PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk (lebih dikenal dengan nama EMC Healthcare) merupakan anak perusahaan Elang Mahkota Teknologi yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan, khususnya pengembangan jaringan rumah sakit.
Sejarah
Pada tahun 1972 saat "Rumah Sakit Ongkomulyo" didirikan dan mulai beroperasi di Kayu Putih, Jakarta Timur sebagai sebuah organisasi nirlaba untuk memberikan layanan kesehatan berupa diagnosis psikiatri dan terapi kepada masyarakat sekitar. Pada tahun 1985, perusahaan ini didirikan untuk mengelola RS Ongkomulyo. Pada tahun 1988, RS Ongkomulyo bertransformasi menjadi sebuah rumah sakit umum. Pada tahun 1992, nama RS Ongkomulyo diubah menjadi "RS Ongkomulyo Medical Center", dan pada tahun 2001, kembali diubah menjadi "RS OMNI Medical Center" (OMC).[butuh rujukan]
Pada tahun 2007, melalui PT Sarana Meditama International, perusahaan mulai mengoperasikan RS OMNI Alam Sutera di Tangerang.Perusahaan ini juga mulai berbisnis dengan nama "OMNI Hospitals". Pada tahun 2013, perusahaan ini resmi melantai di Bursa Efek Indonesia dan membuka Aesthetic Center di RS OMNI Pulomas. Pada tahun 2014, perusahaan ini membuka Chemotherapy Center di RS OMNI Pulomas. Pada tahun 2015, perusahaan ini meluncurkan Minimal Invasive Coronary Surgery (MICS), prosedur bedah jantung invasif minimal multivessel pertama di Indonesia, serta meluncurkan cath lab di RS OMNI Pulomas. Pada tahun 2016, melalui PT Sarana Meditama Anugerah, perusahaan ini mulai mengoperasikan RS OMNI Cikarang di Bekasi. Pada tahun 2018, melalui PT Kurnia Sejahtera Utama, perusahaan ini mulai mengoperasikan RS OMNI Pekayon di Bekasi.[butuh rujukan]
Pada tahun 2019, RS OMNI Cikarang membuka layanan Cerebral Digital Subtraction Angiography' (DSA) untuk memeriksa kelainan pada pembuluh arteri. Perusahaan juga menjadi operator rumah sakit pertama di Indonesia yang menawarkan teknologi CT scan dosis rendah untuk memeriksa kelainan pada paru-paru dan mengukur skor kalsium. Pada tahun 2020, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek) resmi mengambil alih 71,88% saham perusahaan. Pada tahun 2021, perusahaan mengambil alih 99,9999% saham PT Elang Medika Corpora (EMC) yang sebelumnya dipegang oleh Emtek. Perusahaan kemudian juga mengambil alih 47,52% saham PT Kedoya Adyaraya Tbk sehingga perusahaan resmi memegang 66% saham perusahaan tersebut. Perusahaan ini lalu mulai berbisnis dengan nama "EMC Healthcare".
Kepemilikan
Berikut ini adalah daftar kepemilikan perusahaan berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2024.[1]
Nama Pemegang Saham
|
Persentase Kepemilikan (%)
|
PT Elang Mahkota Teknologi Tbk
|
77,858
|
Jusup Halimi
|
0,005
|
Juniwati Gunawan
|
0,002
|
Meta Dewi Thedja
|
0,002
|
drg. Nailufar, MARS
|
0,002
|
Kusmiati
|
0,002
|
Armen Antonius Djan
|
0,002
|
Masyarakat/publik
|
22,127
|
Anak usaha
Berikut ini adalah anak usaha perusahaan berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2024.[1]
Nama Anak Usaha
|
Persentase Kepemilikan (%)
|
PT Sarana Meditama International
|
99,999
|
PT Kurnia Sejahtera Utama
|
99,999
|
PT Sarana Meditama Anugerah
|
99,99
|
PT Sarana Meditama Nusantara
|
99,999
|
PT Sentosa Indah Sejahtera
|
99,92
|
PT Elang Medika Corpora
|
99,999
|
PT Kedoya Adyaraya Tbk
|
79,84
|
Rumah sakit
Berikut ini rumah sakit yang dikelola oleh perusahaan.[2]
- RS EMC Alam Sutera, didirikan sejak tahun 2007 di Alam Sutera, Tangerang Selatan, Banten
- RS EMC Cibitung, yang didirikan sejak tahun 2015 di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi
- RS EMC Cikarang, didirikan sejak tahun 2016 di Cibarusah Selatan, Kabupaten Bekasi
- RS EMC Pekayon, didirikan sejak tahun 2018 di Pekayon Jaya, Kota Bekasi
- RS EMC Pulomas, didirikan sejak tahun 1972 di Kayu Putih, Jakarta Timur;
- RS EMC Tangerang, didirikan sejak tahun 1991 di Tangerang, Banten
- RS EMC Sentul, didirikan sejak tahun 2013 di Sentul City.
Kontroversi
- Penambahan kata International di nama rumah sakit menurut Menteri Kesehatan Indonesia, Siti Fadilah Supari adalah salah karena Rumah Sakit bernama Omni bukannya rumah sakit internasional hanya namanya saja dan merupakan rumah sakit swasta dalam negeri yang bernama Omni Internasional yang tidak terdapat kepemilikan asing dan pada rumah sakit tersebut tidak pula terdapatkan informasi mengenai adanya standar International Hospital berdasarkan ISO - International Organization for Standardization.[3][4]
- Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan akan memanggil direksi RS OMNI Alam Sutera untuk diminta penjelasan terkait kasus yang menimpa Prita Mulyasari.[5]
Isu pencemaran nama baik
RS OMNI Alam Sutera menjadi terkenal di Indonesia utamanya terkait dengan kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan oleh pihak rumah sakit kepada salah seorang mantan pasiennya, Prita Mulyasari, karena menulis keluhan atas pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan melalui milis, surat pembaca, serta media publikasi internet lain yang membuat Prita harus mendekam sebagai tahanan selama dua puluh hari.[6][7]
Kronologi singkat
Kasus tersebut bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di RS Internasional Omni atas keluhan demam, sakit kepala, mual disertai muntah, kesulitan BAB, sakit tenggorokan, hingga hilangnya nafsu makan. Oleh dokter rumah sakit, dr. Hengky Gosal, Sp.PD dan dr. Grace Herza Yarlen Nela, Prita didiagnosis menderita Demam berdarah, atau Tifus. Setelah dirawat selama empat hari disertai serangkaian pemeriksaan serta perawatan, gejala awal yang dikeluhkan berkurang namun ditemukan sejenis virus yang menyebabkan pembengkakan pada leher.[8] Selama masa perawatan Prita mengeluhkan minimnya penjelasan yang diberikan oleh dokter atas jenis-jenis terapi medis yang diberikan, di samping kondisi kesehatan yang semakin memburuk yang diduga akibat kesalahan dalam pemeriksaan hasil laboratorium awal menyebabkan kekeliruan diagnosis oleh dokter pemeriksa.[7] Disebabkan karena pengaduan serta permintaan tertulis untuk mendapatkan rekam medis serta hasil laboratorium awal yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit Prita kemudian menulis surat elektronik tentang tanggapan serta keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis.[9] Surel tersebut kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta mengajukan gugatan hukum baik secara perdata maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik.[10][11]
Pada tanggal 11 Mei 2009 Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan perdata pihak rumah sakit dengan menyatakan Prita terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak rumah sakit sehingga harus membayar kerugian material sebesar Rp161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp100 juta untuk kerugian immaterial.[12] Pada tanggal 13 Mei 2009 oleh Kejaksaan Negeri Tangerang Prita dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta dinyatakan harus ditahan karena dikhawatirkan akan melarikan diri serta menghilangkan barang bukti.[13] Pada tanggal 3 Juni 2009 Prita dibebaskan dari LP Wanita Tangerang, dan status tahanan diubah menjadi tahanan kota.[14] Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 Pengadilan Negeri Tangerang mencabut status tahanan kota.[15]
Melalui persidangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 25 Juni 2009, Majelis hakim menilai bahwa dakwaan jaksa penuntut umum atas kasus Prita Mulyasari tidak jelas, keliru dalam penerapan hukum, dan tidak memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, oleh karenanya melalui persidangan tersebut kasus Prita akhirnya dibatalkan demi hukum.[16][17]
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan Prita Mulyasari (32) tidak terbukti secara sah melakukan pencemaran nama baik terhadap RS OMNI Alam Sutera, Selasa (29/12/2009). Keputusan itu dibacakan majelis hakim yang diketuai Arthur Hangewa.[1]
Gelombang dukungan dan protes
Kasus penahanan yang menimpa Prita Mulyasari memunculkan gelombang protes serta dukungan dari para blogger, praktisi teknologi informasi, hukum, hingga para politisi, dan pejabat negara. Sampai tanggal 5 Juni 2009 dukungan terhadap Prita di Facebook hampir mencapai 150 ribu anggota, begitu pula dukungan melalui blog yang disampaikan para blogger terus bertambah setiap harinya.[18][19] Beberapa kalangan menilai Prita tidak layak ditahan serta hanya menjadi korban penyalahgunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tak kurang pula Megawati Soekarnoputri ikut menilai Prita merupakan korban neoliberalisme.[20][21][22] Besarnya dukungan serta simpatisan atas kasus ini membuat Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, meminta penjelasan dari Kapolri dan Jaksa Agung, serta meminta seluruh jajaran penegak hukum untuk memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat dalam menjalankan tugas.[23]
Lihat pula
Referensi
Pranala luar