Renault–Nissan–Mitsubishi Alliance adalah sebuah aliansi strategis antara Renault (berkantor pusat di Boulogne-Billancourt, Prancis), Nissan (berkantor pusat di Yokohama, Jepang) dan Mitsubishi Motors (berkantor pusat di Tokyo, Jepang). Ketiganya bersama-sama menjual sepersembilan dari total mobil yang berhasil terjual di seluruh dunia.[1] Awalnya dikenal sebagai Renault–Nissan Alliance, Renault dan Nissan menjadi mitra strategis pada tahun 1999 dengan mempekerjakan hampir 450.000 orang dan mengendalikan sepuluh merek besar, yakni Renault, Nissan, Mitsubishi,[2]Infiniti, Renault Samsung, Dacia, Alpine, Datsun, Venucia, dan Lada.[3] Aliansi ini berhasil menjual 10,6 juta unit kendaraan pada tahun 2017, sehingga menjadikannya produsen kendaraan kecil terkemuka di dunia.[4] Aliansi ini mengubah namanya menjadi seperti sekarang pada bulan September 2017, setahun setelah Nissan mengakuisisi mayoritas saham Mitsubishi dan menjadikannya mitra di aliansi ini.[5]
Hingga Desember 2019[update], aliansi ini adalah salah satu produsen kendaraan listrik terkemuka di dunia, dengan berhasil menjual lebih dari 800.000 unit kendaraan listrik sejak tahun 2010.[6] Produk kendaraan listrik paling laku dari aliansi ini adalah Nissan Leaf dan Renault Zoe.
Kemitraan strategis antara Renault, Nissan, dan Mitsubishi bukan merupakan sebuah penggabungan atau akuisisi. Ketiganya bermitra melalui perjanjian saling berbagi. Kemitraan ini sangat unik selama tren konsolidasi pada dekade 1990-an dan kemudian juga diikuti oleh General Motors dan PSA Group,[7] dan Mitsubishi, serta Volkswagen Group dan Suzuki,[8] walaupun akhirnya gagal.[9] Aliansi ini pun telah memperluas cakupannya, dengan membentuk kemitraan tambahan dengan sejumlah produsen otomotif lain, seperti Daimler asal Jerman dan Dongfeng asal Tiongkok.[8]
Pasca penangkapan dan penahanan chairman dan CEO aliansi ini, Carlos Ghosn, pada bulan November 2018, yang kemudian diikuti oleh pemberhentiannya dari aliansi ini, analis pers pun mempertanyakan stabilitas dan eksistensi jangka panjang dari aliansi ini.[10] Analis juga mencatat bahwa karena strategi bisnis terbaru dari anggota aliansi ini bersifat interdependen, maka upaya untuk merestrukturisasi aliansi ini dapat berdampak kontraproduktif terhadap semua anggota aliansi ini.[11]
Struktur dan strategi
Aliansi ini adalah sebuah kemitraan strategis yang didasarkan pada pertimbangan bahwa karena adanya kepemilikan saham silang yang cukup besar, maka tiap anggota aliansi bertindak atas kepentingan finansial dari anggota yang lain, sembari tetap mempertahankan identitas merek dan budaya perusahaannya masing-masing. Renault saat ini memegang 43,4% hak suara di Nissan dan Nissan memegang 15% saham tanpa hak suara di Renault. Walaupun makin banyak perusahaan yang mengadopsi bentuk kemitraan serupa, bentuk kemitraan ini tetap kontroversial. Sejumlah jurnalis bisnis pun berspekulasi bahwa perusahaan tersebut seharusnya melakukan penggabungan,[12] sementara pihak lain menyatakan bahwa perusahaan tersebut harusnya terpisah.[13]
Carlos Ghosn, chairman dan CEO aliansi ini, adalah seorang pebisnis yang juga pernah menjadi chairman dan CEO Nissan Motors hingga bulan November 2018, serta memegang jabatan yang sama di Renault selama dua bulan lebih lama daripada di Nissan.[14] Ghosn mengibaratkan kemitraan Renault–Nissan sebagai sebuah pernikahan: "Pasangan suami istri tidak menggabungkan identitasnya setelah menikah. Namun, mereka tetap mempertahankan identitasnya masing-masing dan bersama-sama menjalankan rumah tangga, dengan disatukan oleh ketertarikan dan tujuan yang sama, serta masing-masing membawa hal yang berbeda. Di bisnis, terlepas dari industrinya, kemitraan paling sukses dan tahan lama adalah yang dibentuk dengan penghormatan terhadap identitas sebagai prinsip pemandunya."[15]
Ghosn terus mengadvokasi[16] pendekatan evolusioner yang menghasilkan peningkatan integrasi dan sinergi antar anggota aliansi.[17] Pada Reuters Special Report bulan Maret 2011, mengenai akuisisi di industri otomotif yang tidak berhasil selama satu dekade terakhir, Ghosn menyatakan bahwa "Pada akhirnya, Anda harus berhati-hati dengan tindakan di jangka pendek, agar Anda tidak merusak hal yang telah memberi hasil yang cukup banyak di jangka menengah dan jangka panjang,".[18]
Berdasarkan pernyataannya kepada publik, tujuan aliansi ini adalah meningkatkan keekonomian skala dari Renault dan Nissan tanpa melakukan penggabungan antara keduanya. Setelah dibentuk, aliansi ini dapat mencapai skala yang diinginkan dan mempercepat waktu pengembangan produk dengan bersama-sama mengembangkan mesin, baterai, dan komponen penting lainnya.[19] Contohnya, peningkatan pangsa pasar Nissan di segmen kendaraan niaga ringan di Eropa antara lain berkat rebadging dari sejumlah model van buatan Renault, seperti Renault Kangoo (Nissan Kubistar), Renault Master (Nissan Interstar), Renault Trafic (Nissan Primastar).[20] Selain itu, Renault memproduksi hampir semua mesin diesel yang dipakai oleh mobil buatan Nissan yang dijual di Eropa. Nissan menggunakan mesin tersebut untuk meningkatkan penjualannya di seantero Eropa, karena Nissan telah menjadi merek asal Asia teratas di sejumlah negara di Eropa.[21]
Kolaborasi antara Renault dan Nissan juga fokus pada proyek riset padat modal, seperti transportasi tanpa emisi yang berkelanjutan[22] dan pengembangan manufaktur mobil di negara berkembang seperti Brazil, Rusia, dan India.[23] Aliansi ini juga mengawasi aktivitas pembelian dari anggotanya, untuk memastikan pembelian dilakukan dalam jumlah sebanyak-banyaknya, agar harganya dapat ditekan semurah mungkin.[24] Renault dan Nissan juga mengkonsolidasikan aktivitas logistiknya di bawah aliansi ini untuk menghemat biaya logistik. Renault dan Nissan mengklaim bahwa mereka menghemat lebih dari €200 juta per tahun dengan berbagi gudang, peti kemas, kapal, dan pemrosesan bea.[25] Secara umum, aliansi ini mencatatkan penghematan lebih dari €1,5 milyar pada tahun 2010.[26]
Aliansi ini juga mengembangkan praktek terbaik dari satu anggota untuk memperkuat anggota yang lain. Salah satunya adalah "Nissan Production Way" yang menjadi dasar dari standar "Système de Production Renault" yang digunakan oleh semua pabrik milik Renault. Renault menyatakan bahwa produktivitasnya meningkat sebesar 15% berkat sistem baru tersebut.[27]
Sejarah
Aliansi ini dimulai pada tanggal 27 Maret 1999. Pada saat itu, industri otomotif sedang dalam tren konsolidasi. Sejumlah perusahaan pun bergabung atau diakuisisi, antara lain akuisisi Daimler terhadap Chrysler pada tahun 1998 (kemudian dibubarkan pada tahun 2007[28]).
Pada saat aliansi ini dibentuk, Renault membeli 36,8% saham Nissan dengan harga $3,5 milyar dan Nissan berjanji untuk membeli saham Renault setelah mereka memiliki cukup uang. Pada tahun 2001, setelah cukup pulih, Nissan pun membeli 15% saham Renault, sementara Renault juga meningkatkan kepemilikan sahamnya di Nissan menjadi 43,4%.[29]
Pada tahun 2002, aliansi ini membentuk Renault–Nissan BV (RNBV), sebuah perusahaan manajemen strategis untuk mengawasi kepemimpinan dari anggota aliansi. Berkantor pusat di Amsterdam, RNBV dimiliki bersama-sama oleh Renault dan Nissan, dan menyediakan lokasi yang netral bagi anggota aliansi untuk bertukar ide, membangun strategi, dan membantu meningkatkan sinergi antar anggota aliansi.[30]
Pada tahun 2006, aliansi ini mulai berdiskusi dengan General Motors mengenai kemungkinan pembentukan aliansi industri.[31] Diskusi tersebut dicetuskan oleh pemegang minoritas saham GM, Kirk Kerkorian. GM diberitakan meminta pembayaran sejumlah milyar dolar untuk bergabung ke aliansi tersebut, sehingga Ghosn menyebut permintaan tersebut "berlawanan dengan semangat dari sebuah aliansi." Diskusi akhirnya diakhiri pada bulan Oktober 2006, saat Ghosn menyatakan, "Jelas bahwa kedua pihak memiliki keinginan yang berbeda dalam beraliansi."[32]
Sejak tahun 2010, aliansi ini mengerjakan sejumlah proyek sebagai bagian dari kerja sama strategis dengan Daimler AG asal Jerman.
Pada tahun 2014, Renault dan Nissan mengkombinasikan berbagai aktivitas riset, pengembangan, manufaktur, dan bisnis untuk meningkatkan penghematan, mengintegrasikan anggota aliansi, dan mempercepat pengembangan.[33]
Pada bulan September 2017, aliansi ini mengumumkan rencana enam tahun bernama "Alliance 2022" yang menargetkan sinergi tahunan mencapai €10 milyar pada akhir tahun 2022. Carlos Ghosn menyatakan: “Hari ini menandai sejarah baru bagi anggota aliansi. Pada akhir dari Alliance 2022, kami berencana meningkatkan sinergi tahunan menjadi €10 milyar. Untuk mencapai target tersebut, pada satu sisi, Renault, Nissan, dan Mitsubishi Motors akan mempercepat kolaborasi pada platform dan rangkaian tenaga yang sama. Pada sisi lain, sinergi akan makin ditingkatkan seiring dengan skala perusahaan yang makin besar. Total penjualan tahunan diperkirakan melebihi 14 juta unit, dan diperkirakan menghasilkan pendapatan sebesar $240 milyar pada akhir tahun 2022.” Selain pengumuman rencana tersebut, aliansi ini juga meluncurkan logo dan nama baru.[5]
^Groupe Renaul (2020-03-19). "2019 Universal Registration Document"(PDF). Renault. Diakses tanggal 2020-05-22. Since 2010, the Renault-Nissan-Mitsubishi alliance has sold over 800,000 100%-electric vehiclesSee pp. 24 and 39. Since the launch of the Renault electric program, the Group has sold more than 273,550 electric vehicles worldwide. Since inception, a total of 181,893 Zoe cars, 48,821 Kangoo Z.E. electric vans and 29,118 Twitzy quadricycles have been sold globally through December 2019.
^Ghosn, Carlos (31 March 2010). "Partnerships and alliances" (Siaran pers). Blog.alliance-renault-nissan.com. Diakses tanggal 13 January 2014."Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-12. Diakses tanggal 2022-07-17.
^Tacon, Jo (26 May 2009). "Three's a crowd for GM". Vrl-archives.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 March 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)