Kolonel (Tituler) Rusad Datuk Perpatih Baringek atau dikenal sebagai Wedana Rusad (lahir 1893 – meninggal 1978) adalah seorang ahli adat Minangkabau dan birokrat pemerintah Hindia-Belanda. Ia memimpin Dinas Intelijen Politik (Politieke Inlichtingen Dienst, PID) Sumatera Barat sejak 1927 hingga 1938. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjabat sebagai Residen Sumatera Barat dari 15 November 1945 sampai 14 Maret 1946.[1]
Rusad merupakan salah seorang dari sedikit putra Minangkabau yang menaiki jenjang karier tertinggi dalam jajaran pegawai pada masa kolonial Belanda.[2][3]
Karier
Hindia Belanda
Rusad berasal dari Koto Nan Gadang, Payakumbuh.[4][5] Ia awalnya bekerja sebagai guru di Adabiah, Padang.[6][7] Ia mulai kariernya di jenjang birokarasi pemerintah kolonial sejak 1920-an.[8] Semasa dinasnya, ia pernah menjadi demang (kepala distrik)[9] atau asisten demang di beberapa tempat, yakni Bangkinang, Buo, Lubuk Sikaping, Sawahlunto, dan Padang.[2]
Sewaktu menjabat sebagai Demang Sawahlunto, Rusad memimpin penumpasan pemberontakan komunis di Silungkang pada 1927.[10][11][12] Para pemberontak Silungkang ditangkap dan disiksa di penjara Sawahlunto, termasuk Abdul Muluk Nasution.[13][14][15] Peristiwa tersebut membekas di ingatan penduduk Silungkang sebagai bentuk "kekejaman Rusad". Ribuan orang Minang "mendapat cacian dan pukulan rotannya".[16][17]
Setelah pemberontakan di Silungkang pada 1927, Rusad diangkat menjadi kepala distrik (wedana) Politieke Inlichtingen Dienst (PID) untuk wilayah Sumatera Barat,[18][19] posisi yang, menurut Leon Salim, membuatnya bertanggung jawab atas penahanan atau pembuangan seseorang ke Digul.[20] Rusad menjabat hingga Juni 1938.[21] Ia digantikan oleh Amaddin gelar Sutan Marah Bangso.[22]
Selanjutnya, Rusad menjabat sebagai Sekretaris Minangkabau Raad didampingi Harun Al-Rasyid sebagai wakil sekretaris.[23] Badan ini semacam dewan penasihat yang dibentuk pada 1938 oleh pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat. Posisi pimpinan dipegang oleh orang Belanda, sedangkan posisi sekretaris dipegang oleh pejabat pribumi dalam hal ini diberikan kepada Rusad.[2][24] Surat kabar Perantaraan Kita mengomentari pengangkatan Rusad sebagai Sekretaris Minangkabau Raad merupakan pilihan tepat karena penguasaan Rusad atas seluk-beluk adat Minangkabau.[21]
Semasa Sumatera Barat diduduki oleh Jepang, Rusad aktif pula di badan serupa yang bernama Shu Sangi Kai.[2][8]
Indonesia
Pada 31 Agustus 1945, selang dua hari dari pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat, badan serupa di Sumatera Barat terbentuk dipimpin oleh Muhammad Sjafei. Rusad didapuk sebagai salah seorang wakil bersama Dr. M. Djamil Datuk Rangkayo Tuo.[8][25][26] Pada 11 Desember, KNI Sumatera Barat diubah menjadi BPRD dengan Rosead sebagai ketua ex-officio. BPRD menghasilkan Badan Pekerja BPRD yang diisi oleh orang-orang terkemuka, seperti Bachtaruddin, Sjarif Usman, Darwis Thaib, Abdullah Kamil, Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, dan Chatib Sulaiman.[27]
Pada 15 November 1945, Rusad diangkat sebagai Residen Sumatera Barat menggantikan Sjafei yang mengundurkan diri. Audrey Kahin mencatat, pengangkatan Rusad sempat ditentang oleh tokoh nasionalis di internal KNID.[28] Di lain pihak, Rusad memperoleh dukungan karena dianggap sebagai seorang administrator yang banyak pengalaman di daerah sehingga mampu mengatur pemerintahan yang baru.[8] A.A. Navis menulis, "orang-orang menerima bekas demang yang setia pada pemerintah Hindia Belanda itu karena posisi residen bukanlah merupakan pimpinan revolusi." Jabatan residen, lanjut Navis, "hanya merupakan formalitas bahwa Republik Indonesia mempunyai pemerintahan yang teratur di bawah pimpinan seorang pamong praja yang berpengalaman."[29]
Usaha Rusad sebagai residen adalah menyempurnakan bidang pemerintahan dan melakukan perombakan pamong praja. Pada 23 Januari 1946, ia mengumumkan pengangkatan wali kota dan demang di Sumatera Barat serta mengubah nomenklatur kepala luhak menjadi wali luhak.[30][31] Menurut Marah Joenoes, Rusad mengikuti beberapa pedoman penting dalam melaksanakan perubahan administratif. Pada tingkat luhak, sebagian besar pejabat yang semula adalah mantan pegawai pemerintah Belanda dan Jepang diganti dengan "pemimpin rakyat", biasanya wakil dan kelompok atau tokoh yang paling kuat di daerah. Disadari bahwa kepala-kepala luhak yang baru itu (disebut wali luhak, sekarang bupati) mempunyai pengalaman administrasi yang lemah sehingga bekas pejabat kolonial diangkat sebagai wakil mereka.[32]
Jabatan Rusad sebagai Residen Sumatera Barat berlangsung singkat. Pada 14 Maret 1946, ia diperbantukan pada Gubernur Sumatera di Medan, dan posisinya sebagai residen digantikan oleh M. Djamil.[33][34]
Hengkangnya Rusad dikaitkan dengan aksi protes dari masyarakat. Juru bicara protes ini adalah Dt. Simaradjo, tokoh adat dari MTKAAM dan Aziz Chan, Wakil Wali Kota Padang, yang menjadi juru bicara pemuda Islam dari PSII. Tekanan ini mencapai puncaknya ketika munculnya konfrontasi terbuka antara KNID Sumatera Barat dengan Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan. Rusad menolak tuntutan penggantian semua pejabat lama (bekas pegawai Belanda dan Jepang) dengan alasan khawatir mereka "terpaksa menyeberang kepada NICA". Di satu sisi, Rusad setuju "generasi yang lebih muda barangkali memiliki pendidikan politik yang lebih baik", tapi "demang-demang lama itu lebih berpengalaman dan berpengaruh. Pengalaman administrasi mereka mungkin tak terungguli oleh pemimpin yang lebih muda."[35]
Pensiun
Setelah tak lagi jadi residen, Rusad banyak dikaitkan dengan rencana pendirian negara boneka Belanda di Sumatera Barat.
Pada tanggal 17 Maret 1949, Panitia Persiapan Pergerakan Pendirian Minangkabau yang dibentuk atas anjuran Rusad mencoba mengadakan rapat di Bukittinggi. Rapat tersebut membahas upaya mendirikan ”Daerah Istimewa Minangkabau”. Rapat akhirnya tidak dapat mengambil sesuatu keputusan yang positif. Menurut Abdul Haris Nasution, ide pendirian Minangkabau tidak begitu menarik. "Kesadaran politik rakyat Minangkabau memang tinggi, sehingga semangat Republik Indonesia sangat kuat di daerah ini," tulis Nasution. Selain Rusad, tokoh lain pendirian ini adalah dr. Anas.[36][37]
Pada 1950, Rusad pensiun dari birokrat. Sejak itu, waktunya lebih banyak tercurah di bidang pendidikan. Ia pernah menjadi Komisariat Fakultas Hukum Universitas Andalas.[2] Pada 1957, ia mengunjungi Brussel. Rusad melewati sisa hidupnya di Padang hingga ia meninggal pada 1978.
Keluarga
Rusad menikah dengan Hasnah Manan. Putri sulungnya bernama Laili Roesad, tercatat sebagai tokoh wanita Indonesia pertama yang menjabat sebagai duta besar RI di beberapa negara, yakni Belgia, Luxemburg, dan Austria.[38][39]
Anaknya yang lain adalah Djoelioes Roesad, Toeti Roesad, Nasrun Roesad, Tangkas Roesad, dan Djoembang Roesad (suami Halida Hemnalini Roesad).[40][41]
Rujukan