Gending Sriwijaya adalah film bergenre drama dan laga kolosal dari Indonesia yang dirilis pada 2013 yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan merupakan proyek kedua sutradara ini bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Proyek sebelumnya adalah film Pengejar Angin.[1] Film ini diinspirasikan dari lagu dan tarian tradisional kebudayaan Palembang, Sumatera Selatan dan penggarapan direncakan akan dilakukan kolosal, tetapi dipertimbangkan untuk semi kolosal terkait kesulitan situs Sriwijaya banyak yang tidak bersisa yang mengakibatkan film berisiko tidak otentik.[1]
Film ini digarap dengan komposisi pemain film Sumatera Selatan 80 persen dan 20 persen artis dari Jakarta karena menurut Hanung warga Sumatra sudah sangat ekspresif dan alami dalam berakting.[1] Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengakui bahwa istana Kerajaan Sriwijaya yang banyak menggunakan bahan kayu sudah lapuk.[1]
Salah satu pemainnya Julia Perez banyak melakukan akting laga tanpa menggunakan pemain pengganti.[2]
Sinopsis
Nusantara pada abad 16, tiga abad setelah keruntuhan Sriwijaya, muncul kerajaan-kerajaan kecil yang saling berebut kekuasaan. Kedatuan Bukit Jerai, adalah kerajaan kecil yang dipimpin oleh Dapunta Hyang Mahawangsa dengan permaisurinya Ratu Kalimanyang. Mereka memiliki dua putera, Awang Kencana dan Purnama Kelana. Dapunta Hyang sudah memasuki usia tua dan saatnya untuk menyerahkan kepemimpinannya kepada putera mahkotanya, Awang Kencana. Namun di luar adat kebiasaan, Dapunta justru memilih Purnama Kelana sebagai penggantinya.
Awang Kencana secara diam-diam mengetahui rencana itu dan sangat kecewa dengan keputusan ayahnya. Awang kemudian menjebak Purnama, menfitnah Purnama telah membunuh Dapunta Mahawangsa. Purnama kemudian di tangkap oleh Awang dan dijebloskan kepenjara. Dengan dibantu oleh para tabib dan sahabat-sahabatnya, Purnama berhasil dibebaskan dan dihindarkan dari hukuman mati. Kelompok pasukan yang dipimpin oleh Awang kemudian mengetahui rencana itu, mereka mengejar Purnama sampai pelosok hutan, Purnama terdesak di lereng tebing, Purnama jatuh di jurang yang tinggi, tercebur di sungai dan terbawa arus yang deras. Pasukan Awang tak mampu mengejar dan mengira Purnama telah tewas.
Setelah meninggalnya Dapunta Hyang Mahawangsa, seratus hari kemudian, Awang dinobatkan sebagai raja di Kedatuan Bukit Jerai. Awang memerintahkan untuk membasmi kelompok perampok Ki Goblek. Mata-mata Awang Kencana berhasil mengetahui markas kelompok Ki Goblek. Dengan kekuatan penuh, pasukan Awang Kencana mengepung Ki Goblek yang bermarkas di sebuah gua di tengah hutan. Kelompok perampok berhasil ditumpas, Ki Goblek tewas. Hanya tertinggal Purnama dan Malini dan 8 orang perempuan penenun songket, yang adalah janda para perampok yang tewas. Malini yang kehilangan kedua orang tua dan juga adiknya tak luput menjadi korban. Malini menyimpan dendam. Purnama yang mengetahui ini semua adalah perbuatan kakaknya, makin meradang. Ia harus menghentikan kelakuan kakaknya, menuntut balas kematian ayahnya, sekaligus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.[3]
Referensi
|
---|
Film | |
---|
Film pendek | |
---|
Film televisi | |
---|
Film yang diproduseri | |
---|