Rolls-Royce plc
Rolls-Royce Holdings plc adalah sebuah perusahaan multinasional asal Inggris yang melalui banyak anak usahanya mendesain, memproduksi, dan mendistribusikan mesin untuk pesawat dan lain sebagainya. Rolls-Royce Holdings berkantor pusat di Westminster, London.[3] Perusahaan ini adalah produsen mesin pesawat terbesar kedua di dunia,[4] dan juga menjadi pemain besar di bisnis mesin kapal dan pembangkitan energi. Pada tahun 2011, Rolls-Royce juga merupakan kontraktor pertahanan terbesar ke-16 di dunia.[5][6][7] Rolls-Royce tercatat di London Stock Exchange dan juga merupakan salah satu komponen di FTSE 100 Index. Pada bulan Juni 2013, Rolls-Royce memiliki kapitalisasi pasar senilai £22.22 milliar, terbesar ke-24 dari seluruh perusahaan yang tercatat di London Stock Exchange.[8] Sejarah1906 - 1971Rolls-Royce Limited didirikan pada tahun 1906 oleh Henry Royce dan Charles Rolls di Midland Hotel, Manchester, sebagai produsen mobil mewah, sebelum akhirnya juga berdiversifikasi ke produksi mesin pesawat. Produksi mobil mewah ini tetap berlangsung hingga akhirnya dipisahkan pada tahun 1973 sebagai Rolls-Royce Motors. Rolls-Royce memproduksi mesin pesawat pertamanya, Rolls-Royce Eagle, pada tahun 1914. Bahkan, hampir setengah dari seluruh mesin pesawat yang dipakai oleh Sekutu pada Perang Dunia I diproduksi oleh Rolls-Royce. Hingga akhir dekade 1920an, produksi mesin pesawat ini pun menjadi bisnis utama Rolls-Royce. Rolls-Royce Merlin, yang diluncurkan pada tahun 1935 pun menjadi mesin terakhir yang didesain oleh Henry Royce, karena ia meninggal dunia pada tahun 1933. Mesin inipun dipakai oleh Supermarine S.6B, yang pada akhirnya dapat mencetak rekor kecepatan baru hingga 400 mil/jam pada ajang Schneider Trophy tahun 1931. Merlin juga dipakai di beberapa pesawat tempur pada Perang Dunia II, seperti Hawker Hurricane, Supermarine Spitfire, De Havilland Mosquito, Avro Lancaster, dan juga P-51 Mustang, di mana Merlin dirakit oleh Packard dibawah lisensi dari Rolls-Royce. Merlin bahkan disebut-sebut memiliki kontribusi yang cukup besar dalam kemenangan pihak Sekutu pada Perang Dunia II.[9] Tercatat, 160.000 unit Merlin berhasil diproduksi oleh Rolls-Royce. Pasca Perang Dunia II, Rolls-Royce berhasil mengembangkan Dart dan Tyne, yang memiliki tenaga yang sangat besar, sehingga waktu tempuh penerbangan antar benua dapat dihemat secara signifikan. Tercatat, Dart dipakai di Argosy, Avro 748, Friendship, Herald, dan Viscount, sementara Tyne yang lebih bertenaga dari Dart dipakai di Atlantic, Transall, dan Vanguard. Mesin Rolls-Royce sejak awal selalu diberi nomor seri, yang diawali dengan inisial "RB", kependekan dari "Rolls-Royce Barnoldswick"[10] (Barnoldswick adalah tempat salah satu pabrik Rolls-Royce). Tiap mesin juga diberi nama sesuai dengan nama sungai di Inggris. Penggunaan nama sungai ini dimaksudkan untuk mencerminkan mesin Rolls-Royce yang memiliki tenaga yang mengalir stabil, bukan tenaga yang meledak-ledak. Salah satu mesin jet yang diproduksi pada periode ini adalah RB163 Spey, yang dipakai di Trident, BAC 1-11, Grumman Gulfstream II & III dan juga Fokker F28. Versi militer dari Spey juga dipakai di Buccaneer S2, Phantom F4K dan F4M, dan Nimrod. Spey juga dirakit oleh Allison Engine Company dibawah lisensi, untuk A-7 Corsair II. Pada periode ini Rolls-Royce juga memproduksi Conway, yang dipakai di Boeing 707, Douglas DC-8, Vickers VC10, dan juga Handley Page Victor Mk. II. Selama dekade 1950an dan 1960an, upaya rasionalisasi produsen mesin pesawat di Inggris membuat Rolls-Royce harus bergabung dengan Bristol Siddeley pada tahun 1966. Bristol Siddeley, yang juga merupakan hasil penggabungan dari Armstrong Siddeley dan Bristol pada tahun 1959, telah memiliki dasar yang kuat di bisnis mesin pesawat, seperti dengan memproduksi Olympus, yang dipilih sebagai mesin untuk Concorde. Nasionalisasi dan separasiKarena dipilih menjadi pemasok mesin tunggal untuk Lockheed L-1011 (TriStar), Rolls-Royce pun mempersiapkan RB211, namun pengembangan mesin ini terhambat masalah finansial yang dialami oleh Rolls-Royce. Untuk menyelamatkan Rolls-Royce, pada tahun 1971, pemerintah Inggris pun menasionalisasi perusahaan ini sebagai Rolls-Royce (1971) Limited.[11][12] Divisi otomotif pun dipisahkan dari divisi mesin pesawat pada tahun 1973, sebagai Rolls-Royce Motors dan akhirnya dijual ke Vickers. Pada tahun 1978, perusahaan ini kembali berganti nama menjadi Rolls-Royce plc.[12] Privatisasi dan ekspansiRolls-Royce plc lalu kembali diprivatisasi pada tahun 1987 dibawah pemerintahan Margaret Thatcher. Pada dekade 1980an, regulasi baru membuat Rolls-Royce dapat memasangkan mesinnya ke makin banyak jenis pesawat sipil, hingga 17 jenis pesawat berbeda, jika dibandingkan dengan General Electric yang hanya dapat memasangkan mesinnya ke 14 jenis pesawat berbeda dan Pratt & Whitney yang hanya dapat memasangkan mesinnya 10 jenis pesawat berbeda. Pada tahun 1988, Rolls-Royce mengakuisisi Northern Engineering Industries (NEI), sebuah grup yang terdiri dari beberapa perusahaan, yakni Clarke Chapman, Reyrolle, dan Parsons. Grup ini lalu diubah namanya menjadi Rolls-Royce Industrial Power Group. Perusahaan ini lalu dijual satu-persatu setelah Rolls-Royce memutuskan untuk lebih fokus ke bisnis mesin pesawat, akibat resesi pada awal dekade 1990an.[13] Pada tahun 1990, BMW dan Rolls-Royce bekerja sama dengan mendirikan BMW Rolls-Royce, guna memproduksi jajaran mesin BR700 untuk penerbangan regional maupun pribadi, termasuk di dalamnya, BR725 yang dipasang di Gulfstream G650.[14] Akuisisi AllisonPada tanggal 21 November 1994, Rolls-Royce mengumumkan rencananya untuk mengakuisisi Allison Engine Company,[15] sebuah perusahaan asal Amerika Serikat, yang juga bergerak di bisnis yang sama dengan Rolls-Royce. Sebelumnya, dua perusahaan ini telah lama menjalin kerja sama, yakni sejak Perang Dunia II. Akibat keterlibatan Allison di beberapa proyek rahasia Amerika Serikat, rencana akuisisi inipun diinvestigasi lebih lanjut untuk menilai apakah akuisisi ini akan membahayakan Amerika Serikat.[16] Pada tanggal 27 Maret 1995, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat pun akhirnya mengumumkan bahwa akuisisi ini tidaklah membahayakan Amerika Serikat.[17] Namun, Rolls-Royce diharuskan untuk membentuk perusahaan baru guna menangani proyek-proyek rahasia, sehingga dibentulah Allison Advanced Development Company, Inc..[17][18][19] Akuisisi Allison senilai $525 juta (setara dengan £328 juta),[15] inipun menambah empat tipe mesin ke jajaran produk mesin sipil Rolls-Royce. Allison sekarang dikenal dengan nama Rolls-Royce Corporation, bagian dari Rolls-Royce North America. Pada tahun 1996, Rolls-Royce dan Airbus menandatangani nota kesepahaman, yang menyatakan bahwa Rolls-Royce Trent 900 akan dipakai di pesawat Airbus A3XX, yang sekarang lebih dikenal sebagai Airbus A380.[20] Akuisisi-Akuisisi Tahun 1999Pada tahun 1999, Rolls-Royce mengakuisisi Vickers plc,[21] dan lalu pada tahun 2002, menjual Vickers Defence Systems ke Alvis plc, sehingga namanya pun diubah menjadi Alvis Vickers.[22] Serangkaian akuisisi inipun membuat Rolls-Royce menjadi yang terdepan di bisnis mesin pesawat. Pada tahun 1999, BMW Rolls-Royce diubah namanya menjadi Rolls-Royce Deutschland, karena seluruh sahamnya resmi dimiliki oleh Rolls-Royce plc.[23] Optimized Systems and Solutions (sebelumnya bernama Data Systems & Solutions) didirikan pada tahun 1999 sebagai hasil kerja sama antara Rolls-Royce plc dan Science Applications International Corporation (SAIC). Pada awal tahun 2006, SAIC keluar dari kerja sama ini, sehingga Rolls-Royce plc menjadi pemilik tunggalnya.[24] Abad ke-21Pada tanggal 6 April 2004, Boeing mengumumkan bahwa Rolls-Royce dan General Electric ditunjuk sebagai pemasok mesin untuk jenis pesawat terbarunya, Boeing 787 Dreamliner. Rolls-Royce pun mengajukan Trent 1000 untuk dipasang ke 787, sedangkan GE mengajukan GENX, hasil pengembangan dari GE90.[25] Pada tanggal 13 Juni 2004, Rolls-Royce menerima kontrak senilai £110 juta dari Kementerian Pertahanan Inggris untuk memasok mesin C-130 Hercules selama lima tahun berikutnya.[26] Pada bulan Juli 2006, Rolls-Royce berhasil mencapai kesepakatan dengan Airbus guna memasok mesin Trent XWB untuk Airbus A350 (XWB). Trent XWB adalah hasil pengembangan dari Trent 1000, yang sebelumnya juga diajukan untuk Airbus A350. Hingga bulan 2015, lebih dari 1.500 unit mesin ini telah dipasok ke 40 maskapai di seluruh dunia.[27] Pada bulan Oktober 2006, Rolls-Royce menunda produksi dari Trent 900 akibat juga ditundanya produksi dari Airbus A380. Pada bulan Oktober 2007, Rolls-Royce akhirnya mengumumkan bahwa produksi Trent 900 telah dimulai kembali.[28] Pabrik Rolls-Royce di Derby yang mempekerjakan 11.000 orang juga terus memproduksi mesin untuk Bombardier dan Boeing. Di sisi militer, Rolls-Royce, bekerja sama dengan beberapa produsen mesin asal Eropa lainnya, juga telah memproduksi beberapa mesin, seperti RB199, yang dipasang di Panavia Tornado, dan juga EJ200 yang dipasang di Eurofighter Typhoon. Rolls-Royce juga mematangkan LiftSystem untuk dipasang di Joint Strike Fighter (JSF) F-35 Lightning II.[29] Pada ajang Paris Air Show tahun 2005, Rolls-Royce berhasil mendapat pesanan senilai $1 milliar. $800 juta diantaranya berasal dari Air China untuk memasok mesin ke 20 unit Airbus A330 miliknya.[30] Pada ajang Paris Air Show tahun 2007, Rolls-Royce juga mengumumkan bahwa mereka telah menandatangani kontrak dengan Qatar Airways untuk memasang Trent XWB ke 80 unit Airbus A350 yang sedang dipesan oleh Qatar Airways.[31] Pada ajang Dubai Airshow tahun 2007, Rolls-Royce juga menerima pesanan dari Emirates Airline untuk memasangkan Trent XWB ke 50 unit A350-900 dan 20 unit A350-1000 miliknya.[32] Pada tanggal 20 November 2007, Rolls-Royce mengumumkan rencananya untuk membangun pabrik pertamanya di Asia, tepatnya di Seletar Aerospace Park, Singapura.[33] Pabrik senilai $562 juta ini akan melengkapi pabrik Derby, dengan melakukan perakitan dan pengujian terhadap Trent 1000 dan Trent XWB. Sesuai rencana, sebuah Trent 900 akan selesai dirakit dalam waktu 14 hari di pabrik ini, jauh lebih cepat dari 20 hari perakitan di Inggris. Pabrik ini awalnya diperkirakan dapat mempekerjakan 330 orang,[34] namun pada tahun 2012, tercatat 1.600 orang bekerja di pabrik ini.[35] Pada bulan Maret 2011, Rolls-Royce dan Daimler AG meluncurkan penawaran senilai $4.2 milliar untuk membeli 100% saham di Tognum AG, pemilik MTU Friedrichshafen, dengan komposisi kepemilikan saham 50:50.[36] Rolls-Royce dan Daimler AG pun berencana untuk melepas beberapa persen sahamnya di Tognum ke publik melalui Frankfurt Stock Exchange.[36] Pada bulan Mei 2012, Rolls-Royce memenangkan kontrak senilai £400 juta dari Kementerian Pertahanan Inggris guna mendesain reaktor nuklir untuk kapal selam terbaru Inggris.[37] Atas akuisisi United Technologies Corporation terhadap Goodrich, pada bulan Juli 2012, Rolls-Royce mengumumkan bahwa mereka akan membeli kepemilikan saham Goodrich di Aero Engine Controls, sehingga Aero Engine Controls resmi menjadi anak usaha Rolls-Royce plc.[38] Pada bulan Mei 2014, Rolls Royce menjual divisi turbin dan kompresornya ke Siemens seharga £785 juta.[39] Pada bulan Juni 2014, Rolls-Royce mengumumkan penggabungan dua anak usahanya, yakni Aero Engine Controls (AEC) dan Optimized Systems and Solutions (OSyS), untuk membentuk Rolls-Royce Controls and Data Services.[40] Pada bulan November 2014, Rolls-Royce mengumumkan bahwa mereka akan merumahkan 2.600 pegawai dalam 18 bulan kedepan.[41] Pada tanggal 17 April 2015, diumumkan bahwa Rolls-Royce telah menerima pesanan senilai £6.1 milliar untuk memasok mesin ke 50 unit Airbus A380 milik Emirates.[42][43][44] Rangkaian mesinMesin dan aplikasi sipil
Mesin dan aplikasi militerTurbin gas kelautanJet airPropulsi kapal selamReferensi
Pranala luar |