Film ini berhasil dinominasikan di 3 kategori dalam FFI 2011 dan berhasil memenangkan Piala Citra di kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Mathias Muchus). Penghargaan tersebut menjadi Piala Citra kedua Mathias Muchus setelah penghargaan pertamanya di tahun 1988.
Sinopsis
Di sebuah kampung di daerah Lahat, Sumatera Selatan, tinggal seorang remaja bernama Dapunta (18) yang sebentar lagi akan lulus SMA dan harus menentukan ke mana masa depannya harus melangkah.
Ibu Dapunta (Bunda), sebenarnya sangat ingin agar Dapunta yang cerdas, melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah, tetapi masalahnya sang Ayah menentangnya. Ayahnya itu lebih menginginkan Dapunta yang dikenal sebagai pengejar angin, julukan bagi pelari tercepat di kampung itu, untuk melanjutkan jejaknya sebagai pemimpin dari para Bajing Loncat di Kampung mereka.
Sampai suatu hari, Dapunta memberanikan diri untuk mengatakan kepada ayahnya bahwa ia mempunyai mimpi. Dan untuk itu, ia harus sekolah. Ia harus kuliah. Dengan cara apapun..
Dibantu oleh Nyimas, cinta pertamanya, Pak Damar, seorang guru muda berbakat yang melihat potensi yang tak terbatas dari Dapunta, dan juga Husni sahabatnya, Dapunta pun mulai mengejar mimpinya. Sayangnya itu semua tidak mudah. Selain kenyataan bahwa ia adalah anak seorang bajing loncat yang kemudian membuat ia dibenci oleh teman sekolahnya, ia pun juga harus berhadapan dengan Jusuf, rival sejatinya.
Jusuf yang juga sama cerdas dan berbakat dengan Dapunta, sejak awal memang sudah membenci Dapunta. Ia tidak menyukai kenyataan bahwa ada orang lain di sekolah itu yang mampu menandingi kecerdasannya. Ia pun dengan sekuat tenaga mencoba untuk membuat hidup Dapunta menjadi sulit. Belum lagi, kepala sekolah yang tidak simpatik dan tidak peduli dengan potensi murid-muridnya, ikut membuat mimpi Dapunta semakin penuh dengan rintangan.
Namun Dapunta tidak menyerah. Apalagi ketika Pelatih Ferdy, teman lama Pak Damar yang juga seorang pelatih lari nasional dari Jakarta melihat bakat Dapunta yang sesungguhnya. Pemuda berjuluk “pengejar angin” ini pun akhirnya menemukan jalan lain menuju mimpinya. Ia bisa berlari, berlari dan berlari demi menggapai mimpinya.[2]
Keputusan Hanung Bramantyo untuk terlibat dalam produksi film ini sempat mendapatkan perlakuan buruk dari beberapa pihak. Hal tersebut dikarenakan anggaran pembuatan film menggunakan anggara Pemprov Sumatera Selatan. Dengan bujet sebesar Rp 7 miliar dari pemprov, Hanung bersama tim produksinya ingin membuktikan jika 'Pengejar Angin' bukan sekadar film promosi. Di film ini, ia memiliki misi untuk mengangkat persoalan kebijakan sekolah gratis, rumah sakit gratis, pembangunan, dan persiapan Sea Games 2011 di Sumsel. Akibat permintaan tersebut, skenario film sampai diubah sebanyak dua kali.[1]
Menurut Hanung, 80 persen pemain dalam film tersebut merupakan pemain asli Sumatera Selatan. Ia juga memakai beberapa bintang remaja yang terbilang masih baru di dunia akting. Ia memiliki niat untuk mengembangkan pendidikan entertainment di luar Jakarta.[1]
Hanung tak terjun langsung di lapangan sebagai sutradara. Pekerjaan tersebut ia serahkan kepada 'anak didiknya' dari Dapur Film, Hestu Saputra. Film ini sendiri menjadi film panjang pertama dari Hestu Saputra di bangku sutradara. Berangkat dari opini positif dan sinisme, film yang dikerjakan olehnya ini berhasil membungkus propaganda tanpa melupakan elemen-elemen film.[3]
Penayangan
Film Pengejar Angin tayang di bioskop Indonesia pada 3 November 2011.
Hanung juga berinisiatif untuk menggelar layar tancap untuk daerah-daerah yang tak ada bioskop seperti Brebes dan Blora. Menurutnya, respons penonton bioskop untuk film tersebut dirasakan kurang bagus karena ia tidak memiliki bujet promosi. Namun penonton di daerah sangat antusias menyaksikan film itu.[4]