Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan "terhadap kesusilaan atau moral" dan melawan hukum.[1][2] Dalam praktiknya, prostitusi tersebar luas, ditoleransi, dan diatur. Pelacuran adalah praktik prostitusi yang paling tampak, sering kali diwujudkan dalam kompleks pelacuran Indonesia yang juga dikenal dengan nama "lokalisasi", serta dapat ditemukan di seluruh negeri.[3] Bordil ini dikelola di bawah peraturan pemerintah daerah.[4] UNICEF memperkirakan bahwa 30 persen pelacur perempuan di Indonesia adalah wanita yang berusia dibawah 18 tahun.[5]Wisata seks anak juga menjadi masalah, khususnya di pulau-pulau resor seperti di Bali dan Batam.[6][7]
Penyebab
Salah satu alasan utama untuk seorang pelacur untuk memasuki bisnis adalah daya tarik untuk mendapatkan uang secara cepat. The Jakarta Post melaporkan bahwa pelacur kelas atas di Jakarta bisa mendapatkan Rp 15 juta–Rp 30 juta (USD 1.755–3.510) per bulan. Rata-rata para pelacur ini mampu menghasilkan uang lebih dari Rp 3 juta untuk setiap sesi layanan mereka. Namun bagian terbesar dari jumlah mereka yang memasuki dunia prostitusi dengan alasan uang datang dari masyarakat kelas menengah dan keluarga miskin.[8]
Penyebab utama lainnya adalah adanya pola pemaksaan dan penipuan, dimana para perempuan muda dari pedesaan dan kota-kota kecil ditawarkan peluang kerja di kota-kota besar. Namun sesampainya dikota para perempuan ini diperkosa dan dipaksa untuk melacurkan diri sementara menghasilkan uang bagi mucikari mereka.[9] Sering pula para orang tua menawarkan anak-anak perempuan mereka kepada mucikari agar memperoleh uang. Berdasarkan laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) bahwa sekitar 70 persen dari pelacur anak Indonesia dibawa oleh keluarga dekat atau teman-teman ke dalam dunia prostitusi.[10]
Bentuk
Prostitusi ada dalam banyak bentuk dan dipraktikkan oleh banyak jenis kelamin, gender, orientasi dan usia. Bali, misalnya, dikenal dengan "Kuta Cowboys"-nya, pekerja seks laki-laki yang menawarkan jasanya kepada turis asing.[11]
Prostitusi mencakup berbagai orientasi seksual. Yang paling umum adalah prostitusi perempuan heteroseksual, meskipun prostitusi transvestit dan pria homoseksual juga ada pada tingkat yang lebih rendah. Pelacuran anak juga ada di pulau-pulau resor pariwisata tertentu, seperti Batam dan Bali. Diperkirakan bahwa 40.000 hingga 70.000 anak Indonesia terlibat dalam pelacuran di dalam negeri.[12]
Pelacur terkadang bekerja di bordil, beberapa di antaranya memiliki lebih dari 200 pelacur. Distrik lampu merah besar terakhir yang mengandung banyak tempat pelacuran adalah Gang Dolly di Surabaya, salah satu yang terbesar di Asia Tenggara,[13] yang ditutup pada tahun 2014.[14] Pelacur dapat ditemukan di diskotek, panti pijat, dan tempat karaoke,[15] dan juga terlihat di jalan-jalan tertentu. Mereka juga dapat dipesan melalui telepon.[16]
Pelacuran daring juga biasa terjadi. Dalam forum-forum Internet, pelacur dan pornografi ditawarkan kepada anggota terdaftar yang bereputasi baik, yang diukur dengan aktivitas mereka di forum. Anggota senior dari forum memposting "laporan gratis" yang menawarkan deskripsi pengalaman anggota dengan pelacur; informasi kontak disediakan atas permintaan melalui pesan pribadi. Cincin pelacuran di Facebook juga telah dilaporkan.[17]
Status legal
Prostitusi tidak secara khusus dibahas dalam undang-undang. Namun, banyak pejabat menafsirkan "kejahatan terhadap kesusilaan/moralitas" untuk diterapkan pada pelacuran. Prostitusi tersebar luas dan sebagian besar ditoleransi, terlepas dari kontradiksinya dengan norma-norma sosial dan agama yang populer[18] Prostitusi paling nyata dimanifestasikan di kompleks bordil Indonesia, atau lokalisasi, yang ditemukan di seluruh negeri.[19] Bordil ini dikelola berdasarkan peraturan pemerintah setempat.[20] Selama atau setelah penggerebekan oleh polisi, para pelacur dapat membayar dan dibebaskan dari tahanan; ini telah menyebabkan penggerebekan polisi disebut "tidak lebih dari sumber pendapatan bagi petugas ketertiban umum".[21]
Salah satu laporan paling awal tentang pelacuran di Indonesia kuno berasal dari sumber Tiongkok. Catatan sejarah Dinasti Tang Ch'iu-T'ang shu dan Hsin T'ang shu, yang berasal dari sekitar tahun 640 M, melaporkan bahwa di negara Ho-ling di Jawa, ada sejumlah "wanita beracun". Mereka yang berhubungan seks dengan pelacur ini akan menderita luka bernanah dan mati sesudahnya. Ini adalah catatan awal prostitusi dan hubungannya dengan penyakit menular seksual di Jawa kuno.[25]:119
Sedikit catatan sejarah yang mengungkap tentang prostitusi Indonesia pada masa sebelum penjajahan bangsa Eropa. Diperkirakan sejak lama telah berlangsung pembelian budak seks dan hubungan seksual yang dilandasi hubungan yang semu lazim terjadi. Pada masa tersebarnya agama Islam Setelah penyebaran Islam di Indonesia, prostitusi diperkirakan telah meningkat karena ketidaksetujuan Islam dengan nikah kontrak.[26] Dalam sejarahnya raja-raja di Jawa yang memiliki sejumlah tempat diistananya untuk ditempati sejumlah besar selir, sementara itu raja-raja di Bali bisa melacurkan para janda yang tidak lagi diterima oleh keluarganya.[27]
Serat Centhini, sebuah manuskrip Jawa dari awal abad ke-19, merujuk pada bisnis prostitusi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Manuskrip itu menjelaskan berbagai posisi dan teknik seksual yang dikuasai oleh pelacur-pelacur di Jawa untuk memuaskan pelanggannya. Serat Centhini juga mengatakan bahwa dulu pernah ada bordil yang ramai di dekat makam kerajaan di Imogiri.[28]
Selama periode awal kolonial Belanda, pria Eropa yang hendak memperoleh kepuasan seksual mulai mempekerjakan pelacur atau selir (nyai) yang berasal dari wanita lokal. Para perempuan lokal melakoni aksi prostitusi ini karena termotivasi oleh masalah finansial, bahkan tak jarang ada keluarga, yang mengajukan anak perempuan mereka untuk dilacurkan. Aturan tentang larangan pernikahan antarras oleh penguasa kolonial membuat praktik prostitusi adalah hal yang paling bisa diterima oleh para pemimpin Belanda.[27]
Pada awal tahun 1800-an praktik prostitusi mulai meluas, ketika itu jumlah selir yang dipelihara oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda dan pejabat pemerintah menurun. Sementara perpindahan laki-laki pribumi meninggalkan istri dan keluarga mereka untuk mencari pekerjaan di daerah lain juga memberikan kontribusi besar bagi maraknya praktik prostitusi pada masa itu.[26] Pada tahun 1852 pemerintah kolonial mulai membutuhkan pemeriksaan kesehatan secara teratur pelacur untuk memeriksa sifilis dan penyakit kelamin lainnya. Para pelacur juga diharuskan membawa kartu identitas pekerjaan mereka, meskipun kebijakan ini tidak berhasil menekan angka pertumbuhan prostitusi yang meningkat secara dramatis selama periode pembangunan yang berlangsung secara luas hingga akhir 1800.[29]
Undang-undang 1852 kemudian digantikan oleh undang-undang moralitas publik baru yang lebih ketat pada tahun 1913, yang mengkriminalkan "dengan sengaja menjadikan percabulan antara orang lain dengan pihak ketiga dan menjadikan ini profesinya", atau mucikari; tidak disebutkan tentang pelacur. Penegakan undang-undang ini terbukti hampir tidak mungkin, dan untuk suatu waktu penyelidikan rumah bordil memerlukan izin dari gubernur.[30]
Selama pendudukan Jepang di Indonesia, pelacur yang ada dipilih untuk melayani tentara Jepang di rumah bordil khusus. Perempuan dan anak perempuan lainnya, baik asli maupun Belanda, dipaksa untuk menjadi "wanita penghibur". Setelah Perang Dunia II, migrasi perempuan dari desa-desa terpencil ke kota-kota, ditambah dengan tingkat perceraian yang tinggi, menyebabkan peningkatan pelacuran.[31]
Tanggapan
Respons pemerintah terhadap pelacuran di Indonesia beragam. Respons umum adalah berusaha melarang dan menutup rumah bordil.[32] Tanggapan lain yang diusulkan adalah memajaki biaya pelacur; proposal tersebut telah menemui kontroversi, karena pendapatan itu dianggap haram.[33]
Efek
Prostitusi dipersalahkan atas meningkatnya angka HIV/AIDS di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Jawa Tengah[15] dan Bali. Kurangnya kontrol kesehatan di rumah bordil[15] dan kurangnya penggunaan kondom telah dipersalahkan;[15] pada 2010 komisi AIDS di Bali melaporkan bahwa hanya 40% klien yang menggunakan perlindungan.[16]
Pelacur itu sendiri bisa menjadi korban masalah psiko-sosial, seperti gangguan identitas disosiatif. Ketika melayani pelanggan atau berurusan dengan mucikarinya, mereka mungkin mengalami pelecehan fisik dan mental. Mereka juga berisiko tertular HIV/AIDS.[10]
Menurut wilayah
Aceh
Meski sudah menerapkan syariat Islam dalam peraturan daerah, prostitusi masih terjadi di Provinsi Aceh. Kasus yang ditemukan paling banyak berada di Banda Aceh dan sebagian besar dikelola oleh pendatang dari luar Aceh. Perempuan yang diperdagangkan masih berusia muda dan mengenakan kerudung untuk mengelabui polisi syariat Aceh (wilayatul hisbah). Tempat yang menjadi lokasi prostitusi yaitu hotel berbintang dan penginapan. Umumnya mucikari atau pengelola prostitusi dikenakan pidana, tetapi wanita yang diperdagangkan bukannya dipidanakan, malah hanya dikembalikan kepada orang tua masing-masing.[34][35][36] Tidak jarang pelajar perempuan yang masih belajar di SMP dan SMA terlibat dalam praktik prostitusi di Aceh.[37][38]
Jakarta
Batavia adalah nama kota Jakarta pada masa kolonial, di Batavia praktik prostitusi telah berlangsung secara masif pada masa VOC. Para penduduk Betawi menyebutkan para perempuan pelaku prostitusi sebagai Cabo yang diadaptasi dari bahasa Cina Caibo. Lokalisasi untuk para cabo ini bisa ditemukan disekitaran hotel dan kawasan niaga. Pada sebuah lokasi prostitusi elit di Batavia para perempuan didatangkan secara khusus oleh mucikari mereka dari Makau. Prostitusi untuk kalangan rendahan biasa ditemukan di kawasan Glodok dan Mangga Besar, dimana para penduduk kota mengenali penyakit sifilis yang timbul akibat prostitusi itu sebagai penyakit mangga.[39]
Setelah kemerdekaan Indonesia praktik prostitusi di Jakarta juga masih marak ditemukan. Hingga tahun 1950 di daerah Petojo banyak terdapat kompleks lokalisasi tak resmi prostitusi, meski melewati banyak proses penertiban oleh pemerintah kota hal ini masih tetap ditemukan hingga awal tahun 1980-an.[39] Pada periode 1970-an riwayat prostitusi di Jakarta berlangsung dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin yang terinspirasi dari lokalisasi prostitusi di kota Bangkok mulai menerapkan kebijakan melokalisasi prostitusi ini dalam satu wilayah agar mudah terpantau. Melalui beberapa surat keputusan Gubernur pada tahun 1970 menginstruksikan para wali kota untuk menertibkan prostitusi yang berlangsung secara liar. Para mucikari yang melakukan usaha prostitusi diperintahkan untuk menempati kawasan baru khusus prostitusi di Kramat Tunggak. Pada sejarah puncaknya pada periode 1980 hingga 1990-an komplek lokalisasi Kramat Tunggak yang berdiri diatas tanah negara seluas 11,5 ha ini diisi oleh ratusan mucikari yang mempekerjakan ribuan perempuan pekerja seks komersial. Lokalisasi prostitusi terbesar di Jakarta ini akhirnya secara resmi ditutup oleh pemerintah DKI pada penghujung tahun 1999.[40]
Bangka Belitung
Modus prostitusi di ProvinsiKepulauan Bangka Belitung dilakukan dengan cara yang variatif. Ada yang melibatkan rema remaja usia di bawah 18 tahun[41] hingga mahasiswi.[42] Ada juga yang menggunakan modus bangunan komersial seperti kafe dan karaoke yang berlokasi dekat dengan objek wisata namun jauh dari pusat keramaian.[43][44][45] Yang lainnya dilakukan secara terselubung oleh pemilik kamar kontrakan dan penginapan.[44][46] Pelaku prostitusi sebagian besar datang dari luar Bangka Belitung.[45][47]
Jawa Barat
Di ProvinsiJawa Barat, prostitusi terbanyak dilakukan di kabupaten yang dekat dengan ibu kota Jakarta, seperti Karawang,[48]Bogor,[49][50] dan Bekasi.[51] Bisnis yang mempekerjakan remaja itu berpotensi menghasilkan omzet hingga miliaran rupiah.[51] Bisnis prostitusi demikian besarnya hingga mampu menunjang suatu bentuk perekonomian yang menggantungkan hidupnya pada bisnis tersebut, seperti pedagang makanan[50] dan penginapan.[48]
^"Indonesia". humantrafficking.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 September 2013. Diakses tanggal 16 October 2014.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno (dalam bahasa Indonesian). Balai Pustaka. ISBN978-9794074084. OCLC318053182.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
"Depok working on prostitution ban". The Jakarta Post. 28 June 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 October 2012. Diakses tanggal 24 August 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Gunawan, Apriadi (23 May 2006). "Teen escapes life of prostitution". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 October 2012. Diakses tanggal 24 August 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Jones, Gavin W.; Sulistyaningsih, Endang; Hull, Terence H. (1998). "Prostitution in Indonesia". Dalam Lim, Lin Lean. The Sex Sector: The Economic and Social Bases of Prostitution in Southeast Asia. Geneva: International Labour Office. ISBN978-92-2-109522-4.