Patah hati biasanya dikaitkan dengan kehilangan seorang anggota keluarga atau pasangan hidup, meski kehilangan orang tua, anak, hewan peliharaan, orang yang dicintai atau teman dekat bisa "mematahkan hati seseorang", dan sering dialami ketika sedih dan merasa kehilangan. Meskipun "patah hati" biasanya tidak memberi kerusakan fisik apapun pada jantung, ada sebuah kondisi bernama kardiomiopati takotsubo (juga disebut sindrom patah hati), yaitu ketika sebuah insiden traumatik mendorong otak untuk menyalurkan zat-zat kimia ke jaringan jantung yang melemah.
Pandangan filosofis
Bagi banyak orang, mengalami patah hati adalah sesuatu yang mungkin tidak diketahui sebelumnya, karena dibutuhkan waktu bagi suatu kehilangan emosional atau fisik untuk diketahui sepenuhnya. Seperti yang dikatakan Jeffrey Moussaieff Masson:
Manusia tidak selalu sadar dengan apa yang mereka rasakan. Seperti hewan, mereka tidak mampu mengungkapkan perasaan mereka dalam bentuk kata-kata. Hal ini bukan berarti bahwa mereka tidak punya perasaan. Sigmund Freud pernah berspekulasi bahwa seorang pria bisa jatuh cinta dengan seorang wanita selama enam tahun dan tidak menyadarinya sampai beberapa tahun kemudian. Pria seperti itu, dengan semua kebaikannya di dunia, tidak bisa mengungkapkan apa yang ia tidak ketahui. Ia memiliki perasaan tersebut, tetapi ia tidak mengetahuinya. Ini mungkin terdengar seperti paradoks — paradoksikal karena ketika kita memikirkan suatu perasaan, kita memikirkan sesuatu yang kita sadari sedang dirasakan. Sebagaimana Freud maksudkan dalam artikelnya tahun 1915, The Unconscious: "Tentu saja kita perlu menyadari esensi sebuah emosi. Namun kita tidak mengetahui bahwa kita bisa 'memiliki' perasaan yang tidak kita ketahui."[2]
Sindrom patah hati
Dalam berbagai legenda dan cerita fiksi, tokoh utama meninggal setelah mengalami kehilangan yang luar biasa. Namun bahkan dalam dunia nyata, seseorang bisa meninggal akibat patah hati. Sindrom patah hati umumnya dianggap sebagai akibat kematian seseorang yang pasangan hidupnya sudah duluan meninggal, tetapi penyebabnya tidak selalu jelas. Kondisi ini bisa dipicu oleh tekanan emosional mendadak akibat putus hubungan traumatik atau kematian orang yang dicintai.[3] Sindrom patah hati secara klinis berbeda dengan serangan jantung, karena pasien memiliki sedikit faktor risiko yang mendorong penyakit jantung dan sebelumnya sehat sebelum pelemahan otot-otot jantung. Tingkat kesembuhan para penderita "sindrom patah hati" lebih cepat daripada penderita serangan jantung dan kesembuhan penuh pada jantung bisa tercapai dalam waktu dua minggu.[4]
Pemahaman psikologis dan neurologis
Sebuah studi memperlihatkan bahwa patah hati terasa menyakitkan sebagaimana sakit fisik yang mendalam. Penelitian tersebut mendemonstrasikan bahwa daerah otak yang sama yang cepat tanggap dengan pengalaman menyakitkan teraktifkan ketika seseorang mengalami penolakan sosial, atau kehilangan sosial pada umumnya. "Hasil ini memberikan arti baru bahwa penolakan sosial memang 'menyakitkan'," kata psikolog sosial Universitas Michigan, Ethan Kross.[5][6] Penelitian Michigan melibatkan korteks somatosensori sekunder dan insula posterior dorsal.
Psikolog dan penulis Dorothy Rowe menceritakan kembali tentang apa yang ia pikirkan mengenai patah hati sebagai sebuah klise kosong sampai ia mengalaminya sendiri ketika dewasa.[7][8] Patah hati kadang bisa mendorong seseorang mencari bantuan medis untuk mengetahui gejala fisiknya, dan kemudian dikaitkan dengan kelainan somatoform.[9]
Proses neurologis yang terlibat dalam persepsi sakit hati belum diketahui, tetapi diduga melibatkan korteks singulat anterior otak, yang dapat berstimulasi secara berlebihan ke saraf vagus ketika terjadi tekanan sehingga menyebabkan sakit, mual, atau pengencangan otot di bagian dada.[10] Selain itu, keluhan organik lainnya sering kali meliputi rasa lemas, kedinginan, ngilu-ngilu seperti flu. Berlebihnya hormon cortisol membuat sistem kekebalan tubuh kelelahan sehingga tubuh jadi lebih lemah terhadap serangan bakteri dan virus. Pada saat yang sama kehadiran hormon tersebut juga mengurangi aliran darah ke sistem pencernaan, sehingga nafsu makan menghilang dan terjadi gangguan pencernaan lainnya yang membuat seseorang makin kehilangan energi dan mempengaruhi seluruh tubuh. Alhasil, penolakan membuat seseorang benar-benar merasa tersakiti dan terpukul hancur.[11]
Disfungsi endokrin dan sistem imun
Perubahan fisiologis dan biokimia yang berkontribusi terhadap penyakit fisik dan penyakit jantung yang lebih tinggi telah ditemukan pada individu yang memiliki tingkat kecemasan dan depresi tinggi. Beberapa individu yang telah bercerai mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh karena inflamasi sitokin diikuti oleh keadaan depresi.[12]
^Rowe, Dorothy (5 June 2010). "Why on earth would I want to be young?". Daily Telegraph. Diakses tanggal 3 Nov 2011. I never again want to discover that 'heartbreak' and 'heartache' aren't empty clichés but words, first, for the knife in the heart that follows the discovery of betrayal, and, second, for the dull ache of the heavy stone above my heart.
^"Overview of Somatoform Disorders". Merck Manual of Home Health. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-18. Diakses tanggal 2012-01-07. Stress can cause physical symptoms even when no physical disorder is present....Sometimes a physical symptom appears to be a metaphor for an emotional experience, as when people with a “broken heart” have chest pain.