Bumi Manusia (film)
Bumi Manusia (secara internasional The Earth of Mankind) adalah sebuah film biografi sejarah epos Indonesia tahun 2019 yang disutradarai Hanung Bramantyo dan ditulis Salman Aristo. Film ini dialihwahanakan dari novel berjudul sama karya Pramoedya Ananta Toer. Film ini dibintangi Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, dan Sha Ine Febriyanti. Film ini menceritakan kegamangan Minke antara kemajuan Eropa dan perjuangan membela tanah airnya serta hubungannya dengan Annelies. Proses produksi Bumi Manusia bermula ketika Falcon Pictures mendapatkan hak alih wahana novel Bumi Manusia dan Perburuan pada 2014. Penggarapan dimulai ketika Anggy Umbara ditunjuk menjadi sutradara pada 2015, tetapi tidak kunjung terlaksana. Kursi sutradara berganti kepada Hanung dua tahun kemudian, dengan Salman sebagai penulis. Para pemain film mulai terungkap ketika Sha dipilih memerankan Ontosoroh pada Mei 2018, yang disebutnya sebagai keterlibatan pertamanya dalam industri komersial. Iqbaal, Mawar, Ayu Laksmi, dan Donny Damara terpilih memerankan Minke, Annelies, ibu Minke, dan ayah Minke beberapa hari kemudian, disusul pemeran lainnya di kemudian hari. Pemilihan pemeran ini mendapatkan tanggapan yang biasa saja, kecuali Iqbaal yang memantik pelbagai tanggapan dari warganet. Pemilihan Iqbaal ini juga mementahkan persyaratan awal yang ditetapkan, karena tidak berhasil mendapatkan aktor yang tepat di kemudian hari. Pengambilan gambar dilakukan pada akhir Juli hingga Agustus 2018 di Studio Gamplong, Yogyakarta; Semarang, Jawa Tengah; dan Belanda. Rumah Ontosoroh yang dibangun untuk produksi film dijadikan museum pada tahun berikutnya. Dalam proses produksi film, Hanung sempat melakukan kekerasan fisik terhadap Iqbaal dan Annelies, walau mereka menganggap tindakan itu lebih kepada pendalaman peran alih-alih hanya kekerasan fisik. Film ini menghabiskan biaya sekitar Rp30 miliar. Bumi Manusia ditayangkan pada 15 Agustus 2019 bersamaan dengan Perburuan, setelah penayangan perdana pada 9 Agustus 2019 di Surabaya, Jawa Timur. Film ini sempat menguasai perolehan jumlah penonton terbanyak selama dua minggu berturut-turut sebelum digantikan Gundala. Film ini menjaring 1.316.583 penonton dengan perkiraan pendapatan kotor sekitar Rp52,7 miliar. Film ini mendapatkan sambutan positif dari kalangan pejabat politik dan masyarakat serta ulasan beragam dari kalangan pengulas film. Film ini dinominasikan di dua belas kategori Festival Film Indonesia 2019. Direncanakan film ini akan menjadi film pertama dari trilogi. AlurPada suatu hari di Surabaya, Minke (Iqbaal Ramadhan), seorang pribumi, diajak Robert Suurhof (Jerome Kurnia) melawat ke rumah keluarga Mellema, Boerderij Buitenzorg di Wonokromo. Kedatangan Minke disambut dengan penuh kecurigaan oleh Robert Mellema (Giorgino Abraham) yang justru menyambut Suurhof dengan penuh keakraban, tetapi sebaliknya dengan adiknya Annelies Mellema (Mawar de Jongh) serta ibunya Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) yang menerima Minke dengan gembira. Minke mulai menjalin hubungan mesra dengan Annelies dan Ontosoroh, walau Annelies sempat merasa belum terbiasa dengan Minke. Saat makan malam, ayah Annelies Herman Mellema (Peter Sterk) pulang kerumah dan ketika ia melihat Minke bersama putrinya, ia menjadi marah dan menyebut Minke sebagai "monyet", sebuah ucapan yang sangat menghina bagi pribumi. Keributan itu diakhiri dengan Ontosoroh yang menyuruh Herman masuk ke dalam kamarnya. Keesokan harinya, Minke yang saat itu bersekolah di Hogereburgerschool (HBS) berkhayal Ontosoroh menghampirinya ketika Magda Peters (Angelica Reitsma) menerangkan pelajaran, sehingga Magda menyadarkan Minke yang diikuti dengan tertawaan kawan-kawannya, termasuk Suurhof. Sepulang sekolah, Minke menghampiri kawannya berkebangsaan Prancis bernama Jean Marais (Hans de Kraker) yang melukis dan anaknya May Marais (Ciara Nadine Brosnan). Keesokan harinya, Annelies menceritakan kehidupan ibunya, Sanikem, yang kemudian mengganti namanya menjadi Ontosoroh yang dijual oleh ayahnya dan menjadi wanita simpanan Herman Mellema. Minke terilhami dan menulis artikel di koran Surabaya dengan nama samaran Max Tollenaar. Malam harinya, Minke tiba-tiba ditangkap polisi karena tulisannya tempo hari yang lalu. Minke akhirnya kembali ke rumah dan disambut dengan kemarahan ayahnya karena berhubungan dengan Annelies; hubungan itu dinilai ayahnya meninggalkan budaya dan tradisi Jawa. Pada saat yang sama di Wonokromo, Ontosoroh menenangkan Annelies yang menangisi kepergian Minke, tetapi Annelies langsung pergi meninggalkan Ontosoroh. Minke mulai dihadapkan dengan perkara yang sudah lama mengganggu hatinya, yang tak lain antara jurang pemisah antara kaum yang "terperintah" (bumiputra) dan "memerintah" (Eropa), serta hubungannya dengan Annelies. Keesokan harinya, ayah Minke diangkat menjadi bupati. Beberapa hari kemudian, Minke meninggalkan ayahnya ke rumah Annelies dan merasa dibuntuti Gendut Sipit di kereta api yang ditumpangi. Di sekolah, identitas Minke sebagai akan Max Tollenaar dibocorkan oleh Suurhof, yang kemudian berujung dengan sebuah perkelahian. Annelies yang berkeliling pertanian tiba-tiba pingsan, sehingga Annelies dirawat Martinet. Minke tidur sekamar dan bersetubuh dengan Annelies. Keesokan harinya, Minke mengaku kepada Martinet bahwa Minke bukanlah orang pertama yang menyetubuhi Annelies karena sebelumnya Robert pernah memperkosa Annelies. Ketika berangkat ke sekolah, Minke tiba-tiba meminta Darsam kembali ke rumah Annelies dan memutuskan menghabiskan waktu bersama Annelies di sana. Suatu hari, Gendut Sipit (Edward Suhadi) didapati penjaga rumah Annelies sedang memata-matai rumah itu, sehingga memancing Darsam, Minke, dan Annelies mengejarnya hingga rumah pelacuran. Di sana, Darsam menemukan Herman yang tewas karena keracunan dan maiko melarikan diri. Pada akhirnya, Minke harus mengikhlaskan keberangkatan Annelies ke Belanda yang disebabkan karena pernikahan Ontosoroh dan Herman diputuskan tidak sah oleh hakim pengadilan, sehingga Annelies harus diserahkan kepada walinya di Belanda. Beberapa hari kemudian, Minke yang membawa buku berdiri di depan tebing pantai, diiringi dengan senandika dari Minke. Pemeran
Angga Okta Rahman (cucu Pramoedya) juga terlibat sebagai kameo.[1] ProduksiPengembangan dan penulisan naskahPada 2014, Falcon Pictures membeli hak alih wahana untuk novel Bumi Manusia bersamaan dengan karya Pramoedya Ananta Toer lainnya Perburuan.[2] Falcon kemudian menunjuk Anggy Umbara sebagai sutradara film ini pada tahun yang sama. Proyek yang digarapnya masih dalam tahap awal pengembangan, sehingga jadwal produksi berikut aktor dan aktris yang terlibat belum ditentukan.[3] Jujur Prananto mengaku sempat menerima panggilan dari Anggy untuk terlibat dalam produksi film, tetapi akhirnya tidak jadi. Namun, proyek yang digarap Anggy surut di pertengahan jalan.[4] Pada Februari 2017, Hanung mengunggah sebuah gambar di status Instagram yang menampilkan novel ini, yang menyiratkan dirinya akan menyutradarai film ini.[5] Pada Oktober 2017, Bumi Manusia dipastikan disutradarai dan ditulis Hanung Bramantyo serta Salman Aristo yang juga menulis naskah untuk film ini.[6] Hanung sendiri mengaku karakter Minke sama seperti dirinya yang berketurunan campuran Jawa-Tionghoa.[7] Hanung menyatakan kesempatan menyutradarai film yang dialih wahana dari novel yang digemarinya adalah mimpi yang menjadi kenyataan;[8] adik Pramoedya, Soesilo, menganggap Hanung berani mengambil langkah menyutradarai film ini.[9] Hanung pernah membaca novel itu semasa menjalani pendidikan di sekolah menengah atas, kemudian membaca lagi ketika berkuliah;[8] bahkan sempat tercetus ide untuk membuat film pendek mengenai Sanikem sebagai keperluan ujian tengah akhir semasa berkuliah. Hanung juga sempat membuat catatan-catatan atas setiap karakter seolah-olah hendak mengalih wahana novel itu.[7] Hanung menambahkan bahwa baginya kesempatan ini bukanlah semata pekerjaan, melainkan ibadah.[10] Ketika berusia 17 tahun, Hanung harus membaca novel itu secara sembunyi-sembunyi karena takut ditangkap polisi.[11] Hanung sendiri mengutarakan langsung keinginannya semasa melawat ke rumah Pramoedya, tetapi Pramoedya menolak keinginannya. Peluang itu datang kembali ketika Hanung baru saja merampungkan produksi film Ayat-ayat Cinta (2008), tetapi hilang begitu saja. Kesempatan itu datang sekali lagi ketika seorang kawannya yang tidak disebutkan namanya menawarkan novel Bumi Manusia untuk difilmkan. Hanung mengaku langsung bersujud syukur dan menghubungi kawannya, Salman Aristo, saat itu juga untuk menawarkannya sebagai penulis skenario, tetapi Salman menolak karena merasa belum siap.[12] Setelah itu, Hanung mulai membuat film bertema biografi, mulai dari Sang Pencerah (2010), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Kartini (2017), hingga Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018). Beberapa tahun kemudian, tawaran menyutradarai film ini kembali menghampiri Hanung. Hanung menawarkan lagi kepada Salman, lalu Salman mengaku tak kuasa menolak tawaran Hanung. Hanung menambahkan bahwa jika seandainya Salman langsung menerima tawaran pertamanya, maka film ini akan menjadi film periode pertama yang Hanung garap dan tidak akan maksimal karena masih belajar.[8] Seperti halnya beberapa film sejarah karya Hanung sebelumnya, Catherine Quirine van Heeren kembali terlibat dalam produksi film ini sebagai asisten sutradara untuk menangani para pemain Belanda.[13] Penulisan naskah dimulai sejak awal 2017, yang diakui Salman begitu sulit mengingat alur novel cenderung maju-mundur, sementara ia menggunakan alur maju untuk film.[14] Selain dari novel asli, Salman juga menggunakan rujukan yaitu buku Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia karya Max Lane. Penulisan naskah juga melalui banyak perdebatan manakala Hanung menginginkan naskah disesuaikan dengan zaman sekarang.[15] PraproduksiPada Februari 2018, Salman memastikan seorang pemeran yang dikatakannya sebagai pemain baru.[16] Pada 8 Mei, Falcon mengumumkan Sha Ine Febriyanti akan terlibat sebagai pemain film walau belum diketahui karakter apa yang akan diperankan. Medcom melemparkan kemungkinan besar Sha akan memerankan Ontosoroh atau Magda Peters seperti perannya di pertunjukan panggung Bumi Manusia pada 2006.[17] Sha kemudian membenarkan pengumuman itu dan menyebut tidak akan memerankan Magda Peters, tetapi belum membuka suara terkait karakter sebenarnya yang akan diperankannya.[18] Sha juga menyebut keterlibatannya dalam produksi film ini adalah pertama kalinya dalam film komersial, mengingat sebelumnya ia hanya berperan di film karya Djenar Maesa Ayu dan Aria Kusumadewa serta terlibat dalam pertunjukan panggung.[19] Sha mengaku memerankan Ontosoroh sudah menjadi impiannya sejak dua puluh tahun yang lalu.[20] Pemilihan aktor yang akan memerankan Minke sendiri awalnya mensyaratkan berusia 19 tahun; menguasai bahasa Inggris, Prancis, dan Belanda, selain tentunya bahasa Indonesia; pembaca karya William Shakespeare dan Multatuli; mengenal konsep politik asosiasi (kebijakan agar warga Hindia Belanda mendapatkan pendidikan ala Barat) Snouck Hurgronje; serta mengenal Sampek Engtay dan kisah hidup Xue Rengui. Pemilihan peran tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Hanung kemudian mengundang aktor remaja berusia 19 tahun, tetapi gagal karena aktor-aktor itu dinilainya bahkan tidak mengenal Pramoedya sama sekali.[7] Pada akhirnya, Hanung memilih Iqbaal sebelum Dilan 1990 (2018) ditayangkan atas saran Salman. Pencapaian cemerlang Iqbaal di film itu semakin menguatkan keputusan Hanung memilih Iqbaal.[21] Sebelum dipastikan memilih Iqbaal, Hanung sempat memilih tiga aktor, yang juga termasuk Iqbaal dan Emir Mahira.[22] Ketika Hanung pertama kali menanyakan Iqbaal tentang novel Bumi Manusia, ia terkejut dengan jawaban Iqbaal yang menyebut sudah pernah meresensi novel itu dalam bahasa Inggris semasa bersekolah di United World College, Kanada. Hanung hampir saja memeluk Iqbaal andai saja Iqbaal tidak menyebut judul novel itu lucu.[7] Hanung sendiri semula sempat meragukan Iqbaal, tetapi penampilan Iqbaal dalam Dilan 1990 membuatnya terkesan karena Iqbaal dinilai mampu mengeluarkan rayuan gombal tanpa terkesan picisan.[23] Hanung juga memperhitungkan faktor popularitas Iqbaal lewat Dilan 1990, yang film itu dinilainya dinikmati lintas generasi dari remaja hingga ibu-ibu.[22] Menilai tokoh Minke, Iqbaal menyebut pemeranan itu menantang karena punya karakter yang sangat kuat dan signifikan, juga berani dan kharismatik, yang berusaha menjadi warga dunia global tetapi tidak melupakan akar dari mana dia berasal.[24] Keputusan memilih Iqbaal Ramadhan sebagai pemeran Minke diumumkan dalam sebuah konferensi pers pada 25 Mei; sejumah artis lainnya yang juga diumumkan terlibat dalam film ini antara lain Mawar de Jongh sebagai Annelies Mellema, Ayu Laksmi sebagai ibu Minke sekaligus istri Bupati B, dan Donny Damara sebagai ayah Minke sekaligus Bupati B.[13] Ayu, yang sebelumnya pernah terlibat dalam Soekarno: Indonesia Merdeka (2013) arahan Hanung,[25] setuju dengan tawaran Hanung pada awal Mei; Ayu mengaku sempat ada miskomunikasi manakala ia mengira produksi film itu sudah selesai. Ayu mengaku sempat ditawari menjadi Ontosoroh oleh sutradara yang tidak diberitahukan namanya ke media, tetapi peran tersebut akhirnya diambil alih Sha.[26] Pemilihan Iqbaal sebagai pemeran Minke mendapatkan tanggapan beragam dari warganet, di antaranya ada yang menganggap Iqbaal sudah telanjur melekat dengan Dilan dari Dilan 1990,[27] bahkan ada sebagian warganet yang mengusulkan nama-nama seperti Reza Rahadian, Fedi Nuril, Adipati Dolken, Ario Bayu, Dian Sidik, Bayu Skak, dan Dodit Mulyanto.[28] Pemilihan Iqbaal juga dinilai kurang tepat oleh Soesilo yang dianggap terlalu muda dan bersuara cempreng, sehingga kurang menggambarkan sosok Minke.[29] Berkaitan dengan ini, Hanung sempat memikirkan Reza, tetapi Reza saat itu berusia 27 tahun, delapan tahun lebih tua dari yang disyaratkan.[7][30] Adipati mengaku sempat mengincar peran Minke, walau akhirnya memerankan Hardo dalam Perburuan.[31] Senada dengan Adipati, Jefri Nichol juga mengaku sempat menginginkan peran Minke walaupun gagal; Jefri juga membantah pernah berseteru dengan Iqbaal karena tidak mendapatkan peran ini.[32] Sementara itu, Hanung awalnya juga mengincar Christine Hakim dan Chelsea Islan, tetapi batal.[21] Pengambilan gambarPengambilan gambar utama dilakukan pada akhir Juli hingga Agustus 2018. Lokasi pengambilan gambar meliputi Studio Gamplong, Sleman, Yogyakarta; Semarang, Jawa Tengah; dan Belanda.[8] Setelah produksi film selesai, rumah Nyai Ontosoroh yang dibangun untuk produksi film ini diresmikan oleh Hanung dan putri Pramoedya, Astuti Ananta, sebagai Museum Bumi Manusia pada 13 Agustus 2019. Peresmian ini merupakan arahan langsung dari Astuti yang menginginkan lokasi pengambilan gambar kembali dihidupkan, sehingga tidak dimaksudkan untuk kepentingan komersial.[33] Bahasa yang digunakan di film di antaranya bahasa Melayu, Jawa, dan Belanda.[34] Dalam proses produksi, Hanung menyebut tidak perlu memberikan buku tebal kepada Iqbaal karena Iqbal dapat memerankan Minke cukup dengan memakai baju adat.[35] Hanung menegaskan Iqbaal pernah meresensi novel Bumi Manusia menggunakan bahasa Inggris di Kanada dan ia dikirimi resensinya oleh Iqbaal.[36] Iqbaal sendiri berlatih untuk berperan sebagai Minke selama dua bulan.[37] Iqbaal awalnya mengalami kesulitan dalam mendalami tokoh yang diperankannya karena film ini berlatarkan akhir abad ke-18. Iqbaal mengaku tidak ada siapapun yang bisa diajak berbincang terkait gambaran kehidupan saat itu, yang akhirnya diakali dengan menonton video bertema itu dan membaca Max Havelaar karangan Multatuli, nama pena Eduard Douwes Dekker. Mawar mengaku gembira tatlala terlibat dalam produksi ini karena bisa mendapatkan pengalaman baru serta bisa beradu peran dengan Iqbaan dan Sha.[38] Terdapat pula orang-orang Belanda yang juga terlibat sebagai pemain dalam film ini.[39] Hanung mengaku sempat kesulitan membangun emosi para pemain sehingga sempat melakukan kekerasan fisik kepada Iqbaal dan Mawar. Hanung meminta kru memukul Iqbaal yang dinilainya masih terlalu terbawa dengan watak Dilan yang diperankan Iqbaal dalam Dilan 1990,[40] sementara Mawar didorong Hanung sendiri hingga terjatuh dan menangis.[41] Menanggapi hal itu, keduanya tidak mempermasalahkan tindakan itu. Iqbaal mengaku meminta Hanung untuk memberikan rasa sakit dalam proses produksi film,[42] sementara Mawar mengaku kaget dengan perlakuan itu, tetapi akhirnya bisa memaklumi itu.[43] Selain itu, pendeknya waktu penggarapan film juga dianggap Hanung menjadi kendala dalam produksi, tetapi kendala itu sedikit teratasi dengan data-data penting terkait zaman itu yang sudah digenggamnya sejak lama.[44] Beberapa pemain seperti Iqbaal,[45] Mawar,[46] hingga Sha diminta mempelajari bahasa Belanda.[47] Sebuah adegan ketika Ontosoroh berjalan sambil jongkok di pengadilan Belanda dimasukkan ke dalam film untuk memperjelas penggambaran di novel.[48] PascaproduksiProduksi film ini menghabiskan dana sekitar Rp30 miliar;[49] Frederica menuturkan Falcon menghabiskan Rp50 miliar untuk produksi Bumi Manusia dan Perburuan.[50] Produksi film ini juga melibatkan penggunaan efek CGI yang diperlukan untuk menyatukan adegan-adegan yang diambil di lokasi yang berbeda-beda. Lokasi produksi film sendiri terpecah-pecah menjadi beberapa tempat karena lokasi produksi di Studio Gamplong dinilai Hanung tidak mencukupi bagi produksi film ini. Hanung sendiri menginginkan lokasi yang semirip mungkin dengan deskripsi Pramoedya dalam novelnya. Disebutkan sekitar 45 persen dari isi film itu sendiri melibatkan efek ini. Pengerjaan efek ini sendiri hanya melibatkan pekerja asal Indonesia. Hanung mengaku film ini adalah film tersulit dalam kariernya karena pengerjaan efek pencitraan hasil komputer itu.[51] Bumi Manusia mendapatkan klasifikasi 17+ oleh Lembaga Sensor Film,[52] berbeda dengan sasaran klasifikasi sebelumnya yaitu 13+.[38] Walaupun LSF tidak menyebutkan alasan klasifikasi dalam keputusannya, Beritagar memperkirakan akan ada dua adegan berkaitan dengan seksualitas sebagaimana yang tertulis dalam novel itu sendiri, semisal Minke dan Annelies bersetubuh serta pemerkosaan Annelies oleh abangnya yaitu Robert; kesemua adegan itu ditampilkan sekilas dalam iklan film.[53] PenayanganFilm ini ditayangkan secara perdana bersamaan dengan Perburuan pada 9 Agustus di Surabaya Town Square, Surabaya, Jawa Timur. Frederica menuturkan pemilihan Surabaya sebagai tempat penyelenggaraan kedua film ini disebabkan karena dianggap sesuai dengan tema kedua film yang latar belakang cerita tentang sejarah perjuangan Indonesia yang lekat dengan pertempuran pada 10 November 1945 di Surabaya.[54] Penayangan perdana ini juga dihadiri Indro Warkop, Aliando Syarief dan Randy Danistha.[55] Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memberikan sambutan hangat bagi penayangan perdana ini.[56] Penayangan perdana ini dinilai Yuliasri Perdani dari The Jakarta Post sebagai satu di antara penayangan perdana termahal dalam sejarah perfilman Indonesia.[57] Bumi Manusia ditayangkan di bioskop pada 15 Agustus 2019 bersamaan dengan film drama sejarah Perburuan yang juga dialihwahanakan dari penulis yang sama; penayangan kedua film ini memang disengaja untuk merayakan kemerdekaan. Frederica mengaku tak khawatir bila kelak salah satu di antaranya akan lebih mendominasi karena genre yang diusung berbeda. Penayangan film ini sendiri sebelumnya sempat dijadwalkan akan ditayangkan pada Maret 2019, tetapi akhirnya diundur ke Agustus atau September 2019, yang akhirnya dipastikan ditayangkan pada 15 Agustus 2019.[58] Selain Perburuan, film ini juga ditayangkan bersamaan dengan film horor Makmum.[59] Hanung membuka kemungkinan film ini akan ditayangkan di Belanda pada waktu yang belum diketahui.[60] Film ini juga ditayangkan sebagai film penutup di Festival Film Internasional Bali 2019 pada 28 September.[61] PemasaranPada 6 September 2018, Falcon meluncurkan gambar-gambar eksklusif yang mewakili sekelumit adegan film.[62] Poster film kemudian diluncurkan pada 19 Juni 2019.[63] Dalam konferensi pers peluncuran poster film, produser membandingkan durasi penayangan film selama 172 menit dengan Avengers: Endgame (2019) yang berdurasi 181 menit,[38] tetapi Lembaga Sensor Film (LSF) menyebutkan durasi film ini sama dengan Avengers: Endgame dalam keputusan penyensoran.[52] Hanung menambahkan sekitar lima adegan harus dihilangkan agar durasi tersebut tetap dapat dipertahankan, walaupun demikian tidak disebutkan adegan mana yang harus dihilangkan itu.[38] Bersama dengan Perburuan, trailer film ini diunggah pada 4 Juli.[64] Pada 5 Agustus, Falcon menggelar pameran karya-karya milik Pramoedya bernama Jejak Langkah Pram yang berlangsung di Jakarta Selatan, Jakarta.[65] PenerimaanSambutanDalam penayangan perdana film ini, Hanung mendapat sambutan yang meriah dari penonton yang bertepuk tangan berdiri; Hanung dan Mawar mengaku sambutan ini merupakan kali pertama dalam pengalamannya.[66][67] Astuti mengaku sudah berkali-kali menonton film ini dan merasa terharu dengan perkataan ayahnya yang disampaikan dalam film.[68] Sultan Yogyakarta Hamengkubuwana X, yang diajak Hanung untuk menonton film ini,[69] mengaku terkesima dengan kedalaman nilai yang dikandung film ini.[70] Astuti Toer berharap film ini dapat berdampak positif terhadap karya sastra ayahnya.[71] Cinta Laura bahkan menangis karena terkagum-kagum dengan film ini.[72] Menteri Keuangan Sri Mulyani menonton film ini bersama suami dan beberapa pejabat Kementerian Keuangan.[73] Judul film ini diplesetkan dalam sebuah adegan dalam Warkop DKI Reborn 3 yang ditayangkan sebulan kemudian menjadi Bunyi Manusia.[74] PencapaianPada hari pembukaan, Bumi Manusia berhasil menjaring 93.858 penonton,[75] sementara pada minggu pembukaan, film ini berjaya menjaring 411.216 penonton,[76] sehingga menguasai minggu 12โ18 Agustus 2019 dengan mengalahkan Wedding Agreement.[77] Hingga 22 Agustus, film ini sudah ditonton 725.428 penonton.[78] Film ini kembali menguasai minggu 19โ25 Agustus 2019 dengan menjaring 936.156 penonton, mengalahkan Makmum yang menggantikan posisi sebelumnya yang ditempati Wedding Agreement.[79] Film ini berhasil menjaring 1.113.000 penonton pada 29 Agustus,[80] yang diangggap belum menguntungkan menurut Frederica.[81] Penguasaan dua minggu berturut-turut akhirnya tamat tatkala Gundala berjaya merebut takhta minggu 26 Agustusโ1 September 2019, sehingga film ini harus menduduki peringkat kedua dengan jumlah keseluruhan 1.208.352 penonton.[82] Film ini akhirnya menjaring 1.316.583 penonton, dengan perkiraan pendapatan kotor sekitar Rp52,7 miliar jika menggunakan rata-rata harga tiket tahun 2019 sebesar Rp40.000.[83] TemaHanung mengutarakan ia akan mengalihwahanakan novel Bumi Manusia setepat mungkin. Ia membantah orang yang menganggap novel ini sangat berat karena bahasa yang digunakan sangat tinggi, sembari menyebut novel ini melampaui zamannya. Ia menyebutkan hubungan Minke dengan Annelies itu hubungan cinta seandainya yang menulis novel ini bukan Pramoedya dan judulnya bukan Bumi Manusia.[21] Namun, ia menampik film ini hanya mengusung tema itu, dengan menyebut sisi menarik novel ini adalah ketika pembaca membaca sejarah dengan kemasan novel.[84] Hanung sendiri sempat menyinggung novel ini dalam lima adegan di Perempuan Berkalung Sorban (2009) yang tidak dijumpai di novel aslinya,[85] sehingga Ariel Heryanto menyebut Perempuan Berkalung Sorban merupakan film Indonesia pertama yang menampilkan sampul Bumi Manusia.[86] Namun, keputusan Hanung ini mendapatkan tanggapan beragam di kalangan pengulas. Erlinda Sukmasari dari Cultura menyebut banyak hal yang tidak dijelaskan di film, menandakan Hanung kesulitan untuk menerjemahkan karya Pram ke layar lebar, terbukti dari lubang alur di sana-sini, sehingga film ini tidak lebih dari sekadar film percintaan biasa.[87] Shandy Gasella yang menulis untuk Kumparan menekankan sebuah pesan tentang kedudukan pribadi di mata Belanda dan orang Indo, yaitu penggambaran Robert Mellema sebagai orang Indo yang tidak menyukai Minke yang Jawa asli. Penggambaran tersebut adalah karangan Salman Aristo yang didasarkan pada narasi yang diutarakan Minke dalam benaknya sendiri dalam bab awal novel.[88] TanggapanShandy Gasella yang menulis untuk Kumparanโmemberikan nilai 4/5โmenyebut film ini adalah film terbaik sejauh ini dari Falcon,[88] sementara Erlinda memberikan nilai 3,5/5.[87] Wayan Diananto dari Liputan6 menyebut ada sejumlah dialog masih relevan hingga bertahun-tahun kemudian.[89] Windy Eka Pramudya yang menulis untuk Pikiran Rakyat juga menyebutkan adanya beberapa lubang alur, semisal kehadiran Gendut Sipit yang tidak dijelaskan di film.[90] Indira Ardanareswari yang menulis untuk Tirto menyoroti adegan perlakuan kurang pantas terhadap nyai yang disaksikan Minke dari atas kereta kuda yang tidak ditemukan dalam novelnya sebagai improvisasi dari Hanung sendiri. Namun, Indira menyebut film ini sekadar mengulangi masalah klasik kebanyakan film Indonesia yang dianggapnya megah dan tertata di depan, tetapi terburu-buru di belakang. Keputusan Hanung untuk mengeksplorasi hubungan percintaan antara Minke dan Annelies juga dinilai mengorbankan karakter lain semisal Jan Dapperste.[91] Selain itu pula, Agniya Khoiri dari CNN Indonesia menuturkan Hanung juga mengorbankan gejolak batin di balik kisah tokoh-tokohnya.[92] Menilai penggunaan bahasa, Zahrotustianah dari Viva menilai tidak terlihat kaku bahkan ketika dituturkan pemeran Indonesia.[93] Kecuali Christian Sugiono, Erlinda menyebut penggunaan bahasa oleh hampir seluruh pemainโtermasuk Iqbaal, Mawar, Kelly, dan Whaniโpatut diacungi jempol.[87] Namun, Holy Adib dari Beritagar justru menilai bahasa Melayu yang dituturkan dalam film ini terbilang anakronis, semisal "Anda" dan "sih".[94] Menilai pemeranan, umumnya pujian dilontarkan kepada Sha Ine yang dinilai berhasil memerankan Ontosoroh dan juga Ayu Laksmi yang memerankan ibu Minke, sementara Iqbaal dibandingkan dengan citranya sebagai Dilan dari Dilan 1990. Leila Salikha Chudori dari Tempo bahkan menjuluki Iqbaal sebagai "Minke van Dilan", menilai Iqbaal yang menuturkan bahasa Belanda dengan baik dan terlihat cerdas layaknya pemuda-pemudi milenial, tetapi gerak-gerik Iqbaal tetap tidak berhasil meyakinkan sebagai Minke. Walaupun Ayu hanya hadir sekejap, tetapi Leila menyebut Ayu tidak diragukan lagi adalah pilihan yang tepat dan cocok. Bersama Sha Ine, penampilan Ayu dianggap Leila paling meyakinkan dibanding pemeran lainnya.[95] Berbeda dengan Leila, Shandy Gasella menyebut Iqbaal berhasil membuat citra sebagai Dilan luntur, walau penguasaan bahasa Jawanya terkadang tidak konsisten. Shandy juga menyebut Mawar tak pernah tampil sebaik ini di film sebelumnya. Penampilan Sha Ine membuat Shandy semakin jatuh hati seolah Ontosoroh memang ditakdirkan untuk diperankannya, sementara penampilan Ayu dinilai Shandy semakin mengukuhkan dirinya sebagai salah satu aktris terbaik saat ini. Whani juga dinilai tampil dengan karismatik dan mencuri perhatian setiap kali muncul. Shandy menekankan hampir seluruh pemeran sudah melakukan penampilan dengan maksimal.[88] Senada dengan Shandy, Tri Susanto Setiawan dari Kompas menilai Iqbaal bisa melepas dirinya dari bayang-bayang Dilan di film ini.[96] Menilai busana, tokoh busana Rumi Siddharta lewat akunnya di Instagram mengkritik kostum Annelies, gaya rambut dan jas Minke, dandanan Nyai Ontosoroh, dan busana karakter orang Belanda tidak tepat. Retno Ratih Damayanti selaku perancang busana film ini menekankan dirinya selalu melakukan penyelidikan sebelum membuat busana-busana itu.[97] Hanung sendiri ingin menampilkan Nyai Ontosoroh mengenakan kebaya putih dan jarik sogan yang didominasi warna cokelat dan hitam karena sesuai dengan hasil penyelidikan yang dilakukan Hanung dan tim produksi film sejak menyutradarai Sang Pencerah (2010).[98] PenghargaanSehari sebelum ditayangkan di seluruh Indonesia, Bumi Manusia mendapatkan penghargaan Award of Excellence dari Sinematek Indonesia; Sinematek menilai film ini memiliki keunggulan untuk diarsipkan, karena bermuatan nilai-nilai sejarah, budaya, kearifan lokal, dan juga memiliki kaidah sinematografi yang memadai.[99] Film ini juga menjadi satu dari empat calon film yang mewakili Indonesia dalam Academy Awards ke-92 tahun 2020 selain Kucumbu Tubuh Indahku, Ave Maryam, dan 27 Steps of May, walau akhirnya gagal karena dianggap rancangan produksi film jauh dari ideal, kurasi aktor yang mengganggu, dan gaya penyutradaraan yang belum maksimal.[100][101] Di Festival Film Indonesia 2019, Bumi Manusia mendapatkan 12 nominasi, setara dengan Dua Garis Biru arahan Ginatri S. Noer dan Kucumbu Tubuh Indahku arahan Garin Nugroho, tetapi masing-masing nominasi berasal dari kategori yang berbeda.[102] Namun, film ini sama sekali tidak mendapatkan satupun penghargaan di semua kategori yang diperoleh.[103] Film ini juga dinominasikan di tiga kategori Festival Film Tempo 2019,[104] tetapi kembali tidak memperoleh kemenangan satupun.[105] Di Festival Film Bandung 2020, Bumi Manusia mendapatkan 8 nominasi dan berhasil memenangkan 5 kategori termasuk Film Bioskop Terpuji.[106]
SekuelHanung mengaku tertarik untuk memfilmkan ketiga novel lanjutannya, yaitu Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, tetapi semua itu bergantung terhadap Frederica yang menganggap proyek lanjutan itu harus mempertimbangkan tanggapan penonton atas Bumi Manusia.[107] Bumi Manusia direncanakan menjadi film pertama dari trilogi.[108] Rujukan
Pranala luar
|