Sebelum menjalani karier sebagai misionaris, ia bekerja sebagai guru di Rotterdam untuk beberapa waktu. Pada tahun 1849, ia dikirim ke Minahasa di Sulawesi Utara oleh Lembaga Misionaris Belanda (Nederlandsch Zendeling Genootschap atau NZG).[1] Ia ditempatkan di Sonder dan mendirikan sebuah sekolah untuk menghasilkan guru pribumi pada tahun 1850, dan pada tahun 1854 dipindahkan ke Tanawangko, yang pada tahun 1878 berada di bawah yurisdiksi Indische Kerk. Dari tahun 1883 hingga 1895, Graafland dipekerjakan oleh pemerintah untuk memeriksa pendidikan pribumi di Ambon dan di Tondano. Setelah menyelesaikan tugasnya, dia menetap di Depok.[1]
Graafland menuangkan pengalamannya dengan menulis buku bacaan dan teks, yang dicetak ulang beberapa kali, dan juga melakukan pembuatan peta Minahasa. Ia adalah penulis dari Wat is waarheid ten aanzien van de zending in de Minahassa (1866); De Minahassa I-II (1867-1869). Ia juga sempat menyunting dan menerbitkan majalah Minahasa bertajuk Tjahaja Sijang.[1]
Pandangan
Islam
Graafland, bersama dengan C. Rogge —pendeta Indische Kerk di Manado— mendukung rencana pembukaan ladang misi baru di Gorontalo dan Poso,[2] sesuai dengan keinginan Asisten Residen Gorontalo, G. W. W. C. Baron van Höevell. Tidak lama setelah ia dipulangkan pada tahun 1888, Graafland membuat sebuah catatan tentang peluang pekerjaan misionaris di Poso dan menyerahkannya ke dewan direksi NZG. Graafland juga merupakan sosok yang berperan dalam meyakinkan Lembaga Alkitab Belanda (Nederlands Bijbelgenootschap) untuk mengirim seseorang ke Poso dalam rangka melakukan penelitian linguistik,[2] sebagai karya pendahuluan yang sangat diperlukan untuk Injil. Graafland menyebut bahwa pembukaan daerah misi di Poso merupakan suatu hal yang diidam-idamkan, karena cepat atau lambat masyarakat Sulawesi Tengah akan jatuh ke tangan Islam, dan hal itu disebutnya sebagai sesuatu yang "tidak bertanggung jawab". Dalam pandangannya, Islam tidak dapat dipandang sebagai persiapan untuk menerima Injil.[3]