Perang dagang Jepang–Korea Selatan 2019 (bahasa Korea: 2019년 한일 무역분쟁, Jepang 日韓経済戦争 Perang Ekonomi Jepang–Korea Selatan[note 1], bahasa Inggris: Japan–South Korea trade dispute of 2019) adalah konflik perdagangan antara Jepang dan Korea Selatan yang disebabkan oleh keputusan Pemerintah Jepang untuk membatasi beberapa ekspor bahan kimia ke Korea Selatan pada 1 Juli 2019. Hal ini dipicu oleh keputusan Mahkamah Agung yang memerintahkan beberapa perusahaan Jepang untuk membayar ganti rugi terhadap korban tenaga kerja paksa Jepang pada Perang Dunia II.[3]
Latar Belakang
Jepang dan Korea Selatan adalah dua ekonomi besar dunia, masing-masing peringkat ke-3 dan ke-11, dalam hal PDB. Korea Selatan, produsen chip memori terbesar di dunia, dan Jepang, pemasok terbesar material penting dalam produksi chip, sejauh ini merupakan negara terpenting dalam melahirkan beberapa produk teknologi seperti smartphone, Televisi dan Komputer pribadi. Keduanya merupakan negara tetangga dan negara sekutu utama Amerika Serikat di Asia Timur.
Jepang dan Korea Selatan mulai menjalin hubungan diplomatik mereka pada bulan Desember 1965 setelah penandatanganan perjanjian normalisasi yang terjadi pada bulan Juni pada tahun yang sama. Kendati mereka memiliki hubungan yang begitu dekat, hubungan antar kedua negara tersebut sempat memburuk karena banyak perselisihan yang melibatkan mereka, seperti Sengketa Karang Liancourt (sengketa mengenai masalah kepemilikan Dokdo, yang dikenal sebagai Takeshima dalam bahasa Jepang), Penolakan pemerintah Jepang untuk meminta maaf kepada Korea atau membayar ganti rugi Perang Dunia II terhadap korban para wanita penghibur Korea, serta banyak sengketa lainnya yang melibatkan kedua negara.
Perlu diketahui Korea Selatan adalah negara dimana Samsung Electronics, LG Electronics dan SK Hynix berasal, perusahaan yang berperan dalam memproduksi dua pertiga dari produksi chip dunia. Di Jepang, ada 3 perusahaan (JSR Corporation, Showa Denko, dan Shin-Etsu Chemical) yang memproduksi 90% dari Fluorinated polyamide dan resist (atau Photoresist) di seluruh dunia, bahan yang pertama digunakan untuk pembuatan layar LCD dan OLED untuk memproduksi televisi, dan yang kedua merupakan bahan baku chip, yang ujung-ujungnya digunakan untuk pembuatan Handphone, dan 70% dari Hidrogen berfluorida, yang digunakan untuk membersihkan chip dalam memproduksi perangkat ponsel sejenis smartphone. Dengan kata lain, Korea Selatan dan Jepang memiliki peran yang cukup penting dalam memproduksi semikonduktor dan layar tampilan untuk kepentingan pembuatan Ponsel, Televisi, dan barang elektronik lainnya.[4]
Korea Selatan sangat memerlukan bahan baku asal Jepang untuk memenuhi kebutuhan produksi semikonduktor dan bahan elektroniknya. Menurut data dari Asosiasi Perdagangan Internasional Korea (KITA, Korea International Trade Association), Korea Selatan mengimpor 94% Fluorinated Polyamide, 91,9% Photoresist, dan 43,9% Hidrogen berfluorida dari Jepang, produsen terbesar ketiga bahan kimia ini pada 5 bulan pertama pada tahun 2019.[5][note 2] Di sisi lain Jepang memiliki ketergantungan ekspor ketiga bahan tersebut terhadap Korea Selatan pada angka di kisaran 22,5%, 11,6%, and 85,9%.[6]
Pada 28 Desember 2015, Jepang dan Korea Selatan sepakat untuk menandatangani perjanjian tentang penyelesaian masalah "wanita penghibur" atau yang biasa disebut Jugun Ianfu selama Perang Dunia II, yang bersifat final dan tidak dapat dibatalkan jika Jepang memenuhi tanggung jawabnya, dimana Pemerintah Jepang sepakat untuk meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada korban wanita penghibur asal Korsel yang dipaksa bekerja di rumah-rumah bordil tentara Jepang saat masa perang sebesar 1 miliar yen ($8.3 juta Dolar atau sekitar Rp. 113 miliar (kurs 1 Dolar per Desember 2015 Rp. 13.800)).[7] Namun kesepakatan ini tidak disambut baik oleh para aktivis dan pegiat Jugun Ianfu karena dianggap belum menjanjikan keadilan bagi ratusan ribu korban lainnya di seluruh Asia.[8] Kemudian Pemerintah Korsel dibawah Presiden Moon Jae-in, pada 21 November 2018, membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak dan menutup yayasan yang didanai Jepang yang dibentuk pada Juli 2016 untuk membiayai penyelesaian perjanjian kontroversial tersebut.[9]
Hubungan diplomatik kedua negara kemudian semakin memburuk pada akhir 2018 setelah Mahkamah Agung Korea Selatan mengeluarkan putusan memerintahkan beberapa perusahaan Jepang, termasuk Mitsubishi Heavy Industries dan Nippon Steel & Sumitomo Metal, untuk memberikan kompensasi ganti rugi kepada keluarga korban asal Korea Selatan yang diperlakukan tidak adil dan dipaksa secara ilegal untuk memasok tenaga kerja untuk kepentingan perang Jepang dalam menghadapi sekutu dalam Perang Dunia II, seperti membangun kapal dan pesawat terbang di sebuah pabrik mesin Mitsubishi di Nagoya pada tahun 1944.
Hal ini kemudian berbuntut pada tanggal 30 November 2018 dimana Pengadilan Tinggi Gwangju memerintahkan Mitsubishi Heavy Industries untuk membayar kompensasi kerja paksa Jepang kepada 28 korban asal Korea Selatan sebesar 100 juta hingga 150 juta won (US$89.000 sampai US$134.000 Dolar).[10] Keputusan tersebut didahului pada 30 Oktober 2018, dimana Perusahaan Jepang bernama Nippon Steel & Sumitomo Metal diperintahkan oleh Mahkamah Agung untuk membayar ganti rugi sebesar 100 juta won ($88.000 Dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 1,3 miliar) (kurs Dolar per Oktober 2018 Rp. 15.000, kurs 1 Won Korsel per Oktober 2018 Rp.13.37).[11] Keputusan ini membuat Pemerintah Jepang meradang, karena mereka mengklaim bahwa masalah itu sudah diselesaikan di bawah perjanjian normalisasi hubungan antara kedua negara pada tahun 1965.[12] Para pengamat mengatakan Keputusan tersebut memiliki dampak yang sangat luas terhadap hubungan diplomatik kedua negara, baik secara politik maupun secara ekonomi karena perusahaan Jepang yang terlibat dalam tuntutan yang sama dapat menghadapi masalah serupa.
Pada 9 Januari 2019 Pengadilan Daegu menyetujui permintaan penggugat yang memerintahkan penyitaan beberapa aset Perusahaan Jepang yang bernama Nippon Steel & Sumitomo Metal yang dimana mereka memiliki 81.075 saham di POSCO-Nippon Steel RHF Joint Venture (PNR), sebuah perusahan patungan dengan POSCO yang merupakan bagian dari 2,34 juta saham Nippon Steel & Sumitomo Metal sebesar 11 miliar won ($9,78 juta atau setara dengan Rp.138 miliar) karena perusahaan tersebut menolak untuk membayar ganti rugi kepada para korban kerja paksa yang dilakukannya pada masa perang.[13] Keputusan Pengadilan Korsel ini kemudian diikuti oleh Keputusan yang sama terhadap Mitsubishi Heavy Industries pada 25 Maret 2019 melalui penyitaan hak paten serta trademark dari perusahaan ini oleh Pengadilan Daejeon.[14] Keputusan itu diprotes oleh Jepang karena mereka menyesalkan keputusan pengadilan negara itu dan mempertimbangkan membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional.
Kronologi
Pada tanggal 1 Juli 2019, Pemerintah Jepang mengumumkan akan memperketat ekspor bahan kimia yang sangat penting bagi industri semikonduktor Korea Selatan, yang berlaku pada 4 Juli 2019. Pengetatan ini memberikan batasan termasuk proses perizinan yang bisa memaksa para eksportir dari Korea Selatan untuk meminta persetujuan otoritas terkait untuk setiap pengiriman bahan baku termasuk bahan-bahan kimia yang sensitif yang membutuhkan waktu hingga 90 hari. Wakil Sekretaris Kabinet Yasutoshi Nishimura telah mengklarifikasi bahwa pembatasan tersebut karena alasan keamanan nasional. Tetapi Korea Selatan menolak dengan tegas pembatasan ini dan mengatakan bahwa pemerintah Jepang melakukan "pembalasan ekonomi" terhadap masalah yang diputuskan oleh Mahkamah Agung Korea Selatan.[15][16]
Dalam Konferensi pers mengenai pengetatan ekspor, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI) memberi alasan kurang dipercayanya sistem kontrol ekspor Korea Selatan, sebagai pembenaran atas tindakan tersebut. Meskipun Kementerian tersebut belum memberikan contoh spesifik,[17] beberapa laporan media, terutama dari media massa Jepang mengklaim bahwa Korea Selatan mungkin telah menyelundupkan bahan kimia dengan jumlah yang terbatas ke Uni Emirat Arab, Iran, atau Korea Utara yang pada hakikatnya bahan-bahan tersebut digunakan untuk pembuatan Senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya. Korea Selatan dengan tegas membantah laporan tersebut.[18][19]
Pada tanggal 10 Juli, beredar laporan dari stasiun televisi Jepang, Fuji TV dan salah satu surat kabar Sankei Shimbun bahwa Korea Selatan telah menemukan 156 bahan strategis yang berpotensi memiliki senjata yang secara diam-diam diekspor dalam kurun waktu 4 tahun dari 2015 hingga 2019 untuk membuat bahan-bahan seperti racun VX, yang digunakan untuk membunuh Kim Jong-nam, saudara laki-laki Pemimpin Korut Kim Jong-un. serta bahan-bahan strategis lainnya yang diselundupkan secara ilegal ke negara lain.[20] Seorang anggota parlemen dari Partai Bareunmirae Ha tae-kyung membantah tuduhan dari media Jepang dan dia menyatakan bahwa Jepang mengungkap dugaan penyelundupan barang-barang strategis oleh perusahaan-perusahaan Jepang ke Korea Utara, mengutip data dari Pusat Informasi Pengendalian Keamanan Perdagangan (CISTEC), sebuah organisasi non-pemerintah yang melacak data mengenai kontrol ekspor dan impor.[21]
Kemudian Korea Selatan melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan, berencana melapor ke WTO untuk meminta pembatalan kebijakan ekspor Jepang pada saat pertemuan dewan Organisasi yang mengurusi soal urusan perdagangan dunia tersebut pada tanggal 8−9 Juli 2019.[22]
Jepang dan Korea Selatan membawa kasus seputar pembatasan ekspor yang dilakukan Jepang ke Markas WTO di Jenewa pada 24 Juli dimana Jepang mengirim direktur-Jenderal urusan Ekonomi Kementerian Luar Negeri Shingo Yamagami dan Korea Selatan mengirim satu perwakilannya yaitu wakil Menteri Perdagangan Kim Seung-ho.[23]
Pada tanggal 2 Agustus, Jepang membuat keputusan untuk menghapus Korea Selatan dari apa yang disebut sebagai "daftar putih", sebuah daftar yang mencakup negara-negara yang mendapat perlakuan khusus dalam perdagangan.[24] Keputusan ini kemudian dituangkan secara resmi di situs publikasi pemerintah Jepang, KAMPO pada 7 Agustus.[25] Jepang membantah hal tersebut merusak hubungan diplomatik dengan Korea Selatan, tetapi bisa dilihat oleh Korsel memiliki implikasi yang sangat besar bagi ekonominya yang sedang berjuang. Keputusan ini berlaku pada tanggal 28 Agustus 2019, 21 hari setelah dipublikasikan secara resmi di situs publikasi resmi Jepang.[26] Akibatnya, Pemerintah Korea Selatan, melalui Menteri Luar Negeri Korea Selatan Cho Se-young memanggil Duta Besar Jepang Yasumasa Nagamine untuk memprotes keputusan itu.[27][28]
Pada 12 Agustus, Korea Selatan mengumumkan mengeluarkan Jepang dari daftar mitra negara terfavorit yang memiliki pelakuan khusus dalam hal perdagangan. Korea Selatan beralasan bahwa tindakan ini dianggap sebagai balasan atas tindakan Pemerintah Jepang dalam hal serupa.[29] Menteri Perindustrian Korsel Sung Yun-mo mengatakan Jepang akan masuk dalam daftar yang baru dibuat untuk negara-negara yang belum menjalankan sistem kontrol ekspor. Artinya, Jepang perlu menerapkan prinsip-prinsip dagang internasional. Keputusan pemerintah Korsel ini berlaku pada 18 September 2019[30][31] setelah pemerintah selesai mengumpulkan berbagai opini dari masyarakat melalui situs web pemerintah dan email dari 14 Agustus hingga 3 September yang 91% pendapatnya mendukung revisi soal pengendalian ekspor.[32] Pejabat Kementerian Perdagangan Korsel Lee Ho-hyeon, menegaskan bahwa langkah ini akan mempengaruhi 100 perusahaan yang mengekspor bahan baku penting ke Jepang seperti alat komunikasi dan bahan baku semikonduktor.[33]
Kementerian Perdagangan Korea Selatan melaporkan keluhan atas kontrol ekspor Jepang yang lebih ketat kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 11 September. Korsel menuduh langkah Jepang "bermotivasi politik."[34] Menteri Perdagangan Jepang yang baru Ishuu Sugawara menyetujui pembicaraan dengan Korsel dalam Konferensi Pers tanggal 20 September.[35]
Pada 11 Oktober, perwakilan dari kedua negara mengadakan pertemuan bilateral tahap pertama sebagai tahapan dalam penyelesaian perselisihan dagang antar-negara dalam aturan WTO yang berpusat di Jenewa, Swiss.[36]
Pada 19 November, putaran kedua perundingan bilateral antar kedua negara berlangsung. dimana negosiasi kedua negara berlangsung selama 6 jam.[37] Namun pembicaraan ini gagal menyelesaikan sengketa perdagangan antara kedua negara.[38][39]
Reaksi
Pemerintah
Sebagai akibat dari Keputusan Pemerintah Jepang yang membatasi ekspor ke Korea Selatan, Pemerintah Korea Selatan memanggil dubes Jepang untuk Seoul sebagai penolakan atas pemberlakuan kebijakan ekspor Jepang. Kementerian Luar Negeri juga menanggap tindakan tersebut sebagai hal yang tidak bisa diterima.[40]
Presiden Korsel Moon Jae-in, dalam pertemuan darurat kabinet merespons keputusan dikeluarkan negara tersebut dari daftar mitra ekspor terpercaya oleh Jepang pada 2 Agustus, memberikan pernyataan tegas kepada Jepang bahwa negara mereka tidak akan dikalahkan lagi oleh Jepang dan bersumpah akan mengambil tindakan tegas terhadap keputusan tersebut.[41]
Untuk mengurangi ketergantungan pada Jepang, Pemerintah Korea Selatan mengelontorkan dana sebesar 7,8 triliun won ($6,48 miliar atau setara dengan Rp. 92,5 triliun) selama tujuh tahun kedepan yang digunakan untuk mengembangkan teknologi pada bahan-bahan industri dan bagian-bagiannya. Kebijakan tersebut dibarengi dengan upaya mengurangi peraturan tenaga kerja dan lingkungan, sehingga perusahaan lokal dapat meningkatkan produksi mereka.[42] Korsel juga menginvestasikan dana sebesar 5 triliun won ($4,12 miliar atau setara dengan Rp. 58,6 triliun) selama tiga tahun kedepan (2020-2022) untuk menstabilkan rantai pasokan yang terkena dampak ekonomi dari kebijakan pembatasan ekspor oleh Jepang.[43][44]
Dua badan legislatif lokal, Dewan Metropolitan Seoul dan Dewan Metropolitan Busan pada 6 September, mengeluarkan peraturan yang tidak mengikat dengan menyatakan 284 perusahaan Jepang sebagai "perusahaan penjahat perang" untuk mengecam dugaan penggunaan pekerja paksa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ini. Di bawah peraturan tersebut, perusahaan-perusahaan Jepang ini akan diberikan “tanda pengenal” dimana walikota dan pejabat publik lainnya diminta untuk tidak membeli produk dari perusahaan tersebut di masa mendatang.[45][46]
Masyarakat
Masyarakat Korsel, merasa tidak terima akan keputusan Pemerintah Jepang, mengadakan aksi unjuk rasa di depan kedubes Jepang di Seoul pada 5 Juli, menyerukan memboikot produk dan jasa Jepang.[47]
Kemudian rakyat Korsel mengadakan aksi menyalakan lilin sebagai bentuk protes atas keputusan Pemerintah Jepang pada bulan Juli dan Agustus, terutama pada tangga 15 Agustus, pada peringatan 74 tahun merdekanya Korea dari jajahan Jepang, dimana hampir 30.000 orang terlibat unjuk rasa yang berpusat di tiga tempat itu, yaitu di Lapangan Gwanghwamun, Kedubes Jepang, dan Kantor Pusat The Chosun Ilbo.
Pada 19 Juli dan 2 Agustus terjadi aksi bakar diri yang dilakukan oleh dua pria Korsel yang terjadi di depan bekas Kedubes Jepang, yang pertama dilakukan oleh seseorang yang berusia 78 tahun dan tewas ditempat kejadian,[48][49] dan yang kedua dilakukan oleh kakek yang berusia 72 tahun yang saat itu tengah dalam kondisi kritis.[50]
Polisi yang berada di lokasi kejadian menemukan sebuah tas yang kemungkinan milik pria tersebut. Usai diperiksa, isi tas itu ada memo dan selebaran yang mengkritik Jepang atas keputusannya untuk memperketat kendali atas ekspor teknologi tinggi ke Korea Selatan. Pada selebaran itu juga ada sumpah untuk melawan Tokyo sampai Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meminta maaf. Selain itu, polisi juga menemukan sebuah buku almarhum Kim Bok-dong, yang merupakan salah satu korban perbudakan seksual militer Jepang selama Perang Dunia II.[51]
Pada 22 Juli, terjadi insiden dimana 7 orang menerobos Konsulat Jenderal Jepang di Busan. Mereka menyerukan Jepang harus meminta maaf dan memegang plakat yang mengkritik keputusan Jepang dan menempelkannya di depan konsulat jenderal negara itu. Ketujuh orang itu ditahan polisi atas kejadian ini.[52]
Dampak
Terhadap Korea Selatan
Keputusan Jepang yang memberlakukan pengetatan ekspor ke negaranya secara langsung memiliki dampak negatif terhadap perekonomian Korea Selatan, dimana negaranya sangat bergantung pada ekspor. Bahkan ekspor Korea Selatan pada bulan Juli 2019 anjlok 11% secara tahunan.[53]
Bank Sentral Korea Selatan, Bank of Korea kemudian secara tidak terduga melakukan pemangkasan suku bunga acuannya dari 1,75% menjadi 1,5% pada 18 Juli 2019.[54] Bank of Korea juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya menjadi 2,2% dari sebelumnya 2,5%.[55]
Masakapai yang berasal dari Korea Selatan, melihat dari adanya penurunan jumlah penumpang akibat aksi boikot produk Jepang, memutuskan untuk mengurangi dan bahkan menangguhkan penerbangan dari Korea Selatan ke beberapa kota di Jepang. Sebagai contoh, maskapai terbesar di negaranya Korean Air memutuskan untuk menghentikan penerbangan dari Busan ke Sapporo mulai 3 September 2019. Maskapai berbiaya murah, T'way Air akan menghentikan penerbangan regulernya dari Korea Selatan ke 3 bandara di Pulau Kyushu.[56] Anak Perusahaan dari Korean Air, Jin Air, juga mengurangi penerbangan ke Jepang sebanyak 40 persen mulai 26 Oktober. Dengan demikian, maskapai ini hanya mengoperasikan rute ke Jepang sebanyak 78 kali penerbangan dari sebelumnya 131 kali penerbangan.[57]
Sebagai akibat dari konflik perdagangan dengan Jepang, Indeks sentimen konsumen Korea Selatan jatuh ke level terendah dalam lebih dari 2 setengah tahun sejak Januari 2017, sebulan setelah Presiden pada saat itu Park Geun-hye dimakzulkan oleh parlemen. Menurut Bank of Korea pada 27 Agustus, indeks sentimen konsumen bulanan turun menjadi 92,5 pada Agustus dari 95,9 bulan sebelumnya. Angka di bawah 100 berarti ada lebih banyak tanggapan yang pesimistis ketimbang optimistis.[58]
Terhadap Jepang
Perusahaan Jepang sangat terpukul akibat kebijakan pembatasan ekspor yang kemudian dibalas oleh boikot masyarakat Korsel terhadap produk Jepang, hal ini bisa dilihat dari penjualan beberapa perusahaan Jepang yang rontok akibat hal itu.
Dalam industri otomotif, Penjualan mobil Jepang di Korea Selatan rata-rata menyusut pada bulan Juli. berdasarkan data Asosiasi Pemasok dan Distributor Otomotif Korea (KAIDA) menunjukkan bahwa penjualan Toyota turun 32%, sedangkan Penjualan Mobil Honda turun 34%. Kemudian Penjualan mobil Lexus, yang merupakan merek impor terbesar ketiga di Korea Selatan setelah Mercedes dan BMW juga mengalami penurunan penjualan sebanyak 25% dari bulan sebelumnya meski masih naik 33% dari tahun sebelumnya.[59] Honda dan Toyota enggan berkomentar atas hal ini.[60] Tetapi perusahaan otomotif Jepang khawatir bahwa penurunan ini masih berlanjut di bulan Agustus.
Uniqlo, yang memiliki 190 toko yang ada di Korea Selatan, melaporkan bahwa penjualan produk-produk di negaranya menurun tajam setelah adanya aksi pemboikotan oleh Masyarakat Korea Selatan. Namun pemilik Uniqlo, Fast Retailing menolak untuk menyebut besaran nilainya.[61]
Perang dagang antar kedua negara juga berpengaruh pada jasa penerbangan antar-negara. Hal ini terlihat dari Jumlah penumpang yang berada di Bandara Internasional Narita yang berada di luar pusat kota Tokyo. Jumlah warga Korea Selatan yang tiba di Bandara Narita, Jepang, turun drastis. Sebagaimana dikutip oleh NHK, jumlah penumpang dari Korea Selatan hanya 12.000 orang atau turun 35 persen dari jumlah penumpang tahun 2019. Sebaliknya, penumpang yang pergi dari Bandara Narita ke Seoul bertambah sebanyak 4,3 persen dari tahun sebelumnya (2018), menjadi 58.000 orang.[62]
Pembatalan GSOMIA oleh Korea Selatan
Pemerintah Korea Selatan, melalui Dewan Keamanan Nasional Istana Biru (Cheong Wa Dae atau Rumah Biru), memutuskan membatalkan pakta kesepakatan kerjasama berbagi intelijen dengan Jepang pada 22 Agustus dan akan memberitahukan soal pembatalan kerjasama ini 90 hari kepada Jepang. Kesepakatan tersebut dinamakan GSOMIA (General Security of Military Information Agreement/Perjanjian Informasi Militer Keamanan Umum) sebuah perjanjian yang memfasilitasi pembagian informasi tentang ancaman nuklir dan rudal Korea Utara.[63] Perjanjian itu ditandatangani oleh kedua negara pada 23 November 2016 dan otomatis diperpanjang jika tidak ada siapapun pihak yang ingin membatalkan perjanjian itu. Kim You-geun, Wakil Direktur Dewan Keamanan Nasional mengatakan bahwa Jepang telah melakukan 'perubahan besar' dalam lingkungan kerja sama keamanan bilateral sebagai akibat dari keputusan Jepang yang melakukan pengetatan ekspor.[64] Pejabat tersebut menyatakan melanjutkan kesepakatan kerja sama ini, yang diteken untuk memfasilitasi pertukaran informasi sensitif militer antara kedua negara, tidak lagi sejalan dengan kepentingan nasional kami.[65] Akan tetapi, GSOMIA masih tetap berlaku sampai bulan November
Mendengar keputusan Pemerintah Korsel itu, Pemerintah Jepang memprotes keras pernyataan tersebut. Perdana Menteri Shinzo Abe menyanyangkan keputusan sepihak Korsel dan seharusnya menurut dia keputusan tersebut tidak boleh terjadi.[66]
Sedangkan Pemerintah Amerika Serikat mengaku kecewa berat atas keputusan ini. Juru bicara Pentagon Letnan Kolonel Dave Eastburn mengatakan bahwa AS telah menyatakan "keprihatinan dan kekecewaan yang kuat" atas keputusan Korea Selatan untuk mengakhiri pakta intelijen dengan Jepang. Dia menambahkan bahwa berbagi data intelijen sangat penting untuk kerja sama pertahanan di wilayah tersebut. AS, Korsel dan Jepang lebih kuat dan lebih aman ketika ketiga negara bekerja bersama.[67]
^Istilah ini kendati juga digunakan di beberapa media massa Jepang,[1][2] istilah seperti ini lebih banyak digunakan di Mayoritas media massa asal Korea Selatan dan juga CNN, media massa Amerika Serikat.
^Menurut data KITA dari Januari sampai Mei 2019, Korea Selatan mengimpor 93,7% Fluorinated Polymide, 91,9% Photoresist, dan 43,7% Hidrogen Berfluorida dari Jepang. Presentasi Impor dari Jepang untuk ketiga bahan ini menurun dari tahun 2010 dimana Korsel mengimpor ketiga bahan yang sama dengan presentase 97,7%, 95,5% dan 72,2%. Khusus untuk kedua bahan seperti Photoresist dan Fluorinated Polymide ketergantungan terhadap Jepang masih sangat tinggi
^"大韓民国向け輸出管理の運用の見直しについてWTO協定に基づく二国間協議を実施しました" [Jepang Mengadakan Konsultasi dengan Pemerintah Republik Korea di bawah Perjanjian WTO Mengenai Pembaruan Kebijakan Lisensi Jepang dan Prosedur Ekspor ke ROK] (dalam bahasa Jepang). Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (Jepang). 19 November 2019. Diakses tanggal 22 November 2019.