Philip Heinrich Christoph Hofman (11 Mei 1876 – 23 April 1919), adalah seorang misionarisBelanda. Ia adalah orang pertama yang melakukan pembaptisan di Poso.[1]
Kehidupan awal
Tempat kelahirannya adalah Gorinchem, dan ayahnya bekerja di pemerintahan militer. Ia tinggal di Den Bosch selama empat tahun dan kemudian pindah ke Breda, tempat di mana ia menempuh pendidikan dasar dan lanjutan, hingga berusia 16 tahun. Kemudian ia bekerja di kantor pertanahan, dan bertemu dengan Inspektur Van de Kasteele—yang menjadi sahabatnya hingga akhir hayatnya. Hofman kemudian pindah ke kantor dagang di Breda, karena memiliki prospek yang lebih baik.[1]
Pada usia 18 tahun, ia bertemu dan menjalin persahabatan dengan seorang petugas Bala Keselamatan. Pada periode ini, Hofman menjadi mudah sakit-sakitan. Seorang pendeta di Breda bernama Beekman, sering mengunjunginya dan tinggal bersamanya. Ketika ia pulih, Gereja juga menjadi tempat di mana ia menemukan penghiburan dan kebangkitan rohani—selain Bala Keselamatan. Saat ia tinggal bersama keluarga Vinke di Princenhage, Hofman mulai menyukai dan tumbuh dalam kehidupan spiritualnya, serta mulai menyatakan niat untuk bekerja dalam bidang spiritual demi orang lain. Di Breda, ia menjadi guru di sebuah sekolah Minggu dan mendirikan sebuah perhimpunan pemuda.[2]
Hofman ingin bergabung dengan Bala Keselamatan, tetapi keinginan ini tidak ditanggapi serius oleh dokter dan keluarganya. Van de Kasteele kemudian menyarankan agar ia menjadi seorang misionaris, tetapi karena Hofman belum terlalu paham tentang Zending, ia menolak usulan tersebut. Di sisi lain, Beekman terus menunjukkan dukungannya dan menyebutkan bahwa Hofman telah berhasil membawa kehidupan spiritual di tengah-tengah keluarganya. Hofman kemudian setuju, mengikuti ujian masuk sementara, dan menjadi murid Sekolah Zending Belanda di Rotterdam pada tanggal 7 Februari 1898, ketika usianya hampir 22 tahun. Ia menetap di sana hingga tahun 1903.[2]
Menjadi misionaris
Pada tahun 1900, Hofman berkenalan dengan seorang partisipan Bala Keselamatan dari Den Haag, Jacoba Maria Stolk, yang resmi menjadi tunangannya setahun berikutnya. Maria juga berkeinginan untuk membantu Hofman dalam melayani Misi, dan begitu ia tahu tugas seperti apa yang akan dijalaninya, ia mulai mempersiapkan diri dengan berlatih bahasa Melayu, mengikuti kursus menyusui dan melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang guru. Saat Hofman mengetahui bahwa dirinya akan ditempatkan di Sulawesi Tengah, ia segera berkirim surat dengan misionaris Albertus Christiaan Kruyt, yang akan menjadi rekannya di sana.[3]
Pada tanggal 8 Juli 1903, keduanya dideportasi. Pada tanggal 7 Agustus, pernikahan mereka diresmikan dan disucikan oleh Gunning dan pada tanggal 2 Oktober mereka berangkat ke Genoa di Italia. Dari sana, mereka menumpang SS Orange dan menuju ke Batavia, tetapi mereka tidak menetap di Jawa untuk waktu yang lama. Mereka menuju ke Minahasa sebelum melanjutkan perjalanan mereka. Di sana, mereka bertemu dengan Nicolaas Adriani beserta istrinya, yang sedang melakukan penelitian linguistik atas perintah dari Pemerintah Hindia Belanda. Hofman dan istrinya mulai betah dan tertarik kepada masyarakat Minahasa, dan ia menggunakan segala kesempatan untuk melihat dan mempelajari kehidupan mereka.[3]
Misi di Poso
Pada tanggal 28 Desember 1903, mereka tiba di Poso.[4] Oleh Kruyt, mereka diajari bahasa lokal, kebiasaan masyarakat dan etnografi, membawa mereka dalam perjalanan bisnis, menikmati pertemuan sosial dengan masyarakat. Pada tahun 1904, Kruyt kembali ke Belanda untuk mengambil cuti.[5] Ketika mereka sudah cukup mengerti bahasa setempat, mereka menghabiskan tiga bulan tinggal di sebuah desa To Pebato, Buyumbayau, untuk memperdalam ilmu bahasa dan menggunakannya dengan orang-orang sekitar.[6]
Saat perang antara To Napu dan Pemerintah Hindia Belanda berlangsung, sebagian besar wilayah Poso diliputi kecemasan akan ancaman serangan dari To Napu. Namun, Hofman dan istrinya tidak begitu khawatir dengan hal ini, mereka bahkan mampu melakukan perjalanan dari satu desa ke desa lainnya. Selama lima bulan, mereka menginap di sebuah rumah kosong milik seorang guru di Tomasa.[7] Saat Kontrolir menanyakan kabar mereka, Hofman meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja, sambil mengatakan bahwa istrinya bahkan sanggup tinggal sendirian di Tomasa. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena Asisten Residen Afdeling Sulawesi Tengah, Arie Jacob Nicolaas Engelenberg, mampu mengontrol keadaan setelah menurunkan pasukan KNIL untuk mengakhiri perang melawan Napu dan melepaskan wilayah Poso dari cengkeraman Kedatuan Luwu dan Kerajaan Sigi.[8]
Pada bulan Januari 1906, beberapa desa dari wilayah selatan Pebato menentang pemerintahan Hindia Belanda. Mereka mulai memperkuat pertahanan, memaksa gubernur sipil dan militer Letnan H. J. Voskuil untuk menyerang mereka. Sebelum itu, Hofman terlebih dahulu ingin mencoba mencegah pertumpahan darah yang tidak perlu ini. Bersama Papa I Wunte, ia pergi ke desa-desa tersebut, memulai pembicaraan dengan para pemimpin dan kepala desa, dan kemudian membujuk mereka untuk melapor kepada Letnan Voskuil untuk menghentikan semua perlawanan. Para kepala desa pada akhirnya mau membayar denda dan semuanya setuju untuk kembali berdamai. Adriani menilai bahwa pendekatan yang masuk akal ini meningkatkan pengaruh Hofman, kemudian menyebutkan bahwa desa-desa di sebelah utara Pebato —yang masih satu suku dengan mereka yang berada di daerah selatan Pebato— tidak bergabung dalam perlawanan tersebut, karena mereka telah berada di bawah pengaruh misi pekabaran Injil yang sudah ada bertahun-tahun.[9]
Reformasi besar-besaran yang dilakukan pemerintah di Poso ikut membawa pengaruh bagi Hofman. Pajak dan layanan masyarakat diperkenalkan. Pemerintah kolonial berniat membangun sekolah agar tidak ada lagi peristiwa pemberontakan seperti yang terjadi sebelumnya. Hofman menyetujui gagasan ini. Ia pindah ke desa yang merupakan hasil dari penyatuan 3 desa oleh pemerintah. Desa baru ini diberi nama Kasiguncu, yang secara harfiah berarti "tempat pertemuan". Jumlah penduduknya mencapai sekitar 1000 jiwa, jumlah yang luar biasa besar untuk sebuah desa Pamona. Desa baru ini tidak memiliki kuil persembahan sebagaimana desa sebelumnya, melainkan sebuah bangunan sekolah yang cukup luas sebagai sarana pendidikan untuk anak-anak. Di sekolah, terdapat 2 orang guru, masing-masing diberikan rumah yang bagus. Pada tahun 1907, pembangunan rumah misi juga dimulai, dan Hofman beserta keluarganya masih bisa terlibat dalam prosesnya.[10] Pada tahun yang sama, keluarga Kruyt kembali ke Poso dan menetap di Kuku. Ini membuat tugas Hofman menjadi sedikit lebih ringan. Pembangunan sekolah bukannya tidak menemui halangan. Di selatan Pebato, seorang kepala desa Banano bernama Ta Rame, menentang rencana pemerintah dan pihak misionaris untuk menggabungkan desa dan membangun sekolah. Di sisi lain, Hofman terus mencari peluang untuk bisa berkomunikasi dengan Ta Rame.[11]
Selama Kruyt absen, Hofman terus menerus bekerja di wilayah yang menjadi tempatnya bertugas. Sesekali, ia menerima permintaan dari Asisten Residen Sulawesi Tengah untuk pergi ke Napu dan Besoa dalam rangka mengawasi sekolah-sekolah di sana. Perjalanan ke sana biasanya menghabiskan waktu sekitar 3 minggu, sehingga Hofman setidaknya hanya pergi dua kali dalam setahun. Ia secara teratur mengunjungi desa-desa di Pebato dan bahkan desa-desa di Lage yang terletak di tepi kanan Sungai Poso, seperti Maliwuko dan Pandiri. Hofman juga sering melakukan perjalanan dari dan menuju ke Poso.[12] Pada waktu yang sama, hubungan mereka dengan Papa i Wunte semakin dekat. Anak-anaknya yang bernama Maseka dan Naka ikut tinggal di rumah Hofman. Pada pemuda-pemudi Pebato pada akhrnya ikut bergabung bersama dan tinggal di rumah tersebut. Anak pertama Hofman dan Maria, Coba, yang lahir pada tahun 1906 dan adiknya Willie, yang lahir pada tahun 1908, sangat dicintai oleh masyarakat sekitar. Apalagi Coba mampu menggunakan bahasa Poso, dan ini membuat semakin banyak orang yang datang mengunjungi rumah Hofman untuk membantunya.[13] Hanya dua dari lima distrik (bekas desa) tempat Kasiguncu berada yang cenderung terpengaruh ke agama Kristen. Tiga desa lainnya, yang belum mendapat pengaruh pekabaran Injil dan pendidikan sekolah pada saat keberadaan mereka sebagai desa, masih mencegah transisi ke agama Kristen. Pada tahun 1907, di saat banyak terjadi musibah serangan penyakit di Kasiguncu, membawa Papa i Wunte dan pengikutnya lebih dekat ke agama Kristen, namun desa-desa lain bersikeras untuk tetap mengadakan festival pengorbanan dalam agama suku mereka.[13]
Pada bulan November tahun 1908, guru dan misionaris Pieter ten Kate datang ke Poso. Ia ditugaskan untuk menjalankan misi pekabaran Injil di Napu, dan sebelum dirinya menuju ke sana, ia tinggal di Kasiguncu bersama keluarga Hofman. Pada bulan Maret 1909, Hofman dan Papa i Wunte menuntun ten Kate ke Napu dan Besoa. Mereka tidak pergi ke Bada yang terletak lebih ke selatan, karena di sana penyakit cacar sedang mewabah. Hofman sebenarnya memiliki tugas untuk melakukan inokulasi kepada masyarakat di Napu dan Besoa, namun orang-orang To Napu menolak, sehingga ia dan ten Kate hanya bisa bekerja di Besoa. Pada bulan April pada tahun yang sama, mereka kembali ke Kasiguncu dan ten Kate tinggal di sana sebelum kembali menuju ke Napu untuk bertugas.[14]
Pembaptisan pertama
Ketika ia menemani Hofman dan ten Kate dalam perjalanan pertamanya ke Napu, Papa i Wunte masih belum memeluk agama Kristen—karena ia belum meninggalkan agama suku ayahnya—namun kunjungannya ke Napu memberinya kesan bahwa ia seperti sudah lebih maju (dalam hal ingin menjadi orang Kristen) daripada orang-orang To Napu itu sendiri. Pada bulan Juni 1909, sejumlah pengikutnya mengucapkan keinginan mereka untuk dibaptis, dan Papa i Wunte tidak keberatan. Pada hari Minggu, tanggal 4 Juli, Hofman berpidato dalam sebuah kesempatan dan mengisahkan tentang Zakheus dan mengatakan kepada kerumunan yang mendengarnya bahwa, "Yesus sendiri ingin tetap tinggal selama mereka masih memberikannya tempat". Sebelum dibubarkan, Papa i Wunte berdiri dan mendesak mereka yang hadir untuk meneladani kata-kata ini. Para kepala keluarga mulai mendiskusikan dengan keluarga mereka, agar semua orang bisa memutuskan apakah mereka akan memeluk Kristen atau sebaliknya. Hofman yang mendengar kata-kata ini, mulai mengatur dan menambah waktu satu jam tambahan untuk pendidikan baptis bagi orang dewasa dan anak-anak. Sekitar 66 orang mendaftar untuk dibaptis pada Hari Natal.[15]
Kembali ke Belanda
Pada pertengahan tahun 1909, ketika Hofman tinggal bersama Kruyt dan Adriani di Tentena selama beberapa hari, tubuhnya kurus dan terkena penyakit batuk parah disertai suara serak. Pekerjaan dan aktivitasnya mulai melambat, ia pernah kembali di tengah-tengah perjalanan bisnisnya dan tidak dapat melakukan sebanyak yang bisa dilakukannya dahulu. Kondisinya semakin memburuk, dan membuktikan bahwa ia sudah tidak dapat bekerja melayani pekabaran Injil lagi. Pada tanggal 25 Desember 1909, Hofman membaptis Papa i Wunte dan semua pengikutnya, dan Kruyt datang jauh-jauh dari Pendolo untuk memberikan pidato upacara baptis yang tidak mungkin dilewatkannya ini. Kejadian ini merupakan peristiwa besar terakhir yang dilakukan Kruyt dan Hofman bersama-sama.[16]
Kepastian tentang masa depan Hofman akhirnya datang. Wewenang dan tugas Hofman terus dikurangi dan pada bulan April 1910, ia dan istrinya harus pergi dan kembali ke Belanda bersama anak-anak mereka. Pada bulan Juni 1910, mereka kembali ke Belanda dan menetap di Ginneken, di sekitar Breda, tempat keluarga besar mereka tinggal. Kedua anak perempuan mereka menempuh pendidikan di sana.[17]