Pakaian Islami adalah pakaian yang diartikan sesuai dengan ajaran Islam. Umat Muslim memakai beragam jenis pakaian, yang dipengaruhi tidak hanya oleh pertimbangan agama, tetapi juga oleh faktor praktis, budaya, sosial, dan politik.[1][2] Di masa modern, beberapa Muslim mengadopsi pakaian berdasarkan tradisi Barat, sementara yang lain mengenakan bentuk modern dari pakaian tradisional Muslim, yang selama berabad-abad biasanya berupa pakaian panjang dan longgar. Selain keuntungan praktisnya di iklim Timur Tengah, pakaian longgar juga umumnya dianggap sesuai dengan ajaran Islam, yang menetapkan bahwa area tubuh yang bersifat seksual harus disembunyikan dari pandangan umum. Pakaian tradisional untuk pria Muslim biasanya menutupi setidaknya kepala dan area antara pinggang dan lutut, sementara pakaian Islami untuk wanita harus menutupi rambut dan tubuh dari pergelangan kaki hingga leher.[3] Beberapa wanita Muslim juga menutupi wajah mereka.[1] Namun, Muslim lain percaya bahwa Quran secara ketat memerintahkan bahwa wanita harus mengenakan hijab atau burqa.[4][5]
Pakaian tradisional dipengaruhi oleh dua sumber, yaitu Quran dan hadis. Quran memberikan prinsip-prinsip panduan yang diyakini berasal dari Allah, sementara kumpulan hadis menggambarkan model peran manusia yang dikaitkan dengan nabi Islam Muhammad.[6] Cabang industri fashion yang dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Islam dikenal sebagai fashion Islami.
Praktik Umum
Ajaran Islam yang berkaitan dengan kesopanan (haya) menjadi dasar dalam pakaian Islami. Penganut Islam percaya bahwa merupakan kewajiban agama bagi pria dan wanita Muslim dewasa untuk berpakaian sopan, sebagai kewajiban yang disepakati oleh konsensus masyarakat.[7][8][sumber terbitan sendiri?]
Menurut pandangan tradisional dalam Islam Sunni, pria harus menutupi bagian tubuh dari pusar hingga lutut, meskipun terdapat perbedaan pandangan apakah ini termasuk menutupi pusar dan lutut atau hanya area di antaranya.[9][10][11] Wanita secara tradisional dianjurkan untuk menutupi sebagian besar tubuh mereka, kecuali tangan dan wajah.[12][13]
Satu kata dalam bahasa Arab yang sangat terkait dengan pakaian Islami dan haya adalah khimar (خمار), yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "kerudung".[14] Kerudung muncul kembali sebagai topik perbincangan pada 1990-an ketika muncul kekhawatiran tentang potensi infiltrasi budaya Barat terhadap praktik-praktik Muslim di negara-negara Islam.[15]
Pakaian Islami di Eropa, terutama variasi penutup kepala yang dikenakan oleh perempuan Muslim, telah menjadi simbol penting dari keberadaan Islam di Eropa Barat. Di beberapa negara, kepatuhan terhadap hijab (kata benda dalam bahasa Arab yang berarti "menutupi") telah menyebabkan kontroversi politik dan usulan untuk pelarangan secara hukum. Pemerintah Belanda memutuskan untuk memperkenalkan larangan pakaian yang menutupi wajah, yang populer disebut sebagai "larangan burka", meskipun ini tidak hanya berlaku pada burqa model Afganistan. Negara-negara lain, seperti Prancis dan Australia, sedang memperdebatkan undang-undang serupa atau memiliki larangan yang lebih terbatas. Beberapa dari mereka hanya menerapkan larangan pada pakaian yang menutupi wajah, seperti burqa, chador, boushiya, atau niqab, sementara yang lain melarang pakaian apa pun yang memiliki simbol keagamaan Islam seperti khimar, jenis kerudung (beberapa negara sudah memiliki hukum yang melarang penggunaan masker di tempat umum, yang dapat diterapkan pada penutup wajah). Masalah ini memiliki sebutan yang berbeda di setiap negara, dan istilah "kerudung" atau "hijab" sering digunakan sebagai istilah umum dalam perdebatan, yang melambangkan lebih dari sekadar kerudung itu sendiri atau konsep kesopanan yang terkandung dalam hijab.
Meskipun Balkan dan Eropa Timur memiliki populasi Muslim asli, sebagian besar Muslim di Eropa Barat adalah anggota komunitas imigran. Isu pakaian Islami terkait dengan masalah migrasi dan posisi Islam di masyarakat Barat. Komisioner Eropa Franco Frattini mengatakan pada November 2006 bahwa ia tidak mendukung pelarangan burka.[16] Ini tampaknya merupakan pernyataan resmi pertama dari Komisi Eropa, eksekutif dari Uni Eropa, terkait pelarangan pakaian Islami. Alasan yang diberikan untuk pelarangan bervariasi. Larangan hukum pada pakaian yang menutupi wajah sering kali dibenarkan atas dasar keamanan, sebagai tindakan anti-terorisme.[17][18]
Ayaan Hirsi Ali melihat Islam sebagai tidak kompatibel dengan nilai-nilai Barat, setidaknya dalam bentuknya yang sekarang. Dia mendukung nilai-nilai 'liberalisme Pencerahan', termasuk sekularisme dan kesetaraan gender. Baginya, burka atau chador adalah simbol obskurantisme agama dan penindasan terhadap perempuan. Nilai-nilai Pencerahan Barat, menurutnya, memerlukan pelarangan, terlepas dari apakah seorang perempuan memilih pakaian Islami secara sukarela. Pakaian Islami juga dilihat sebagai simbol dari adanya masyarakat paralel dan kegagalan integrasi budaya: pada tahun 2006, Perdana Menteri Inggris Tony Blair menyebutnya sebagai "tanda pemisahan".[19] Simbol-simbol yang terlihat dari budaya non-Kristen bertentangan dengan identitas nasional di negara-negara Eropa, yang mengasumsikan adanya budaya bersama (non-religius). Usulan pelarangan mungkin terkait dengan larangan budaya lain yang terkait: politisi Belanda Geert Wilders mengusulkan larangan hijab, sekolah Islam, pembangunan masjid baru, dan imigrasi non-Barat.
Di Prancis dan Turki, penekanan diberikan pada sifat sekuler dari negara, dan sifat simbolis dari pakaian Islami. Di Turki, larangan berlaku di lembaga-lembaga negara (pengadilan, aparatur sipil negara) dan di pendidikan yang dibiayai negara. Pada tahun 2004, Prancis mengesahkan undang-undang yang melarang "simbol atau pakaian yang secara mencolok menunjukkan afiliasi agama siswa" (termasuk hijab) di sekolah dasar, menengah, dan menengah atas negeri,[20] tetapi undang-undang ini tidak berlaku untuk universitas (di universitas-universitas Prancis, undang-undang yang berlaku memberikan kebebasan berekspresi kepada mahasiswa selama ketertiban umum terjaga.[21]). Larangan ini juga mencakup kerudung Islami, yang di beberapa negara lain dianggap kurang kontroversial, meskipun staf pengadilan di Belanda juga dilarang mengenakan kerudung Islami dengan alasan 'netralitas negara'. Argumen yang tampaknya kurang dipolitisasi adalah bahwa dalam profesi tertentu (mengajar), larangan "kerudung" (niqab) dibenarkan karena komunikasi tatap muka dan kontak mata diperlukan. Argumen ini menonjol dalam putusan di Inggris dan Belanda setelah siswa atau guru dilarang mengenakan pakaian yang menutupi wajah. Tanggapan publik dan politik terhadap usulan pelarangan semacam itu rumit, karena pada dasarnya berarti pemerintah memutuskan pakaian individu. Beberapa non-Muslim, yang tidak akan terpengaruh oleh larangan, melihatnya sebagai masalah kebebasan sipil, sebagai slippery slope yang mengarah pada pembatasan lebih lanjut atas kehidupan pribadi. Sebuah jajak pendapat di London menunjukkan bahwa 75 persen warga London mendukung "hak setiap orang untuk berpakaian sesuai dengan keyakinan agama mereka".[22] Dalam jajak pendapat lain di Inggris oleh Ipsos MORI, 61 persen setuju bahwa "perempuan Muslim memisahkan diri mereka" dengan mengenakan kerudung, namun 77 persen berpendapat bahwa mereka harus memiliki hak untuk memakainya.[23]
Tidak semua perempuan Muslim memandang hijab sebagai pakaian yang menindas atau dipaksakan kepada mereka. Bagi sebagian perempuan, hijab merupakan ekspresi dari keyakinan agama mereka dan simbol kesopanan serta identitas diri. Mereka memilih mengenakannya dengan kesadaran dan kehendak sendiri, melihat hijab sebagai cara untuk menjalankan keyakinan spiritual serta melindungi diri dari pandangan yang tidak diinginkan.[24]
Anti-hijab
Ada juga sebagian perempuan Muslim yang merasa bahwa hijab menghambat kebebasan pribadi mereka sebagai perempuan. Beberapa di antaranya berpendapat bahwa hijab dapat "merampas kepribadian mereka"[25] dan membuat mereka hanya dilihat sebagai representasi agama mereka. Hal ini bisa menjadi beban yang harus mereka hadapi setiap hari, yang akhirnya mendorong beberapa perempuan Muslim untuk tidak mengenakan hijab.
Di beberapa negara seperti Iran, aturan ketat tentang hijab membuat banyak perempuan merasa tertekan oleh pemerintah untuk berpakaian sesuai dengan gaya tertentu. Banyak yang merasa aturan ini melanggar kebebasan pribadi mereka, terutama dalam hal pilihan berpakaian.[26]
Status hukum dan budaya terkait hijab berbeda-beda di setiap negara. Beberapa negara melarang penggunaan simbol agama yang mencolok, termasuk hijab (kerudung Muslim, dari bahasa Arab "untuk menutupi"), di sekolah negeri atau universitas negeri atau gedung pemerintahan.
Austria
Pada tahun 2017, parlemen Austria mengesahkan larangan menutup wajah di tempat umum (terutama menargetkan pakaian Islam seperti burqa dan niqab).[27] Selain itu, pada 16 Mei 2019, parlemen Austria memberlakukan larangan "pakaian yang dipengaruhi ideologi atau agama yang terkait dengan penutupan kepala" di sekolah dasar.[28][29] Larangan ini secara langsung melarang kerudung tradisional yang dikenakan oleh wanita Muslim di seluruh dunia.
Pada April 2011, Prancis menjadi negara Eropa pertama yang melarang penutupan wajah di ruang publik. Balaclava, niqab yang menutupi wajah, burqa yang menutupi seluruh tubuh, dan topeng karnaval (di luar musim karnaval) dilarang,[33][34][35] meskipun hijab diizinkan di ruang publik karena tidak menutupi wajah. Undang-undang ini disahkan dengan suara bulat, dengan alasan bahwa penutupan wajah, termasuk kerudung Muslim, bertentangan dengan prinsip keamanan yang mendasari Prancis.[36]
Di Iran, mengenakan hijab adalah hukum negara dan wajib bagi semua wanita sejak Revolusi Iran tahun 1979. Wanita yang terlihat di tempat umum tanpa hijab dapat dikenai hukuman denda atau penjara. Pemerintah Iran mewajibkan hijab tidak hanya sebagai aturan agama tetapi juga sebagai simbol nasionalis dari budaya Islam negara tersebut. Hukum ini telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan, khususnya di kalangan generasi muda yang menentang peraturan ketat mengenai pakaian.[37]
Di beberapa bagian negara, seperti di Teheran, banyak wanita yang mengenakan hijab secara longgar sebagai bentuk protes diam-diam terhadap peraturan ini, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan hukuman dari pihak berwenang.[38] Pada tahun 2014, gerakan daring seperti "My Stealthy Freedom" diluncurkan oleh jurnalis Masih Alinejad yang menginspirasi ribuan wanita untuk memposting foto mereka tanpa hijab sebagai bentuk protes terhadap peraturan tersebut.[39]
^ abJohn L. Esposito, ed. (2019). "Clothing". The Islamic World: Past and Present. Oxford University Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Februari 2008.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Marzel, Shoshana-Rose; Stiebel, Guy D. (18 Desember 2014). Dress and Ideology: Fashioning Identity from Antiquity to the Present (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury Publishing. hlm. 98. ISBN978-1-4725-5809-1. Seorang wanita Muslim yang beriman tidak akan mengenakan celana (bantalon) karena dua alasan. Pertama, celana mungkin mencerminkan kontur anggota tubuh yang seharusnya tetap tersembunyi. Kedua, pakaian yang terkait dengan pria tidak boleh dipakai, sama seperti pria dilarang memakai pakaian wanita. Menurut Nabi, Allah mengutuk wanita yang memakai pakaian yang dimaksudkan untuk pria, dan pria yang mengenakan pakaian wanita.
^"unicornsorg". Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Desember 2015. Diakses tanggal 26 Desember 2015.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Moroccoworldnews.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 Desember 2015. Diakses tanggal 26 Desember 2015.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Dilarang, tanpa kecuali, mengenakan balaclava, kerudung (burqa, niqab ...), topeng, atau aksesori atau pakaian lain yang berfungsi untuk, sendiri atau dalam kombinasi dengan yang lain, menutupi wajah".Circulaire du 2 mars 2011 relative à la mise en œuvre de la loi n° 2010-1192 du 11 octobre 2010 interdisant la dissimulation du visage dans l'espace public. "JORF n°0052 du 3 mars 2011 page 4128". legifrance.gouv.fr (dalam bahasa Prancis).
Soravia, Bruna, "Pakaian", dalam Muhammad dalam Sejarah, Pemikiran, dan Budaya: Ensiklopedia Nabi Tuhan (2 jilid), Disunting oleh C. Fitzpatrick dan A. Walker, Santa Barbara, ABC-CLIO, 2014, Jilid I, hlm. 153–156.