak lain tindakan tersebut juga ditujukan untuk menakut-nakuti para pengusaha dan rakyat Maluku agar jangan lagi berani melanggar kontrak dagang atau melawan VOC. Menurut Burger, monopoli ini bukan dimaksudkan untuk mendapatkan laba tambahan, melainkan untuk pertahanan diri sebab tanpa monopoli perdagangan Belanda tak mungkin dapat bertahan di Maluku.[5]

Kalau di Indonesia bagian timur Belanda telah berhasil mengukuhkan benteng "Victoria" sebagai pintu gerbang ke arah memperluas kolonialismenya maka untuk Indonesia bagian barat situasinya masih meraba-raba sebab kedudukan "Factorij" Belanda di Banten belum memenuhi syarat-syrat yang sekaligus berfungsi benteng. Berhubung dengan banyaknya gangguan dan rintangan yang dihadapi Belanda di Banten, VOC bermaksud memindahkan pusat kedudukannya ke daerah Jayakarta (pelabuhan pasar ikan sekarang). Pemilihan atas Jayakarta didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut :

a. Ambon terletak jauh dari alur pelayaran perdagangan internasional dan tidak dapat dijadikan pangkalan kapal-kapal yang akan beroperasi di perairan Asia Tenggara.

b. Ambon tidak sesuai untuk pembangunan galangan kapal.

c. Ditinjau dari segi geopolitis maka pulau Jawa mempunyai tenaga kerja yang banyak.

d. Harus dipilih tempat yang menguntungkan untu konsentrasi kekuatan VOC serta dapat mengawasi pintu keluar masuk, yakni atau di sebelah barat pulau Jawa atau di Semenanjung Malaka.

Hasil pendekatan dari sudut geopolitis/geostrategis ini menunjukkan bahwa hampir selama dua abad yang pertama dari seluruh masa penjajahan Belanda di Indonesia, sebagian terbesar sasaran pokok ekspansi teritorial VOC dipusatkan untuk menguasai bandar-bandar atau daerah pelabuhan samudera, khususnya di daerah sepanjang pantai utara Jawa. Hal ini perlu bagi Belanda sebagai suatu jalan mematikan sarana potensi maritim Indonesia guna dapat mengisolasi dari dunia bahari dan peradaban atau situasi Asia.[5] Sedang daerah-daerah yang jauh terpencil di pedalaman dan letaknya tidak memungkinkan ikut aktif ambil bagian dalam perdagangan laut serta hasil produksinya tidak dibutuhkan pasaran dunia, dapat bertahan selama beberapa abad dengan politik isolasi.[7][8] karena ketegangan politik kolonial Belanda selalu berbarengan dengan kepentingan ekonominya.

Diplomasi VOC dalam membujuk Pangeran Jayakarta untuk mendapatkan izin mendirikan "factorij" yang sekaligus berfungsi sebagai benteng berhasil dengan mudah karena pada waktu itu ada persaingan ekonomis-politis antara Banten dengan Jayakarta. Dasar inilah dikemudian hari senantiasa dipalai oleh Belanda dalam mengembangkan dominasinya di Indonesia dan apabila kondisi ini tidak ada maka diciptakannya situasi sedemikian rupa yang kemudian dikenal dengan politik "divide et impera". Dari benteng "Nassau" yang didirikan pada tahun 1612 dan benteng "Mauritius" pada tahun 1617 oleh J.P. Coen selanjutnya Belanda menyusun streategi militernya dengan berkedok meningkatkan politik ekonominya untuk melumpuhkan kerajaan-kerajaan Nusantara secara sistematis. Sasaran intervensi dan agresi militer Belanda pertama ditujukan kepada kerajaan-kerajaan Indonesia yang memiliki potensi maritim yang kuat seperti Banten, Makassar, Banjarmasin, Aceh dan lain-lain. Belanda yang mengerti dan mengalami betapa pentingnya penguasaan di lautan telah mengamalkan falsaah tersebut untuk menjamin kelangsungan strategi ekonominya dalam rangka konsolidasi kekuasaan VOC.

Banten yang banyak menghasilkan lada dan terletak sangat strategis mulai berkembang dengan pesat sebagai bandar perdagangan internasional, lebih-lebih setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis dan banyak pedagang-pedagang Islam berdatangan dan bermukim di sana. Dengan menoleh kepada kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, Banten menerapkan wawasan bahari dan pada akhir abad XVI berkembang sebagai kerajaan maritim terkuat di sebelah Barat. Coen sebagai pendiri dasar imperium Belanda di Indonesia, melihat kekuatan maritim Banten sebagai halangan dalam menjadikan Batavia sebagai centrum kekuatan Angkatan Perang dan politik ekonominya di Indonesia. pada akhirnya dengan memainkan kekuatan yang ada sekitar Jayakarta/Batavia yakni Banten, Inggris dan Mataram, Belanda dapat mengeliminasi lawannya satu persatu.

Selanjutnya dalam menghadapi Mataram Belanda telah juga berhasil menanamkan kekuasaannya di Pulau Jawa dan peperangan yang terus menerus menentang Belanda serta perang suksesi yang berlarut-larut membawa akibat yang sangat menyedihkan bagi kelangsungan hidup armada niaga di Jawa. Praktis secara berangsur-angsur kota-kota pelabuhan di pantai utara dengan daerah pedalaman yang kaya raya jatuh ke tangan Belanda, baik sebagai "balas jasa" dari raja-raja yang telah meminta bantuan VOC maupun yang ditaklukkan sendiri. Untuk menghindari kehancuran yang lebih parah, sebagian besar dari pedagang-pedagang pindah ke tempat yang diaanggap masih aman dan dapat memberikan kelangsungan hidup yakni Makassar dan Banjarmasin. Bangsa Indonesia prktis telah dipaksakan untuk meninggalkan lautan dan pantai serta terdesak masuk ke pedalaman untuk mengerjakan tanah yang nantinya dipaksa menanam sejenis tanaman guna kepentingan ekonomi Belanda dalam rangka penghisapan kekayaan Indonesia.

Dalam masa kebangkitan Makassar, maka rute perdagangan laut yang terpenting di Indonesia jadi berubah. Dahulu kapal-kapal yang berlayar dari Selat Malaka menuju Maluku harus melalui bandar-bandar pantai utara Jawa atau sebaliknya. Tetapi setelah perempatan pertama dari abac XVII pelayaran tersebut tidak lagi melalui pantai utara Jawa tetapi langsung menuju Makassar. Perubahan rute pelayaran ini sangat merugikan Belanda di Batavia sedang kedudukan monopolinya di Maluku terancam kehancuran sebab rakyat lebih senang berdagang denagn pedagang-pedagang Makassar baik karena lebih menguntungkan juga karena sikap anti belanda rakyat sudah meluap. Pedagang-pedagang barat lainnya seperti Innggris, Portugis, Spanyol dan Denmark sangat senang berdagang dengan Makassar sebab di sini mereka dapat membeli rempah-rempah dengan bebas dalam jumlah yang dibutuhkan serta diberi izin membuka kantor dagang tetap di Makassar. Pertikaian antara Makassar dan Belanda semakin tajam sesudah Makassar secara terang-terangan tidak mengakui berlakunya monopoli Belanda di Maluku terhadap pedagang-pedagang Makassar serta tanpa takut-takut Hasanuddin membantu Ambon memberontak terhadap Belanda.

Pertempuran laut antara Makassar dan Belanda bukan hanya terjadi di depan pelabuhan Makassar tetapi sering kali terjadi di l autan terbuka di sekitar Maluku. Selama tiga tahun terus menerus Belanda berusaha mendaratkan pasukannya di pantai Makassar tetapi selalu gagal sedasng kapal-kapal perangnya tidak berani mendekati pelabuhan guna menghindari jarak tembak meriam Makassar. Barulah sesudah Belanda berhasil membujuk Aru Palaka, raja Bone mengangkat senjata melawan Makassar dan menaklukkan serangan infantri dari darat, Belanda berhasil mendarat dan menaklukkan Makassar. Peperangan ini berakhir pada tahun 1669 dan diikat dalam suatu perjanjian yang terkenal dengan nama "Perjanjian Bongaya". Fasal-fasal perjanjian tersebut sangat merugikan/menekan kebebasan Makasar khusunya di bidasng pelayaran dan perdagangan. Daerah-daerah kekuasaan Makasar di seberang lautan jatuh ke tangan Belanda. Seperti yang sudah disinggung di muka maka Bahariwan-bahariwan yang tidak setuju terhadap perjanjian Bongaya, lalu meninggalkan Makasar dan bergabung dengan penguasa-penguasa pantai yang anti penjajahan untuk melanjutkan perjuangan menentang dominasi Belanda dengan gerilya laut.

Dengan jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis pada tahun 1511 turut membuat Aceh maju dengan pesat. Dalam waktu yang singkat Aceh menjadi saingan yang terberat bagi Malaka baik di bidang perdagangan laut maupun di bidsang kekuatan fisik. Kapal-kapalnya berlayar sampai ke Ceylon, India dan Laut Merah. Aceh mempekerjakan perwira-perwira artileri bangsa Turki di kapal-kapal perangnya, mengeluarkan mata uang emas sendiri (dapat dilihat di Museum Jakarta) sebagai tanda kemakmuran dan kegiatan ekonomi Aceh dalam jalur perdagangan antar bangsa.

Masa keemasan pertama bagi kerajaan Aceh adalah pada permulaan abad ke XVII, yaitu di bawah pimpinan Iskandar Muda. Pada waktu itu Aceh meluaskan kekuasaannya kebagian terbesar semenanjung Malaka, dan dengan Angkatan lautnya terdiri dari 19.000 orang. Aceh pada tahun 1618 menaklukkan Pahang, tahun 1619 Kedah dan selanjutnya pada tahun 1620 dapat menaklukkan Perak sehingga sekalipun Malaka gagal direbut oleh Aceh dari tangan Portugis tetapi dilihat dari sudut ekonomi dan Hankamnas peranan dan keudukan Portugis praktis telah lumpuh dan terisolir. Karena Johor dan Malaka bersekutu/bekerjasama dengan Portugis di bidang ekonomi maka kedua kerajaan yang tersebut pertama itu ditaklukkan oleh Aceh pada tahun 1923 dan kebun kebun lada di daerah tersebut dihancurkannya. Pada tahun 1629 Aceh melancarkan serangan armada yang paling berbahaya di antara serangan-serangan yang pernah dialami Portugis di Malaka dari bangsa Asia. Kejatuhan Malaka hanya dapat tertolong karena kebetulan bersamaan dengan waktu penyerangan tersebut muncul armada Portugis yang baru datang dari Goa di muka pelabuhan Malaka. Setelah Belanda dapat merebut Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1641 maka praktis hegemoni di Selat Malaka berada dalam tangan Belanda, walaupun Aceh masih dapat memainkan peranan penting. Setelah Makasar dapat ditaklukkan secara militer maka pada abad XVIII dominasi dan supremasi Belanda di lautan telah terjamin, sedangkan monopoli pengangkutan dan perdagangan berada di tangan VOC. Walaupun VOC pada akhir abad XVIII bubar, tetapi pemerintahan kolonial Belanda telah tertanam dengan baik. Segala usaha Belanda dipusatkan kepada sasaran bagimana dapat menghasilkan sebanyak mungkin hasil bumi yang diperlukan oleh dunia.

Sekalipun Belanda meninsyafi betapa besarnya bahaya yang mungkin dihadapi pada setiap saat dari pihak Aceh, Belanda belum berani menunjukkan suatu tindakan tegas oleh karena baik Belanda maupun Inggris telah mengadakan suatu perjanjian joint agreement yang mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh (Traktaat London, 1824). Tetapi pada tahun 1873 puncak ketegangan di antara Aceh dengan Belanda meledak dengan dinyatakannya pengumuman perang oleh belanda terhadap Aceh. Peperangan antara Aceh dengan Belanda berlangsung di darat dan di laut selama kurang lebih 31 tahun. Peperangan ini memakan banyak korban jiwa di pihak serdadau belanda (pada pendaratan pertama Jenderal Kohler tewas oleh peluru prajurit Aceh) serta memakan biaya sangat besar sehingga baik Eerste maupun Tweede Kamer ribut menyalahkan kebijakan yang ditempuh oleh G.G. dan para Jenderal yang memimpin/bertanggung jawab mengenai penyelesaian perang Aceh. Barulah sesudah dilaksanakan kombinasi di antara SISTEK dan SISSOS sebagaimana diusulkan oleh Dr. Snouck Hurgronye yang bergelar "Haji Abdul Gaffar" dilaksanakan, Belanda berhasil memenangkan medan peperangan Aceh sebagaimana telah disebutkan di muka.

Siasat penjajah untuk mengilangkan dan mengeliminasi kekuasaan di laut ini yang juga akan membawa pengaruh kepada rasa cinta dan merasa terikat akan laut serta semangat berada di lautan ternyata berhasil dengan baik sekali dan membawa manfaat dalam menjalankan penjajahannya di Indonesia. Secara fisik pada hakekatnya bangsa Indonesia tidak pernah meninggalkan jiwa baharinya, karena masih berada di lautan baik sebagai nelayan miskin yang berdiri sendiri, maupun sebagai kaum p elayar yang hanya dapat menjadi pengangkut dari hasil bumi tertentu yang melayani angkutan pelayaran pantai atau maksimal pelayaran antar pulau atas risiko sendiri. Yang didesak oleh Belanda dan betul-betul terlepas dari tangan bangsa Indonesia adalah kebebasan untuk menjadi pedagang perantara atau pengangkut merdeka terhadap segala macam komoditas karena hak monopoli ini telah beralih kepada perusahaan Belanda Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang didirikan tahun 1881.

Dalam dekade-dekade terakhir pada abad ke XIX dan permulaan abad ke XX Belanda ada juga membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan serta ada usaha untuk merobah politiknya namun hal yang sedemikian tidak berarti banyak. Kesempatan untuk menduduki posisi penting tetap tidak ada dan segala kebijakan Belanda hanya ditujukan untuk menunjang dan mengukuhkan sistem penjajahannya. Khusus dalam bidang bahari sampai berakhirnya penjajahan belanda bangsa Indonesia hanya menempati kedudukan terbawah, menjadi awak kapal KPM, menjadi awak kapal Gouvernements Marine, Koininklijke Marine dengan pangkat bintara dan diinstalasi daratan juga tidak lebih dari pegawai rendah. Jumlah mereka pada tahun tiga puluhan cukup banyak, yakni 4800 pada KPM dan 2400 pada KM.

Walaupun demikian semangat/jiwa bahari bangsa Indonesia tidak padam sama sekali. Sejajar dengan berkembangnya pergerakan nasional maka pemuda pelaut bangsa Indonesia yang bekerja pada kapal-kapal Belanda membentuk berbagai organisasi antara lain I.M.B (Inlandsche Marine Bond) dan Ch.I.B (Chirstelyke Inlandsche Marine Bond). Melalui organisasi-organisasi tersebut pemuda-pemuda bahariwan telah berhasil membangkitkan kesadaran nasional serta lebih mempertebal semangat jiwa bahari. Puncak daripada perjuangan pemuda bahariwan ialah meletusnya pemberontakan kapal tujuh pada tanggal 5 Pebruari 1933. Walaupun pemberontakan tersebut dapat dipadamkan dalam waktu singkat namun peristiwa itu telah membuktikan kepada dunia bahwa jiwa bahari bangsa Indonesia masih tetap hidup. Bagi kaum pergerakan yang sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalan politik pemberontakan Kapal Tujuh menambah keyakinan akan berhasilnya perjuangan mereka.

Dapatlah dikatakan bahwa Belanda telah dapat mendesak bangsa Indonesia secara mental bahkan mengubah watak bangsa dari watak pelaut menjadi watak petani. Apabila kita bertolak dari pendirian bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mendiami kepulauan, maka sesuai ajaran geopolitik bangsa-bangsa yang demikian pada umumnya mempunyai jiwa yang positif dan aktif. Kebenaran hal ini dapat kita buktikan dengan peristiwa semenjak zaman dahulu seperti telah diuraikan di atas.

Masa Pendudukan Jepang

Masa pendudukan Jepang bagi bangsa Indonesia telah menimbulkan berbagai penderitaan yang sangat berat. Berjuta-juta penduduk menderita busung lapar, beratus-ratus ribu orang dikerahkan sebagai pekerja paksa (Romusya) dan kebebasan bergerak ditindas sehingga pergerakan politik tidak dapat tumbuh secara wajar. Walaupun demikian masa pendudukan Jepang mempunyai beberapa segi positif antara lain di bidang pemerintahan bangsa Indonesia mendapat kesempatan untuk turut mengatur dengan menduduki jabatan penting, di bidang Hankamnas diketahiui seluk beluk organisasi militer sistem pertahanan dan berbagai pendidikan/latihan kemiliteran, di bidang ideologi/politik, semangat nasionalisme berkembang pesat sejajar dengan meluapnya semangat anti kolonialisme, di bidang kebudayaan dengan dibukanya berbagai sekolah secara merata dan dengan digunakannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, telah membawa pengaruh yang positif.

Demikian pula di bidang maritim/bahari pada masa pendudukan Jepang banyak segi-segi positifnya. Untuk keperluan penangkutan bahan-bahan mentah tenaga manusia, perlengkapan perang dan pasukan dari Indonesia ke front depan ataupun ke daerah lain Pemerintah Pendudukan Jepang membutuhkan Armada Angkutan laut yang cukup besar dalam waktu seceapt mungkin. Armada Angkutan Laut sisa zaman Hindia Belanda sudah hancur, karena kapal-kapal KPM menjelang invasi Jepang telah diperintahkan untuk keluar dari Perairan Indoneesia dan kapal-kapal yang tidak sempat diungsikan diledakkan oleh belanda sebelum melarikan diri ke Australia. sedangkan kapal-kapal Jepang sepenuhnya ditugaskan untuk melayani tugas-tugas di Front Pasifik. jadi tidak ada alternatif lain kecuali memobilisaasi semua angkutan laut yang ada di bumi Indonesia.

Sesuai dengan pemikiran tersebut maka Pemerintah Pendudukan Jepang segera mengajak Bangsa Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan di bidang Maritim khususnya Armada Angkutan Laut. Sejajar dengan tersebut maka di bentuklah 軍政監部海事総局 (Gunseikanbu Kaiyi Sokyoku) yang berpusat di Jakarta dan cabang-cabangnya pada setiap pelabuhan yang penting. Di samping Jawatan Pelayaran dibentuk pula Perusahaan Pelayaran Pemerintah (ジャワ運航会社 Jawa Unko Kaisya) di Jawa dan 南方運航会社 Nampo Unko Kaisya di Sumatera. Untuk keperluan tugas-tugas Angkutan Laut Militer dibentuk 暁部隊 Akatsuki Butai yang dapat disamakan dengan Kolinlamil (Komando Lintas Laut Militer TNI AL) saat ini dan untuk melaksanakan tugas-tugas patroli Pantai dibentuk 船舶隊 Sen Pakutai. Semua jawatan/perusahaan tersebut dipimpin oleh orang Jepang, tetapi stafnya terdiri dari orang Indonesia.

Untuk mencukupi kebutuhan kapal-kapal laut pemerintah Pendudukan Jepang sejak tahun 1942 merehabilitasi galangan-galangan kapal yang telah ada ataupun membangun galangan-galangan kapal secara darurat, sehingga dengan demikian timbullah kesibukan "luar biasa" galangan kapal di Pasar Ikan, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Juana, Lasem, Makasar, padang, Tanjung Balai Asahan. Pada galangan-galangan tersebut bekerja berpuluh-puluh ribu bangsa Indonesia hanya pimpinannya dipegang oleh orang Jepang. Dalam waktu yang singkat dari galangan tersebut telah diproduksi berpuluh-puluh kapal kayu jenis Coaster yang berukuran 60 ton - 250 ton bermesin diesel. Kapal-kapal kayu tersebut segera didayagunakan oleh instansi/perusahaan pelayaran seperti disebut di atas.

Untuk mencukupi kebutuhan tenaga-tenaga pelaut bagi kapal-kapal tersebut pada mulanya didapat dengan menggunakan pelaut-pelaut bangsa Indonesia yang telah pengalaman pada zaman Belanda yakni bekas anggota KM, GM dan KPM. Tetapi jumlah dari tenaga-tenaga pelaut tersebut jauh dari mencukupi, karena itu perlu segera diadakan pendidikan bagi calon-calon bahariwan. Pada akhir tahun 1942 dibuka Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) di Jakarta kemudian menyusul di Semarang, Cilacap, Tegal, Makassar dan Pasuruan. SPT mendidik calon perwira sedasng untuk calon kelasi dididik pada sekolah Pelayaran Rendah (SPR) yang diadakan di Jakarta, Tegal, Semarang, Sumenep, Pasuruan, Probolinggo, Denpasar, Makasar, Banjarmasin, padang dan Tanjung Balai Asahan. Di samping mendirikan SPT/SPR, pemerintah Jepang membuka pula sekolah lain yang beraspek maritim yakni Sekolah Bangunan Kapal di Jakarta, Sekolah pembantu Kaigun dan Sekolah Penerbangan Angkatan Laut. Dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah dihasilkan bebeerapa ribu pemua bahariwan yang memiliki pendidikan profesional.

Dalam keadaan yang "serba tanggung" inilah Bangsa Indonesia telah memanfaatkan situasi dan kondisi yang menguntungkan baginya menentukan suatu sikat yang berani bertekad mengambil nasib bangsa dan negara dengan segala akibatnya dalam tangannya sendiri untuk membangun dan mendirikan suatu Negara Merdeka terlepas dari segala belenggu penjajahan dengan suatu masyarakat yang adil dan makmur.

Perang Pasifik dan pengaruhnya bagi Pendudukan Jepang

Situasi terakhir menjelang keruntuhan Jepang pada umumnya khususnya Perang Pasifik tidak terlalu jelas diketahui oleh masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena pembatasan-pembatasan yang dilakukan pihak Jepang yang sangat mengawasi sarana dan peralatan komunikasi dan media. Tindakan tersebut dilakukan Jepang untuk kepentingan kerahasiaan militer sehingga merasa perlu untuk tidak menyebarkan berita-berita terkait dengan perang di Mandala Pasifik. Namun demikian para pejuang selalu berusaha untuk mencari-cari berita melalui radio gelap dengan cara mendekati/menghubungi para pegawai kantor berita dan radio pemerintah Jepang. Berdasarkan berita radio gelap dan dari para pegawai kantor berita dan dan radio tersebut serta dihubungkan dengan situasi internasional maka tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia dapat mengetahui keadaan Jerman dan Jepang walaupun tidak lengkap.

Baik Jerman maupun Jepang dengan ikut terlibatnya Amerika Serikat dalam Perang Dunia II di medan barat (Afrika - Eropa) dan medan timur (Asia - Pasifik) masing-masing mengharapkan tekanan dari Amerika Serikat akan berkurang. Rupa-rupanya harapan Jerman ini tidak terkabul, karena menurut konsepsi strategi sekutu "Europe First", Hitler dan Mussolini di Eropa harus dihancurkan terlebih dahulu, dan baru kemudian Jepang di Pasifik. Sesuai dengan strategi tersebut, cuma 15% dari semua sumber tenaga Sekutu diberikan pada medan Perang Pasifik, dan 85% selebihnya diborong oleh medan perang melawan Jerman-Italia di Eropa. Amerika Serikat yang pada mulanya tidak siap, tetapi berkat industri raksasanya mengakibatkan negara tersebut dengan cepat sekali siap dalam kancah peperangan. Juga keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia II akhirnya tak dapat dihindarkan lagi, sehingga harapan Jerman bahwa Rusia tidak akan bangkit gagal. Dengan demikian Jerman yang pada mulanya dapat bergerak secara cepat (blitzkrieg) dan berhasil menduduki negara-negara tetangganya kemudian gerakan tadi terhenti, bahkan akhirnya Jerman menjadi pihak defensif. Ofensif Jerman ke Eropa Timur telah tertahan di Stalingrad pada tanggal 19 November 1942 tidak saja disebabkan oleh cuaca buruk dan logistik yang kurang tetapi juga pertahanan Rusia yang kuat. Demikian pula di Afrika tentara tentara Jerman mulai mendapat pukulan hebat dari pihak Sekutu yakni di El Alamein pada tanggal 12 November 1942, dengan dilancarkannya peperangan tank-tank oleh Inggris.

Juga pihak Jepang harapan akan bebasnya dari tekanan Amerika Serikat dengan adanya peranan Amerika Serikat di Eropa ternyata tidak berhasil karena Amerika Serikat dengan cepat sekali dalam keadaan siap terutama berkat industrinya. Sedang Jepang dalam berperang harus berhemat terhadap kapal perangnya karena industri Jepang tidak dapat membuat kapal baru dengan cepat dan banyak. Dengan demikian Jepang yang semula seperti kawannya di Eropa (Jerman) dapat bergerak cepat dan merebut beberapa daerah kemudian offensifnya terhenti.

Situasi Perang Pasifik menjelang kekalahan Jepang kususnya yang menyangkut Indonesia tak dapat dilepaskan dari Perang Pasifik sebagai keseluruhan, dan hal ini erat hubungannya dengan strategi jepang dalam perang tersebut. Jepang sebagai negara industrialis kekurangan bahan-bahan mentah yang vital bagi industrinya seperti minyak, kapas, karet, bijih besi dan lain-lainnya. Juga jepang memerlukan daerah-daerah pasaran hasil industrinya seperti China dan negara-negara Asia Tenggara. Mengingat letak geografis Jepang, maka logis jika Jepang mengidam-idamkan Manchuria, China, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Daerah sasaran utama pendudukan Jepang adalah Indonesia karena Indonesia kaya minyak dan karet dan bahan tersebut sangat penting artinya guna melanjutkan peperangannya melawan Sekutu dalam jangka panjang.

Strategi Jepang dalam perang Pasifik ialah merebut pulau-pulau terpenting di Pasifik dari tangan Amerika Serikat, mempertahankan daerah itu dan mengulur peperangan bagitu lama sehingga Amerika terpaksa akan minta perdamaian.[9] Peperangan tersebut dimulai dengan serangan pendadakan Jepang atas basis armada Angkatan Laut Amerika Serikat di kepulauan Hawai. Dasar pertimbangan dilancarkannya serangan itu karena dalam pengertian strategis Jepang, adanya armada Amerika Serikat di kepulauan Hawai itu dapat disamakan dengan sebilah belati di depan tenggorokan Jepang. Kalau peperangan meletus, keadaan demikian itu mengakibatkan panjang dan lebarnya operasi ke daerah selatan dengan seketika akan terancam oleh bahaya yang besar dari samping. Dengan mengingat perbandingan kekuatan laut antara Jepang dengan Amerika Serikat, Jepang berpendapat bahwa ia tak mempunyai kesempatan kecuali kalau serangan yang memberi kepastian dapat dilancarkan pada kesempatan pertama-tama yang terbuka. Dengan demikian serangan atas Pearl Harbour merupakan syarat yang tak dapat digantikan bagi berhasil baiknya operasi ke daerah selatan.

Apabila dalam permulaan Perang Dunia II Amerika Serikat dan Inggris yang sangat terperanjat oleh serangan-serangan udara Jepang terhadap armadanya masing-masing di peral Harbour dan Singapura, tetap pada akhir tahun 1944 keadaan adalah sebalinya. Bala tentara Jepang mengalami peristiwa tersebut karena Angkatan Perang Sekutu mulai menyerang langsung ke negeri Jepang, sehingga mau tidak mau Jepang harus mempertahankan diri dan melepaskan maksudnya untuk menyerang Australia yang merupakan salah satu basis negara barat (sekutu) di pasifik di mana nanti pihak sekutu membangun pangkalannya. Tidak berhasilnya Jepang menyerang Australia merupakan kegagalan terbesar dalam strategi peperangannya. Dengan demikian gerak maju Jepang telah berbalik menjadi posisi bertahan pada batas yang telah dicapai dan kemudian berubah menjadi gerak mundur.

Untuk menghadapi Jepang dalam Perang Pasifik secara garis besar Sekutu membagi daereah Asia Pasifik menjadi tiga daerah Komando Operasi sebagai berikut :

a. South East Asia Command (SEAC) di bawah Laksamana Mountbatten (Inggris)

b. Central pacific Command (CPC) di bawah Laksamana Chester W. Nimitz (Amerika Serikat)

c. South West pacific Command (SWPC) di bawah Jenderal Douglas Mc. Arthur.

sedang Jepang membagi daerah tersebut membagi dua kawasan operasional yaitu :

a. Daerah Selatan (Asia) di bawah Laksamana Inada kemudian diganti oleh Marsekal Terautji.

b. Daerah Pasifik di bawah Laksamana Yamamoto.

Sejak tahun 1942 kedudukan Sekutu pada tiap front pertempuran bertambah kuat, baik di front Afrika - Eropa maupun di front Asia - Pasifik. Di front Asia Pasifik Amerika dan Sekutunya berlomba-lomba untuk mencapai kepulauan Jepang. Mc. Arthur dan Chester W. Nimitz diperintahkan untuk segera melaksanakan operasi ke kepulauan Jepang.

Dengan siasat lompat kataknya (leap frogging) Mc. Arthur pada bulan April 1944 berhasil menduduki Hollandia (Jayapura-Irian Jaya) dan segera menuju ke Morotai untuk selanjutnya ke Jepang melalui Filipina dan Okinawa. Setelah merebut Tarawa, lalu menuju ke kepulauan Marshall, Kwajelein terus ke Saipan untuk selanjutnya ke Jepang. Sedang dari Birma, Jenderal Wingate melakukan aksi-aksi penyusupan jauh ke belakang garis pertahanan Jepang. Namun demikian meskipun desakan Sekutu makin hebat dan Itala kawan Jepang di Eropa telah hancur dan menyerah pada tanggal 8 September 1943, Jepang masih tetap tidak menghiraukan seruan Sekutu untuk menyerah tanpa syarat.

Dalam operasinya ke daerah selatan Jepang bermaksud merebut Port Moresby sebagai batu loncatan untuk opoerasi selanjutnya ke Australia. Amerika berusaha mencegah maksud Jepang tersebut dan terjadilah pertempuran di Laut Karang. Pertempuran di Laut Karang pada tanggal 8 Mei 1942 antara sekutu dan Jepang tak dapat ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Secara taktis Jepang mendapat kemenangan, karena kerusakan dan kerugian pada pihak Amerika lebih besar. Tetapi secara strategis Amerika yang menang, karena pendaratan Jepang di Port Moresby yang menjadi tujuan pendaratan jepang dapat digagalkan oleh Sekutu/Amerika Serikat.

Dengan kekalahannya di Laut Karang, Jepang lebih insyaf akan kekuatan sendiri dan kekuatan lawannya, terutama Amerika Serikat yang tercermin dalam Konferensi Kerajaan pada tanggal 6 September 1941. Padas konferensi tersebut Laksamana Osami Nagano Kepala Staf Umum Angkatan Laut Jepang berkata: "Kami dapat menentang Amerika Serikat dengan sukses untuk periode dua tahun. Konflik yang lebih lama akan menjurus pada keadaan tidak menguntungkan bagi Jepang."[10] Pandangan ini juga dimiliki orang Jepang yang mengetahui kekuatan tempur di negerinya sendiri dan mengerti kemampuan potensi lawannya.

Pimpinan Angkatan Perang Jepang percaya bahwa Amerika Serikat dapat dikalahkan dengan mudah. Tetapi Laksamana Nagano dan Yamamoto yang mengetahui perangai, sifat dan karakter Bangsa Amerika Serikat, seperti dalam sejarah militer negaranya, tidak mempunyai khayalan suatu kemenangan yang mudah bagi Jepang. Mereka mengharap bahwa Jepang secepatnya mencapai keunggulan dan Amerika Serikat akan menerima kompromi perdamaian. Ada risiko yang terlihat, tetapi Yamamoto memutuskan bahwa risiko semacam itu akan dapat diatasi, dengan peperangan yang menentukan. Timbul pertanyaan di mana peperangan yang menentukan itu akan dilaksanakan. Staf umum Angkatan Laut Jepang mengharap bahwa peperangan ini akan berlangsung di Solomon.

Kepulauan Solomon yang terbentang di bagian tenggara Rabaul ke Guadalcanal dapat melengkapi basis yang berguna bagi armada Jepang. Staf Umum menggambarkan bahwa serangan terhadap kepulauan ini akan mengancam garis hubungan Sekutu, supaya Amerika Serikat menentang pendudukan mereka dan kemudian dapat dihancurkan. Konsep ini banyak bergantung pada perkembangan lawannya untuk menjadi sasaran atau umpan. Jika musuh menjadi ragu-ragu dalam pertempuran yang menentukan di Solomon, maka Jepang akan dihadapkan pada perang yang lama.

Laksamana Yamamoto di pihak lain menentukan Midway sebagai area pertempuran yang menentukan. Pendudukan Jepang atas Midway dan Aleut, kedua-keduanya sama dalam rencana operasi, akan menjadikan jaminan tantangan dari Angkatan Laut Amerika Serikat. Ia merasa Amerika Serikat dapat menerima jatuhnya Guam dan Wake, tetapi mereka tidak akan membiarkan kemenangan Jepang di Seberang meridian (bujur) 180 derajat.[10] Pandangan ini juga dimiliki orang Jepang yang mengetahui kekuatan tempur dari negerinya sendiri dan mengerti kemampuan potensi lawannya.

Pimpinan Angkatan Perang Jepang percaya bahwa Amerika Serikat dapat dikalahkan dengan mudah. Tetapi Laksamana Nagano dan Yamamoto yang mengetahui perangai, sifat dan karakter bangsa Amerika Serikat, seperti dalam sejarah militer negaranya, tidak mempunyai khayalan suatu kemenangan yang mudah bagi Jepang. Mereka mengharap bahwa Jepang secepatnya mencapai keunggulan dan Amerika Serikat akan menerima kompromi perdamaian. Ada risiko yang terlihat, tetapi Yamamoto memutuskan bahwa risiko semacam itu akan dapat diatasi, dengan peperangan yang menentukan itu akan dilaksanakan. Staf Umum Angkatan Laut Jepang mengharap bahwa peperangan ini akan berlangsung di Solomon.

Sementara dua rencana itu didiskusikan, ada saran ketika dari Kepala Staf Yamamoto yaitu Laksamana Muda Ryunosuke Kusaka. Ia mengemukakan bahwa Armada Jepang menyelesaikan operasi-operasi di Samudera Pasifik Selatan dan pilot-pilot serta awak kapal dalam keadan payah. Karena kapal-kapal laut dan kapal-kapal terbang membutuhkan perbaikan, Kusaka mengusulkan penundaan operasi tersebut untuk 40 atau 50 hari.

Bagaimanapun tidak menguntungkan, rencana operasi lebih lanjut dikembangkan tanpa pertimbangan usul Kusaka. Yamamoto tidak akan melewatkan kemenangan-kemenangan yang diperoleh Jepang selama 6 bulan pertama sejak perang Perang Pasifik dan pula kekuatan Armada Amerika Serikat dibagi dua sebagian di Samudera Atlantik dan yang sebagian lagi di Samudera Pasifik. Kalangan pimpinan Angkatan Laut Jepang dapat dibujuk oleh Yamamoto yang begitu antusias terhadap konsepsinya, sehingga baik yang setuju maupun yang tidak terhadap konsepsi tersebut akhirnya membiarkan konsep itu dilaksanakan.

Apabila pertempuran di Laut karang tidak menghasilkan kepsatian pihak mana yang menang, lain halnya dengan pertempuran di Midway pada bulan Juni 1942. Di sini Sekutu memperoleh kemenangan baik strategis (pendaratan Jepang di Midway tercegah untuk seterusnya) maupun pertempuran di Midway bersifat menentukan (decessive battle), sehingga arus ekspansi militerisme Jepang mandek dan tertahan di Midway. Sejak saat itu jepang tak pernah lagi sanggup membentuk sebuah Armada kapal induk yang begitu kuat dan terlatih anak buahnya dan sesudah itu Jepang main lama main terdesak dan hanya bersiaft defensif.[9] Dengan demikian pertempuran di Midway merupakan titik bali dari Perang Pasifik.[11]

Dengan kekalahan Jepang dalam pertempuran di Midway maka tujuan Yamamoto untuk menguasai front di Pasifik dari Utara ke Selatan telah gagal, dan dibagian tengah Pasifik sekarang terdapat lubang yang sangat besar sekali. Kekalahan tersebut mempunyai arti yang sangat penting bagi Jepang, karena di samping berada dalam pihak defensif juga perimbangan kekuatan Angkatan Laut di Pasifik condong kepada kekuatan Amerika Serikat. Sejak saat itu pihak Jepang menarik kesimpulan bahwa mungkin sekali Pasifik Barat Daya, termasuk kepulauan Solomon, merupakan gelanggang di mana disajikan suatu adegan berupa aksi Angkatan Laut yang bersifat menentukan. Dan memang sesudah Midway di bagian Tengah Pasifik maka Solomon menjadi pusat pertempuran-pertempuran.

Di antara pertempuran-pertempuran yang yang terjadi di Kepulauan Solomon yang penting adalah pertempuran laut di Pulau Savo. Pada tanggal 4 Mei 1942 Jepang telah berhasil menduduki tiga kepualauan Solomon yaitu Gavutu, Tanambogo dan Tulagi yang kemudian dijadikan pangkalan laut dan udara karena di pulau-pulau itu tidak terdapat lapangan yang dapat dipergunakan sebagai landasan terbang, maka pada bulan Juni sebagian dari pasukan Jepang di Tulagi menduduki Lunga, daerah di Pulau Guadalcanal dan segera disusul pembuatan landasan terbang. Maksud dari pembuatan landasan baik di Tulagi dan Guadalcanal ialah supaya basis di Jepang di Kepulauan Solomon lebih sempurna sebab Jepang mengetahui bahwa counter ofensif Amerika yang akan dimulai dari daerah basisnya di Australia dalam merebut daerah-daerah Irian, Indonesia, Filipina dari jurusan Pasifik Tenggara akan mempergunakan Kepulauan Solomon sebagai batu loncatan dan Yamamoto merencanakan membendung counter ofensif tadi di Kepulauan Solomon. Dengan adanya landasan-landasan terbang Jepang di Kepulauan Solomon akan membahayakan Australia dan "sea-lanes" dari Amerika ke Australia. Bagi Amerika Serikat, Australia merupakan pojok barat dari Pertahanan Pasifik Selatan dan hanya dapat dipergunakan bila garis supply Samudera pasifik tidak terganggu.

Mengingat arti pentingnya Kepulauan Solomon, maka masing-masing pihak berusaha merebut/menduduki daerah itu, walaupun letak kepulauan itu sama jauhnya dari sumber kekuatan masing-masing. Jarak Solomon - Tokyo hampir sama dengan Solomon - Hawai. Dengan demikian masing-masing pihak dipaksa menyusun garis supply yang panjang sekali dan pertempuran-pertempuran di Solomon selanjutnya merupakan penghancuran "manpower" dan "logistik" di masing-masing pihak.

Dalam rangka inilah Amerika Serikat mengadakan operasi "Watchtower". Operasi ini semual hanya direncanakan untuk merebut Tulagi. Tetapi setelah mengetahui dari berita-berita pengintaian bahwa Jepang sedang membuat lapangan terbang di Guadalcanal, maka operasi "Watchtower" diperluas pula untuk merebut Guadalcanal. Dengan operasi tersebut akhirnya Sekutu pada tanggal 8 Agustus 1942 telah berhasil menguasai Tulagi, Gavutu, Tanambogo dan Guadalcanal.

Setelah Laksamana Guinchi Mikawa, Komandan Armada ke VIII yang bermarkas besar di Rabaul menerima berita bahaya dari Tulagi, segera ia mengambil tindakan untu kmengadakan serangan balasan. Kapal-kapal penjelajahnya yang berada di Samudera dipanggil berlayar "fullspeed" ke Rabaul. Dengan lima kapal penjelajah berat yaitu Aoba, Kako, Kinugasa, Furutuka dan Chokai sebagai kapal pimpinan, ditambah dua kapal penjelajah ringan Tenryu, Yubari dan sebuah kapal kapal perusak Yunagi, Laksamana Mikawa menuju ke tempat pendaratan di Guadalcanal sebab disitu masih ada kapal-kapal pengangkut Amerika dan kapal-kapal perangnya. Perjalanan dari Rabaul ke Guadalcanal bisa dikatakan tidak mendapat rintangan yang berarti. Pada pukul 18.40 tanggal 8 Agustus Armada Jepang terebut tiba di laut sebela utara pulau Guadalcanal.

Sekutu membagi penjagaan kesatuan transport dalam tiga Satuan Tugas yaitu :

1. Satuan Tugas Selatan dipimpin oleh Laksamana Crutchley.

2. Satuan Tugas Utara dimpimpin oleh Kolonel Frederic L. Riefkolh

3. Satuan Tugas Timur dipimpin oleh Laksamana Noerman Scot

Di sebelah luar ditempatkan pula penjagaan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Harold N. Williams. Laksamana Muda Turner memegang tanggung jawab atas keseluruhan 17 kapal transport dan kapal-kapal penumpang, yang mempunyai rencana akan bongkar muatan sepanjang malam, sebagian di Tulagi dan sebagian di Guadalcanal.

Berkat pengintaian dari kapal terbang Laksamana Mikawa dapat mengetahui benar-benar formasi kapal musuh. Ia akan menarik keuntungan dari kekuatan musuh yang terpencar-pencar. Dengan serangan pendadakan yang dimulai kira-kira tengah malam pada tanggal 9 Agustus 1942 mulailah perang laut pertama di Kepulauan Solomon, yang lebih dikenal dengan pertempuran Pulau Savo. Pada saat bencana Savo itu terjadi, Laksamana Turner, Mayor Jenderal Vandergrift (Komandan Divisi I, US Marine Corps) dan Laksamana Crutchley tidak berada di pos komando mereka masing-masing, mereka ketiga-tiganya sedang asik membahas gerakan-gerakan selanjutnya dalam konferensi di atas kapal pengangkut Mc Cawley yang berlabuh di muka Lunga Point. Pertempuran pulau Savo diakhiri dengan kemenangan gilang-gemilang pada pihak Jepang, cukup dikatakan bahwa ketika Laksamana Mikawa meninggalkan pertempuran, sekutu menderita keruguan penjelajah Camberra (milik Armada Australia), penjelajah berat milik Amerika Vincennes, Astoria, Quincy dan 1000 jiwa, sedang pada pihak Jepang tak ada satupun kapal perangnya yang tenggelam. Kemenangan ini disebabkan terutama karena serangan berlangsung pada malam hari dan pihak sekutu mengakui bahwa Jepang lebih unggul dalam pertempuran malam menggunakan torpedo. Di samping itu prajurit-prajurit sekutu di sekitar Guadalcanal baru lebih akibat kerja keras selama dua hari berturut-turut.

Walaupun Jepang mendapat kemenangan tetapi ia tidak dapat melanjutkan strateginya karena kekalahan dalam pertempuran selanjutnya seperti pertempuran Santa Cruz (Oktober 1942), Pertempuran laut Tassafaronga (November 1942), sehingga dalam pertempuran-pertempuran di Kepulauan Solomon secara keseluruhan Jepang menderita kekalahan. Dengan demikian pertempuran laut Pulau Savo yang merupakan kemenangan gilang gemilang dari Jepang di antara pertempuran-pertempuran yang berlangsung di Kepulauan Solomon tiak dapat mengubah keseimbangan kekuatan di Samudera Pasifik yang sekarang ada di pihak Amerika Serikat, meskipun dalam pertempuran itu bagi Amerika Serikat, merupakah kekalahan yang paling parah yang pernah dialami oleh armadanya, sehingga akibat kelalahan ini Amerika Serikat menarik semua kapal perang da kapal transportnya ke New Hebrides. Jadi kemenangan Jepang di Savo tak dapat mengubah Jepang dari sifat defensif ke ofensif kembali, seperti pada bulan-bulan pertama sejak pecahnya Perang Pasifik.

Kejadian-kejadian di atas menimbulkan keinsyafan bagi Jepang, bahwa ia memerlukan kerjasama dengan penduduk-penduduk di daerah-daerah yang ditaklukkan untuk mewujudkan terciptanya "Lingkungan Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya". Keinsyafan tersebut merupakan titik peralihan yang penting pada sikap Jepang terhadap bangsa-bangsa yang ditaklukkan. Untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang diduduki maka pemerintah Jepang memberi beberapa konsesi kepada daerah-daerah yang diduduki, antara lain dengan dibentuknnya badan pemerintahan (badan penasihat) yang seolah-olah merupakan tahap pertama realisasi dari janji-janji Jepang. Tindakan-tindakan Jepang tersebut sebetulnya mempunyai latar belakang strategi yaitu daerah Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara umumnya yang semula dijadikan sebagai home front, dengan terdesaknya kedudukan Jepang di front Pasifik maka daerah-daerah tersebut akan dijadikan perbentengan yang kuat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan bantuan dari rakyat-rakyat di daerah tersebut sepenuhnya. Jadi jelas bahwa konsesi-konsesi yang diberikan oleh Jepang kepada Bangsa Indonesia bersumber kepada kepentingan Jepang pada Perang Pasifik.

Terdesaknya Jepang dan Pembentukan Organisasi Militer.

Walaupun pada prinsipnya garis politik yang diberikan Tokyo adalah berlaku untuk seluruh daerah Indonesia, tetapi karena adanya pembagian kekuasaan Indonesia atas tiga daerah tiap-tiap bagian dikuasai oleh satu pemerintahan militer yang dipegang oleh Komando yang berbeda-beda maka pelaksanaan dari instruksi tersebut akan dipengaruhi oleh pertimbangan dari pemerintahan militer. Dalam hubungan ini maka Tentara ke 26 yang berkuasa di Jawa dan Madura adalah yang paling moderat terhadap kaum pergerakan bangsa Indonesia.[12] Ssalah satu realisasi dari tindakan Tentara ke 16 adalah dibentuknya Permusyawaratan Pemerintah di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1942. Di antara pokok-pokok yang dikemukakan pada penyempurnaan usaha peperangan, masalah tipu muslihat, memberi teladan yang baik dan menjalankan pemerintahan dengan kebijaksanaan. Untuk Selanjutnya salah satu pelaksanaan dari Permusyaratan itu ialah dibentuknya organisasi-organisasi militer dan semi militer di kalangan penduduk yang dapat dipergunakan sebagai tenaga-tenaga pembantu Angkatan Perang Jepang dan buruh kasar untuk berbagai keperluan perang.

Para konferensi kerajaan pertama yang diadakan pada bulan Mei 1943 antara lain dibahas masa depan Indonesia dan timbullah perbedaan pendapat antara Tokyo dan Tentara ke 16 di satu pihak tentara ke 25 di pihak lain. Tentara ke-16 berpendapat bahwa perlu segera memberi kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia, sebaliknya tentara ke-25 menentang semua pemberian kemerdekaan dalam bentuk apapun. Menurut perwira-perwira tentara ke 25 penduduk dianggap belum cukup berkembang secara sosial dan kebudayaan, untuk mengambil tanggung jawab pemerintahan sendiri. Sebagai kompromi dari dua pendapat yang berbeda itu disetujui bahwa tidak satupun dari bagian Indonesia yang diberi kemerdekaan tetapi partisipasi politik dapat dibenarkan secara segera untuk Jawa dan daerah-daerah lain sesuai kesiapan masing-masing.[13]

Sesuai dengan keputusan konferensi tersebut maka Tentara ke 16 melalui Gunseikanbu membentuk Dewan Penasihat Pusat (Tyuo Sangi In) yang diketuai oleh Sukarno. Dewan Penasihat tersebut juga dibentuk di tingkat Propinsi dan karesidenan (Syu Sangi Kai). Di samping Dewan Penasihat di Jawa sebelum tahun 1943 telah terbentuk berbagai gerakan massa seperti PUTERA akan berubah menjadi Jawa Hokokai dan MIAI menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia)

Memburuknya kedudukan militer Jepang sejak 1944 memaksa suatu perubahan politik pada bulan Mei 1943. P.M Koisho pada tanggal 7 September 1944 secara umum menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di kelak kemudian hari. Mengani batas-batas teritorial adri negara yang akan dibentuk belum dapat ditentukan sebab adanya penolakan dari Angkatan Laut dan juga dari Tentara ke 25, hanya untuk Sumatera dan jawa akan segera diizinkan untuk menggunakan bendera nasional Indonesia dan lagu kebangsaan Indonesia yang telah populer sebelum perang.

Pada tanggal 29 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Djumbi Tjosakai) /BPUPKI yang diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Jumlah seluruh anggota 9 orang termasuk ketua dan ketua muda ada 62 orang, sehingga badan itu sering terkenal dengan Panitia 62 dan pelantikannya dilakukan pada tanggal 28 Mei 1945. Tugas badan tersebut ialah merancang organisasi pemerintahan nasional yang dapat menerima "kemerdekaan" dari Jepang.[14]

Segera setelah dilantik, diadakan dua kali sidang, yang pertama pad tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 sedang sidang kedua berlangsung dari tanggal 10 Juli - 17 Juli 1945. Pada sidang pertama terutama dibicarakan tentang dasar negara yang didirikan. Dalam sidang tersebut di antara anggota yang berpidato dua orang antara lain mengemukakan tentang gagasan yang kemudian terkenal dengan nama Pancasila, yaitu Mr. Muh Yamin dan Ir. Sukarno. Pidato Mr. Muh Yamin dilakukan pada tanggal 29 Mei 1945 jadi tiga hari sebelum Ir. Sukarno berpidato yaitu tanggal 1 Juni 1945 dan pula hubungan antara kedua tokoh kemerdekaan tadi sangat erat, terutama menjelang rapat-rapat Dokuritsu Djumbi Tjosakai, karena mereka kerapkali berdiskusi, maka tidaklah mustahil apabila pidato Mr. Muh. Yamin tidak "memberi inspirasi" pada pidato Ir. Sukarno. Dengan demikian tepatlah kiranya apabila dikatakan bahwa Pancasila itu dirumuskan oleh Ir. Sukarno bersama Mr. Muh. Yamin.[15]

Antara sidang pertama dan sidang kedua, yaitu pada tanggal 22 Juni 1945 lahirlah apa yang dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang ditandatangani oleh 9 tokoh pergerakan nasional.[16] Jakarta Charter lahir sebagai reaksi terhadap siasat Jepang melalui Badan Persiapan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan tentang janji kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari. Demikianlah piagam tersebut memperlihatkan corak dan warna dari ketetapan hati pejuang cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan tidak dikaburi janji dan ucapan yang muluk-muluk dengan apa yang dinamakan kemerdekaan hadiah. Di samping naskah Proklamasi, Jakarta Charter merupakan dokumen historis yang sangat penting artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia, sebab perumusan UUD 45 yang meliputi pembukannya, mempergunakan Piagam Jakarta sebagai dasar perumusannya. Dan UUD 45 yang kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI), Pembukaannya adalah Piagam Jakarta yang telah mengalami beberapa perubahan. Karena Piagam Jakarta mengandung azas-azas yang kemudian terkenal dengan Pancasila, maka Pembukaan 45 pun mengandung azas tersebut. Sehingga secara yuridis peranan Piagam Jakarta tampak jelas dalam UUD 45, khususnya pada Pembukaannya, juga karena Pancasila akhirnya menjadi filsafat negara, maka secara filosofis Piagam Jakarta pun mempunyai arti yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Piagam Jakarta menunjukkan bahwa dokumen tersebut tidak dapat diabaikan oleh Bangsa Indonesia. Hal ini tampak jelas disebut dalam konsiderans Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45. Demikianlah pentingnya piagam itu sehingga sampai pada sidang-sidang Umum MPRS hal itu tetap m erupakan soal hangat. Pada sidang kedua Dokuritsu Djumbi Tjosakai piagam tersebut telah disahkan di samping menerima rancangan Hukum Dasar. Setelah tugas Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan dianggap selesai maka pada bulan Juli 1945 Badan tersebut diubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Djumbi Inkai dengan ketuanya Ir. Sukarno dan wakilnya Drs. Moh Hatta.

Tentara ke 25 yang menguasai Sumatera dengan alasan yang dicari-cari berusaha untuk menghambat instruksi Tokyo yang berhubungan dengan pemberian kelonggaran-kelonggaran terhadap bangsa Indonesia dan menindas segala gerakan kemerdekaan dengan mengadakan isolasi yang ketat terhadap karesidenan-karesidenan. Di Sumatera Tentara ke 25 dengan enggan menyetujui pembentukan badan-badan penasihat tingkat karesidenen (Syu Sangi Kai) yang keseluruhannya berjumlah sepuluh. Walaupun Syu Sangi Kai telah dibentuk pada bulan November 1943 tetapi badan tersebut tidak mempunyai kebebasan bergerak seperti badan sejenis di Jawa. Syu Sangi Kai sidang dua kali dalam satu tahun dan hanya untuk memberi beberapa pertimbangan erhadap beberapa masalah politik yang tidak begitu penting yang dikemukakan oleh residen Jepang (Syu Chokan). Berbeda dengan di Jawa yang mempunyai organisasi pusat maka di Sumatera Badan Penasihat Pusat tidak dibentuk, yang ada hanya tingkat karesidenan. Keanggotaan Syu Sangi Kai mewakili kekuatan-kekuatan : politik dalam masyarakat (kaum pergerakan) dan wakil dari pemerintahan (pamong praja dan raja) yang susunannya diatur sedemikain rupa sehingga tidak menimbulkan pertentangan-pertentangan politik.

Pada waktu yang bersamaan dengan berdirinya Dewan Penasihat tadi, organisasi-organisasi Propaganda[17] mulai tumbuh di beberapa karesidenan di Sumatera dengan maksud untuk mengawasi ahli-ahli politik dan kaum pembaru muslim dari pergerakan dan mempergunakan mereka sebagai lawan yang berat terhadap kekuasaan administrasi kerajaan. Di Palembang, Lampung, Sumatera Barat, Tapanuli dan Aceh organisasi-organisasi seksi ini dilebur ke dalam Hokokai yang lebih besar atau disebut Badan Kebaktian Rakyat pada permulaan tahun 1945. Organisasi-organisasi yang terakhir ini mencontoh Jawa Hokokai dengan dua tujuan yang sama yaitu melunakkan pergerakan dan kedua menimbulkan/memperbesar front yang lebih luas terhadap mendaratnya Sekutu. Tetapi Badan Kebaktian Rakyat di Sumatera berbeda dengan Jawa Hokokai, karena Badan Kebaktian rakyat di Sumatera seperti semua organisasi dengan tegas membatasi diri pada tingkatan karesidenan.

Pernyataan Koisho mempunyai pengaruh penting di Sumatera sebagai tanda kontras dari konsesi Jepang sebelumnya. Sesuai dengan pernyataan PM Koisho maka pemimpin-pemimpin Jepang di Sumatera memberi banyak kesempatan kepada Bangsa Indonesia untuk mengambil peranan penting dalam berbagai bidang, walaupun hal tersebut dilakukan secara tidak ikhlas karena bertentangan dengan pendirian mereka. Hal tersebut lebih jelas terlihat pada usul-usul yang diajukan oleh perwira-perwira Tentara ke-25 yang pada prinsipnya menghendaki agar dalam mepersiapkan kemerdekaan Bangsa Indonesia daerah Sumatera dipisahkan dari Jawa. Dalam suasana yang belum ada persesuaian pandapat antara pemimpin-pemimpin Jepang di Jawa dan Sumatera maka terjadilah usaha-usaha penundaan selama mungkin setiap penyerahan hak kepada bangsa Indonesia.

Mula-mula rencana dari Tentara ke 16 dalam bulan Januari 1945 untu Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPKI) adalah bahwa badan tersebut harus mengandung pengaruh di Jawa dan Sumatera. Ini akan menyebabkan kesempatan yang pertama bagi pemimpin-pemimpin Sumatera untuk mengadakan konsultasi dengan kolega-koleganya yang lebih maju di Jawa. Akan tetapi tak ada delegasi dari Sumatera yang tergabung ketika susunan BPKI diumumkan pada tanggal 29 April, mungkin karena ditentang oleh Komandan Tentara ke-25 di Sumatera. Dalam sikatp yang sama Jenderal Shimura berulang kali menolak untuk mengizinkan Soekarno mengunjungi Sumatera karena ia takut bahwa gerakan kemerdekaan akan tak dapat dikendalikan dan tak akan mengikuti jalan yang telah ditentukan oleh Jepang. Sejak permulaan tahun 1945 kekuasaan militer yang lebih tinggi telah dapat diyakinkan bahwa Sumatera harus dimasukkan dalam negara Indonesia. Dalam suatu rangkaian pertemuan yang buru-buru diselenggarakan di Tokyo dan Singapura antara bulan April - Juli 1945 yang membahas kebijakan Jepang, kecurigaan tentara ke-25 secara sedikit demi sedikit dihilangkan dan diperintahkan untuk membuat persiapan yang cepat untuk Kemerdekaan Indonesia. Tokyo telah mengakui bahwa kemerdekaan akan diberikan kepada seluruh Hindia Belanda dan akan diumumkan pada suatu ketika, namun demikian ada beberaepa daerah yang belum mengadakan persiapan secara sempurnya untuk menerima kemerdekaan itu, sehingga pemberian kemerdekaan secara yuridisi akan dilakukan secara tertahap sesuai dengan kemajuan persiapan mereka.

Akhirnya pada bulan Juni 1945 pemimpin-pemimpin Sumatera menduga bahwa penggunaan semboyan lama "Sumatera Baru" dan semboyan baru "Indonesia Merdeka" lebih menggambarkan secara seksama untuk kepentingan Jepang daripada kepentingan perjuangan Bangsa Indonesia. Di samping Sumatera tetutup rapat dari Pulau Jawa, hubungan secara teratur antar karesidenan di Sumatera sangat sulit. Sampai dua bulan terakhir dari pendudukan Jepang semua organisasi yang disponsori Jepang dibatasi secara keras pada tingkat karesidenan dan beberapa organisasi non politik yang sudah berkembang sejak sebelum perang seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa sebetulnya tidak mungkin memperoleh hubungan dengan organisasi-organisasi tingkat karesidenan itu. Lagi pula kondisi perang membuat hubungan sangat sulit bagi bansa Indonesia. hanya pemimpin-pemimpin dari daerah yang mempunyai kesempatan baik dapat membandingkan catatan-catatan hasil konferensi Islam Singapura pada bulan April 1943, perjalanan delegasi yang bermacam-macam ke Jepang pada tahun 1943 dan pertemuan yang sempurnya di Bukittingi pada bulan Oktober 1944 untuk menerima janji Koisho.

Rapat-rapat ini memberikan sumbangan sedikit pada pertumbuhan kepimimpinan yang luas bagi kaum pergerakan di Sumatera karena pengawasan politik sangat mencekik yang dilakukan oleh Jepang di Sumatera. Sebagai contoh, orang Aceh Teuku Moh. Hasan dari Glumpang Pajong ditunjuk sebagai pemimpin dari delegasi Sumatera ke Jepang pada pertengahan kedua dari tahun 1943 telah ditahan dan dibunuh beberapa bulan setelah ia kembali di Indonesia.[13]

Konsesi pertama terhadap persetujuan perkembangan dari pemimpin-pemimpin politik di tingkat Sumatera diumumkan pada tanggal 24 Maret 1945 bahwa Tjuo Sangi In Sumatera (Sumatran Central Advisery Council) akhirnya didirikan hampir dua tahun sesudah badan serupa berdiri di Jawa. Lima belas anggotanya dipilih dari 10 daerah yang ada dan pada tanggal 17 Mei 1945 Jepang yang berada di Bukittingi menunjuk tambahan 25 anggota. Sebagai biasanya perbandingan yang seimbang dijaga antara anggota-anggota dari kelompok oposisi di wilayah-wilayah yang penting. Pada akhir Mei Gunseikanbu di Bukittinggi mengumumkan penunjukannya. Mohammad Syafei pendiri Indische Nationale School (INS) untuk guru di Kayu Taman (Sumatera Barat), telah ditunjuk sebagai ketua dari Dewan Penasihat Pusat yang akan datang bersama dengan T. Njak Arif dari Aceh dan mr. Abdul Abbas dari Lampung sebagai wakilnya. Sebuah badan sekretariat tetap dewan tersebut didirikan dan dipimpin oleh wartawan Sumatera terkenal Djamaluddin Adinegoro, yang telah pindah dari Medan ke Bukittingi dan mendaftarkan kembali kursi pemilihannya dalam lembaga. Keempat orang ini yakni : Moh. Sjafei, T. Njak Arif, Mr. Abdul Abbas dan D. Adinegoro oleh pers Jepang disebut-sebut selama bulan Juni-Juli sebagai "Empat Serangkai dari Sumatera" dan dapat dibandingkan dengan team Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, KH Mas Mansur di Jawa.[13]

Pada tanggal 27 Juni - 2 Juli 1945 Dewan Penasihat Pusat menyerahkan serangkaian resolusi yang memerlukan pendirian lebih lanjut di seluruh tingkatan Sumatera antara lain:

a. Suatu panitia yang disiapkan untuk kemerdekaan.

b. Suatu kantor penghubung untuk menghubungkan kantor-kantor pimpinan rakyat daerah.

c. Hokokai Sumatera, yang menghubungkan organisasi-organisasi daerah propaganda.

c. Suatu pendidikan Islam yang lebih tinggi.

d. Suatu sistem Bank Nasional.

e. Suatu laskar rakyat yang dibangun berdasarkan pada latihan Jepang seperti Gyugun dan Heiho.

Semangat kesatuan dari para pejuang di Sumatera adalah teguh/kuat. Sebaliknya semangat memecah belah Sumatera dari Kesatuan Indonesia sudah jelas ditentang.

Jepang tampaknya telah menunjukkan kesiapan mereka untuk melksanakan semua resolusi dewan. Mereka mengumumkan juga formasi dari sebagian panitia Sumatera untuk Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan dengan perbandingan lebih menitikberatkan kepada para cerdik pandai dari kaum pergerakan dan kerajaan. Mereka juga membuat suatu permulaan yang hati-hati terhadap pembentukan suatu gerakan persatuan Islam dengan memperluan Majelsi Islam Tinggi Sumatera Barat ke daerah lain dan menunjuk Sjech Mohammad Djamil Djambek penasihat pada masalah Islam untuk seluruh Sumatera. Tetapi segala gerakan yang hati-hati itu secara cepat disusul oleh kejadian-kejadian dalam bulan Agustus.

Menit-menit terakhir usaha untuk membentuk kepemimpinan Sumatera adalah sangat penting. Sjafei dan Adinegoro mengepalai suatu emrio birokrasi Sumatera dengan mengadakan hubungan ke seluruh pula dan surat kabarpun telah membuat nama-nama mereka dikenal di tiap daerah. Pada tanggal 25 Juli 1945 mereka juga ditunjuk sebagai ketua dan sekretaris dari Panitia pada PPPKI da nselanjutnya mereka mulai mengadakan "pidato" keliling Sumatera. pada bulan-bulan terakhir penduduk Jepang juga harus diperhatikan tokoh Dr. A.K. Gani sebagai politikus nasional yang berasal dari Sumatera yang telah banyak dikenal sebelum perang.

Pada pengiriman delegasi Sumatera ke PPPKI pada permulaan bulan Agustus 1945 sedianya Sumatera dalam panitia itu akan diwakili oleh M. Sjafei sebagai Ketua Sumatera Tjuo Sangi In tetapi dalam kenyataannya yang dikirim adalah Mr. Abdul Abbas dan dua orang lainnya yakni Dr. Moh. Amir dan Mr. T.M. Hassan, walaupun kedua orang yang disebut belakangan ini belum menjadi dewan Penasihat Pusat Sumatera (Tjuo Sangi In Sumatera). Hal ini tidak dapat diterangkan, mengapa pengiriman delegasi Sumatera sampai demikian seperti tersebut di atas, padahal dapat ditunjuk Dr. A. K. Gani yang merupakan tokoh nasional yang telah dikenal di Sumatera. Kemungkinan hal ini disebabkan pimpinan tertinggi Jepang di Singapura dan Jakarta tidak mempercayai kebijakan pimpinan tertinggi Jepang di Sumatera.

Tiga orang delegasi Sumatera tiba di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1945 bersamaan dengan pesawat pembom Jepang yang mengangkut Sukarno dan Hatta dari Saigon. Di Jakarta delegasi tersebut telah menjadi saksi proklamasi kemerdekaan yang dramatis yang diikuti dengan menyerahnya Jepang dan mereka telah ikut berperan dalam menyusun Undang-Undang dan pemerintahan.

Di luar Jawa dan Sumatera yang dikuasai Kaigun gerakan kemerdekaan tidak dapat berkembang dengan wajar. Di sini Kaigun dengan Menseibunya bertindak sangat menekan terhadap penduduk, sedangkan terhadap kaum nasionalis tidak memberi kesempatan untuk bergerak. Menurut Kahin, tindakan Jepang di Indonesia bagian Timur ini lebih keras daripada penjajahan Belanda.[18]

Di muka telah diuraikan bahwa keadaan peperangan semakin memburuk bagi Angkatan Perang Jepang. Memang sebelum Pulau Saipan jatuh ke tangan Sekutu pada bulan Juli 1944, Sekutu belum sampai di garis pertahanan sebelah dalam (inner defence line) dari imperium Jepang. Akan tetapi tampaknya Jepang tidak akan mempunyai cukup tenaga sendiri untuk membendung taktik loncat katak Jenderal Mc. Arthur. Dengan semakin terdesaknya Jepang dalam Perang Pasifik, maka Indonesia yang semula hanya dijadikan home front, kemudian akan dijadikan daerah perbentengan yang kuat untuk menahan serangan sekutu terutama Jawa, Bali, Lombok dan Sumatera. Untuk itu diperlukan tenaga-tenaga tempur yang dibentuk dari rakyat baik yang berstatus semi militer seperti Seinendan dan Keibodan serta organisasi yang berstatus militer penuh seperti Heiho dan PETA.

Untuk mendapatkan sumber tenaga lebih-lebih dari golongan pemuda yang dapat diharapkan oleh kaum militer, Jepang mempraktekkan sistem yang berlaku di negerinya sendiri yaitu melalui gerakan pemuda yang dikenal dengan Seinendan. Dengan demikian di Indonesia pun dibentuk gerakan Sinendan.[19] Dalam organisasi inilah dapat dijelmakan pemuda-pemuda fanatik dan berpendirian ekstrim dengan latihan-latihan fasistis dan indoktrinasi yang efektif. Gerkan Seinendan tidak hanya dibentuk di Jawa, tetapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia, baik yang dikuasai oleh Rikugun maupun Kaigun.

Rupa-rupanya rencana mendirikan gerakan Seinendan harus terlebih dahulu disetujui oleh Tokyo, karena barulah bersama-sama dengan PUTERA diresmikan berdirinya pada tanggal 9 Maret 1943 diadakan upacara pelantikan dan penyerahan panji Jawa Seinendan yang terdiri dari 3.500 pemuda dari seluruh Jawa. Jumlah tersebut terus bertambah, hal ini tampak ketika masa kapitulasi jumlah dari berbagai organisasi pemuda baik yang bersifat militer maupun semi militer sebagai berikut : PETA : 37.000 orang, Heiho : 25.000 orang. Barisan Pelopor : 80.000 orang, Seinendan : 500 - 600.000 orang.[20] Satu setengah tahun kemudian yakni pada tanggal 19 Juni 1944 diadakan upacara pembukaan latihan Seinendan seluruh Jawa.

Jelaslah bahwa maksud dan tujuan utama dari pendirian Jawa Seinendan itu adalah hendak memberikan latihan batin kepada pemuda-pemuda khususnya di Jawa untuk diolah agar dapat memberikan bantuan sebesar-besarnya kepada masyarakat. Dengan sendirinya penduduk di Jawa lalu dapat menyumbangkan tenaga sebanyak-banyaknya dalam peperangan Asia Timur Raya. Jawa Seinendan merupakan barisan yang serbaguna dan merupakan bagian yang paling depan dari barisan rakyat, karena Seinendan ini disuruh bekerja dalam lapangan pertanian, perikanan, pabrik, perusahaan, kubu-kubu pertahanan dan tugas-tugas langsung dari militer.

Khusus untuk kaum wanita didirikan barisan sendiri yang disebut Huzinkai pada bulan Agustus 1943. Barisan ini tak terbatas pada kaum remaja saja, sebab batas umur terendah adalah 15 tahun dan maksimum tidak terbatas (bebas). Tujuan perkumpulan ini ialah membantu balatentara Jepang dengan usaha-usaha yang sesuai dengan kedudukan wanita serta mempertinggi derajat kesusilaan wanita. Mereka juga diberi latihan-latihan kemiliteran, bahkan mempunyai satu barisan istimewa yang disebut barisan Srikandi.

Bersamaan dengan terbentuknya Jawa Seinendan terbentuk terbentuk pula suatu barisan yang berfungsi sebagai pembantu pekerjaan polisi yaitu Keibodan.[21] Jika Jawa Seinendan dimaksudkan sebagai sumber tenaga pemuda yang sudah diindoktrinasikan dan di "Jepangkan" serta dapat digunakan untuk tujuan serba guna maka Keibodan mempunyai tugas pokok untuk membantu polisi dan pertahanan sipil. Barisan ini berdasarkan kesatuan-kesatuan di desa (ku) dan kampung (aze) dan sekaligus sebagai kepalanya adalah kepala desa (Kumitjo) atau kelapa kampung (tzutjo) setempat. Syarat umur untuk anggota Keibodan semua ditetapkan 20 sampai 35 tahun tetapi kemudian sejak bulan September 1943 diubah menjadi 23-35 tahun. Karena tugas Keibodan adalah membantu kelplisian, maka yang menjadi pimpinan latihan dan pengawasan adalah Kepala Kepolisian dibantuk oleh Kepala Pemerintahan setempat. Kesatuan untuk latihan dan pengawasan meliputi satu son (kecamatan). Latihan Keibodan meliputi penjagaan dan penyelidikan terhadap kabar angin yang meluas dan tipu muslihat, penjagaan bahaya udara, penjagaan di pantai laut, penjagaan dan pertolongan jika ada bahaya alam atau malapetaka, menjaga dan mencari penyamun dan penjahat dan lain-lain. Dengan semakin gentingnya peperangan, maka Keibodan diberikan latihan-latihan dasar untuk memperkuat pembelaan, antara lain menusuk dengan bayonet sambil menerjang dan mengawal serta membawa berita di waktu malam. Dengan pembentukan Jawa Seinendan dan Keibodan, Jepang merasa u ntuk sementara telah cukup mengadakan persiapan-persiapan di segala pelosok, bahkan pantai pulau Jawa juga bantuan perlawanan terhadap musuuh jika sudah mendarat diharapkan dari kedua barisan tersebut[20]

Dalam rangka Perang Pasifik Jepang mengerahkan pemuda-pemuda Indonesia untuk dididik menjadi pemuda prajurit (Heiho). Heiho merupakan suatu Korps milisi yang secara organisatoris menjadi bagian langsung dari balatentara Jepang dan diberi nomor kode seperti lazimnya pada organisasi pada ketentaraan Jepang serta dimasukkan kepada kesatuan Angkatan Perang yang menduduki daerah tempat kesatuan Heiho itu dibentuk atau ditempatkan.[20] Seperti PETA, Heiho merupakan barisan organisasi yang bersifat militer penuh, tidak hanya Angkatan Darat (Rikugun) yang memakai Heiho, tetapi Angkatan Laut (Kaigun) juga memilikinya dan disebut Kaigun Heiho, dan pada organisasi Kempetai disebut Kompeiho. Kebijakan semacam ini rupa-rupanya dilakukan juga oleh Jepang di luar Indonesia. Para Heiho mula-mula dipergunaan untuk mengoper perkerjaan bantuan tempur para prajurit Jepang, sehingga dengan demikian tenaga bantuan Jepang tadi yang digantikan Heiho dapat langsung untuk tugas tempur. Tetapi lama kelamaan pasukan-pasukan tempurpun berkurang sehingga para Heiho juga mulai dipersiapkan untuk tugas-tugas itu. Pada umumnya mereka dilatih u ntuk artileri sasaran udara dan ada beberapa untuk kavaleri bermotor dan pasukan angkutan bermotor.

Jepang telah menomorsatukan usaha-usaha perang di atas segala-galanya. Untuk itu diperlukan bantuan dari rakyat Indonesia baik berupa pangan maupun sumber tenaga kerja. Untuk membuat perkebunan, pembuatan benteng, jalan, lapangan terbang dan lain-lain memerlukan pengerahan tenaga yang banyak untuk medan perang yang membentang mulai dari Birma sampai Rabaul dan sesuai dengan fungsi Indonesia, pula Jawa khususnya dalam "Lingkungan Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya" yang terutama akan merupakan sumber tenaga kerja. Untuk mencukupi akan kebutuhan tersebut pemeritah pendudukan Jepang pada sekitar pertenghan 1943 mulai mengerahkan bangsa Indonesia sebagai pekerja paksa yang dikenal dengan nama Romusya.

Romusya dalam arti sebenarnya ialah tenaga pekerja kasar. Sejak Jepang mendarat sebagian besar dari propaganda mereka ditujukan kepada tugas menganjurkan orang untuk rela mati menjadi tenaga pekerja dari Angkatan Perang Jepang. Semakin menghangat keadaan peperangan semakin besar jumlah kuli diperlukan di dalam dan di luar Jawa. Beribu-ribu tenaga pekerja dari pulau Jawa dikerahkan baik dengan kesadaran maupun dengan paksa dan dibawa ke luar Jawa untuk dipekerjakan di berbagai tempat.

Dalam pembuatan jalan Takengon - Blangkejeren dipangil 7000 romusya. Mereka mulai bekerja tanggal 1 Januari 1944 dan pada bulan Juli berikutnya jalan tersebut diresmikan. Banyak korban manusia dalam pembuatan jalan tersebut. Juga di Sumatera Tengah di daerah Logas, banyak dipekerjakan tenaga romusya pada tambang emas, batubara dan perbaika jalan kereta api. Di sinipun kekejaman Jepang seperti di daerah-daerah lain, sehingga masyarakat sekitar daerah itu mengenal istilah "dilogaskan" yang berati dibunuh. Sesuai dengan besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa, maka banyak romusya dikirim ke luar Jawa. Selama perjalanan di antara mereka banyak yang meninggal disebabkan pengangkutan di kapal yang tidak memenuhi syarat kesehatan, atau mati karena kekurangan makan serta pengurusan yang jelek. Bahkan ada di antara mereka yang mati ditembak Jepang seperti penjahat-penjahat kaliber besar, dengan alasan karena mereka menggerutu sebagai akibat perlakuan dan pemeliharaan yang tidak memuaskan. Puncak kebuasan dari militerisme Jepang ialah penguburan hidup-hidup para romusya yang tidak dapat bekerja lagi karena sakit dan hanya tinggal tulang diselaputi kulit.[20] Berapa jumlah tenaga romusya yang meninggal akibat kekejaman Jepang tak dapat diketahui secara pasti. Hanya dugaan yang pernah diberikan tentang hal itu, yaitu jumlah Romusya yang diangkut oleh Jepang keluar Jawa sebesar 270.000 orang dan sesuah perang telah diketemukan tinggal 70.000 orang[20]

Dalam prakteknya gerakan Romusya ini menjadi suatu paksaan. Untuk agar menarik maka Jepang melancarkan propagandanya yang membuat kuli-kuli itu jadi pahlawan. Kampanye inilah yang mempergunakan "prajurit ekonomi" dan digambarkan sebagai orang yang sedang menunaikan tugas suci untuk Angkatan Perang Jepang. Mereka tidak boleh lagi disebut kuli, Romusya adalah prajurit dan sumbangannya terhadap usaha peparangan sangat dihargai. Banyak tenaga Romusya yang meninggal karena mereka harus bekerja keras tiap hari sedang makanan, obat-obatan tidak diuurus. Tidaklah mengherankan dalam segala-galanya yang dilakukan oleh Jepang dalam rangka perang sucinya, soal Romusya inilah yang mengakibatkan pengalaman yang paling pahit yang tersimpul dalam "kesemakmuran bersama" di bawah pimpinan Jepang.

Tentang ide pembentukan organisasi bersifat militer atau barisan bersenjata pada umumnya para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia menyetujui asal organisasi tadi tidak di bawah Jepang dan tidak dipergunakan di luar Indonesia. sebab apabila demikian organisasi tadi dapat dipergunakan untuk menindas rakyat, termasuk rakyat Indonesia sendiri.

Keadaan peperangan semakin hari semaki memburuk bagi Angkatan Perang Jepang. Dalam keadaan yang demikian itu Jepang menerima usul Gatot Mangkupradja salah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang meminta agar para pemuda Indonesia diberi kesempatan membela Tanah Airnya. Kelihatannya Gatot Mangkupradja seperti mengadakan tekanan kepada pemerintah pendudukan Balatentara Jepang secara moril dengan mendasarkan usulnya atas janji PM Tojo yaitu akan memberikan kesempatan kepada Bangsa Indonesia terutama penduduk Jawa untuk ikut serta dalam pemerintahan. Akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1943[22] Saiko Sikikan dan Gunseikan memberi keerangan bahwa sebagai penghargaan tinggi kepada semangat Bangsa Indonesia di Jawa khususnya yang berkehendak membela tanah airnya dengan jiwa dan darah dagingnya sendiri, maka diumumkanlah maklumat tentang pembentukan 郷土防衛義勇軍 Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air, yang lebih terkenal dengan nama Pembela Tanah Air (PETA).

Dijelaskan pula bahwa seluruhnya anggota PETA terdiri dari Bangsa Indonesia. Sejumlah opsir atau prajurit Jepang yang ditempatkan dalam barisan tersebut hanyalah bertugas sebagai tenaga pendidikan dan bukan merupakan pimpinan PETA dibentuk dalam tiap-tiap Karesidenan (Syun) dan akan membela masing-masing Syun pula. Panglima tertinggi dari PETA adalah Saiko Sikikan sendri.

Mungkin bagi sebagian rakyat Indonesi nama PETA tidak mengandung pengertian khusus, padahal berasal dari singkatan nama Pembela Tanah Air atau National Defence Army dan para anggota PETA ini kemudian akan memegang peranan penting dalam pembentukan dan perkembangan Tentara Nasional Indonesia. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya PETA mempunyai ketentuan-ketentuan yang membatasi tugas PETA baik dalam tugas eritorial maupun tugas-tugas dalam perang Pasifik. Dalam tugas-tugas pertahanan, PETA hanya bertugasdi Tanah Air dan itupun terbatas sekira daerah Karesidenan yang telah ditentukan.[23] Demikian pulaprajurit PETA tidak dapat dikirm ke luar Indonesia walaupun menurut ketentuan-ketentuan pengerahan pemerintah bala bantuan, Jepang dapat memaksa pemuda-pemuda Indonesia untuk masuk menjadi prajurit Jepang dan boleh dikirim ke luar Indonesia. Jadi tugas PETA adalah semata-mata untuk mempertahanakan daerahnya sendiri terhadap serbuan dari luar. Pada bulan oktober 1943 itu juga mulailah dilatih puluhan calon perwira Indonesia di Jawa Bo-Ei Gyugun Kanbu Reseitai (Korps Latihan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) di Bogor dan untuk Bintara di Cimahi. Dalam PETA terdapat tiga tingkatan pangkat bagi perwira yang sekaligus menunjukkan jabatan yang dipangku oleh seorang perwira yakni 大段長 Daidantjo untuk jabatan Komandan Batalyon, 中段長 Tjudantjo untuk jabatan komandan kompio dan 初段長 Sjodantjo untuk jabatan kmandan seksi atau peleton sedang untuk bintara hanya satu macam yaitu Budantjo dan untuk prajurit satu macam juga yaitu Gijuhai.

Korps latihan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air terdiri dari 5 Kesatuan bawahan sebesar kompi yaitu 3 tjutai (kompi) untuk para calon Sjodantjo (komandan peleton), sebuah tjutai untuk para calon Tjudantjo (komandan kompi) dan seubah tokubetsu tjutai (kompi istimewa) untuk para calon Daidantjo (Komandan Batalyon). KOmandan dari kelima tjutai itu adalah Kapten Jasijo Maruzuki, Letnan I Masami Rokukawa, Letnan I M. Janagawa, Letnan I Kiso Tsijia dan Saitji Ito. Latihan untuk pertama hanya berlangsung selama dua bulan. Dan pada tanggal 18 Januari 1944, Renseitai di Bogor diganti dengan Korps Pendidikan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (防衛義勇軍幹部教訓隊 Bo-El Gyugun Kanbu Kyokkutai) di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Sampai dengan tanggal 18 Januari 1945, Kyokutai telah berhasil mendidik tiga Angkatan perwira PETA.

Untuk calon Daidantjo diambil dari pemimpin-pemimpin Bangsa Indonesia dari berbagai kalangan yakni pemimpin pergerakan, ulama, guru dan tokoh masyarakat lainnya yang berpengaruh. Calon-calon Tjudantjo pada umumnya terdiri dari tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang lebih muda yang mempunyai pengalaman dan fisik sesuai untuk jabatan tersebut. esdang para Sjodantjo diambil dari kalangan pemuda-pemuda belia yang boleh dikatakan semuanya langsung datang dari bangku sekolah.

Pada akhir tahun 1943 dan awal 1944 mulailah diadakan pembentukan batalyon-batalyon (daidan-daidan) tentara PETA di seluruh Jawa dan Madura. Pada prinsipnya setiap kabupaten diberi satu Daidan sehingga setiap karesidenan mempunyai 2-5 Daidan. Supaya tidak membahayakan kedudukan Jepang, Daidan-daidan itu tidak ditempatkan di bawah satu Komando menurut susunan hierarki, melainkan lepas satu sama lain. Walaupun Daidan-daidan berada langsung di bawah 防衛隊長 Bo-Ei Taitjo (Komandan Pertahanan) Balatentara Jepang setempat, tetapi hubungan antara Daidan yang satu dengan yang lain meskipun termasuk satu karesidenan organisatoris/garis komando terpisah dan hubungan antar manusia dari Daidan dapat dicegah.

Para Daidantjo terutama diambil dari kalangan pemuka pergerakan dan keagamaan dan mereka tidak perlu mendapat latihan kemiliteran secara mendalam karena tugasnya hanya sebagai pemimpin. Pada tanggal 6 Desember 1943 dilakukan upacara pelantikan Daidantjo angkatan pertama disertai p enyerahan ijazah dan pedang oleh Gunseikan di lapangan Ikada Jakarta, sedangkan para Sjodantjo masih harus melanjutkan latihan sebulan lagi. Merka mengikuti latihan kemiliteran yang lebih lama dan lebih teliti, sebab merekalah sebenarnya merupakan tulang punggung PETA dalam arti militer. Rupa-rupanya kebijakan Jepang ini dalam rangka persiapan menyambut serbuan Sekutu dengan perlawanan rakyat umum dan perang gerilya. Dalam perang gerilya memang keaktifan akan lebih banyak terletak pada Komandan-komandan bawahan, maka tepatlah apabila titik berat latihan-latihan diadakan untuk Komandan-komandan Peleton (Sjodantjo)

Setalah selesai menjalankan latihan tersebut, mereha harus semua kembali ke daerah asalnya dan melatih prajurit-prajurit yang diambil dan disusun dari daerah itu juga. Dengan sistem pembentukan tentara seperti ini dengan cepat sekali Jepang memperoleh satuan-satuan batalyon yang dapat dimajukan ke medan pertempuran, walaupun pada hakekatnya dalam permulaan hanya sebagai kesatuan senjata bantuan tetapi adakalanya aktif dalam pertempuran. Bagi bansa Indonesia, pembentukan PETA adalah bersifat positif dan konstruktif dan sangat menguntungkan sebab pimpinan dipegang langsung oleh perwira-perwira Indonesia sendiri. Tidak ada perwira Jepang yang langsung memberi perintah baik kepada para perwira dan bintara maupun kepada prajurit PETA. Hanya saja kepada setiap Daidan diberi satu team perwira dan bintara Jepang yang bertindak sebagai pengawas. Orang-orang tersebut bertindak sebagai perwira pelatih (Sjidekan) dan Bintara Pelatih (Sjido-Kansjikan). Daidan-Daidan meskipun dalam satu karesidenan tetap idi lain pihak antara Daidan ada sesuatu hubungan nyata dan hal inilah yang kemudian menjelma salam suatu kekompakan, baik sebagai perlakuan Jepang maupun sebagai rasa persaudaraan dan sebangsa, senasib dan sepenanggungan yang nantinya membawa efek psikologis pada apa yang dinamakan pemberontakan PETA di Blitar.

Dalam pembentukan PETA tampak peranan "Empat Serangkai" yang terdiri dari tokoh-tokoh Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantoro dan Kyai Hadji Mansur. Persiapan-persiapanya dilakukan perlahan-lahan dan tidak meliputi seluruh Indonesia karena wilayah Indonesia pada waktu pendudukan Balatentaara Jepang dibagi atas kekuasaan-kekuasaan Angkatan Darat dan Angkatan Laut. PETA yang dikenal di Jawa, Madura dan Bali, rupa-rupanya konsepsi khas tentara ke 16 yang menguasai Jawa. Wilayah Indonesia yang dikuasai oleh Kaigun tidak dibentuk PETA atau barisan yang semacam itu.

Pengumuman tentang pembentukan Heiho di Sumatera hampir bersamaan dengan di Jawa, yaitu pada bulan Mei 1943. Dalam pengumuman tersebut dinyatakan bahwa kini tibalah kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia turut serta menyumbangkan tenaganya untuk membela Asia Timur Raya terhadap penjajah. Syarat-syarat penerimaan adalah pemuda yang sudah tamat Sekolah Rendah dan berumur 18-30 tahun, sedang ujian penerimaan hanyalah kesehatan badan.

Pada mulanya pemerintah pendudukan Jepang di Sumatera menganjurkan agar pemuda-pemuda memasuki Heiho. Walaupun anjuran tadi dituruti, tetapi pelaksanaannya kurang lancar karena Heiho ternyata tak berapa berbeda dengan romusya dan hanya menguntungkan Jepang. Oleh sebab itu para pemimpin menganjurkan kepada Jepang, supaya dibentuk tentara rakyat yang langsung dipimpin, dan disusun sendiri oleh rakyat. Usul ini disambut dengan baik oleh Jepang, sehingga dengan demikian dekat pada awal tahun 1943 dibentuklah Gyugun. Sebagai pelatihnya tak berbeda dengan PETA di Jawa, yaitu opsir-opsir Jepang sendiri.

Mengingat bangunnya Gyugun atas kehendak pipinan-pimpinan rakyat sendiri maka badan penyelenggaraannya dibentuk sendiri oleh rakyat. Untuk maksud tersebut dibentuklah Badan Pengurus Gyugun (Gyugun Ko En Kai) yang dipimpin oleh Chatib Sulaiman. Di seluruh daerah diadakan penerangan tentang pembentukan Gyugun, dengan menonjolkan cita-cita Bangsa Indonesia yaitu suatu ketentaraan untuk menuju kemerdekaan Nusa dan Bangsa dari tindakan bangsa barat. Di mana-mana latihan ketentaraan Gyugun diperhebat. Sebagai contoh untuk wilayah Sumatera Tengah saja ada kurang lebih 44.000 pemuda-pemuda yang mendaftarkan namanya untu ikut latihan Gyugun.[24]

Latihan-latihan teknis ketentaraan diberikan oleh opsir-opsir Jepang, sedang latihan semangat ketentaraan untuk perjuangan nasional dilakukan oleh para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia sendiri dengan kedok anti Barat dan membantu usaha perang Jepang. Pusat pendidikan untu Gyugun dipusatkan di Prapat, Kabanjahe, Pematang Siantar, Padang dan lain-lain. Bentuk dari Gyugun merupakan peralihan dari antara PETA dan Heiho, susunan mirip PETA tetapi pangkat-pangkat seperti Heiho. Dengan semakin meruncingnya peperangan dan tanda-tanda kekalahan Jepang sudah kelihatan dan terasa, maka penyeenggaraan latihan semakin teliti dan diperhebat, sehingga Gyugun mempunyai "Korps Perwira" sendiri yang memimpin pasukan-pasukan Gyugun.

Di Sumatera berhubung adanya pembatasan penerimaan anggota Gyugun maka supaya seluruh pemuda mendapat latihan ketentaraan, para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia menganjurkan didirikannya badan-badan lain, sehingga pemuda-pemuda mendapat kesempatan pula berlatih menurut disiplin ketentaraan. Demikianlah berdiri Zi Kei Dan dan Bo Go Dan di kampung-kampung masing-masing. Kecuali itu diadakan pula pergerakan pemuda angkatan baru bernama Seinendan. Semua pengikut organisasi-organisasi mendapat latihan ketentaraan dan berbagai pelatihnya umumnya terdiri dari opsir-opsir Gyugun. Pusat latihan Seinendan untuk Sumatera Tengah di Pelabuhan di lapangan perguruan INS Kayu Tanam.

Seinan dan Keibodan tidak hanya terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera, tetapi juga di lain pulau di Indonesia, bahkan di daerah yang dikuasai oleh Kaigun. Di Sulawesi misalnya, barisan Seinendan bergiliran dipanggil untuk dipekerjakan sebagai Romusja, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Tengah setelah Angkatan Darat Jepang mulai turut m asuk ke sana pada pertengahan tahun 1944. Benteng-benteng pertahanan dibangun di atas punggung pegunungan sekitar Gunung Bambapuang di Enrekang (Sulawesi Tengah) dan lain-lain tempat semua dikerjakan oleh barisan Seinendan dari daerah Duri dan Toraja.[20] Di daerah yang dikuasai Kaigun, Seinendan sampai dipekerjakan sebagai Romusya karena kemungkinan Jepang di sini tidak mengerahkan barisan seperti di daerah yang dikuasai oleh Ryugun yaitu di Jawa dan Sumatera. Keijakan ini dilakukan mengingat kepadatan penduduk di daerah itu lebih tipis jika dibandingkan dengan di Jawa dan Sumatera.

Di samping itu selama masa pendudukannya di Indonesia Jepang masih memperhatikan bidang-bidang lain yang penting sebagai penunjang perang, karena memenangkan perang bagi Jepang merupakan soal yang paling penting di atas soal-soal lain. Mengingat Indonesia merupakan kepulauan, maka segala daya upaya tersebut tak mungkin akan berhasil tanpa memperhitungkan aspek maritim. Walaupun hal tersebut mempunyai tujuan pokok untuk kepentingan Jepang tetapi bagi Bangsa Indonesia mempunyai arti yang penting dalam rangka perjuangan kemerdekaan Bangsa. Untu kepentingan pengangkutan bahan-bahan mentah, tenaga tenaga manusia perlengkapan perang dan pasukan dari Indonesia ke front depan ataupun ke daerah lain Pemerintah pendudukan Jepang membutuhkan Armada Angkutan Laut yang cukup besar dalam waktu secepat mungkin.

Menjelang invasi Jepang pemerintah Belanda menginstruksikan supaya semua kapal-kapal KPM meninggalkan Indonesia. Kemudian pada waktu Jepang masuk ke Indonesia sema kapal-kapal yang masih berada di pelabuhan-pelabuhan Indonesia di tenggelamkan oleh Belanda sendiri. Untuk mengisi kekosongan angkutan laut maka pemerintah Jepang segera mengadakan rehabilitasi badan-badan dan fasilitas-fasilitas dalam bidang tersebut. Sejajar dengan usaha tersebut maka dibentuklah Jawatan Pelayaran Pemerintah (Gunseikanbu Kaiji Sokyoku) yang berpusat di Jakarta. Gunsekanbu Kaiji Sokyoku bertugas untuk mengurus hal-hal yang bersangkutan dengan perhubungan latu baik antar pulau maupun ke luar negeri. Di samping Jawatan pelayaran terdapat pula perusahaan-perusahaan pelayaran milik pemerintah (Jawa Unko Kaisya) yang memiliki cabang-cabang di pelabuhan di Jawa. Setelah kedudukan Jepang dalam perang pasifik semakin terdesak sehingga angkutan militer perlu diperbesar makan dibentuklah Armada Angkutan Militer yakni Akatsuki Butai. Jadi pada masa pendudukan Jepang terdapat 3 instansi yang secara operatif menyelenggarakan pelayaran di Indonesia baik pelayaran interinsulair maupun pelayara Samudera, yakni Gunseikanbu Kaiji Sokyoku, Jawa Unko Kaisya dan Akatsuki Butai.

Untu mencukupi kebutuhan kapal-kapal laut Pemerintah Jepang segera merehabilitasi galangan-galangan kapal yang telah ada ataupun membentuk galangan-galangan kapal secara darurat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama telah berhasil memobilisasi galangan kapal di Pasar Ikan, Cirebon, Tegal, Pekalongan, SEmarang, Juana, Lasem dan Tanjung Balai Asahan. Produksi dari galangan-galangan kapal tersebut adalah kapal-kapal kayu (Coaster) yang bertonase 60 sampai dengan 250 ton. Mesin yang digunakan ialah merk Kobe Minoya atau Brons yang dibuat di pabrik-pabrik barat peninggalan zaman belanda. Produksi dari tiap-tiap galangan diberi nama tersendiri misalnya 桐丸 Kiri Maru (Pekalongan), 松丸 Matsu Maru (Pasar Ikan), Sakura Maru (Semarang), Katsura Maru (Juana), Tatjibana Maru (Cirebon) dan Deli Maru (Tanjung Balai Asahan).

Kebutuhan-kebutuhan akan tenaga-tenaga pelaut bagi kapal-kapal kayu tersebut pada mulanya didapat dengan menggunakan tenaga-tenaga pelaut bangsa Indonesia yang telah berpengalaman pada zaman Belanda yakni bekas anggota Gouvernements Marine, Koninklijke Paketwaart Maatschappiy dan Koninjklijke Marine (GM, KPM dan KM), Tetapi dengan bertambahnya kapal-kapal produksi galangan-galangan dalam negeri maka Pemerintah Jepang membutuhkan banyak pelaut-pelaut dalam waktu yang singkat. Pada tahun 1943 mulailah dibuka Sekolah Pelayaran Tinggi (Koto Seinen Josheisjo) di Jakarta dan kemudian berturut-turut dibuka pula di kota-kota pelabuhan yakni di Semarang, Cilacap, Tegal, Pasuruan dan Makassar. Selain SPT dibuka pula Sekolah Pelayaran Rendah (Soto Seinen Josheisjo) di Jakarta, Semarang, Tegal, Pasuruan, Probolinggo, Padang, Padang, Tanjung Balai, Makasar dan Banjarmasin. SPT dan SPR secara organik berada di bawah Jawatan Pelayaran, tetapi di dalam penempatan hasilnya tidak semuanya untuk kebutuhan kapal-kapal Jawatan Pelayaran. Mereka setelah lulus dapat ditempatkan di kapal-kapal Jawa Unko Kaisya, Akatsuki Butai atau ditugaskan sebagai guru SPT/SPR.

Di samping mendirika SPT/SPR yang bertujuan untuk mendidik calon-calon pelaut bagi kapal-kapal niaga maka pemerintah Jepang membuka pula pendidikan bagi calon-calon perwira pembantu Kaigun dan Butai, yakni Sein Kurensyo. Sein Kurensyo didirikan di Makassar dan Singapura dan menerima calon-calon siswa dari pemuda-pemuda yang telah tamat dari SLP. Mereka dilatih selama 6 bulan hingga 1 tahun dan setelah lulus diangkat sebagai Bintara atau Perwira Kaigun Heiho.

Suatu lembaga pendidikan yang masih termasuk aspek kelautan ialah pendidikan Penerbangan Angkatan Laut (Kaigun Kukosyo). Untuk memenuhi kebutuhan satuan Udara Angkatan Laut Jepang di Indnesia akan tenaga-tenaga skill bangsa Indonesia, maka oleh pemerintah Jepang dibuka tempat-tempat latihan bagi calon-calon penerbangan bangsa Indonesia yakni Kaigun Kukosyo pada tahun 1944 di Surabaya. Untuk angkatan pertama kurang lebih 60 orang pemuda Indonesia yang telah lulus dari test kesehatan dan memiliki ijazah SLP. Lama pendidikan 1 tahun terdiri atas bagian penerbangan mesin dan markonis, tetapi Kaigun Kukosyo Surabaya yang langsung dibina oleh Kaigun belum berhasil menamatkan pelajar penerbangannya.

Dengan makin terdesaknya Jepang dari medan pertempuran maka Jepang memberikan konsesi-konsesi politik yang tampaknya lebih maju dengan apa yang pernah diberikan oleh Belanda selama masa penjajahannya di Indonesia. Dalam bidang perwakilan rakyat, telah dibentuk badan penasihat baik bertingkat karesidenan (SyuSangi Kai) dan tingkat pusat (Tyo Sangi In). Namun pembentukan badan inipun masih mempertimbangkan hal-hal lain seperti kemajuan/kesiapan daerah dan lain-lain, karna ternyata hanya di Jawa dan Sumatera saja badan-badan itu dibentuk. Sejalan dengan pembentukan badan-badan itu, Jepang memberikan jabatan-jabatan (kedudukan) yang tinggi kepada bangsa Indonesia seperti kedudukan Residen, Gubernur, Kepala Departemen dan lain-lain.[25] Kedudukan-kedudukan tersebut tidak pernah dijabat oleh Bangsa Indonesia pada waktu pemerintah kolonial Belanda, sehingga hal ini akan mempunyai arti yang penting, karena sejak proklamasi kemerdekaan dicetuskan, pengalaman mereka sangat berguna dalam rangka menyusun aparatur dan menggerakkan roda Pemerintahan RI.

Konsesi-konsesi tersebut di atas pada hakekatnya bukan keluar dari hati nurani yang bermaksud memajukan bangsa Indonesia, tetapi atas dasar pertimbangan Perang Asia Timur Rayanya semata-mata, dan atas dasar pertahanannya, karena sekarang Jepang bukan lagi pada pihak penyerang (ofensi) tetapi pihak yang kalah dan kemudian bertahan (defensif). Jepang sadar bahwa bahwa tanpa konsesi-konsesi politik itu tak mungkin dapat menarik (mengikutsertakan) rakyat setempat untuk turut aktif dalam perang sucinya yang kian lama terpaks harus menggunakan bantuan sebesar-besarnya baik material dan tenaga manusia dari daerah -daerah yang dijajah. Dengan kata lain konsesi politik yang diberikan kepada bangsa-bangsa yang dijajah termasuk Indonesia, tujuan utamanya untuk memperlancar tujuan akhir Jepang yaitu Kemenangan Perang Asia Timur Raya.

Apabila dalam bidang politik dibentuk badan-badan dan didudukkkannya bangsa Indonesia dalam jabatan-jabatan yang belum pernah sebelumnya diduduki, maka dalam bidang pertahanannya Jepang membentuk organisasi baik semi militer maupupun militer penuh, seperti Sinendan, Keibodan, PETA, Heiho dan lain-lain. Material yang diankut ke Jepang atau dipergunakan untuk kepentingan perang yagn semuanya dikeruk dari bumi Indonesia bertambah banyak menjelang keruntuhannya. Hal ini menambah kesengsaraan rakyat yang tak terhingga.

Pada masa-masa menjelang berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia pemuda-pemuda pelaut seperti yang telah diuraikan di atas banyak mengetahui situasi Peran pasifik karena tugas mereka baik di Indonesia maupun di luar negeri selalu berdekatan dengan sumber berita. Misalnya pelaut-pelaut kapal Akatsuki Butai yang mempunyai rute ke Indonesia bagian timur dengan jelas mengetahui bahwa pihak Sekutu sudah merembes ke Perairan Indonesia. Setiap konvoi kapal Akatsuki Butai yang dikirim ke Indonesia bagian timur hampir dapat dipastikan akan pulang dengan tidak lengkap karena diserang oleh musuh.

Karena pengalaman-pengalaman demikianlah maka pemuda-pemuda pelaut Indonesia setelah selesai dari pendidikan akan merasa cemas bila ditempatkan di kapal-kapal Akatsuki Butai.

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang.

Para pemimpin pergerakan Bangsa Indonesia lama sebelum Jepang datan telah bergerak ke arah tercapainya kemerdekaan dan dengan kedatangan Balatentara Jepang di Indonesia, sebagian golongan intelektual dan pemimpin pergerakan menyambut Jepang dengan baik. Namun perlakuan Jepang terhadap bangsa Asia di lain tempat seperti di Cina, Mancuria yang sebagian dapat diketahui membuat mereka waspada. Dalam menghadapi musuh yang kuat seperti Jepang pemimpin-pemimpin pergerakan Bangsa Indonesia mengadakan taktik dua. Sebagian bekerja sama dengan Jepang secara resmi (legal). Golongan ini dipimpin oleh Sukarno - Hatta. Golongan yang lain akan bergerak secara ilegal (bergerak di bawah tanah) dan dipimpin oleh Sjahrir, Amir Sjarifuddin dan lain-lainnya. Oleh karena adanya taktik tersebut, maka sering Sukarno-Hatta dituduh sebagai kolaborator Jepang. Sedang kenyataannya bekerja sama dengan pemerintah Pendudukan Jepang tadi telah mendapat persetujuan lebih dahulu dengan golongan yang bekerja di bawah tanah. Lagi pula taktik dua yang diadakan oleh pemimpin - pemimpin pergerakan bangsa Indonesia ini tidak untuk kepentingan pribadi, tetapi mempunyai tujuan utama untuk perjuangan nasional ke arah kemerdekaan.

Kerja sama antara golongan legal dan Jepang mempunyai perhitungan-perhitungan bahwa Jepang akan mempergunakan popularitas Sukarno - Hatta untuk kepentingannya dalam usaha merebut hati rakyat di satu pihak, sedangkan di pihak lain kesempatan kerja sama ini akan dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin pergerakan bangsa untuk mendesakkan konsesi yang menguntungkan perjuangannya kepada Jepang. Akhirnya mereka bertugas untuk mengumpulkan dana bagi perjuangan ilegal dan mengusahakan kepergian anggota golongan ilegal serta memberi peringatan apabila ada bahaya mengancam. Kontak antara kedua golongan itu dilakukan oleh dr. Abdul Halim, Sjahruzah dan lain-lainnya. Kerja sama antara kedua golongan tersebut oleh Mr. Muh. Yamin disebut dengan koordinasi yang insidentil dan dan pula yang prinsipil.

Karena kurang ketelitian maka organisasi di bawah tanah yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin sering mengakibatkan anggotanya tertangkap, seperti Amir Sjarifuddin sendiri yang kemudian dijatuhi hukuman mati. Berkat campur tangan Sukarno hukuman mati yang dijatuhkan padanya diubah menjadi hukuman seumur hidup. Golongan yang dipimpin oleh Sjahrir mempunyai pusat di Jakarta (dipimpin oleh Sjahrir, Kusnaeni, Maruto, Nitimihardjo dan lain-lainnya), dan cabang-cabangnya di Cirebon, Garut, (di daerah Jawa Barat dipimpin oleh Hamdani), Semarang (dipimpin oleh Wijono). Karena mempunyai jaringan-jaringan yang baik, maka dapat mempengaruhi petani-petani di desa. Gerakan yang bersifat legal dan ilegal selama pendudukan balatentara Jepang menambah kesadaran nasional Bangsa Indonesia.

Diikutsertakannya rakyat Indonesia secara luas dengan sendirinya menambah pengalaman yang berguna bagi kebangkitan keprajuritan nasional dan sekaligus merupakan pengembangan di bidang pertahanan. Dan inilah yang merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam bidang perkembangan keprajuritan bukan saja karena rakyat Indonesia untuk pertama kali boleh menyusun unit-unit militer yaitu Daidan-Daidan (Batalyon), tetapi juga secara keseluruhan rakyat mulai dari dari susunan Rukun Tetangga/Rukun Kampung (RT/RK) telah tersusun menjadi unit-unit militer dan kesatuan-kesatuan pemuda. Semua organisasi menjadi pertahanan sipil yang sekuat-kuatnya. Masa inilah merupakan kesempatan pertama bagi seluruh rakyat Indonesia untuk ikut serta dalam usaha bidang pertahanan keamanan wilayah Indonesia pada akhir kekuasaan Jepang di Indonesia.

Sistem Jepang dalam menyusun kesatuan-kesatuan siasat tertentu, ialah mengadakan syarat-syarat pembatasan sesuai dengan politik Jepang pada waktu itu antara lain:

a. yng disusun oleh Jepang hanya sekadar satuan-satuan yang mempertahankan daerah-daerah, jadi bersifat regional dan bukan bersifat nasional.

b. Jepang memilih pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang berpengaruh, seperti tokoh-tokoh setempat (tokoh politik, tokoh agama).

Penderitaan rakyat yang makin berat menimbulkan rasa tidak puas dan kebencian terhadasp Jepang yagn akhirnya mengakibatkan lahirnya pemberontakan-pemberontakan terhadap kekuasan Jepang seperti :

a. Pemberontakan di Pancur Batu (Sumatera Timur) pada tahun 1942 yang terkenal dengan "Pemberontakan Aron". Meletusnya perlawanan rakyat di sini akibat Jepang mau merampas kembali tanah-tanah garapan yang telah dikerjakan oleh petani-petani.

b. Pemberontakan Petani di Cot Plieng (Aceh) pada akhir tahun 1942 dipimpin oleh Teuku Abdul Djalil. Pada perlawanan itu Jepang menderita korban 90 orang, sedang pada pihak rakyat 300 orang. Teuku Abdul Djalil tertembak mati di hutan ketika ia sedang bersembahyang.

c. Perlawanan di Singaparna (Tasikmalaya) meletus pada bulan Pebruari 1944, dipimpin oleh Kyai Zainal Mustapa, Kyai Emas dan lain-lain. Perlawanan ini bercita-cita untuk kebahagiaan rakyat di dalam negara Islam yang bebas dari kekuasaan asing.

d. Perlawanan di Karangampel (Indramayu), meletus dua bulan sesudah perlawanan di Singaparna. Kemduan disusul perlawanan di kecamatan Lohbener, dan Sindang. Kedua-duanya termasuk wilayah Indramayu. Pimpinan perlawanan tersebut ialah Haj Mdrijas, Hadi Kartiwa dan lain-lain. Akhirnya setelah berbulan-bulan berlangsung, perlawanan dapat dipadamkan dan para pemimpinnya ditangkap kemudia ditembak mati dalam penjara.

e. Perlawanan dari kalangan intelektual da kaum feodal serta golongan pergerakan nasional (antara lain Parindra) di Pontianak.

f. Perlawanan rakyat di Irian Barat (Biak) di bawah pimpinan Rumkoren pada tahun 1945. Akibat penindasan yang kejam terhadap perlawanan ini rakyat sampai 8000 orang tewas. Perlawanan itu meletus juga di "Tanah Besar" Irian barat di bawah pimpinan S. Pare di Serui Nimrod.

g. Perlawanan fisik terbesar selama pendudukan balatentara Jepang adalah perlawanan bersenjata dari PETA di Blitar pada tanggal 19 Pebruari 1945 di bawah pimpinan Sjodantjo Supriadi.

Runtuhnya Kekuasaan Bala Tentara Jepang di Indonesia.

Sekitar tahun 1944 kemenangan tentara Sekutu dalam Perang Pasifik makin jelas. Kemajuan tentara Sekutu mulai menuju ke jantung Jepang sendiri, lebih-lebih setlah Filipina dapat dikuasai kembali oleh Amerika Serikat. Juga Kota Balikpapan, Makasar, Ambon, Manado dan lain-lain menjadi sasaran pemboman pesawat sekutu. Meskipun Jepang selalu mempropagandakan kemenangan dalam setiap pertempuran yang dilakukan (melalui radio, pers yang dikuasai Jepang) tetapi rakyat terutama para pemimpin pergerakan bangsa Indonesia mulai mengerti keadaan yang sebenarnya. Keyakinan mereka menjadi bertambah besar bahwa Jepang mulai gagal dalam rencana Hakko Itjiunya, setelah mereka mengetahui adanya perubahan politik yang dijalankan oleh Pemerintah Jepang terhadap daerah jajahannya seperti Filipina pada tanggal 14 Oktober 1943, Birma pada tanggal 1 Agustus 1943. Apabila pada tanggal-tanggal tersebut di atas Jepang meresmikan pemerintah sementara untuk Filipina dan Birma, maka Indonesia baru diberika janji "kelak kemudian hari Indonesia akan diberi Kemerdekaan". Janji tersebut pertama kali diucapkan oleh Perdana Menteri Tojo, waktu ia datang di Jawa pada bulan September 1943. Dan secara resm janji tersebut diulang oleh Perdana Menteri Koisho di muka sidang parlemen Jepang pada tanggal 7 September 1944. Sebagai realisasi dari janji PM Koisho tersebut ialah pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan (Dokuritzu Zyunbi Tjoosakai) yang diketuai oleh Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat pada tanggal 29 April 1945.

Dalam rangka janji pemberian kemerdekaan terhadap Bangsa Indonesia "di kelak kemudian hari" Ir Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat dipanggil oleh Marsekal Terautji ke Dalat (Saigon) pada tanggal 7 Agustus 1945. Dalam pertemuan itu Marsekal Terautji memutuskan :

  1. Sukarno-Hatta sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI
  2. PPKI boleh mulai melaksanakan tugasnya.
  3. Kelancaran kegiatan PPKI itu seluruhnya tergantung pada PPKI itu sendiri.

Putusan tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh ikut perangnya Rusia pada pihak Sekutu terhadap Jepang yang diumumkan pada tangga 8 Agustus 1945. Tentara Merah Russia segera menduduki Manchuria dan terus maju ke Korea sampai garis 38 derajat lintang utara. Amerika Serikat yang khawatir kalau Jepang jatuh ke dalam cengkeraman Russia menjatuhkan bom atom yang kedua kalinya atas Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945 dengan maksud Jepang lebih cepat menyerah. Akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tangga 2 September 1945 di atas Kapal "Missouri" di Teluk Tokyo.

Walaupun pendudukan Jepang di Indonesia membawa kerugian (negatif) terhadap Bangsa Indonesia, tetapi harus diakui pula, ada segi keuntungan (positif). Adapun segi negatifnya ialah

a. Adanya pengawasan yang ketat dan disertai penindasan yang kejam melalui Kempetainya, mengakibatkan pegerakan politik tidak tumbuh secara wajar.

b. Akibat adanya politik drainage (penghisapan) dan pengankutan Romusya-Romusya ke daerah-daerah lain untuk kepentingan militer Jepang, produksi beras menurun, sedang impor sama sekali tidak ada sehingga rakyat sangat menderita.

c. Korban jiwa yang sangat besar (kurang lebih 4 juta jiwa) akibat kurang makan, penyakit dan kerja paksa.

d. Didirikannya sekolah-sekolah seperti : Sekolah Pelayaran di Padang, Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) di Jakarta, Tegal, Semarang dan Cilacap; Sekolah Pelayaran Rendah di Jakarta, Semarang, Pasuruan, Sekolah Perikanan di Jakarta, Sekolah Bangunan Kapal di Jakarta dan Surabaya; Latihan Pelayaran untuk membantu Kaigun dan Butai di Makassar dan Singapura yang kesemuanya itu turut membangkitan kembali jiwa Bahari Bangsa Indonesia.

e. Bahasa Indonesia tersebar dalam masyarakat Indonesia, pemakaian bahasa Indonesia baik dalam pergaulan di instansi-instansi pemerintah maupun dalam masyarakat umum dapat dorongan dari Jepang, sedangkan bahasa barat dihilangkan.

f. Dihidupkannya kembali atau direhabilitasikannya galangan-galangan kapal baru seperti : Pasar Ikan, Cirebon, Tegal, Lasem, Juana, Tanjung Balai Asahan.

Detik-detik Proklamasi.

Setelah Bala Tentara Dai Nippon mendengar berita tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu, Pimpinan Tentara Jepang berusaha untuk merahasiakan/memperlambat penyiarannya ke daerah pendudukan. Jepang masih berusaha untuk mempertahankan daerah pendudukannya. Hal tersebut dipergunakan untuk mengeksploitasikan sedapat mungkin bahan-bahan mentah yang masih diperlukan oleh Jepang. Di samping itu secara kasar telah pula dilakukan perampasan serentak baik secara terorganisasi maupun secara perorangan terhadap harta benda bergerak maupun terhadap perhiasan-perhiasan penduduk sebanyak-banyaknya untk kepentingan pribadi atau kelompok berhubung kesempatan masih ada karena masa pendudukannya hampir berakhir. Kekejaman merajalela yang disertai dengan pembunuhan-pembunuhan, tanpa pembuktian dan prosedur pengadilan atau hanya sekadar pembalasan dendam serta pelampiasan nafsu semata-mata. Hal tersbut hanya menyebabkan bertambahnya kebencian Bangsa Indonesia, terutama dari pemimpin-pemimpin pergerakan di bawah tanah yang pada saat tersiarnya berita penyerahan Jepang ke seluruh dunia dapat menangkapnya secara tersembunyi dapat terus menerus mengikuti perkembangan politik internasional dan politik Dai Nippon.

Dalam menanggapi berita yang sangat penting itu maka pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia mempunyai pendirian yang berbeda-beda yang pada pokoknya dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Kelompok pemimpin-pemimpin Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang selama zaman pendudukan Jepang bekerja sama dengan Jepang berpendirian bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan sebelum tentara sekutu datang. Dalam membawa aspirasi rakyat berupa proklamasi dipertimbankan bahwa harus dihindari sejauh mungkin pertumpahan darah dengan Jepang, karea bila hal ini terjadi dikhawatirkan akan banyak korban yang jatuh di pihak bangsa Indonesia mengingat tentara pendudukan Jepang masih bersenjata lengkap. Sesuai dengan pendirian tersebut kelompok pemimpin-pemimpin Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam menggerakkan rakyat untuk menyongsong proklamasi selalu mengadakan konsultasi dengan pemimpin-pemimpin Jepang sehingga gerakan dari kelompok tersebut adalah legal.

Kelompok lain adalah kelompok yang dipimpin oleh tokoh-tokoh pergerakan yang selama pendudukan Jepang mengadakan gerakan di bawah tanah untuk menentang Jepang dalam usahanya untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia. Kelompok ini menentang Kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan Jepang yang mereka namanakan dengan kemerdekaan hadiah. Tokoh pergerakan ini antara lain Sutan Sjahrir, y ang sampai pada saat Jepang menyerah bersikap menjauhi segala kegiatan politik yang berpokok pada kerjasama dengan Jepang. Sikap tersebut menyebabkan menyebabkan banyak pemuda-pemuda yang revolusioner tertarik dan mendekatinya sehingga dalam waktu yang sangat singkat kelompok penentang kemerdekaan hadiah semakin besar pengaruhnya di kalangan pemuda dan mahasiswa. Menurut kelompok Sjahrir yang didukung oleh pemuda, kemerdekaan Indonesia harus diproklamasikan tanpa campur tangan dari pemerintah Jepang yang telah menyerah itu. Apabila negara Indonesia yang diproklamasikan nanti mendapat bantuan pemerintah pendudukan Jepang tidak saja akan dinilai oleh Sekutu sebagai negara boneka Jepang tetapi juga harus dilikuidasi.

Perbedaan antara kedua kelompok yang berpangkal pada prinsip prosedur proklamasi kemerdekaan semakin lama semakin nyata walaupun tidak secara terang-terangan. Kedua kelompok ini masih saling mengadakan komunikasi dan dalam menghadapi problema yang dihadapi kadang-kadang diadakan tukar pikiran. Sementara itu kelompok Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia meneruskan usahanya dengan mengadakan pidato-pidato dan ceramah-ceramah yang pada pokoknya berisi supaya rakyat tetap tenang dan supaya membantu pemerintah Jepang dalam merealisasikan kemerdekaan Indonesia. Pemimpin-pemimpin Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tidak menginginkan semangat perlawanan rakyat terhadap Jepang menjadi meluap karena bila hal itu terjadi maka akan mempersulit proses kemerdekaan Indonesia. Kelompok ini menginginkan supaya proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan tanpa adanya pertumpahan darah dengan Jepang sedangkan terhadap Sekutu akan dihadapi secara diplomasi. Suatu langkah yang tidak tepat akan membawa bangsa Indonesia kepada malapetaka yang besar apabila harus bertempur dengan Jepang yang masih bersenjata lengkap dan ditambah lagi menghadapi tentara Sekutu yang akan memihak kepada kepentingan politik Belanda.

Perkembangan situasi, khususnya dilihat dari perjuangan bangsa Indonesia semakin meningkat dan bertambah matang. Antara kedua kelompok pemimpin diadakan saling tukar informasi dan dengan analisa masing-masing berusaha memecahkannya untuk kepentingan cita-cita kemerdekaan. Demikian pula mengenai berita pengakuan resmi tentang kemerdekaan Indonesia oleh Jepang yang dibawa oleh Sukarno-Hatta dari Dalat pada tanggal 14 Agustus 1945 dan berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal itu juga telah menjadi bahan diskusi antara kedua kelompok tersebut untuk mencari jalan bagimana sebaiknyamemanfaatkan kedua informasi itu dalam hubungannya dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 rombongan Sukarno tiba di Kemayoran dari kunjungannya ke Dalat (Saigon). Atas desakan rakyat yang menyambutnya, Bung Karno diminta berppidato yang segera dipenuhi. Di antara kata-kata yang diucapkan yang lama tergores dalam hati sanubari rakyat ialah :

"Kalau dulu saja berkata sebelum jagung berubah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga".[26]

Pada saat Sukarno-Hatta mengucapkan pidatonya di Kemayoran belumlah diketahui bahwa Jepang telah meminta damai kepada Sekutu. Di Kemayoran Sukarno-Hatta dijemput oleh Gunseikan jendral Yamamoto dan minta agar singgah di Istana untuk bersama-sama menghadapi Saiko Sikikan. Permintaan itu dikabulkan, kaarna hal tersebut merupakan kejadian yang sangat ganjil sebab selama pendudukan Jepang belum pernah terjadi. Dlam pertemuan itu Saiko Sikikan mengharapkan agar Panitia Persiapan Kemerdekaan dapat menyelenggarakan keputusan dari Pemerintah Tokyo tentang Kemerdekaan Indonesia dengan sebaik-baiknya, tetapi sama sekali tidak menyinggung mengenai menyerahnya Jepang kepada Sekutu.

Baru setelah Hatta sampai di rumahnya ia mengetahuui dari Syahrir yang telah menunggunya dan memberitahukan bahwa Jepang telah meminta damai kepada Sekutu. Berita tersebut diterima dari kelompok pemuda yang selama ini berhubungan dengan Syahrir. Golongan pemuda dapat mengetahui berita tersebut berkat adanya di antara mereka yang bekerja di kantor berita "Domei" seperti Adam Malik, dan juga karena siaran-siaran luar negeri yang berhasil mereka tangkap dari radio-radio gelap. Itulah sebabnya golongan pemuda merasa dirinya lebih tahu sehingga tindakan-tindakannya terhadap pencetusan proklamasi lebih revolusioner dari golongan tua. Berhubung dengan adanya berita yang penting itu dianjurkan oleh Syahrir agar kemerdekaan itu janganlah dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, sebab Indonesia merdeka yang lahir semacam itu akan dicap oleh sekutu sebagai Indonesia adalah buatan Jepang. Dan dianjurkan pula bahwa Bung Karno sebagai pemimpin rakyat menyatakan Kemerdekaan Indonesia atas nama rakyat.

Dalam pertemuan tersebut selanjutnya Hatta menyetujui pendapat Sjahrir agar pernyataan kemerdekaan Indonesia diselenggarakan dengan selekas-lekasnya, walaupun masih menyangsikan apakah pernyataan itu dapat dilakukan oleh Sukarno pribadi sebagai pemimpin rakyat nama rakyat. Setelah Sjahrir sependapat untuk pergi menemui Sukarno.

Pada sore hari itu juga diadakanlah pertemuan di rumah Muhammad Hatta, Sutan Syahrir dan Sukarno di tempat kediaman Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur no 56. Setelah Sutan Sjahrir menyampaikan maksud kedatangannya Sukarno mengatakan bahwa ia ketika di Saigon telah mempunyai dugaan mengenai hal itu berdasarkan keterangan Letnan Kolonel Nomura bahwa tentara Uni Soviet telah menyerbu Manchuria dan selanjutnya Nomura mengambil kesimpulan bahwa Jepang akan bertekuk lutut. Tetapi Sukarno tidak begitu yakin bahwa Jepang akan bertekuk lutut secept itu walaupun berita tersebut langsung diterima dari siaran radio luar negeri pihak sekutu. Oleh karena itu Sukarno mengajak Moh. Hatta untuk bersama-sama mengecek mengenai berita tersebut kepada Gunseikanbu.

Mengenai usul Sjahrir bahwa ia sendiri sebagai pemimpin rakyat harus memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tidak disetujui oleh Sukarno. Alasan Sukarno ialah bahwa ia tidak berhak untuk bertindak sendiri karena hal proklamasi adalah hak dan tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya Sukarno-Hatta tidak dapat menyetujui pendapat Sjahrir bahwa Kemerdekaan yang diproklamasikan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia akan dicap sebagai negara boneka Jepang oleh pihak sekutu. Sebab menurut kedua tokoh tersebut sekutu tidak akan memandang bagaimana proses lahirnya negara Indonesia, karena yang menjadi garis politiknya adalah memihak Belanda untuk mengembalikan kepada Belanda sesuai dengan perjanjian Postdam pada bulan Juli 1945[27] Dengan demikian maka kandaslah cita-cita Sjahrir untuk memproklamasikan kemerdekaan menyimpang dari jalan yang sudah dirintis selama ini.[26]

Seperti telah diesebutkan di atas prinsip-prinsip yang dianut Sjahrir mengenai prosedur kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan dari beberapa kelompok pemuda dan mahasiswa. Kelompok-kelompok tersebut adalah :

a. Kelompok Sukarni, termasuk Kusnaedi, Abdul Muluk, Adam Malik, Armunanto, Pandu Wiguna, M. Nitimihardja, Syamsudin (Tjan) an lain-lain. Kelompok ini secara diam-diam selama pendudukan Jepang berusaha mengumpulkan sesuatunya yang dipandang perlu untuk dipakai menjadi alat membuat kedok-kedok kebohongan Jepang. Cara yang dipakai antara lain dengan menyebarkan siaran-siaran berita yang sebenarnya, mengusahakan pemasukan tenaga-tenaga revolusioner di berbagai lapangan, mendirikan organisasi buruh dan tani. Dalam hal penyebaran berita kelompok ini dapat bekerja baik karena pimpinannya bekerja pada kantor Sendenbu.

b. Kelompok Pelajar, beranggotakan Chairul Saleh, Djohar Nur, Darwis, Kusnandar, Subadion Sastrosatomo, E. Sudewo dan lain-lain. Mereka tidak berasal dari satu sekolah saja, hubungannya sangat luas dalam masyarakat sehingag sanggup menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh golongan lain demi pelaksanaan cita-cita kemerdekaan.

c. Kelompok Kaigun (Angkatan Laut) anggota-anggotanya antara lain : Mr. a. Subardjo, Sudiro (Mbah), Wikana, E. Chaerudin, Djojopranoto. Mereka merupakan tenaga revolusioner yang lebih banyak mengetahui kelemahan pemerintah daripada golongan lainnya, karena mereka langsung berhubungan dengan opsir-opsir laut Jepang yang memang "menentang" pemerintah pendudukan yang dikendalikan oleh Angkatan Darat.

Tidaklah dapat dipungkiri bahwa semua nasionalis Indonesia baik yang tergabung dalam perintis persiapan Kemerdekaan Indonesia, maupun tenaga revolusioner yang berada di luarnya menghendaki Kemerdekaan Indonesia. Tetapi pada saat-saat terakhir kekuasaan rezim Jepang di Indonesia, terlihat perbedaan siasat antara golongan pemuda dan golongan tua yang dimpimpin oleh Sukarno-Hatta. Golongan pemuda menganggap tua kurang revolusioner.

Pada tanggal 15 Agustus 1945 Sukarno-Hatta disertai Mr. Subardjo pergi ke Gunseikanbu. Ketika tokoh tersebut sampai ke di tujuan ternyata Gunseikanbu kosong dan menurut penjelasan seorang opsir yang sedang bertugas menjaga kantor mengatakan Gunseikan dan Stafnya sedang dipanggil ke Markas Besar Angkatan Perang (Gunseireibu). Ketiga tokoh tersebut sependapat bahwa berta tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu yang dibawa Sjahrir adalah benar. Sesuai dengan usul Mr. Subardjo ketiga tokoh tersebut segera meninggalkan Gunseikanbu untuk segera menemui Laksamana Muda T. Maeda untuk mendapatkan informasi. Ketika Sukarno menanyakan kepada perwira tinggal AL Jepang tersebut mengenai kebenaran berita menyerahnya Jepang kepada sekutu maka Laksamana Muda T. Maeda setelah berpikir beberapa saat membenarkan berita tersebut, menurut sumber pihak sekutu, walaupun demikian ia masih menunggu instruksi dari Tokyo.

Berdasarkan berita-berita yang diterima dari Sutan Syahrir dan kemudian diperkuat dengan keterangan Laksaman Muda T. Maeda maka Sukarno - Hatta sebagai ketua dan wakil ketua memutuskan untuk mengadakan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan di Pejambon pada tanggal 16 Agustus 1945. Kepada Mr. Subardjo selaku pembantu Moh. Hatta dalam PPKI diperintahkan untuk menghubungi anggota-anggota PPKI yang menginap di Hotel Des Indes supaya besok paginya pukul 10.00 tetap menghadiri sidang PPKI di kantor Dewan Sanyo Kaigi di Pejambon.

Pada sore harinya tanggal 15 Agustus 1945 sekembalinya dari rumah Laksamana Muda T. Maeda, Moh Hatta didatangi oleh dua orang pemuda yaitu Subadio Sastrosatomo dan Subianto yang mengatakan bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu dan mereka mendesak supaya kemerdekaan Indonesia jangan diproklamasikan oleh PPKI tetapi oleh Sukarno sebagai pemimpin rakyat dan supaya diucapkan di corong radio. Moh Hatta memberi penjelasan kepada pemuda tersebut bahwa Jepang dengan perantaraan Marsekal Terautji di Dalat telah mengakui Kemerdekaan Indonesia yang pelaksanaannya akan diselenggarakan oleh PPKI. Rapat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia akan diadakan besok hari pukul 10.00 di gedung Dewan Sanyo Kaigi di Pejambon. Keterangan Moh. Hatta menimbulkan rasa tidak puas pada kedua pemuda tersebut dan mereka tetap berpegang pada pendiriannya. Walaupun Moh. Hatta kemudian memberi penjelasan bahwa Proklamasi diucapkan oleh Sukarno sebagai pemimpin rakyat atau Sukarno sebagai ketua PPKI adalah sama saja namun kedua pemuda tersebut tetap belum puas. Perdebatan itu berakhir tanpa ada kompromi dan kedua pemuda itu kemudian meninggalkan rumah Moh. Hatta dengan mengucapkan bahwa Bung Hatta tidak bisa diharapkan untuk mengadakan revolusi.

Pada jam 20.00 tanggal 15 Agustus 1945 di bawah pimpinan Chairul Saleh golongan pemuda mengadakan pertemuan di ruang belakang gedung Bacteriologish Laboratorium Pegangsaan Timur Jakarta, guna merundingkan bagaimana sikap yang akan diambil dalam menghadapi situasi ketika itu dan bagimana caranya rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Putusan penting dalam pertemuan tersebut antara lain bahwa soal proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah Bangsa Indonesia sendiri lepas dari Bangsa Asing serta waktunya secepat mungkin. Untuk maksud tersebut mereka mengirimkan utusannya untuk menghadap Sukarno Hatta. Selain itu diambil putusan pula untuk membentuk Komite Van Actie di bawah pimpinan Chairul Saleh.

Kira-kira jam 22.00 utusan yang erdiri dari Wikana dan Darwis diterima oleh Bung Karno di rumahnya di Pegangsaan Timur 56. Mereka itu menyampaikan hal-hal yang baru saja dirapatkan dengan menyatakan bahwa pemuda-pemuda telah siap untuk menghadapi segela kemungkinan. Baru pembicaran diadakan datang pula Bung Hatta, Mr. Achmad Subarjo, dr Buntaran dan lain-lain pemuda. Dalam perdebatannya Bung Karno tetap menolak desakan pemuda-pemuda untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum ia berunding dengan kawan-kawannya. Kepada para pemuda Sukarno menjelaskan bahwa segala persiapan yang berhubungan dengan Kemerdekaan Indonesia telah diputuskan sedangkan di pihak Jepang telah memberi persetujuan. Untuk melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan PPKI akan bersidang pada tanggal 16 Agustus 1945 dan dalam sidang tersebut akan disyahkan rencana Undang-undang Dasar yang telah disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta mengangkat Kepala Pemerintahan di pusat dan di daerah-daerah. Dijelaskan pula oleh Sukarno bahwa setelah selesai rapat maka kepada pemimpin-pemimpin di daerah supaya kembali ke daerah masing-masing untuk menyusun Pemerintahan Daerah serta menghimpun kekuatan rakyat untuk menegakkan dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari serangan Belanda yang akan datang kemari dengan bantuan Sekutu. Atas penjelasan tersebut, para pemuda memandang bahwa semuanya itu tidak perlu.

Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan yang sangat sengit dan Bung Karno tetap menolak kehendak para pemuda yang menghendaki agar malam itu juga tanggal 16 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan. Oleh karena Bung Karno tetap menolak maka Wikana mengancam yaitu apabila Bung tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan malam itu juga maka besok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah. Hal tersebut menjadikan Bung Karno naik darah, sehingga atas usul Bung Hatta pertemuan itu ditunda untuk beberapa menit.

Waktu istirahat tersebut digunakan oleh Bung Karno, Hatta, Buntaran dan Subardjo untuk mengadakan pembicaran sendiri, dan dalam pembicaraan itu diperoleh kata sepakat bahwa apabila pemuda-pemuda bersikap keras untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada malam itu juga, dianjurkan mereka untuk mencari pemimpin yang belum pernah bekerja dengan Pemerintah Militer Jepang, dan Sukarno - Hatta akan berdiri di belakang pemimpin tersebut sebagai penyokong revolusi. Hal tersebut tidak dapat diterima oleh golongan pemuda akhirnya pertemuan tersebut terpaksa dibubarkan.

Pada jam 23.00 kedua utusan itu kembali untuk memberikan laporan kepada kawan-kawannya yang sudah menunggu di Cikini 71. Setelah rapat mendengarkan laporan Wikana dan Darwis yang ternyata tidak berhasil sebagaimana yang diharapkan, rapat tetap bersepakat untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia secepat mungkin mengingat suasana yang sangat menguntungkan. Terhadap Bung Karno dan Bung Hatta diputuskan untuk membawa mereka ke luar kota, disebabkan oleh adanya kekhawatiran kalau-kalau kedua pemimpin tersebut akan diperalat oleh Jepang apabila Proklamasi Kemerdekaan sudah dilaksanakan. Peristiwa ini dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok dan menurut rencana para pemuda bila proklamasi sudah disiarkan, Bung Karno dan Bung Hatta disuruh meneruskan pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia dari sana. Penculikan ini terjadai pada tanggal 16 Agustus 1945 sekitar jam 04.30 dengan alasan bahwa keadaan kota sudah sangat genting.

Selama di Rengasdengklok Sukarno-Hatta tidak ada kesibukan apa-apa. Pimpinan pemuda tidak pernah muncul dan Tjudando Sutjipto yang menjadi Komandan PETA Rengasdengklok tidak memberi penjelasan apa-apa. Baru kira-kira jam 12.30 melalui seorang pemuda yang bertugas menjaga Moh. Hatta memanggil Sukarni dan menanyakan apakah revolusi yang akan dimulai pukul 12.00 tengah hari sudah dimulai. Apakah 15.000 rakyat yang akan menyerbu kedudukan Jepang bersama-sama dengan mahasiswa dan PETA sudah masuk kota. Kemudian Moh. Hatta meminta supaya Sukarni menelepon ke kota. Satu jam kemudian Sukarni datang lagi dan mengatakan tidak memperoleh kontak dengan Jakarta sedang Jakarta pun tidak mengirim berita. Moh Hatta setelah mendengar keterangan Sukarni mengatakan bahwa Revolusi yang telah direncanakan pemuda sudah gagal dan ini berarti tidak ada gunanya lebih lama berada di Rengasdengklok.

Sementara Sukarno Hatta berada di Rengasdengklok, di Jakarta Chairul Saleh sebagai pimpinan Komite Aksi sibuk merencanakan perebutan kekuasaaan dengan menyususun tenaga-tenaga penggempur. Perundingan telah dilakukan dengan para pemimpin-pemimpin Seinendan dan Sjuisintai dan dilanjutkan dengan golongan PETA yang diwakili oleh Tjudantjo Abdul Latief dan kawan-kawannya dan sebagai Daidantjo adalah Kasman Singodimedjo. Perundingan tersebut dilakukan di ruangan bola Biyard kebun binatang pada tanggal 16 Agustus yaitu mulai dari jam 10.00 sampai 11.30. Perundingan tersebut berkisar pada sekitar penentuan dalam perebutan kekuasaan. Dalam pertemuan dapat diputuskan antara lain : sebagai penggempur utama kota Jakarta akan digunakan PETA, sedang para pemuda akan digunakan sebagai pasukan cadangan. Akan tetapi ketika pemuda-pemuda sudah siap menunggu komando tiba-tiba datang kurir dari Kasman Singodimedjo untuk menyampaikan berita bahwa PETA tidak dapat ikut dalam perebutan kekuasaan dengan alasan tidak ada perintah dari Bung Karno.

Dengan adanya berita tersebut maka usaha untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan senjata telah gagal. Karena itu Chairul Saleh segera mengadakan perundingan lagi untuk menentukan langkah-langkah lebih lanjut. Djohar Nur dalam pertemuan ini melaporkan bahwa usahanya untuk mencoba mengumumkan kemerdekaan melalui radio di Jakarta telah gagal karena ketatnya penjagaan Bala Tentara Jepang. Kemudian Wikana menganjurkan agar usaha untuk mengumumkan kemerdekaan ditangguhkan terlebih dahulu untu menunggu kedatnagan Subardjo, Sudiro dan J. Kunto yang pergi ke Rengasdengklok guna menemui Bung Karno.

Pada jam 18.00 Subardjo datang di Rengasdengklok dan kemudian diadakan pembicaraan dengan Sukarno-Hatta yang diikuti oleh Sukarni. Dalam pertemuan tersebut Subardjo mengatakan bahwa di Jakarta tidak terjadi apa-apa dan karena itu meminta agar pemimpin-pemimpin rakyat supaya segera dapat kembali ke Jakarta agar dapat meneruskan kegiatan-kegiatan mempersiapkan proklamasi Indonesia. Pihak pemuda yang diwakili oleh Sukarni sekali lagi meminta kepada Sukarno Hatta untuk bersedia menandatangani proklamasi kemerdekaan. Sukarno - Hatta berjanji akan turut dan bersedia dengan syarat proklamasi ditandatangani di Jakarta.

Pada mulanya golongan pemuda yaitu Sukarni cs berkeberatan sebab mungkin nanti janji ituu setelah berada di Jakarta tidak akan ditepati. Akan tetapi atas tanggungan Mr. Subardjo akhirnya Sukarno-Hatta disetujui ke Jakarta oleh para pemuda dan dikawal oleh PETA dengan syarat keesokan harinya pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi kemerdekaan harus disiarkan ke seluruh dunia. Sesampainya di Jakarta atas perantaraan Mr. Subardjo dapatlah diusahakan meminjam rumah Laksamana Muda T. Maeda untuk mengadakan rapat. Rumah tersebut dianggap tempat yang aman dari tindakan-tindakan Angkatan Darat sedang Mr. Subardjo dan sejumlah pemuda Indonesia adalah pegawai pada kantor tersebut, sehingga mereka itu mempunyai hubungan baik dengan Laksamana Muda T. Maeda. Berdasarkan hubungan baik itulah rumah Laksamana Muda T. Maeda di Jalan Oranye (Sekarang Jalan Imam Bonjol) dijadikan tempat pertemuan antara pelbagai golongan pergerakan nasional, baik golongan tua maupun muda. Sementar itu datang permintaan Somobutjo Mayor Jenderal Nishimura kepada Bung Karno-Hatta untuk diajak berunding di rumahnya. Panggilan tersebut diterima oleh Sukarno-Hatta dan dari hasil pembicaraan yang diadakan dapatlah diambil kesimpulan, bahwa Jepang pada saat itu tidak mempunyai kebebasan bergerak lagi. Ia semata-mata hanyalah alat sekutu dan harus menurut segala perintah Sekutu. Meskipun diperingatkan akan pengakuan pemerintah Tokyo atas kemerdekaan Indonesia dengan perantaraan Terautji dan pelaksanaannya diserahkan kepada Panitia Kemerdekaan Indonesia, Jepang tetap tidak memperbolehkan adanya status quo dan penyelenggaraan rapat yang aka ndiadakan malam itu dilarang.

Setelah hampir 2 jam terjadi perdebatan tanpa hasil Bung Karno-Hatta lalu pergi ke rumah Maeda. Di sini telah berkumpul anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pemimpin-pemimpin pemuda dan beberapa pemimpin pergerakan, serta anggota Tjuo Sangiin yang ada di Jakarta. Dalam pertemuanini dirumuskan oleh Bung Karno, Hatta dan Mr. Subardjo naskah Proklamasi dan disaksikan oleh 4 orang eksponen pemuda yaitu Sajuti Melik, Sukarni, B.M. Diah dan Sudiro (mbah).[28]

Rumusan untuk naskah proklamasi tersebut terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama Proklamasi berbunyi : Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Kalimat tersebut sebenarnya dipetik dari bagian terakhir ketiga dari Pembukaan UUD 45 yang berbunyi : Atas berkat rakhmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kalimat kedua adalah gagasan dari Bung Hatta dengan alasan bahwa menurut pendapatnya kalimat pertama kurang konkret dan harus ditambah permindahan kekuasaan dari tangan Jepang ke tangan Bangsa Indonesia. Atas usul itu lalu dibicarakan rumusan yang tepat menuangkan "gagasan pemindahan kekuasaan". Inilah sebabnya maka dalam naskah tulisan tangan terdapat coretan-coretan dan yang akhirnya dapat dirumuskan demikian. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Setelah selesai penyusunan teks Proklamasi dan pembacaannya ternyata masih timbul perdebatan lagi. Sukarnilah yang mulai sebab menurut pendapatnya teks tersebut tidak berjiwa revolusioner dan terlalu lemah dan lembek. Teks tersebut tidak menegaskan tekad Bangsa Indonesia dalam memproklamasikan kemerdekaan tidak tergantung pada persetujuan Jepang tetapi atas kehendak sendiri, kehendak rakyat tanpa mempedulikan rintangan apapun. Sukarni tidak setuju dengan kalimat kedua sebab ia tidak yakin bahwa Jepang mau memindahkan kekuasaannya kepada Bangsa Indonesia dengan sukarela. Untuk sementara pidato Sukarni itu dapat mengakibatkan kesan yang mendalam di kalangan hadirin, tapi setelah dimusyawarahkan dari pihak anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tidak menyetujui meskipun beberapa orang pemuda mendukungnya.

Dalam membicarakan naskah Proklamasi sering terjadi perdebatan-perdebatan antara golongan tua dan muda walalupun baik para pemimpin angkatan tua maupun para pemuda dari "generasi muda" sama-sama berkeingnian baik dan bertujuan sama yaitu memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Hanya saja cara yang mereka tempuh berlainan langgamnya. Perbedaan langgam ini disebabkan karena para pemuda masih berdarah panas, mudah terbakar emosinya sehingga setiap kali mau bertindak cepat tanpa memperhitungkan akibatnya, sedangkan tokoh-tokoh dari generasi yang lebih tua karena pengalaman dan kepahitan perjuangan mereka di masa yang sudah menjadi lebih moderat, lebih memperhitungkan segala akibat-akibatnya sebelum bertindak.

Karena adanya perbedaan sifat tersebut maka suasana menjadi panas lagi ketika Bung Karno menanyakan siapa yang harus menandatangani naskah Proklamasi. Ketika Sukarni baru mengadaka npembiaraaan dengan Subardjo, Sukarno telah menyarankan supaya Proklamasi ditandatangani saja dengan kata-kata wakil-wakil Bangsa Indonesia. Menurut pendapat yang dimaksud kata wakil-wakil tersebut adalah anggota-anggota PPKI, tapi mengingat dalam rapat tersebut hadir pula para pemuda kelompok Sukarni mungkin saran Sukarno itu mencakup mereka juga. Tapi Sukarni ternyata menolaknya sebab menurut dia bahwa tidak rela kelompoknya disenapaskan dengan para anggota-anggota PPKI yang dianggapnya kolaborator Jepang. Setelah disusulkan agar semua yang hadir menandatangani Sukarnipun tidak setuju sebab menurut anggapannya ada yang tidak berhak menandatangani yaitu mereka yang tidak punya apa-apa. Dan yang dimaksud Sukarni dengan itu mungkin adalah pemuda yang tidak termasuk ke dalam kelompoknya.

Situasi menjadi semakin kritis sebab tampaknya ketika itu jalan sudah buntu. Sukarni selalu menolak setiap usul, agaknya Sukarni menghendaki yang menandatangani naskah adalah rekan-rekannya (Chairul Saleh, Adam Malik, Djawoto, Pandu Kartawiguna, Maruto Nitimihardjo dan Sukarni), yang telah diusulkan kepada Subardjo, tapi sewaktu pembicaraan belum selesai tiba-tiba Sukarno mengusulkan agar yang menandatangani wakil-wakil bangsa Indonesia.

Di tengah-tengah kritis itu tampillah Sajuti Melik dengan usulnya agar sebaiknya naskah Proklamasi ditandatangani Sukarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia.[29] Usul Sajuti Melik itu kemudian disetujui secara aklamasi dan disambut dengan tepuk tangan. Kemudian teks itu diserahkan kepada Sajuti Melik untuk ditik. naskah yang sudah ditik itu kemudian ditandangani oleh Sukarno-Hatta.

Bunyi naskah tersebut selengkapnya berbunyi :

PROKLAMASI

Kami Bangsa Indnesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-2 jang mengenai pemindahan kekoesaaan dll diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen '05

Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno/Hatta

Naskah proklamasi tersebut pada pagi harinya yaitu tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 dibacakan oleh Bung Karno di halaman rumahnya di Pegangsaan Timur 56 jakarta dengan didampingi oleh Bung Hatta, dengan didahului pidato. Dalam pidato singkatnya Bung Karno menyatakan bahwa perjuangan untuk mencapai Indonesia Merdeka telah beratus-ratus tahun diperjuangkan maka sekarang telah tiba saatnya sehingga bangsa Indonesia telah berani mengambil nasib bangsa dan tanah air dalam tangannya sendiri. Pidato Proklamasi tersebut didengarkan dan dihadiri oleh rakyat Indonesia umumnya, golongan pemuda termasuk pelaut dari sekolah Pelayaran di Jakarta khususnya.

Berita proklamasi itu kemudian disiarkan secara luas dan cepat oleh para pemuda pejuang yang aktif mengusahakan lahirnya proklamasi. Dengan semangat dan tidak mengenal lelah mereka menyebarkan pamflet-pamflet, mengadakan berita proklamasi kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan Indonesia itu mewajibkan bangsa Indonesia umumnya dan Kaigun beserta pemuda-pemuda bahariwan khususnya untuk terus memperjuangkan tegaknya proklamasi itu dalam membukan lembaran baru sejarahnya agar bangsa Indonesia dapat sampai kepada saat yang berbahagia yaitu mengenyam Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, bardaulat, adil dan makmur.

Peranan Pemuda Bahariwan dalam Proklamasi Kemerdekaan.

Seperti telah diuraikan terdahulu Pemerintah pendudukan Jepang memberi kesempatan yang agak luas kepada pemuda-pemuda Indonesia untuk mengembankan bakatnya di bidang kemaritiman. Walaupun tindakan tersebut semata-mata didasarkan kepentingan Jepang dalam rangka mendirikan kekuasaan Asia Timur Raya dan khusus menghadapi Perang Pasifik namun peristiwa tersebut bagi bangsa Indonesia merupakan suatu hal yang positif sekali dan merupakan keuntungan besar karena pemuda-pemuda Indonesia hasil didikan Jepang itu nantinya merupakan kader-kader bahariwan yang akan mempelopori perjuangan bangsa Indonesia di bidang maritim, terutama dalam pembentukan ALRI, di samping beberapa puluh putra Indonesia yang telah terjun dalam bidang kelautan dalam masa penjajahan Belanda. Beratus-ratus pemuda Indonesia telah mengikuti lembaga pendidikan kelautan yakni Sekolah Pelayaran Tinggi Jakarta, Semarang, Tegal, Cilacap, Pasuruan dan Makasar; Sekolah Pelayaran Rendah di Jakarta, Tegal, Pasuruan, Probolinggo, Padang, Tanjung Balai, Makasar dan Banjarmasin; Sekolah Bangunan Kapal di Jakarta; Sekolah Penerbangan Angkatan Laut di Juanda.

Tamaatan dari sekolah tersebut kemudian aktif dalam tugas di laut yakni pada Gunseikanbu Kaiji Sjokyoku, perusahaan-perusahaan pelayaran Jawa Unko Kaisja, Nampo Unko Kaisja, Akatsuki Butai dan ada pula yang menjadi anggota Kaigun Heiho. Di samping pemuda-pemuda Indonesia hasil didikan Jepang juga sebagian besar pelaut Indonesia dari zaman Belanda yakni bekas anggota KM, GM dan KPM pada zaman Jepang meneruskan kariernya di bidang bahari di salah satu dinas atau perusahaan yang dibentuk Jepang.

Walaupun jumlah kaum bahariwan pada zaman pendudukan Jepang cukup besar dan sebagian besar adalah memiliki pengetahuan profesi kelautan namun mereka tidak dapat secara aktif atau legal mengikuti perjuangan pemuda-pemuda menentang Jepang dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, karena Pemerintah Pendudukan Jepang melarang segala kegiatan yang bersifat politik apalagi bagi kaum pelaut. Walaupun mendapat perlakuan yang tidak adil dari pihak pemerintah Jepang kaum bahariwan Indonesia tidak dapat bertindak seperti pada zaman Belanda yaki mengadakan aksi-aksi melalui organisasi serperti Inlandsche Marine Bond (IMB), Chirstelijke Inlandsche Marine Bond (CHIMB) dan Anti Belanda Club (ABC). Melalui organisasi-organsasi tersebut kaum bahariwan pada zaman Belanda berhasil mengadakan hubungan secara harmonis dengan organisasi-organisasi politik yang ada pada waktu itu sehinga setiap perkembangan perjuangan bangsa Indonesia baik secara politik maupun secaar fisik selalu diikuti oleh kaum bahaiwan. Hal tersebut terbukti dengan adnya pemogokan pelaut-pelaut Indonesia di Pangkalan Ujung dan Pemberontakan Kapal Tujuh pada tanggal 5 Pebruari 1933.

Akibat adanya pelanggaran kegiatan politik dan penekanan-penekanan oleh pemerintah Jepang maka pemuda-pemuda Indonesia ada yang memiliih taktik secara ilegal dalam perjuangan mencapai kemerdekaan, demikian pula pemuda bahariwan secara diam-diam menyusun organisasi ilegal di kota-kota pelabuhan di Indonesia maupun di Singapura. Kegiatan-kegiatan tersebut pada m ulanya tidak ada hubungan satu sama lain tetapi dengan adanya komunikasi secara fisik antar pelaut perkembangan situasi di Jakarta dapat diikuti oleh pemuda bahariwan di kota-kota pelabuhan. Dalam mengadakan kegiatan-kegiatan ilegal pemuda-pemuda Bahariwan yang bekerja pada Kaigun di Jakarta dan Surabaya lebih bebas bergerak karena mereka secara tidak resmi mendapat kelonggaran dan tidak jarang secra langsung diberi informasi-informasi penting yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa dalam Perang pasifik maupun persoalan-persoalan yang timbul dari Indonesia oleh perwira-perwira Kaigun. Kelompok pemuda bahariwan dari kalangan Jawa Unko Kaisja, Kaiji Sokyoku, SPT dan lain-lain yang berada di bawah kekuasaan Riukugun sulit mengadakan kegiatan-kegiatan karna Rikugun yang berkuasa atas Jawa dan Sumatera bersikap lebih berani dalam menanggapi aspirasi bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita kemerdekaan. Tindakan perwira tersebut dilakukan untuk mencapai pengaruh di kalanagn bangsa Indonesia terutama di Jawea dan Sumatera yang dikuasai Rikugun.

Pembatasan-pembatasan yang diadakan oleh pemerintahan Jepang menimbulkan aktivitas kelompok-kelompok pemuda pelaut berdasarkan lokasi dan bidang tugas. Pada masa pendudukan Jepang kita mengenal kelompok-kelompok pemuda Kaigun di Jakarta, kelompok Kaiji Sokyoku, Jawa Unko Kaisya, SPT di kota-kota pelabuhan di Jawa dan Sumatera, kelompok Singapura, kelompok PAL dan lain-lainnya. Melalui kelompok-kelompok tersebut pemuda-pemuda bahariwan ikut aktif menyongsong Proklamasi Kemerdekaan.

a. Kelompok Pemuda Kaigun di Jakarta. Pada zaman Jepang di Jakarta terdapat perwakilan Kaigun di bawah piminan Laksamana Muda Maeda. Untuk mencukupi kebutuhan akan tenaga staf pembantu maka Perwakilan Kaigun Jepang menerima pemuda-pemuda Indonesia yang sebelumnya adalah tokoh-tokoh pergerakan misalnya Mr. Subardjo, Sudiro (Mbah), Wikana, E. Chaerudin, Djojopranoto dan lain-lain. Mereka memilih kerja sama dengan Jepang untuk dapat meneruskan kegiatan-kegiatan di bidang politik. Di samping sebagai pegawai staf juga ada yang menjadi informan polisi rahasia Jepang. INformasi yang mereka peroleh dalam dinas kemudian disalurkan melalui gerakan ilegal, apalagi sikap Kaigun di Jakarta mempunyai pendirian yang berbeda dengan Rikugun yang banyak membantu kelompok pemuda dalam mengumpulkan informasi-informasi, yang sangat penting dalam menentukan siasat perjuangan.

Perwira-perwira Kaigun tidak segan mengemukakan dan menerangkan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang bekerja langsung di bawah kekuasaannya tentang hal-hal yang bersifat rahasia militer. Hal inilah yang menjadi penarik dan pemikat politisi Indonesia untuk dekat dan bergandengan dengan Angkatan Laut Jepang di Jawa. Dengan didapatnya informasi yang bersift rahasia telah menimbulkan inspirasi kepada kelompok pemuda Kaigun untuk menyusun kekuatan, sehingga dapat memanfaatkan berita rahasia yang mereka peroleh. Oleh kelompok Kaigun kemudian dibentuk suatu organisasi pemuda yakni Pemuda Angkatan Laut dipimpin oleh Subardjo. Anggota dari organisasi tersebut terdiri dari pemuda yang pada zaman sebelum kedatangan Jepang telah aktif dalam pergerakan, sedangkan pimpinannya terdiri dari tokoh-tokoh pegawai Kaigun. Untuk mematangkan pemuda Angkatan Laut maka dibentkklah suatu asrama dipimpin oleh Wikana, dan memberikan kepada pemuda-pemuda tersebut secara teratur ceramah serta kursus mengenai politik dan pengetahuan umum yang kesemuanya sangat penting bagi anggota-anggota pergerakan. Di antara tokoh pergerakan yang sering memberikan pelajaran atau ceramah di asrama Pemuda Angkan Laut adalah Syahrir, Sukarno, Hatta, Iwa Kusuma Sumantri, Subardjo, Suwandhi dan lain-lain. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya kelompok Kaigun pada detik-detik Proklamasi mempunyai pengaruh yang penting terhadap penentuan sikap para konseptor Prolamasi dengan informasi-informasi mengenai suatu masalah yang sangat penting dari tangan pertama yaitu Kaigun dan ceramah yang diberikan oleh tokoh-tokoh pergerakan bangsa Indonesia, maka kelompok pemuda Angkatan Laut dengan cepat dapat berbuat tepat dalam memanfaatkan berita-berita tersebut, sehingga setiap tindakan pemerintah Jepang akan dapat diimbangi oleh aktivitas pemuda-pemuda dalam menyongson proklamasi Kemerdekaan.

Sebagai contoh ketika pihak Rikugun melalui Gunseikanbu membuat langkah-langkah baru menyesuaikan diri dengan politik kemerdekaan hadiah, maka pihak Kaigun membuka jalan yang lebih maju dari apa yang diberikan oleh Rikugun. Perbedaan pendirian dari kedua unsur bersenjata dari kedua Angkatan Perang Jepang ini terus berlangsung. Ketika terjadi Pemberontakan PETA di Blitar, pihak Rikugun menganggap adalah suatu penghianatan, sebaliknya Kaigun berpendapat bahwa peristiwa itu adalah akibat kesalahan Gunsikanbu dalam menenentukan garis politiknya. Akibat dari pengaruh politik Kaigun, yang bersifat oposisi terhadap kebijakan kebijakan Gunseikanbu maka pemuda kelompok Kaigun yang menurut statusnya sebagai pegawai Pemerintah pendudukan Jepang seharusnya banyak berafiliasi dengan gerakan Kebaktian Kohokai tetapi kenyataannya malah turut aktif dalam Angkatan Muda dan Angkatan Baru serta turut beraksi dalam insiden "politieke conflict." Gerakan Angkatan Baru. Dengan demikian kelompok pemuda Kaigun walaupun dalam tuga sehari-hari bekerja sama dengan Jepang, tetapi dalam kegiatan politik justru bersifat oposisi ilegal bersama-sama dengan Kelompok Pemuda lainnya.

Ketika Sukarno-Hatta pada tanggal 6 Agustus dipanggil oleh Jenderal Terautji ke Saigon dan kemudian kembali dengan membawa oleh-oleh janji kemerdekaan, "maka Kelompok Pemuda Kaigun menghendaki supaya jangan terlalu menggantungkan kepada Kemerdekaan "Hadiah" tetapi kemerdekaan y ang diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sendiri supaya segera dipersiapkan. Sehubungan dengan "janji Kemerdekaan" maka pada rapat tanggal 10-12 Agustus 1945 di jalan Kebon Sirih dan di jalan Defensielijn van den Bosch (Sekarang jalan bungur besar) yang dihadiri oleh pimpinan Kaigun berjanji akan membantu pelaksanaan Kemerdekaan Indonesia dan bersedia untuk mendesak Saiko Sikikan di Jawa supaya secepatnya melaksanaan "Janji Kemerdekaan" itu.

Beberapa hari menjelang proklamasi kemerdekaan karena situasi yang cepat berubah sebagai akibat menyerahnya Jepang kepada Sekutu maka timbulkan kontradiksi di kalangan pemuda Kaigun dalam menentukan sikap. Sebagian dari kelompok tersebut tetap bersikap radikal dan tidak yakin bahwa untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia masih perlu mengadakan hubungan dengan Jepang dan sebagian lagi mempercayai hal tersebut kepada beberapa pemimpin Indonesia dengan asumsi bahwa pimpinan AL Jepang di Jakarta akan membantu dengan sungguh-sungguh usaha mencapai kemerdekaan Indonesia. Kelompok yang terakhir ini antara lain dipimpin oleh Mr. Subardjo yang kemudian dalam menentukan pendapat dengan cara perjuangan lebih banyak persamaannya dengan kelompok Sukarno-Hatta.

Secara keseluruhan kelompok pemuda Kaigun lebih banyak berhubungan dengan kelompok pemuda dan mahasiswa lainnya yaitu kelompok Sukarno dan kelompok Pelajar. Setelah proklamasi kemerdekaan maka kelompok Kaigun mengambil peranan penting dalam menyebarkan proklamasi di daerah-daerah. Karena kelompok tersebut mempunyai hubungan yang luas dengan kota-kota pelabuhan di Indonesia dan dengan menggunakan fasilitas-faslitias perwakilan Kaigun di Jakarta tugas tersebut dapat berjalan dengan lancar. pada pertumbuhan selanjutnya setelah negara RI diproklamasikan maka pada periode menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia kelompok Kaigun sebgai pemuda-pemuda bahariwan tidak saja meneruskan perjuangannya dalam bidang bersenjata yakni mempelopori pembentukan BKR Laut, TKR Laut atau ALRI tetapi juga berkecimpung dalam bidang politik dan banyak yang duduk dalam lembaga legislatif maupun eksekutif.

Kelompok SPT Jawa Unko Kaisya dan Kaiji Sjokyoku Jakarta. Selain terdapat perwakilan AL Jakarta merupakan kota pusat jawatan-jawatan dan perusahaan yang beraspek kelautan misalnya Kaiji Sjokyoku atau Jawatan Pelayaran, Jawa Unko Kaisya yang dapat disamakan dengan Perusaaan Pelayaran Pantai, PELNI, Akatsuki Butai dan lembaga-lembaga pendidikan seperti SPT, SPR, Sekolah Teknik Bangunan Kapal. Jadi dengan demikian di Kota Jakarta terdapat banyak pemuda-pemuda Indonesia bekerja di bidang kelautan. Mereka mulanya tidak dapat mengadakan aktivitas-aktivitas yang sejajar dengan pemuda dan mahasiswa serta pemimpin rakyat lainnya dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, karena terikat dengan peraturan-peraturan yang berlaku, bagi para pelaut dan adanya larangan dan penekanan kegiatan politik.

Sebagai pemuda pelaut mereka sering mendapat tugas berlayar ke kota-kota pelabuhan baik di dalam maupun di luar negeri. Walaupun demikian mereka pada mulanya tidak banyak mengetahui situasi perkembangan politik di Indonesia di samping perkembangan situasi Perang Pasifik, karena alat-alat komunikasi di kalap seperti radio tidak ada, yang ada hanya kompas, sedangkan komunikasi fisik dengan pelaut-pelaut di pelabuhan yang dikunjungi sangat terbatas bahkan kadang-kadang tidak boleh sama sekali. Kapal-kapal Jawa Unko Kaisya yang berlayar ke Padang, SIngapura dan Bangkook tidak mengizinkan anak buahnya turun dari kapal atau pesiar. Karena adanya hambatan-hambatan tersebut maka satu-satunya sumber berita tentang situasi perang Pasifik adalah kejadian yang langsung dialami baik di laut maupun di darat. Dengan adanya peristiwa-peristiwa yang dialami itu maka timbullah keinginan untuk menceritakan pengalamannya kepada sesama pelaut ataupun teman lainnya sehingga terbukalah komunikasi fisik baik sesama pemuda pelaut maupun pemuda lainnya.

Pada masa akhir pendudukan Jepang pemuda-pemuda bahariwan di Jakarta mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan untuk menghadapi kemungkinan berakhirnya pendudukan Jepang dan menyongsong proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka di lingkungan masing-masing selalu mengikuti dengan penuh perhatian segala peristiwa yang telah dialami yang kesemuanya menunjukkan bahwa kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik semakin terdesak. Kejadian-kejadian tersebut antara lain berupa peristiwa tenggelamnya Jawa Unko Kaisya pada tahun 1944 di Selat Sunda karena diserang oleh kapal Belanda HMS "Tijgerhaai" dan penembakan atas kapal Jawa Unko Kaisya di Tanjung Priok di dermaga Kolenkade (sekarang pelabuhan II) oleh kapal terbang sekutu. Sejak terjadinya peristiwa tersebut maka untuk menjaga keamanan diadakan pengawalan yang kuat pada setiap konvoi kapal-kapal transport dari Jakarta ke Sumatera. Peristiwa lain yang menggugah pemuda-pemuda di Jakarta yaitu nasib teman-temannya yang bertugas di kapal Akatsuki Butai yang pada setiap pelayaran ke front depan (Maluku) dapat dipastikan kembali dengan tidak lengkap.

Segala kejadian tersebut di atas ditambah lagi dengan adanya informasi dari pelaut-pelaut yang datang dari Singapura dan kemudian dihubungkan dengan janji kemerdekaan hadiah dari pemerintah Jepang telah menimbulkan suatu problema yang harus dipecahkan yaitu peranan apakah yang dapat dilakukan oleh pemuda-pemuda bahariwan. Merka tidak bebas bergerak seperti rekan-rekannya dari pemuda dan pelajar yang mengadakan rapat-rapat dan diskusi-diskusi karena mereka terikat oleh peraturan-peraturan pemerintah Jepang yang dikenakan kepada pelaut-pelaut Indonesia yaitu antara lain tidak boleh mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat politis. Walaupun demikia pemuda-pemuda di Jakarta khususnya dari kelompok SPT secara insidentil menghubungi pemuda-pemuda dan pelajar di Menteng Raya 31 untuk tukar menukar informasi atau ikut membahas problema yang timbul dalam hubungan menyongsong proklamasi kemerdekaa atau dalam menghadapi Jepang.

Para permulaan bulan Agustus 1945 telah datang seorang tokoh pemuda pelaut dari Singapura R. Surjadi, yang kemudian menghubungi kelompok pemuda pelaut di Jakarta Darjaatmaka, Matadinata, Suparlan, Ahmad Hadi dan Oentoro Koesmardjo. Hasil tukar pikiran dari pemuda-pemuda pelaut di Jakarta dan pemuda pelaut dari Singapura ialah menimbulkan suatu tekad baru bagi pemuda bahariwan untuk secara langsung terjun ke dalam kegiatan - kegiatan pada detik-detik sekitar proklamasi. Karena masalah-masalah yang dibawa oleh R. Surjadi tidak dapat dipecahkan oleh lingkungan pemuda-pemuda tersebut maka diputuskan untuk mengirim delegasi menghadap pemimpin rakyat Sukarno-Hatta. Delegasi tersebut antara lain terdiri dari R. Surjadi, Darjaatmaka, Martadinata yang mula-mula menemui Moh. Hatta. Dalam pertemuan tersebut pemuda bahariwan lebih banyak mendapat penjelasan-penjelasan sekitar persiapan kemerdekaan Indonesia. Karena pemuda-pemuda pelaut mungkin dianggap belum banyak mengetahui tantang hal-hal yang menyangkut ketatanegaraan, politik dan pemerintah maka oleh Mh. Hatta pada kesempatan itu telah diuraikan secara gambang sehingga pemuda-pemuda pelaut menjadi lebih luas pengetahuannya. Ketika masyarakat di Singapura dan Malaya yang menghendaki supaya dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dimasukkan pula wilayah Singapura dan Malaya, dijawab oleh Moh. Hatta bahwa yang harus kita pikirkan sekarang hanya mengenai Indonesia.

Pada hari berikutnya pemuda-pemuda pelaut tersebut menghadap Sukarno Hatta dalam pertemuan tersebut sesuai dengan maksud kedatangan pemuda dengan panjang lebar oleh Sukarno dijelaskan mengenai perjuangan bangsa Indonesia, tentang bentuk tata negara dan beberapa anjuran kepada para pemuda pelaut. Mengenai bentuk negara dijelaskan tentang mengapa negara Indonesia yang akan dibentuk itu harus merupakan negara Kesatuan. Dalam kesempatan tersbut delegasi pemuda-pemuda pelaut juga mengajukan usul dari pemuka-pemuka masyarakat, di Singapura dan Malaya yang di bawa oleh R. Surjadi yang dijawab oleh Sukarno sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh Moh. Hatta.

Berkat adanya komunikasi fisik dengan kelompok pemuda pelajar dan hasil utusan pemuda pelaut kepada pemimpin rakyat Sukarno - Hatta maka pemuda pelaut di Jakarta khususnya kelompok SPT/Jawa Unko Kaisya telah menebalkan tekadnya untuk bersama-sama dengan pemuda pergerakan dan pemimpin-pemimpin rakyat memperuangkan kemerdekaan Indonesia walaupun dengan risiko yang sangat berat yaitu dapat dikeluarkan dan ditangkap oleh Kempetai. pada hari-hari menjelang proklamasi yaitu setelah berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu tersiar di kalangan pemimpin pergerakan, maka pemuda-pemuda palautpun segera menyesuaikan dengan situasi terakhir dengan lebih banyak lagi mengadakan komunikasi.

Suatu kejadian penting menjelang proklamasi kemerdekaan adalah mengenai pimpinan SPT Jakarta yagn semula dipegang oleh seorang Jepang kemudian diserahkan kepada Bangsa Indonesia yaitu Adam. Pergantian pimpinan sekolah ini penting karena sampai saat proklamasi kemerdekaan SPT di Jakarta tidak pernah dibubarkan sehingga baik siswa-siswa maupun guru-gurunya masih tetap kompak di asrama yang terletak di Kali Besar Barat, sedangkan SPT dna SPR di kota-kota lain sudah ditutup atas perintah pimpinan sedang para siswanya disuruh kembali ke kampungnya masing-masing dengan mendapat uang jalan. Tindakan tersebut dilakukan oleh Jepang dengan maksud untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan yaitu perlawanan terhadap Jepang. Inilah sebabnya mengapa di kota-kota lain eks guru SPT dan perwira Jawa Unko Kaisya ketika akan membentuk BKR Laut mengalami beberapa kesulitan.

Kegiatan-kegiatan daripada kelompok Sukarno-Hatta dan kelompok pemuda pada tanggal 15, 16 dengan cermat diikuti oleh pemuda-pemuda pelaut SPT Jakarta sehingga mereka siap untuk setiap saat melaksanakan suatu tugas yang dibebankan. Pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945 pemuda-pemuda Pelaut di Jakarta telah mengetahui akan adanya upacara proklamasi kemerdekaan. Untuk menyambut hari yang keramat itu pemuda-pemuda pelaut berabaris dengan seragam SPT yaitu celana, baju dan topi biru, dari asrama Kali Besar Barat menuju lapangan Banteng. Ketika tiba di lapangan Banteng ternyata sudah dijaga ketat oleh barisan tentara Jepang sehingga barisan terus menuju lapangan Gambir. Di lapangan Gambir sudah datang barisan-barisan lain yang makin lama main bertambah banyak. Pada kira-kira jam 09.00 ada perintah bahwa semua barisan menuju ke Pegangsaan Timur 56. Sesuai dengan perintah tersebut maka barisan pemuda pelaut bersama dengan barisan-barisan lainnya bergerak menuju ke Pegangsaan Timur no 56. Suasana diliputi oleh gelora semangat juang yang tinggi, di sepanjang jalan mereka mendengungkan pekik merdeka.

Sekembalinya dari Pegangsaan Timur 56 barisan pemuda pelaut tidak kembali ke asrama Kali Besar tetapi kemudian membentuk Markas di gedung Wakaba yang sekarang digunakan untuk SKKP/SKKA di jalan Dr. Sutomo. Pada minggu pertama setelah proklamasi kemerdekaan pemuda pelaut mengadakan kegiatan bersama dengan pemuda Menteng Raya 31 menjaga di tempat-tempat yang strategis dan mengadakan aksi-aksi yang terkenal dengan "siap". Pada akhir bulan Agustus lahirlah badan-badan perjuangan bersenjata di kota Jakarta dan pemuda-pemuda di Asrama Menteng 31 kemudian membentuk barisan Banteng.

Untuk meningkatkan gerak juangnya perlu disusun suatu badan perjuangan dan karena selama ini banyak berafiliasi dengan pemuda asrama Menteng Raya 31 yang telah menjelama menjadi Barisan Banteng maka pemuda pelaut kemudian menjadi Barisan Banteng Laut. Markas Barisan Banteng Laut tetap berada di Gedung Wakaba dan dipimpin oleh seorang bekas guru SPT yakni Abdul Latif dan sebagai wakil ditunjuk S. Bagio siswa SPT tertua, sedangkan Oentoro Koesmardjo sebagai penasihat. Barisan Banteng Laut di samping bertugas di daerah Jakarta pusat juga menadakan pos-pos penjagaan di daerah Penjaringan Pasar Ikan. Dilihat dair kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Barisan Banteng Laut yaitu menjaga keamanan di kampung maka mirip dengan fungsi Hansip sekarang ini, hanya organisasinya tidak serupa Hansip.

Di samping mengadakan kegiatan-kegiatan di darat bersama-sama kelompok pemuda lainnya, pemuda pelaut di Jakart juga mengadakan kegiatan-kegiatan di laut untuk membantu Pemerintah Pusat. Pada akhir bulan Agustus 1945 pemuda-pemuda pelaut berhasil menguasai beberapa kapal yaitu Jawa Unko Kaisya di Pasar Ikan yang kemudian dipergunakan untuk membawa anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan pemimpin-pemimpin lainnya kembali ke Sumatera dalam rangka penyiaran Proklamasi dan pembentukan Pemerintah. Di antara pemuda pemuda pelaut yang membawa kapal tersebut ialah Kusnaedi Bagdja dan Sutedjo Ismail yang berlayar ke daerah Sumatera Timur.

Melihat para siswa SPT tidak lagi muncul di sekolah, bahkan membentuk Badan Perjuangan sedangkan sekolah-sekolah lain telah dibukan kembali maka oleh Adam dan M. Pardi sebagai eks pimpinan SPT dan Jawa Unko Kaisya menganjurkan kepada eks siswa-siswa SPT untuk kembali ke bangku sekolah. Anjuran dari kedua tokoh tersebut tidak mendapat perhatian para pemuda pelaut karena jiwa mereka telah dipenuhi oleh semangat kemerdekaan.

Pada tanggal 22 Agustus 1945 sesuai dengan keputusan sidang PPKI maka dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan kaum bahariwan di Jakarta kemudian berhasil membentuk BKR Laut yang disahkan oleh KNIP pada tanggal 10 September 1945. M. Pardi seorang perwira GM dan selama pendudukan Jepang menjabat sebagai pegawai tinggi pada Jawa Unko Kaisya, ditunjuk sebagai Pemimpin Umum BKR Laut Pusat, Adam, Martadinata, R. Surjadi, Oentoro Koesmardjo sebagai anggota staf. Dengan dibentuknya BKR Laut maka pemuda-pemuda pelaut yang tergabung dalam Barisan Banteng Laut dijadikan ini dari pasukan BKR Laut.

Kelompok Pemuda Pelaut dari Singapura. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Singapura (Syonanto) merupakan kota penting karena pertama merupakan Markas Besar Tentara Wilayah (Homen Gun) ke VII yang meliputi Indonesia Barat (Jawa dan Sumatera), Malaya dan Kalimantan (Inggris). Kedua tempat pendidikan Latihan Pembantu Kaigun dan Butai serta Latihan Pelaut (Sen In Kurensjo) sehingga banyak pemuda-pemdua bangsa Indonesia mengikuti pendidikan di Singapura. Ketika, karena Singapura menjadi Markas Armada ke X, yaitu sebagian dari Armada Barat Daya yang telah dibentuk kembali setelah kekalahan Jepang dalam perang di Filipina pada bulan Oktober 1944, pimpinan Armada ke X itu adalah Laksamana Madya Fukudume.

Pemuda-pemuda pelaut Indonesia di Singapura dengan teliti mengikuti perkembangan situasi Perang Pasifik. Dengan diam-diam mereka mengumpulkan informasi-informasi yang masuk. Timbullah kelompok-kelompok pemuda Indonesia yang bertujuan untuk membantu perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang sedang aktif diperjuangkan oleh pimpinan rakyt di Jakarta. Dalam kegiatan kelompok-kelompok tersebut tidak ada koordinasi yang baik mereka bergerak secara ilegal dan satu sama lain tidak ada hubungan organisasi. Walaupun demikian mereka mempunyai tujuan yang satu yaitu Indonesia Merdeka. Di antara kelompok pemuda pejuang Singapura terdapat kelompok Bibit Ismono/Albert Warokka. Kelompok tersebut telah berhasil membentuk suatu organisasi yang bentuk luarnya kelihatan sebagai organisasi sosial tetapi yang sesungguhnya organisasi yang mereka dirikan itu merupakan gerakan ilegal yang menentang kekuasaan Jepang.

Induk organisasi itu dipusatkan di Singapura dengan susunan pengurus sebagai berikut :

Ketia I : Bibit Ismono

Ketua II : Albert Warokka

Sekretaris I : Joesnomo

Sekretaris II : Abubakar.

Sekretaris III : Ali

Bendahara I : Ferdenand Lie

Bendahara II : King

Bendahara III : Go Sam To, Perwakilan Gerakan Pemuda Tiong Hoa di Indonesia.

Komisaris : Seluruh pimpinan organisasi dari Pusat hingga pimpinan cabang. Hal ini dibuat sedemikian rupa untuk dapat mengawasi tindakan-tindakan organisasi yang tidak demokratis lagi.

Dalam kegiatannya kelompok pemuda pelaut tersebut telah berhasil mengadakan gerilya politik dengan jalan menyebarkan berita-berita tentang keburukan-keburukan pendudukan Jepang dan tentang kekalahan-kekalahan Jepang di Front Pasifik ang mereka dapat berkat adanya komunikasi fisik di antara sesama pemuda pelaut. Berita-berita tersebut dihubungkan dengan berita-berita mengenai adanya gerakan kemerdekaa baik yang dilakukan oleh pimpinan-pimpinan Indonesia yang bergerak secara legal maupun yang ilegal sehingga timbulkah kegiatan-kegiatan yang sejajar dengan usaha menentang Jepang. Untuk dapat meluaskan gerakan maka kepada setiap anggota baik di Singapura maupun di Jawa dan Sumatera diwajibkan untuk menghimpun pemuda-pemuda patriotik di tempatnya masing-masing baik dari kalangan pelaut maupun dari kalangan pemdua lainnya yakni Keibodan, Seinenda, Heiho dan PETA. Dengan cara demikian maka organisasi ilegal tersebut telah berhasil menghimpun pemuda-pemuda patriotik kurang lebih 40.000 orang. Dalam melancarkan aksi-aksinya dengan cara mengadakan gerilya politik banyak anggot yang tertangkap oleh Kempetai dan secara kejam dihukum mati.

Pada tahun 1944 direncanakan untuk mengadakan pertemuan lengkap dengan pimpinan cabang untuk menentukan sikap yang lebih tegas dalam menghadapi situasi yang tak dapat dibiarkan begitu saja. Pertemuan sangat sulit diadakan, walaupun keuangan cukup. Untuk diadakan secara tertulis sangat berbahaya, sedang apabila cabang-cabang tidak dapat berkumpul berarti putusan tidak dapat sempurna sebab pimpina pusat tidak mengetahui keadan sesungguhnya dari daerah-daerah.

Akhirnya tujuan yang suci itu dapat dilaksanakan dengan mendapat perhatian besar. Pertemuan pembukaan diadakan di rumah Mashud kartodihardjo (Kepala Polisi bagian Intel Singapura) di Singapura. Malam harinya dilanjutkan rapat khusus untuk para pimpinan di rumah Moch. Iksan di tanjung Pagar Singapura. Moch Iksan adalah Polisi bagian kriminil dan politik Singapura. Dalam pertemuan itu telah diikrarkan suatu putusan sebagai berikut :

a. menang atau mati demi rakyat tertindas, sebgai semboyan yang dipegang.

b. mengkonsolidasikan pejuang revolusioner dalam kekuatan yang kompak.

c. mengadakan "fluisterkampanye" bahwa kekuatan Jepang di darat, laut dan udara telah lemah. Dengan ini kekuatan pemuda yang revolusioner berdaya upaya untuk mengadakan gerakan yang militan dan teratur dengan alat-alat yang ada padanya.

d. mengumpulkan biaya sebesar-besarnya terutama dari awak kapal yang harus ditempuh melalui jalan apa saja.

Kelompok lain pemuda pelaut di Singapura ialah kelompok R. Surjadi, kelompok R. Sulian, Supangat, R. Nugrohadi, Sopar Sinaga, Marwidji, Moeljono, Djadjadi, R.S. Maserin. Mereka adalah pelatu-pelaut Nampo Unko Kaisya dan pembantu Kaigun. Kelompok tersebut seperti juga kelompok lainnnya mengadakan kegiatan-kegiatan baik di kalangan pemuda-pemuda Indonesia di Singapura dan Malaya maupun dengan pemuka-pemuda masyarakat serta tokoh-tokoh lainnya di kedua negeri tersebut.

Sementara itu situasi Perang Pasifik bagi pihak Jepang semakin kritis sehingga keadaan di Singapura yang merupakan salah satu kota militer Jepang bertambah tegang. Pihak Kempetai lebih meningkatkan operasi-operasinya terhadap setiap unsur yang dianggap merongrong pihak Jepang. Walaupun demikian pemuda-pemuda Indonesia yang berada di Singapura tetap meneruskan aksi di bawah tanah dan meneruskan mengadkan hubungan dengan pemuka-pemuka masyrakat di Singapura dan Malaya untuk bersama-sama menyongsong kemerdekaan pada saat Jepang kalah perang. Dari hasil komunikasi tersebut dapat diketahui bahwa banyak di antara pemimpin-pemimpin masyarakat di Singapura dan Malaya menginginkan bila saat kemerdekaan bangsa Indonesia dan Malaya disatukan dalam lingkungan Indonesia merdeka. Dari informasi-informasi yang dibawa oleh pelaut-pelaut yang datang dari kota-kota pelabuhan Indonesia dapat diketahui bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sudah mendekati saat-saat yang dicita-citakan.

Terdorong oleh cita-cita untuk dapat ikut serta dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dan sekaligus untuk menghindari tangkapan adri pihak Kempetai banayak pemuka-pemuka pelaut dari Singapura sejak permulaan tahun 1945 berangsur-angsur kembali ke Indonesia. Setiap kesempatan yang ada akan dipergunakan oleh pemuda-pemuda Indonesia kembali ke tanah air. Banyak di antara mereka yang berhasil membawa lari kapal-kapal Jepang yang selama ini dipertanggungjawabkan kepada mereka. Pemuda-pemuda pelaut tersebut ada yang menuju ke Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya, Belawan, Palembang dan lain-lain. Arus kedatangan pemuda-pemuda pelaut Indonesia dari Singapura bertambah deras setelah Proklamasi Kemerdekaan disiarkan. Banyak kapal-kapal Nampo Unko Kaisja yang kebetulan berada di pelabuhan-pelabuhan Indonesia setelah mendengar Proklamasi Kemerdekaan tidak kembali ke Singapura.

Di antara pemuda pelaut dari Singapura yang kembali ke Indonesia pada gelombang pertama adalah rombongan Bibit Isnomo yang menuju ke Semarang. Sepulangnya Bibit Isnomo di Semarang ia tertangkap oleh Kempetaiho (Pembantu Kempetai) dan ditahan selama 18 hari. Walaupun mendapat siksaan tetapiia tetap merahasiakan tentang dirinya sebagai ketua Umum organisasi pelaut yang pernah didirikan di Singapura. Setelah melepaskan diri dengan jalan lari ia menggabungkan diri dengan klik Tan Malaka di Banten, sebagai anggota Romusya dan kadang-kadang menyusup di kalangan pelaut.

Dengan tersiarnya berita bahwa Jepang telah menyerah secara resmi pada tanggal 15 Agustus 1945 maka pemuda pelaut memutuskan untuk ikut aktif dalam usaha memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah mengikuti upacara pembacaan naskah proklamasi pada tangal 17 Agustus 1945 kebanyakan pemuda-pemuda pelaut yang datang dari Singapura di Jakarta, kemudian meneruskan perjalanan pergi ke daerahnya masing-masing untuk menggabungkan diri dengan kelompok pemuda pelaut setempat atau bertugas pula sebagai kurir. Pada saat itu hubungan lewat pos, telegraf dan radio sangat bahaya maka hubungan dilakukan lewat kurir. Para kurir bersimpang siur membawa berita tentang kejadian-kejadian d Jakarta. Dengan demikian para pelaut memegang peranan dalam penyebarluasan berita. Dalam rangka inilah Bibit Isnomo dengan kawan-kawannya pergi ke Surabaya dan turut aktif dalam pembentukan BKR Laut di Surabaya.

Kelompok lain yang datang ke Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan adalah R. Surjadi yang menuju ke jakarta dan langsung bergabung dengan pemuda-pemuda pelaut dari kalangan SPT/Jawa Unko Kaisya. Rombongan lain yakni Marwidji, Muljono, Djajadi, R.S. Maserin dan lain-lain menuju ke Surabaya dan bergabung dengan pemuda-pemuda pelaut eks SPT yang dalam pertumbuhan selanjutnya akan menjadi Pasukan L. Sedangkan R. Sulian, R. Sugrohadi, Natapermana, Supangat, M. Pangabean, Sopar Sinaga dan lain-lain menuju ke Belawan yang kemudian akan merupakan pelopor dalam pembentukan BKR Laut di Belawan. Selanjutnya masih banyak lagi rombongan-rombongan pemuda pelaut dari Singapura ke kota-kota pelabuhan di Indonesia.

Kaum Bahariwan di Surabaya.

Di Surabaya yang merupakan pangkalan utama AL baik pada zaman Belanda maupun pada masa pendudukan Jepang terdapat banyak Pendirian/Jawatan-Jawatan yang bertugas di bidang Maritim. Pada masa pendudukan Jepang walaupun Jawa dikuasai oleh Rikugun tetapi sebagai pangkalan Armada Perang Jepang ada di Surabaya.

Di kota surabaya terdapat pemuda-pemuda Indonesia yang bekerja pada AL Jepang yaitu di bagian Armada dan Penataran. Di samping itu terdapat pula pemuda-pemuda yang pada umumnya lulusan SPT atau SPR yang bekerja pada Kaiji Sjokyoku, Jawa Unko Kaisya dan Akatsuki Butai. Pada masa pendudukan Jepang pemuda-pemuda bahariwan Surabaya seperti bahariwan-bahariwan di kota pelabuhan lainnya yang banyak mengetahui situasi perang Pasifik mengadakan kegiatan-kegiatan yang sejajar dengan usaha-usaha pemimpin rakyat baik yang ekerja sama dengan Jepang maupun yang bergerak secara ilegal. Mereka di tempat kerja masing-masing mengadakan konsoliasi ke dalam untu kmembulatkan tekad semangat juang di antara teman sejawatnya dan mencari hubungan ke luar dengan gerakan-gerakan lain agar perjuangan mereka lebih terarah dan efektif.

DI antara kelompok bahariwan yang aktif mengadakan usaha menentang Jepang ialah kelompok Marine Etablisement atau Penataran Angkatan Laut (PAL). Pada masa pendudukan Balatentara Jepang di Indonesia, PAL bernama SE 21/24 Butai, dengan jumlah buruhnya sebanyak urang lebih 9.000 orang. Di SE 21/24 Butai pada mulanya dilarang adanya perkumpulan apapun juga. Karena perlakuan yang sangat kejam dan sangat bertentangan dengan janji pada waktu akan menyerbu Indonesia dalam Perang Pasifik, maka perkumpulan yang bergerak di bawah tanah tidak dapat dielakkan.

Untuk mengatasi kesulitan yang tumbul dar aksi-aksi buruh, maka pada bulan April 1945 oleh Jepang disetujui saran dari pemuka buruh (Sjokutaku) yang baru dipulangkan ke Surabaya setelah diromusyakan selama 4 bulan di pegunungan sekitar Pujon (Malang), untuk mendirikan perkumpulan dengan syarat bahwa dalam perkumpulan tersebut didudukkan sebagai pengurus Supono dan Sutedjo Eko. Supono adalah orang pertama yang pada waktu Jepang masuk di Kota Surabaya dipercayai menerima kembali buruh bekas Marine Etablisement Belanda tetapi merupakan kepercayaan Jepang dan ditempatkan di pergudangan.

Sesuai dengan saran Sjokutaku maka dalam rapat tanggal 10 April 1945 di Darmo yang dihadiri oleh para pemuka bangsa Indonesia dari SE 21/24 Butai dan pembesar-pembesar Jepang dapat disahkan berdirinya Badan kebaktian tersebut lebih terarah dan singkron dengan perjuangan Kemerdekaan maka atas permintaan Bada Kebaktian SE Butai lewat pembesar Kaigun pada bulan Juni 1945 Bung Karno memberi wejangan di Ujung Surabaya.

Setapak demi setapak Badan Kebaktian SE 21/24 Butai mengalami kemajuan antara lain dengan adanya kebebasan berapat, diserahkannya distribusi pangan yang dulu diselenggarakan oleh orang-orang Jepang kepada Badan Kebaktian; didapatnya wewenang untuk memberikan pertimbangan dalam soal kenaikan upah buruh dan sebagainya. Untuk angkatan mudanya diperoleh izin untuk membentuk Barisan Sukarela SE 21/24 Butai, yang mendapat latihan kemiliteran dari pelatih Jepang di Asrama Sidotopo dengan jaminan upah dan makan. Pada bulan Juli 1945 terbentuklah satu Daidan yang terdiri dari 3.000 pemuda yang telah terlatih dengan Daidantjo Ali Muljadi Notohadinoto.

Pada hari-hari setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, timbul insiden dengan Jepang yang makin hari makin menghebat. Pada tanggal 22 Agustus 1945 buruh SE 21/24 Butai dikumpulkan di Ujung. Pembesar Jepang memberi penjelasan bahwa peperangan sudah selesai dan kekuasaan Jepang akan dioper oleh pihak Sekutu. Oleh pembesar tersebut diperintahkan kepada semua buruh bekerja seperti biasa. Setelah itu menyusul pemberitahuan dari Sutedjo Eko selaku Wakil Ketua Badan Kebaktian yang menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sudah merdeka. Kawan-kawan buruh diminta supa bekerja terus guna kepentingan Nusa dan Bangsa. Jam 18.00 Badan Kebaktian dan Barisan Sukarela mengadakan rapat plono di Asrama Sidotopo yang dipimpin oleh Wakil Ketua, karena ketuanya meninggalkan Surabaya berhubung adanya perbedaan faham dengan angkatan Pemuda yang kini dipimpin oleh Sutedjo Eko. Dalam rapat diputuskan :

a. Nama SE 21/24 Butai diganti dengan penataran Angkatan Laut (PAL)

b. Badan Kebaktian SE 21/24 Butai diganti dengan Komite Nasional Indonesia Penataran AL (KNIPAL)

c. Barisan Sukarela SE 21/24 Butai diganti dengan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut (AMPAL).

d. Menetapkan Wakil Ketua Badan Kebaktian SE 21/24 Butai sebagai pimpinan umum KNIPAL dan AMPAL.

e. Membulatkan tekad untuk mempertahankan PAL sebagai milik RI.

Dalam perkembangan selanjutnya dalam periode menegakkan proklamasi kemerdekaan Indonesia khususnya dalam rangka pengambilalihan Pangkalan Ujung dengan segala fasilitasnya dari tangan Kaigun Jepang kelompok PAL telah mengambil peranan penting. Hal ini dapat dilakukan karena kelompok PAL memiliki jumlah personalia yang paling besar dan perlengkapan yang paling lengkap dari kelompok kelompok pemuda bahariwan lainnya di Surabaya.

Selain kelompok bekas pegawai Marine Etablissment di Surabaya terdapat pula kelompok Daisangka yang kegiatannya menjelang Proklamasi tak dapat dilepaskan dari Kaigun terhadap kaum pergerakan. Menjelang akhir Perang Pasifik perbedaan sikap antara Rikugun dan Kaigun terhadap pergerakan kemerdekaan Indonesia tampak lebih jelas. Perbedaan sikp itu berlatar belakang pada pendukung masing-masing golongan itu sendiri, yaitu golongan Mitsubishi dan Mitsui, yang masing-masing mempunyai kepentingan dengan makin luasnya daerah y agn dapat ditaklukkan Jepang dalam Perang Pasifik.

Kaigun memberi kelonggaran terhadap kaum pererakan kemredekaan karena pertama Kaigun mengetahuui secara langsung bahwa daerah wilayahnya ada di Indonesia bagian timur yang secara langsung berhadapan dengan Sektu sehngga mereka tak mungkin/sanggup menghadapi sekutuh. Dengan demikian mereka igin cepat-cepat merealisasikan janji kemerdekaan Bagi Indonesia. Kedua, adanya persaingan antara Rikugun dan Kaigun, membuat sikap Kaigun yang selalu berlawanan dalam hal-hal mengenai soal sekitar janji kemerdekaan. Ketika Kaigun lebih suka melihat Indonesia merdeka daripada di bawah pengaruh Belanda kembali. Dalam rangka itulah Kaigun lebih longgar mengadakan informasi-informasi kepada golongan pemuda dan kaum pergerakan kemerdekaan mengenai janji kemerdekaan dan situasi terakhir Perang Pasifik. Apabila dibandingkan dengan masa-masa permulaan pendudukan Jepang di Indonesia, maka hal-hal tersebut merupakan kebijaksanaan dari Kaigun yang mempunyai arti positif bagi para nasionalis Indonesia pada masa-masa menjelang berakhirnya pendudukan Jepang.

Untuk mencukupi kebutuhan supplynya maka beberapa perwira Kaigun Jepang di Surabaya mengadakan hubungan dengan beberapa pemuda-pemuda Indonesia yang bertindak sebagai leveransir. Hubungan antara kaigun di Surabaya dengan pemuda-pemuda Indonesia tersebut bertambah erat sehingga mereka kemudian diangkat sebagai pegawai-pegawai Kaigun di bagian Supply. Mereka adalah pemuda-pemuda yang aktif dalam pergerakan sehingga dalam kedudukannya sebagai Kaigun akan menggunakan segala kesempatan untuk pentingan perjuangan bangsa Indonesia. Kelompok pemuda ini kemudian dikenal sebagai pemuda-pemuda Daisangka yang dipimpin oleh A.R. Aris, R. Sutrisno dan lain-lain.

Berkat adanya kelonggaran yang diberikan oleh pihak Kaigun maka pemuda-pemuda Daisangka tidak hanya mendapat informasi mengenai pendirian Kaigun terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia tetapi juga memberi latihan kemiliteran kepada pemuda Daisangka. Pada saat-saat keruntuhan kekuasaan Jepang pemuda-pemuda Daisangka mendapat informasi dari perwira-perwira Kaigun mengenai situasi Perang Pasifik dan menganjurkan kepada pemimpin pemuda Daisangka untuk pergi ke Jakarta agar gerak juang mereka dapat sejajar dengan situasi perjuangan di Jakarta. Dalam rangka itu pulalah kelompok pemuda dari Surabaya yang tergabung dalam Daisangka pada bulan Juni 1945 di bawah pimpinan A.R. Aris, R. Abdul Djalil datang menemui Kolonel Yususumi dari Kaigun Bukanfu di Jakarta untuk mengadakan perundingan soal situasi akhir Perang Pasifik dan janji kemerdekaan.

Setelah itu mereka mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh pemuda di Jakarta seperti Chairul Saleh, Hidajat, Sukarni, Wikana, Chairuddin dan Abdul Djalil yang memberi informasi perihal situasi Perang Pasifik dan sekitar janji kemerdekaan. Pada bulan Juli setelah kelompok Daisangka mendapat petunjuk-petunjuk dari tokoh-tokoh pemuda di Jakarta kembali ke Surabaya. Sampai di Surabaya mereka membentuk pasukan yang berasal dari bekas-bekas Angkatan Laut Jepang/Pelayaran dan sebagian dari pemuda bahariwan lainnya.

Setelah proklamasi kemerdekaan maka A.R. Aris dan kawan-kawan yang juga berasal dari Makasar beserta Sutrisno dari Jawa Timur membentuk badan yang bersifat kelautan di Surabaya yang kelak dikenal dengan BKR. Segala peralatan masih sederhana, tetapi cukup untuk mengadakan perlawanan dengan tentara sekutu. Tugas mereka bukan saja u ntuk pertahanan di laut, tetapi juga untuk kesatuan-kesatuan penggempur di darat. Pangkat yang dijabat A.R. Aris pada aktu itu adalah Komandan tertinggi ALRI, dengan pangkat Laksamana Muda. Ny. Barnetje Tuegeh berpangkat Letnan Kolonel, A.H. Tuppu sebagai Kolonel, sedang Sutrisno berpangkat Kolonel. Mereka ini adalah merupakan Perwira Staf yang dibantu oleh perwira-perwira lainnya. Pusat segala kegiatan mereka itu adalah Modderlust Ujung.

Selain kelompok PAL dan Daisangka masih terdapat kelompok-kelompok pemuda bahariwan lainnya di Surabaya yang tak kalah pentingnya dalam masa-masa sekitar proklamasi kemerdekaan misalnya kelompok bekas pelaut-pelaut Jawa Unko Kaisya dan Akatsuki Butai terutama dalam penyiaran tentang berita-berita penting yang berhubungan dengan saat-saat keruntuhan Jepang.

Pemuda Bahariwan di Semarang.

Setelah mendengar berita proklamasi para bahariwan Semarang yang terdiri dari guru-guru SPT, siswa atau eks siswa SPT, pegawai Jawa Unko Kaisya, pegawai pelabuhan /Kaiji dan pelaut lain dalam salah satu ruangan di markas Pelayaran Jawa Unko Kaisya purwodinatan di Semarang, mengadakan rapat rahasia pada malam hari tanggal 19 Agustus 1945 untuk merencanakan perebutan kekuasaan Kaiji Semarang dari tangan Jepang. Pada saat itu kekuasaan di pelabuhan Semarang secara resmi berda di tangan Jepang, tetapi kenyataannya Jepang tidak lagi mengadakan kegiatan-kegiatan di daerah pelabuhan sehingga menimbulkan kekosongan kekuasaan. Berkat kekompakan dan semangat berjuang dari para bahariwan setempat, Kaiji dapat direbut dari kekuasaan Jepang dan langsung dikuasai oleh pemuda-pemuda. Kemudian dibentuk organisasi kaiji/pelabuhan yang baru dengan Soemarno sebagai Komandan. Dalam pimpinan pusat terdapat pula : Nazir dan Djokoasmo. Organisasi itu dibagi dalam 2 seksi yaitu :

  1. Seksi perkapalan, yang dipimpin antara lain oleh O.B. Sjaa dan A. Djatmiko Legowo.
  2. Seksi Keamanan yang dipimpin antara lain oleh achmad Dipo, Darono, Oemar Said dan Supardi serta masih diperkuat oleh kl 40 tenaga inti.

Dengan direbutnya seluruh komplek pelabuhan oleh pemuda-pemuda pelaut dan telah disusunnya organisasi di pelabuhan Semarang maka segala kegiatan di pelabuhan Semarang sepenuhnya di tangan pemuda-pemuda pelaut sehingga dengan demikian akan mempermudah pembentukan Badan Perjuangan Bersenjata yang beraspek kelautan. Tetapi ternyata dalam perkembangan selanjutnya sukses-sukses yang dicapai dalam perebutan kekuasaan berantakan karena adanya pertempuran lima hari.

Pemuda Bahariwan Cilacap.

Di Cilacap terdapat pula pemuda-pemuda bahariwan yang terdiri dari guru dan murid SPT, pegawai Jawa Unko Kaisya, pegawai jawatan perikanan dan pegawai-pegawai lain di komplek pelabuhan. Ketika berita proklamasi sampai di Cilacap, maka rakyat Kabupaten Cilacap tidak tinggal diam. Di beberapa tempat diadakan pertemuan-pertemuan guna mempersiapkan diri dalam waktu sesingkat-singkatnya mengambil alih pemerintahan dari Jepang. Sebelum Jepang jatuh, oleh anggota-anggota gerakan ilegal telah ada usaha-usaha guna menyingkirkan orang-orang Jepang selekas mungkin dan menyaipkan diri untuk menghadapi kemungkinan pendaratan sekutu. Oleh karena itu timbullah badan-badan perjuangan guna menghadapi datangnya sekutu.

Akhirnya terjadi peleburan dari organisasi yang kecil menjadi Angkatan Muda dengan anggotanya baik dari pemuda maupun golongan tua. Dalam Angkatan Muda ini terdapatlah bahariwan yang terdiri dari bekas Kaigun Heiho, bekas SPT dan pegawai pelabuhan. Apabila Sugeng bekas Sjodantjo mengambil inisiatif dalam pertahanan di darat dengan mengumpulkan bekas Heiho dan PETA, maka para bahariwan menyusun kekuatan di laut. Dalam membentuk barisan pelaut para perintis mengalami kesulitan karena siswa-siswa SPT yang mestinya menjadi inti dari barisan tersebut dibubarkan oleh Jepang dan disuruh pulang ke kampung masing-masing. Tindakan ini mungkin adalah cermin dari kekhawatiran Jepang akan adanya kemungkian gerakan dari Rakyat Indonesia secara kekerasan dalam menentang Jepang. Walaupun demikian dari keompok pelaut y ang masih ada dengan kebulatan tekad segera menyusun kekuatan kaum bahariwan. Di antara mereka itu pada waktu itu berkumpul di suatu tempat bekas gudang C untuk menyusun kekuatan di laut. Rapat itu dihadiri oleh Harjono, Soeharso, Wardiman, Badarusamsi, Soeroso dan Raoef. Dari kegiatan mereka ini kelak terbentuklah BKR Laut.

Pemuda Bahariwan di Tegal dan Pekalongan.

Di Tegal terdapat cukup banyak bahariwan yang terdiri dari guru-guru dan siswa-siswa SPT dan SPR, pegawai Jawatan Pelabuhan, pegawai Jawatan Pelayaran, Pegawai Galangan Kapal dan Pegawai Perikanan Laut. Sedangkan di Pekalongan terdapat pula pegawai Galangan Kapal, Perikanan Laut. Menjelang akhir pendudukan Jepang di kedua kota tersebut terdaspat gerakan ilegal yakni pemuda Pelopor yang masanya terdiri dari pemuda-pemuda patriotik dan dipimpin oleh pemuda-pemuda revolusioner yang sebelumnya telah berkecimpung dalam organisasi Politik. Walaupun kelompok pemuda bahariwan secara organisatoris tidak tergbung dalam gerakan illegal Pemuda Pelopor karena terikat dengan disiplin kerja di lingkungan masing-masing namun mereka simpati terhadap gerakan tersebut. Dengan demikian ada titik pertmuan antara kelompok pemuda ilegal dengan kelompok pemuda bahariwan dalam cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dan menghadapi kekuasaan Jepang.

Bberapa saat sebelum proklamasi kemerdekaan pimpinan Sekolah Pelayaran tinggi dan Rencah yang k edua-duanya di bawah pimpinan Orang Jepang memerintahkan siswa-siswa angkatan terakhir dari sekolah tersebut yang masih belajar supaya kembali ke kampung masing-masing. Kejadian ini menimbulkan suatu tanda tanya yang segera terjawab setelah didengarnya berita proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agusuts 1945. Dalam situasi transisi ini pemuda bahariwan di kedua kota tersebut bersama-sama dengan pemuda lainnya selalu dalam keadaan siap siaga untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dalam situasi demikian tumbulah gerakan pengambilalihan dan perlucutan senjata dari tangan Jepang. Dalam gerakan melucuti senjata Jepang maka terjadilah "clash" fisik dengan Kempetai yang bermarkas di Hotel Stork yang berakhir dengan kemenangan di pihak pemuda.

Gerakan selanjutnya dari kelompok pemuda bahariwan ialah menguasai daerah pelabuhan, galangan kapal, perikanan laut dan kompleks SPT, SPR, yang kesemuanya dapat berjalan dengan cepat dan tanpa menimbulkan korban. Dengan menggunakan senjata yang berhasil dirampas dari Jepang maka diadakan penjagaan di tempat-tempat yang telah didudukinya. Dengan demikian kelompok pemuda bahariwan telah berhasil menguasai pendirian-pendirian yang beraspek maritim sehingga segera dapat membantu usaha-usaha pemerintah di bidang tersebut. Dari aktivitas pemuda bahariwan di Tegal dan Pekalongan seperti diuraikan di atas dapatlah dimengerti bila pada bulan September ketika pemerintah pusat membentuk BKR Laut maka di kedua kota tersebut pada bulan itu juga dapat terbentuk BKR Laut.

Pemuda Bahariwan di Padang.

Dalam penyongsongan proklamasi kemerdekaan para bahariwan di Sumatera Bart juga tidak ketinggalan dari rekan-rekan mereka baik yang ada di Singapura, Jakarta, kota-kota Pelabuhan di Jawa serta mereka yang tinggal di luar Jawa dan Sumatera. Sejak pendudukan Jepang, di Padang telah dibuka Sekolah Pelayaran Rendah, yang mendidik calon-calon pelaut. Lama pendidikan 1 tahun sedang yang diterima adalah mereka yang memiliki ijazah SD atau SLP. Insruktur dari SPR tersebut semua terdiri dari orang Jepang dan letak sekolah di Gedung Pengadilan Negeri Padang sekarang.

Jumlah yang telah tamat dari SPR kl. 600 orang. SPR di Padang berlangsung sampai 4 angkatan dengan hasil Angkatan I:60 orang, II : 120 orang, III : 180 orang, dan IV : 240 orang. Di antara eks SPR Padang yang j adi perintis Angkatan Lat ialah A Muluky Wagimin, Pandapotan Siahaan, Tobing dan lain-lain. Di samping SPR juga banyak pemuda-pemuda yang masuk Kaigun dan badan-badan lain yang bersifat kemaritiman pada zaman Jepang yaitu : Padang Kaiji Syokyoku, semacam jawatan pelayaran, Padang Kaiun Kumiai yang merupakan gabungan dari usaha-usaha swasta dalam bidasng pelayaran yang dikoordinasi oleh Jepang dan Rupelin (Rukun Pelayaran Indonesia).

Dengan adanya proklamasi kemerdekaan paad tanggal 17 Agustus 1945 walaupun tidak disiarkan oleh Jepang di Sumatera namun berita tersebut sampai juga pada para bahariwan di Padang melalui kurir-kurir dan utusan-utusan yang datang dari Jakarta, sehingga mereka sedikit banyak menetahui suasana yang sedang bergolak di Jakarta. Untuk menyambut proklamasi itu dibentuklah badan/organisasi-organisasi seperti Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Bukittinggi, Badan Persatuan Pemuda Indonesia (BPPI) di Padang. Dan kegiatan para bahariwan setempat dengan perjuangan Bangsa Indonesia lainnya, merupakan perintis bagi terbentuknya BKR Laut Padang kemudian hari.

Pemuda Pelaut di Belawan dan Tanjung Balai.

Di Sumatera Timur kaum Bahariwan pada detik-detik proklamasi juga aktif mengadakan kegiatan-kegiatan untuk menyambut proklamasi. Pusat kegiatan kaum bahariwan di Sumatera Timur berpusat di Belawan/Medan dan Tanjung Balai. Pada waktu Jepang menyerah Raden Sulian, S. Sinaga, H. Supangat, Mardjuki, Nugrohadi, A.T. Silaen dan lain-lain yang telah tamat latihan Pembantu Kaigun di tanjung Pagar Singapura berhubung keadaan gawat secara kekerasan membawa 2 buah kapal untuk mencari jalan melepaskan diri. Kapal yang satu ukuran 100 ton dari kayu dan lainnya motorboat besi ukuran 20 ton. Setelah tiba di Belawan mereka segera menghubungi tokoh-tokoh masyarakat di Medan dan kelompok-kelompok pemuda untuk bersam-sama menyusun kekuatan dalam rangka menyambut proklamasi kemerdekaan. Ketika di Pelabuhan Belawan terjadi kekosongan kekuasaan maka pemuda-pemuda pelaut tersebut segrea mengisinya dan meneruskan kegiatan-kegiatan di daerah pelabuhan. Pada waktu pembentukan BKR dan TKR Laut maka mereka secara keseluruhan menjadi ini daripada BKR/TKR Laut di Belawan.

Di Tanjung Balai pada masa pendudukan Jepang terdapat beberapa pendirian/Jawatan yang bersifat kelautan yakni Sekolah Pelayaran Rendah dan Galangan kapal. Sekolah Pelayaran Rendah telah menghasilkan satu angkatan yang kira-kira berjumlah enam puluh orang, sedangkan angkatan kedua tidak sampai tamat karena menjelang proklamasi kemerdekaan para siswa diperintahkan pulang ke kampung masing-masing.

Di samping SPR di Tanjung Balai terdapat pula pendirian maritim yaitu galangan kapal yang banyak menggunakan buruh Indoneia dan di antara kapal yang telah dihasilkan ialah Deli Maru dan Asahan Maru. Walaupun pada masa pendudukan Jepang kaum bahariwan di Tanjung Balai tidak berhasil mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat menentang Jepang tetapi setelah mendengar proklamasi kemerdekaan Indonesia mereka segera membentuk barisan yang terdiri dari kaum bahariwan.Salam seorang pelopor dari mereka adalah M. Dahrif Nasution dan dihadiri oleh M. Noer Nasutio, Zainuddin Dahlan, Nukman, Sidik Hasibuan, Muda Siregar memutuskan untuk membentuk barisan Pelaut. Karena pada waktu itu belum ada BKR Laut apalagi AL dan yang ada baru Badan-badan perjuangan maka Barisan Pelaut tersebut kemudian diberi nama PESINDO Laut. Dalam perkembangan selanjutnya PESINDO Laut Tanjung Balai akan menjadi Marine Keamanan Rakyat. Nama tersebut digunakan karena salah seorang anggotanya telah mendengar siaran radio Surabaya yang menyebut-nyebut nama MKR.

Pemuda Pelaut di Palembang Tanjung Karang.

Di Palembang beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan mulailah timbul kegiatan-kegiatan untuk menyambut Proklamasi Kemerdekaan dan membentuk Badan-Badan perjuangan. Demikian juga kelompok pemuda laut yang terdiri dari anak buah kapal perang Jepang Dai I dan Kapal Dai II yang kebetulan sedang berlabuh di Pelabuhan Boom Baru, Pegawai-pegawai pelabuhan dan kaum bahariwan lainnya. Mereka di bawah pimpinan Saroingsong dan M. Hasibuan mengadakan usaha-usaha pengambilan fasilitas-fasilitas maritim di kompleks pelabuhan.

Di Tanjung Karang pada minggu-minggu pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan telah terbentuk Badan-badan Perjuangan yaitu Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan "Pelopor". Di kedua organisasi tersebut terdapat pula pemuda pelut bekas angggota KM, Jawa Unko Kaisya dan pemuda pelaut lainnya. Pada bulan September 1945 kelompok pemuda pelaut memisahkan diri dari API dan Pelopor dan di bawah pimpinan M. Haidar dan C. Souhoka kedua-duanya eks KM membentuk BKR Laut Lampung.

Badan Keamanan Rakyat Laut

Dibentuknya Badan Keamanan Rakyat Laut (BKR Laut) pada tanggal 10 September 1945 oleh administrasi kabinet awal Soekarno menjadi tonggak penting bagi kehadiran Angkatan Laut di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Terbentuknya BKR Laut ini dipelopori tokoh-tokoh bahariawan veteran yang pernah bertugas di jajaran Koninklijke Marine selama masa penjajahan Belanda dan veteran Kaigun selama masa pendudukan Jepang. Faktor lain yang mendorong terbentuknya badan ini adalah adanya potensi yang memungkinkan untuk menjalankan fungsi Angkatan Laut seperti kapal-kapal dan pangkalan, meskipun pada saat itu Angkatan Bersenjata Indonesia belum terbentuk.

Tentara Keamanan Rakyat Laut

Terbentuknya organisasi militer Indonesia yang dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) turut memacu keberadaan TKR Laut yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dengan segala kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya. Sejumlah Pangkalan Angkatan Laut terbentuk, kapal - kapal peninggalan Jawatan Pelayaran Jepang diperdayakan, dan personel pengawaknya pun direkrut untuk memenuhi tuntutan tugas sebagai penjaga laut Republik yang baru terbentuk itu. Kekuatan yang sederhana tidak menyurutkan ALRI untuk menggelar Operasi Lintas Laut dalam rangka menyebarluaskan berita proklamasi dan menyusun kekuatan bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Disamping itu mereka juga melakukan pelayaran penerobosan blokade laut Belanda dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negeri.

Kepahlawanan prajurit samudera tercermin dalam berbagai pertempuran laut dengan Angkatan Laut Belanda di berbagai tempat seperti Pertempuran Selat Bali, Pertempuran Laut Cirebon, dan Pertempuran Laut Sibolga. Operasi lintas laut juga mampu menyusun pasukan bersenjata di Kalimantan Selatan, Bali, dan Sulawesi. Keterbatasan dalam kekuatan dan kemampuan menyebabkan ALRI harus mengalihkan perjuangan di pedalaman, setelah sebagian besar kapal ditenggelamkan dan hampir semua pangkalan digempur oleh kekuatan militer Belanda dan Sekutu. Sebutan ALRI Gunung kemudian melekat pada diri mereka. Namun tekad untuk kembali berperan di mandala laut tidak pernah surut. Dalam masa sulit selama Pereang Kemerdekaan ALRI berhasil membentuk Corps Armada (CA), Corps Marinier (CM), dan lembaga pendidikan di berbagai tempat. Pembentukan unsur - unsur tersebut menandai kehadiran aspek bagi pembentukan Angkatan Laut yang modern.

Pasca pengakuan kedaulatan

Berakhirnya Perang Kemerdekaan menandai pembangunan ALRI sebagai Angkatan Laut modern. Sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), sejak tahun 1949, ALRI menerima berbagai peralatan perang berupa kapal - kapal perang beserta berbagai fasilitas pendukungnya berupa Pangkalan Angkatan Laut. Langkah ini bersamaan dengan konsilidasi di tubuh ALRI, pembenahan organisasi, dan perekrutan personel melalui lembaga pendidikan sebelum mengawaki peralatan matra laut. Selama 1949-1959 ALRI berhasil menyempurnakan kekuatan dan meningkatkan kemampuannya. Di bidang Organisasi ALRI membentuk Armada, Korps Marinir yang saat ini disebut sebagai Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL), Penerbangan Angkatan Laut dan sejumlah Komando Daerah Maritim sebagai komando pertahanan kewilayahan aspek laut. Peralatan tempur ALRI pun bertambah baik yang berasal dari penyerahan Angkatan Laut Belanda maupun pembeliandari berbagai negara. Penyiapan prajurit yang profesional pun mendapatkan perhatian yang besar dengan pendirian lembaga pendidikan untuk mendidik calon - calon prajurit strata tamtama, bintara, dan perwira, serta pengiriman prajurit ALRI untuk mengikuti pendidikan luar negeri.

Dengan peningkatan kekuatan dan kemampuan tersebut, ALRI melai menyempurnakan strategi, taktik, maupun teknik operasi laut yang langsung diaplikasikan dalam berbagai operasi militer dalam rangka menghadapi gerakan separatis yang bermunculan pada tahun - tahun 1950 hingga 1959. Dalam operasi penugasan PRRI di Sumatra, Permesta di Sulawesi, DI/TII di Jawa Barat, dan RMS di Maluku, ALRI memperoleh pelajaran dalam penerapan konsep operasi laut, operasi amfibi, dan operasi gabungan dengan angkatan lain.

Penambahan kekuatan

Pada saat kondisi negara mulai membaik dari ancaman desintegrasi, pada tahun 1959 ALRI mencanangkan program yang dikenal sebagai Menuju Angkatan Laut yang Jaya. Sampai tahun 1965 ALRI mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini dilatarbelakangi oleh politik konfrontasi dalam rangka merebut Irian Barat yang dirasa tidak dapat diselesaikan secara diplomatis. Berbagai peralatan tempur Angkatan Laut dari negara Eropa Timur memperkuat ALRI dan menjadi kekuatan dominan pada saat itu. Beberapa mesin perang yang terkenal di jajaran ALRI antara lain kapal penjelajah (cruiser) RI Irian, kapal perusak (destroyer) klas 'Skory', fregat klas 'Riga', Kapal selam klas 'Whisky', kapal tempur cepat berpeluru kendali klas 'Komar', pesawat pembom jarak jauh Ilyushin IL-28, dan Tank Amfibi PT-76. Dengan kekuatan tersebut pada era tahun 1960-an ALRI disebut - sebut sebagai kekuatan Angkatan Laut terbesar di Asia.

Trikora

Ada beberapa operasi laut selama operasi pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan sebutan Operasi Trikora itu. Pada awal Trikora digelar, kapal -kapal cepat torpedo ALRI harus berhadapan dengan kapal- kapal perusak, fregat, dan pesawat Angkatan Laut Belanda di Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962. Komodor Yos Soedarso beserta RI Macan Tutul tenggelam pada pertempuran laut tersebut. Peristiwa yang kemudian dikenang sebagai Hari Dharma Samudera itu memacu semangat untuk merebut Irian Barat secara militer. Pada saat itu ALRI mampu mengorganisasikan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Tidak kurang dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut. Gelar kekuatan tersebut memaksa Belanda kembali ke meja perundingan dan dicapai kesepakatan untuk menyerahkan Irian Barat ke pangkuan RI.

Dwikora

Politik konfrontasi RI dalam melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dilanjutkan pada Operasi Dwikora untuk menentang pembentukan negara Malaysia. Meskipun unsur - unsur Angkatan Bersenjata RI telah disiapkan dalam operasi tersebut, namun operasi hanya sebatas pada operasi infiltrasi. Prajutir - prajurit ALRI dari kesatuan KKO-AL terlibat dalam tahap ini. Sementara unsur - unsur laut menggelar pameran bendera dalam rangka mengimbangi provokasi oleh kekuatan laut negara - negara sekutu. Operasi Dwikora tidak dilanjutkan seiring dengan suksesi pemerintahan di Indonesia pasca Pemberontakan G 30 S/PKI.

Sejak tahun 1966 ALRI yang kemudian disebut dengan TNI AL mengalami babak baru dalam perjalanan sejarahnya seiring dengan upaya integrasi ABRI. Dengan adanya integrasi ABRI secara organisatoris dan operasional telah mampu menyamakan langkah pada pelaksanaan tugas di bidang pertahanan dan keamanan sehingga secara doktrinal, arah pengembangan kekuatan dan kemampuan setiap angkatan menjadi terpusat. Kegiatan operasi yang menonjol pada kurun waktu 1970-an adalah Operasi Seroja dalam rangka integrasi Timor Timur kepada RI. TNI AL berperan aktif dalam operasi pendaratan pasukan, operasi darat gabungan, dan pergeseran pasukan melalui laut.

Modernisasi

Mulai dasawarsa 1980-an TNI AL melakukan langkah modernisasi peralatan tempurnya, kapal - kapal perang buatan Eropa Timur yang telah menjadi inti kekuatan TNI AL era 1960 dan 1970-an dinilai sudah tidak memenuhi tuntutan tugas TNI AL. Memburuknya hubungan RI - Uni Sovyet pasca pemerintahan Presiden Soekarno membuat terhentinya kerja sama militer kedua negara. Oleh karena itu TNI AL beralih mengadopsi teknologi Barat untuk memodernisasi kekuatan dan kemampuannya dengan membeli kapal - kapal perang dan peralatan tempur utama lainnya dari berbagai negara, diantaranya Korvet berpeluru kendali kelas 'Fatahillah'dari Belanda, Fregat berpeluru kendali klas 'Van Speijk' eks- AL Belanda, Kapal selam klas 209/1300 buatan Jerman Barat, Kapal tempur cepat berpeluru kendali klas'Patrol Ship Killer' buatan Korea Selatan, dan Pesawat Patroli Maritim 'Nomad-Searchmaster'eks-Angkatan Bersenjata Australia.

Kegiatan non-tempur

Pada saat yang sama TNI AL mengembangkan militer non tempur yang berupa operasi bakti kemanusiaan Surya Bhaskara Jaya di berbagai daerah terpencil di Indonesia yang hanya bisa dijangkau lewat laut. Operasi ini berintikan kegiatan pelayanan kesehatan, pembangunan dan rehabilitasi sarana publik, dan berbagai penyuluhan dibidang kesehatan, hukum, dan bela negara. Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun hingga sekarang. Sejumlah negara juga pernah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut antara lain Singapura, Australia dan Negara Amerika Serikat. TNI AL juga berupaya menggalakan pembangunan sektor kelautan jauh sebelum Departemen Kelautan terbentuk, khususnya yang berhubungan dengan aspek pertahanan dan keamanan di laut. Kegiatan - kegiatan nyata yang dilakukan TNI AL adalah mendirikan badan - badan pengkajian pembangunan kelautan bersama - sama dengan pemerintah dan swasta di beberapa daerah, program desa pesisir percontohan yangterangkum dalam Pembinaan Desa Pesisir (Bindesir), dan program Pembinaan Potensi Nasional menjadi KekuatanMaritim (Binpotnaskuatmar). Dalam rangka menggelorakan jiwa bahari bangsa, TNI AL menggelar event kelautan skala internasional yaitu Arung Samudera 1995 yang berintikan Lomba Kapal Layar Tiang Tinggi dan perahu layar. TNI AL juga menjadi pendukung utama dicanangkan Tahun Bahari 1996 dan Deklarasi Bunaken 1998 yang merupakan manifestasi pembangunan kelautan di Indonesia.

1990-an

Selama dasawarsa 1990-an TNI AL mendapatkan tambahan kekuatan berupa kapal - kapal perang jenis korvet klas 'Parchim', kapal pendarat tank (LST) klas 'Frosch', dan Penyapu Ranjau klas Kondor.Penambahan kekuatan ini dinilai masih jauh dari kebutuhan dan tuntutan tugas, lebih - lebih pada masa krisis multidimensional ini yang menuntut peningkatan operasi namun perolehan dukungannya sangat terbatas. Reformasi internal di tubuh TNI membawa pengaruh besar pada tuntutan penajaman tugas TNI AL dalam bidang pertahanan dan keamanan di laut seperti reorganisasi dan validasi Armada yang tersusun dalam flotila - flotila kapal perang sesuai dengan kesamaan fungsinya dan pemekaran organisasi Korps Marinir dengan pembentukan satuan setingkat divisi Pasukan Marinir-I di Surabaya dan setingkat Brigade berdiri sendiri di Jakarta. Pembenahan - pembenahan tersebut merupakan bagian dari tekad TNI AL menuju Hari Esok yang Lebih Baik.

Lihat pula

Pranala luar

  1. ^ Reyes, Pedrito (1920). Pictorial History of the Philippines. Manila: H. Otleybeyer. 
  2. ^ Sebelum abad ke XVI rakyat Aceh telah mengenal dan menggunakan minyak bumi untuk kebutuhan perang dan damai. Minyak ini berasal dari Telaga Tiga dekat Pangkalan Brandan.
  3. ^ Pertamina (1969). Majalah Sejarah Industri Minyak Indonesia. Jakarta: Pertamina. hlm. 7–8. 
  4. ^ Leur, J.C. Van (1955). Indonesia Trade and Society, Essays in Asian Social and Economic History. Bandung. hlm. 159. 
  5. ^ a b c Burger, D.H. (1957). Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta: J.B Wolters. hlm. 63. 
  6. ^ Dalam lingkup yang lebih luas konsep ini dikembangkan lagi oleh Pemerintah Seobandrio pada tahun 1963 guna menekan "British Malaya" dengan jalan konfrontasi ekonomi yang kemudian ditingkatkan menjadi konfrontiasi fisik dengan nama "Dwikora"
  7. ^ H.M Bernard Viekke yang melihat situasi dan kondisi Indonesia dari sudut teori formalisme dan legalisme yang Eropa-sentris menyatakan bahwa dalam arti politis dan yuridis, daerah-daerah tersebut sebelumnya juga masuk kekuasaan Belanda.
  8. ^ A. Manteau - W. Hoeve, S. Gravenhage - W. Van (1959). A History of Indonesia. Brussel. hlm. 272. 
  9. ^ a b Koen, Auw Jong Peng (1962). Perang Pasifik. Jakarta: Kinta. hlm. 45. 
  10. ^ a b Ito, Masanori (1962). The End of the Imperial Japanese Navy. New York: W.W. Norton & Company Inc. hlm. 56. 
  11. ^ Dupuy - Col US Army, ret, Trevor Nevitt (1963). The Naval War in the Pacific. New York: Franklin Watss. Inc. hlm. 5. 
  12. ^ Jawa Madura diperintah oleh Tentara ke 16 dengan pusat pemerintahannya di Jakarta. Sumatera dan Malaya mula-mula dijadikan satu daerah kekuasaan dan diperintah oleh Tentara ke 25. Pada bulan April 1943 Sumatera secara administratif dipisahkan dari Malaya dan diperintah oleh Tentara ke 25 dan berpusat di Bukittinggi, daerah Indonesia lainnya diperintah Kaigun dengan pusatnya di Makassar.
  13. ^ a b c Cornel, Cornel (1971). Modern Indonesia Project. New York: Ithaca. hlm. 28. 
  14. ^ Wolhoff, Prof. Drs. G.J. (1960). Pengantar Ilmu Hukum Negara Republik Indonesia. Jakarta: Timun Mas. hlm. 74. 
  15. ^ Departemen Pertahanan Keamanan (1968). "Kejelasan mengenai Pancasila dan Proklamasi - Laporan Team Sejarah Pancasila dan Proklamasi". 
  16. ^ 9 tokoh itu tergabung dalam panitia kecil yang merupakan penyusunan dari Pagam Jakarta. Panitia kecil yang beranggotakan 9 orang itu semuanya adalah anggota-anggota Dokuritsu Djumi Tjosakai, yaitu : Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Yamin, Mr. A. Suhardjo, Mr. A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakkir, Wachid Hasim, H. Agoes Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso.
  17. ^ Di Sumatera Timur didirikan pada tanggal 28 Nopember 1943 dikenal sebagai BOMA (Badan Oentoek Membantoe Pertahanan Asia), di Aceh MAIBKATRA (Majelis Agama Islam Untuk Bantuan Kemakmuran Asia Timur Raya di Aceh) didirikan untuk memimpin Muslim pada bulan Maret 1943, di Tapanuli mempunyai BAPEN (Badan Pertahanan Negeri); Sumbar-Gyugun Koen-Kai. Kecurigaan dari kaum politik di Palembang yang kemudian diikuti dengan penahanan massal pada bulan September 1943 secara mencolok telah mencegah pembentukan badan itu.
  18. ^ Kahin (1963). GM "Indonesia" Major Governments of Asia. New York: Cornell University Press, Ithaca. hlm. 556. 
  19. ^ Syarat umur dari anggota Seinendan mula-mula ditentukan 14-25 tahun, tetapi kemudian pada bulan September 1943 diubah menjadi 14-22 tahun. Mereka tidak mendapat fasilitas-fasilitas seperti gaji, pakaian seragam dan juga tak ada pangkat.
  20. ^ a b c d e f Sihombing, ODP (1962). Pemuda Indonesia menentang Fasisme Jepang. Jakarta: Sinar Jaya. hlm. 152. 
  21. ^ Lain halnya dengan Seinendan, Keibodan mendapat gaji, pakaian Markas besarnya di kantor politik setempat. Mereka disentralisir dikepolisian karena organik sebagai pembantu polisi
  22. ^ Pembentukan PETA dimuat pada Osamu Seirei (Peraturan Bala Tentara) no 44 Tahun Syoowa 18 (2603/1943)
  23. ^ Salah satu sebab kegagalan pemberontakan PETA di Blitar adalah karena dari karesidenan-karesidenan lain tidak dapat mengirimkan bala bantuannya sebab terikat dengan ketentuannya bahwa prajurit-prajurit PETA tidak boleh bertugas di luar karesidenan yang telah ditentukan.
  24. ^ Kementerian Penerangan Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, hal 541
  25. ^ Ir. Sukarno, Mr. R. Supomo dan Mr. Muh. Yamin berturut-turut adalah orang-orang yang duduk dalam Departemen Urusam Umum, Departemen Kehakiman, Departemen Penerangan & Propaganda. Sedang Sutardjo Kartohadikusumo, S. Budhiarto dan Singgih masing-masing sebagai Gubernur dari Jakarta, Madiun dan Malang.
  26. ^ a b Hatta, Drs. Mohammad. Sekitar Proklamasi. hlm. 27. 
  27. ^ Dalam perjanjian Potsdam antara lain ditentukan bahwa "Occupied Arena" harus dikembalikan kepada penguasa semula. Apabila klausul ini diproyeksikan terhadap Indonesia akan berarti bahwa Indonesia "harus dikembalikan" kepada Belanda. Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 24 Agustus 1945 Belanda dan Inggris mengadakan pertemuan rahasia di Chequers, di mana diputuskan bahwa Inggris mendapat kekuasaan untuk atas nama Belanda menduduki Indonesia.
  28. ^ Pringgodigdo, A.K.Mr. (1954). Tiga Undang-undang Dasar PT Pembangunan. hlm. 11. 
  29. ^ Kompas. 16 Agustus 1965.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)