Obesitas anak
Obesitas anak merupakan kondisi ketika lemak tubuh berlebih memberikan dampak negatif pada kesehatan atau kesejahteraan anak. Karena metode pengukuran lemak tubuh secara langsung sulit dilakukan, Indeks massa tubuh (IMT) kerap dijadikan acuan untuk mendiagnosis obesitas. Obesitas memiliki banyak efek buruk terhadap kesehatan dan prevalensinya semakin meningkat di kalangan anak-anak. Maka dari itu, obesitas anak diakui pihak berwenang sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius.[1] Ketimbang “obesitas”, istilah “kelebihan berat” lebih sering digunakan dalam pembahasan obesitas anak, terutama dalam diskusi terbuka, untuk meringankan stigma.[2] Prevalensi obesitas anak diketahui berbeda berdasarkan jenis kelamin dan gender.[3] KlasifikasiIndeks massa tubuh (IMT) merupakan standar yang berterima untuk menentukan obesitas anak usia dua tahun ke atas.[4] Penentuannya berdasarkan perbandingan berat badan terhadap tinggi badan.[5] Kisaran normal IMT pada anak beragam menurut usia dan jenis kelamin. Meskipun IMT persentil ke-85 ke atas dikategorikan sebagai kelebihan berat, persentil ke-95 atau di atasnya dikategorikan sebagai obesitas menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat. Lembaga tersebut telah menerbitkan tabel khusus untuk ini pada anak-anak.[6] Namun, US Preventive Services Task Force melaporkan tidak semua anak dengan IMT tinggi perlu menurunkan berat badan. IMT tinggi dapat menunjukkan kemungkinan adanya masalah berat badan, tetapi tidak membedakan antara jaringan lemak atau otot.[7] Selain itu, IMT bisa saja mengesampingkan beberapa anak yang sebenarnya memiliki jaringan adiposa berlebih. Oleh karena itu, penting untuk ketepatan diagnosis IMT dengan pemeriksaan tambahan seperti pengukuran jaringan adiposa atau lipatan kulit.[8] EpidemiologiGlobalPada tahun 2022, sebanyak 37 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami kelebihan berat badan. Lebih dari 390 juta anak dan remaja berusia 5–19 tahun juga mengalami kelebihan berat badan, termasuk 160 juta di antaranya yang hidup dengan obesitas. IndonesiaDi Indonesia, prevalensi kelebihan berat badan pada anak di bawah 5 tahun meningkat dari 4,2% menjadi 9,4% antara tahun 1993 dan 2007, namun relatif stagnan antara tahun 2007 hingga 2014. Di samping itu, prevalensi kelebihan berat badan antara tahun 1993 hingga 2014 pada anak usia 6–12 tahun meningkat dari 5,1% menjadi 15,6%, sedangkan pada anak 13–18 tahun meningkat dari 7,1% menjadi 14,1%.[9] Prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas juga meningkat secara signifikan di provinsi-provinsi di mana masalah kekurangan berat badan dan defisiensi mikronutrien masih masif. Sebagai contoh, di Papua, meskipun banyak anak usia 5–12 tahun mengalami kelebihan berat badan dan obesitas (30,6%), anak-anak di bawah 5 tahun justru banyak yang mengalami stunting (33,1%) dan wasting (10,3%). Hal ini menunjukkan bahwa di satu wilayah dapat terjadi masalah gizi berlebih dan gizi buruk secara sekaligus.[10] Faktor RisikoFaktor risiko yang meningkatkan kemungkinan anak di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas meliputi:[11]
Sebaliknya, faktor utama yang melindungi anak dari risiko ini adalah persepsi orang tua bahwa konsumsi makanan anak mereka kurang dari yang seharusnya.[12] Dengan demikian, perhatian orang tua terhadap pola makan anaknya berperan penting dalam mencegah kelebihan berat badan atau obesitas. Dampak pada kesehatanPsikologisPermasalahan awal yang terjadi pada penderita obesitas anak biasanya bersifat emosional atau psikologis.[13] Penderita kerap dirundung teman-teman mereka.[14][15] Beberapa di antaranya dilecehkan atau didiskriminasi oleh keluarga mereka sendiri. Berbagai stereotip pun muncul sehingga bisa menurunkan kepercayaan diri mereka serta mengakibatkan depresi.[16] FisikObesitas anak juga dapat menimbulkan sejumlah penyakit yang mengancam nyawa seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, gangguan tidur, kanker, dan lainnya.[17][18] Penyakit lain meliputi penyakit hati, pubertas dini, gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia, peradangan kulit, dan masalah pernapasan seperti asma.[19] Dampak fisik dini pada masa remaja antara lain batu empedu, hepatitis, apnea tidur, dan peningkatan tekanan intrakranial.[20] Anak yang kelebihan berat juga cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang kelebihan berat.[18] Obesitas pada masa remaja telah diketahui meningkatkan mortalitas pada masa dewasa.[21] Sebuah studi tahun 2008 menemukan bahwa penderita obesitas anak memiliki tingkat kolesterol yang abnormal serta arteri karotis yang mengalami penuaan dini sebanyak tiga puluh tahun.[22]
Penderita obesitas anak cenderung tetap obesitas ketika dewasa. Maka dari itu, mereka lebih berpeluang mengidap penyakit orang dewasa seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, strok, sejumlah tipe kanker, dan osteoartritis. Sebuah studi menunjukan bahwa anak-anak yang sudah obesitas sejak usia dua tahun lebih berpeluang untuk tetap obesitas ketika dewasa.[25] Menurut sebuah artikel di The New York Times, keseluruhan dampak buruk obesitas andil dalam memperpendek umur sebanyak lima tahun bagi penderita obesitas anak. Untuk pertama kalinya dalam dua abad ini, generasi anak-anak masa kini di Amerika Serikat kemungkinan berumur lebih pendek dari orang tua mereka.[26] PenyebabObesitas anak dapat disebabkan oleh serangkaian faktor yang biasanya berbentuk kombinasi.[27][28][29][30][31] “Lingkungan obesogenik” merupakan istilah medis yang ditetapkan pada kombinasi tersebut.[32] Faktor risiko terbesar pada obesitas anak adalah obesitas pada kedua orang tuanya yang dapat tercermin dari lingkungan dan riwayat genetik keluarga.[33] Alasan yang lain juga bisa dari faktor-faktor psikologis dan jenis tubuh anak. Sebuah kajian tahun 2010 menyatakan bahwa obesitas anak kemungkinan merupakan hasil interaksi seleksi alam yang memihak pemilik metabolisme energi yang jauh lebih hemat dan masyarakat konsumtif saat ini yang memiliki akses mudah terhadap makanan padat energi yang murah dan kebutuhan energi harian yang rendah.[34] GenetikObesitas anak sering kali disebabkan faktor-faktor genetik dan lingkungan yang saling memengaruhi. Polimorfisme pada berbagai gen yang mengendalikan nafsu makan dan metabolisme mendorong seseorang untuk menjadi obesitas ketika adanya jumlah kalori yang cukup. Lebih dari 200 gen memengaruhi berat badan dengan mengatur tingkat aktivitas, preferensi makanan, jenis tubuh, dan metabolisme.[35] Memiliki dua salinan alel yang disebut FTO meningkatkan peluang baik obesitas maupun diabetes.[36] Maka dari itu, obesitas berperan besar dalam sejumlah kelainan genetik langka yang sering muncul pada masa kanak-kanak:
Pada penderita obesitas usia dini yang parah (yaitu obesitas yang bermula sebelum usia 10 tahun dengan IMT lebih dari tiga simpangan baku di atas tingkat normal), 7% di antaranya memiliki satu mutasi lokus.[37][38] Sebuah studi menunjukkan bahwa 80% keturunan dari dua orang tua yang obesitas juga menderita obesitas, sedangkan pada keturunan dari dua orang tua dengan berat badan, tingkatannya kurang dari 10%.[1][39] Persentase obesitas yang dapat dicirikan gen bervariasi dari 6% hingga 85%, bergantung pada populasi yang diuji.[40] Kebiasaan keluargaDalam beberapa dekade terakhir, kebiasaan keluarga telah berubah secara signifikan, dan beberapa di antaranya berandil besar terhadap obesitas anak:[5]
Kebijakan SosialBerbagai masyarakat dan negara telah mengangkat beragam praktik dan kebijakan sosial yang dapat bermanfaat atau berbahaya bagi kesehatan fisik anak. Faktor-faktor sosial tersebut meliputi:[5]
PengiklananPengiklanan makanan taksehat memiliki kolerasi terhadap tingkat obesitas anak. Di beberapa negara, pengiklanan permen, sereal, dan restoran cepat saji dilarang atau diberi batasan tayang pada saluran televisi anak.[43] Media membela diri dengan menyalahkan orang tua karena menuruti permintaan anak mereka terhadap makanan taksehat.[5] Status sosial ekonomiKelebihan berat jauh lebih umum ditemukan pada pemuda yang tergolong ke dalam ras atau suku minoritas, atau yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah. Mereka juga cenderung terlibat dalam perilaku kurang sehat dan aktivitas kurang gerak.[44] PencegahanSekolah berperan besar dalam pencegahan obesitas anak dengan menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung dengan kebijakan dan praktik yang menunjang perilaku sehat.[45] Di rumah, orang tua dapat membantu mencegah anak-anak mereka kelebihan berat dengan mengubah kebiasaan makan keluarga dan berolahraga bersama. Cara terbaik belajar anak adalah dengan mencontoh, sehingga orang tua harus memberi contoh yang baik dengan menerapkan gaya hidup sehat.[46] Pemeriksaan badan dianjurkan pada anak-anak usia di atas 6 tahun.[47] Baik aktivitas fisik dan pola makan khusus dapat membantu mengurangi peluang obesitas pada anak-anak usia 0 sampai 5 tahun. Sementara itu, aktivitas fisik saja dapat mengurangi peluang obesitas pada anak usia 6 hingga 12 tahun dan remaja usia 13 hingga 18 tahun.[48] Penerapan strategi untuk memperbaiki layanan pengasuhan anak (misalnya taman kanak-kanak dan tempat penitipan anak) pada pola makan sehat, aktivitas fisik, dan pencegahan obesitas menunjukkan dampak yang minim terhadap pola makan, aktivitas fisik, dan berat badan anak.[49] Indeks Massa Tubuh IbuIndeks massa tubuh (IMT) ibu merupakan prediktor obesitas anak yang penting. Ibu yang mengalami obesitas sebelum hamil, yang ditandai dengan IMT ≥30 kg/m2 , diketahui memiliki anak dengan tingkat pertumbuhan lebih cepat dan lebih berpeluang mengalami obesitas.[50] Pola makanPengaruh kebiasaan makan terhadap obesitas anak sulit ditentukan. Sebuah eksperimen yang melibatkan 1.704 anak kelas tiga yang diberi dua hidangan sehat per hari, program olahraga, serta konseling pola makan gagal menunjukkan penurunan persentase lemak tubuh yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Salah satu penyebabnya adalah meskipun anak-anak percaya mereka makan lebih sedikit, intervensi eksperimen tidak mengurangi konsumsi kalori aktual mereka. Pada waktu bersamaan, pengeluaran energi yang diamati pada kedua kelompok tidak jauh berbeda walaupun asupan lemak pada kelompok eksperimen diturunkan dari 34% menjadi 27%.[51] Eksperimen kedua yang melibatkan 5.106 anak juga menunjukkan hasil yang serupa. Meskipun anak-anak mengonsumsi pola makan yang lebih baik, tidak ada pengaruh yang terlihat pada IMT.[52] Intervensi yang diterapkan pada kedua eksperimen ini dinilai tidak cukup besar untuk memberikan dampak pengurangan obesitas anak yang diharapkan. Sebagian besar perubahan dilakukan pada lingkungan sekolah sedangkan untuk mendapatkan efek yang signifikan, perubahan harus terjadi di rumah, kelompok masyarakat, dan sekolah secara bersamaan.[39] Sebuah kajian dari orgainsasi Cochrane mengenai pola makan dengan lemak lebih rendah pada anak-anak (30% atau kurang dari energi total) untuk menangkal obesitas menunjukkan bukti yang dimiliki tergolong bermutu sangat rendah hingga sedang. Oleh karena itu, kesimpulan yang pasti tidak dapat ditarik.[53] Minuman dan makanan tinggi kalori cepat tersedia untuk anak-anak. Konsumsi minuman ringan tinggi gula dapat berandil terhadap obesitas anak. Dalam sebuah studi yang melibatkan 548 anak selama 19 bulan, peluang obesitas meningkat 1.6 kali lipat tiap minuman ringan tambahan yang dikonsumsi per hari.[54][55] Cemilan padat kalori tersedia di banyak tempat yang sering dikunjungi anak-anak. Karena prevalensi obesitas anak semakin meningkat, otomat pengecer cemilan di lingkungan sekolah telah dikurangi menurut peraturan di sejumlah wilayah. Beberapa penelitian menyiratkan bahwa peningkatan ketersediaan makanan rendah gizi (junk food) di sekolah dapat menjadi penyebab sekitar satu per lima dari kasus kenaikan rata-rata IMT remaja selama dekade terakhir.[56] Makan di restoran cepat saji sangat umum di kalangan pemuda. Sebanyak 75% jumlah siswa kelas 7 sampai 12 mengonsumsi makanan cepat saji per minggu.[57] Industri makanan cepat saji juga menjadi faktor pendorong meningkatnya obesitas anak. Industri makanan cepat saji menghabiskan sekitar $4,2 miliar pada iklan yang ditujukan pada anak-anak. McDonald’s memiliki tiga belas situs web yang dikunjungi 365.000 anak dan 294.000 remaja tiap bulannya. Selain itu, restoran cepat saji memberikan mainan pada menu khusus anak yang memikat mereka supaya membeli makanan cepat saji. Sebanyak 40% anak-anak meminta orang tua mereka untuk dibawa ke restoran cepat saji setiap hari. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa dari 3.000 kombinasi makanan populer pada menu khusus anak di restoran cepat saji, hanya 13 yang memenuhi panduan gizi yang direkomendasikan untuk anak.[58] Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara konsumsi makanan cepat saji dengan obesitas,[59] termasuk sebuah kajian yang menunjukkan bahwa restoran cepat saji yang berlokasi di dekat sekolah meningkatkan peluang obesitas para siswa.[60] Konsumsi susu murni dibanding dengan susu reduced-fat (mengandung lemak 2% dari total berat susu) pada anak usia satu hingga dua tidak berdampak pada berat badan, tinggi badan, atau pun persentase lemak tubuh. Maka dari itu, susu murni tetap direkomendasikan untuk dikonsumsi bagi kelompok umur ini.[61] HukumBeberapa yurisdiksi menggunakan peraturan dan undang-undang dalam upaya mengarahkan anak-anak dan orang tua memilih makanan yang lebih sehat. Dua contoh tersebut adalah pemberlakuan undang-undang jumlah kalori dan larangan penjualan minuman ringan di otomat pengecer di sekolah-sekolah.[62] Di Britania Raya, Obesity Health Alliance meminta partai mana pun yang memenangkan pemilu supaya mengambil langkah untuk mengurangi obesitas anak, misalnya dengan melarang penayangan iklan makanan taksehat di bawah pukul 9 malam dan melarang sponsor olahraga dari produsen makanan taksehat. Kegagalan pemerintahan Britania Raya saat ini dalam memotong kandungan gula, lemak, dan garam pada makanan telah dikritik.[63] Para pakar kesehatan, komite khusus kesehatan, dan peserta kampanye kesehatan menggambarkan rencana Partai Konservatif dalam mengatasi obesitas anak sebagai “lemah dan “seleweng”.[64] Aktivitas fisikKurangnya aktivitas fisik pada anak-anak juga menjadi penyebab yang serius. Anak-anak yang tidak terlibat dalam aktivitas fisik yang teratur berpeluang lebih besar mengalami obesitas. Para peneliti mengkaji aktivitas fisik 133 anak selama periode tiga minggu dengan menggunakan akselerometer untuk mengukur tingkat aktivitas fisik tiap anak. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang obesitas 35% kurang aktif pada hari sekolah dan 65% kurang aktif pada akhir pekan dibandingkan dengan yang tidak. Anak yang kurang aktif dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang juga kurang aktif. Dalam sebuah survei yang melibatkan 6.000 orang dewasa, para peneliti menemukan sebanyak 25% yang terbilang aktif pada usia 14 hingga 19 juga aktif ketika dewasa, sedangkan hanya 2% yang tidak aktif pada usia 14 hingga 19 menjadi aktif ketika dewasa.[65] Kurang beraktivitas menyisakan energi yang tidak terpakai di dalam tubuh dan kemudian disimpan sebagai lemak. Para peneliti mengkaji 16 pria selama periode 14 hari dan memberi mereka makanan yang mengandung energi 50% lebih banyak dari kebutuhan energi harian mereka melalui kadar lemak dan karbohidrat. Mereka menemukan bahwa pemberian karbohidrat berlebih menghasilkan kelebihan energi sebesar 75–85% yang disimpan sebagai lemak tubuh dan pemberian lemak berlebih menghasilkan kelebihan energi sebesar 90–95% yang disimpan sebagai lemak tubuh.[66] Banyak anak tidak berolahraga karena terlibat dalam aktivitas kurang gerak dalam waktu yang lama seperti menggunakan komputer, bermain gim video, atau menonton televisi. Teknologi memiliki faktor besar pada keaktifan anak. Para peneliti menawarkan sebuah kuesioner teknologi kepada 4.561 anak yang secara keseluruhan berusia 14, 16, dan 18 tahun. Mereka menemukan bahwa anak-anak 21.5% cenderung kelebihan berat ketika menonton televisi selama 4 jam atau lebih per hari, 4.5% cenderung kelebihan berat ketika menggunakan komputer 1 jam atau lebih per hari, dan tidak terpengaruh berat badannya dari bermain gim video.[66] Sebuah eksperimen teracak menunjukkan bahwa mengurangi durasi menonton televisi dan penggunaan komputer dapat menurunkan IMT anak. Pengurangan asupan kalori sebelumnya dianggap menjadi andil terbesar dalam penurunan IMT.[67] Rendahnya keaktifan anak dihubungkan dengan obesitas di Amerika Serikat dengan semakin banyaknya anak yang kelebihan berat pada usia dini. Dalam sebuah kajian prasekolah pada tahun 2009, sebesar 89% aktivitas sehari-hari anak tergolong kurang gerak. Dalam kajian yang sama, meskipun anak-anak berada di luar ruangan, 56% aktivitas juga tergolong kurang gerak. Faktor yang diyakini andil dalam kurangnya aktivitas anak adalah motivasi guru yang rendah, tetapi ketika mainan seperti bola disediakan, anak-anak cenderung bermain.[68] Lingkungan rumahPilihan makanan oleh anak juga dipengaruhi kebiasaan makan bersama keluarga. Para peneliti memberikan kuesioner tentang pola makan rumah tangga kepada 18.117 anak dengan rentang usia 11–21 dan menemukan bahwa empat dari 5 orang tua mengizinkan anak mereka membuat keputusan makanan mereka sendiri. Para peneliti juga menemukan, dibandingkan dengan remaja yang makan bersama sebanyak tiga atau kurang per minggu, anak-anak yang makan bersama sebanyak empat sampai lima per minggu berpeluang 19% lebih sedikit untuk menunjukkan kekurangan konsumsi sayuran, 22% lebih sedikit untuk menunjukkan kekurangan konsumsi buah-buahan, dan 19% lebih sedikit untuk menunjukkan kekurangan konsumsi produk susu. Remaja yang makan bersama sebanyak enak sampai tujuh per minggu berpeluang 38% lebih sedikit untuk menunjukkan kekurangan konsumsi sayuran, 31% lebih sedikit untuk menunjukkan kekurangan konsumsi buah-buahan, 27% lebih sedikit untuk menunjukkan kekurangan konsumsi produk susu.[69] Hasil survei di Britania Raya yang diterbitkan pada tahun 2010 menyiratkan bahwa anak-anak yang dibesarkan kakek-nenek mereka lebih berpeluang menjadi obesitas saat dewasa ketimbang yang dibesarkan orang tua mereka.[70] Sebuah kajian di Amerika yang keluar pada tahun 2011 menemukan bahwa semakin sering ibu bekerja, semakin besar pula peluang anak mereka menjadi kelebihan berat atau obesitas.[71] Faktor perkembanganBerat badan anak dapat dipengaruhi ketika ia masih bayi. Para peneliti juga melakukan sebuah kajian kohor pada 19.397 bayi yang baru lahir hingga berusia tujuh tahun. Kajian tersebut menunjukkan bahwa bayi berusia 4 bulan dengan berat badan tinggi berpeluang 1,38 kali lebih besar untuk mengalami kelebihan berat pada usia tujuh tahun dibandingkan dengan bayi dengan berat badan normal. Bayi dengan berat badan tinggi pada usia 1 tahun berpeluang 1,17 kali lebih besar untuk mengalami kelebihan berat pada usia tujuh tahun dibandingkan dengan bayi dengan berat badan normal.[72] Penyakit medisSindrom Cushing (kondisi ketika tubuh seseorang mengandung kortisol berlebih) juga dapat berpengaruh pada obesitas anak. Para peneliti menganalisis dua isoform (protein yang memiliki fungsi serupa dengan protein lain, tetapi berasal dari gen yang berbeda) pada sel tubuh 16 orang dewasa yang menjalani operasi perut. Mereka menemukan bahwa satu tipe isoform menciptakan aktivitas okso-reduktase (perubahan kortison menjadi kortisol). Aktivitas ini meningkatkan 127,5 pmol mg sup ketika isoform tipe lain diberi kortisol dan insulin. Aktivitas kortisol dan insulin berkemungkinan mengaktifkan sindrom Cushing.[73] Faktor psikologisSurvei dilakukan pada 1.520 anak-anak yang berusia 9-10 tahun dan dipantau hingga empat tahun. Para peneliti menemukan korelasi positif antara obesitas dan kepercayaan diri rendah dalam jangka waktu empat tahun tersebut. Mereka juga menemukan bahwa kepercayaan diri rendah mengakibatkan 19% penderita obesitas anak merasa sedih, 48% merasa bosan, dan 21% merasa gugup. Pada anak-anak dengan berat badan normal, 8% merasa sedih, 42% merasa bosan, dan 12% merasa gugup.[74] Stres dapat berpengaruh pada kebiasaan makan anak. Para peneliti menguji skala stres pada 28 mahasiswi dan menemukan bahwa mahasiswi yang makan terlalu banyak (binge-eating) memiliki rerata skala stres sebesar 29.65 poin, sedangkan yanng tidak hanya 15.19 poin.[75] Bukti ini memperlihatkan hubungan antara makan dan stres. Depresi dapat mendorong anak untuk makan terlalu banyak. Para peneliti melakukan wawancara dalam rumah kepada 9.374 anak-anak dan remaja kelas 7 hingga 12. Tidak ada korelasi langsung pada depresi terhadap makan anak. Dari semua kelompok yang mengalami obesitas, 8.2% merasa depresi sedangkan pada yang tidak obesitas, 8.9% merasa depresi.[76] Namun, antidepresan tampaknya memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap obesitas anak. Para peneliti juga memberikan kuesioner mengenai depresi terhadap 487 penderita kelebihan berat atau obesitas. Sebanyak 7% penderita yang memiliki gejala depresi minor mengonsumsi antidepresan dan memiliki rerata IMT sebesar 44.3; sebanyak 27% penderita yang memiliki gejala depresi sedang mengonsumsi antidepresan dan memiliki rerata IMT sebesar 44.7; sebanyak 31% penderita yang memiliki gejala depresi mayor mengonsumsi antidepresan dan memiliki rerata IMT sebesar 44.2.[77] Beberapa kajian juga menyelidiki hubungan antara gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) dan obesitas pada anak. Sebuah kajian pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa pada subkelompok anak yang dirawat di rumah sakit karena obesitas, sebesar 57.7% memiliki komorbid ADHD.[78] Hubungan antara obesitas dan ADHD mungkin terlihat berlawanan mengingat ADHD biasanya dikaitkan dengan pengeluaran energi lebih tinggi yang dianggap sebagai faktor penangkal obesitas.[79] Namun, kajian-kajian ini membuktikan bahwa anak-anak menunjukkan lebih banyak tanda-tanda ADHD tipe dominan inatentif daripada ADHD tipe gabungan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa gejala-gejala hiperaktivitas yang biasanya muncul pada pengidap ADHD tipe gabungan tersamarkan pada penderita obesitas dengan ADHD karena kemampuan bergerak (mobilitas) mereka yang rendah.[78] Korelasi yang sama antara obesitas dan ADHD juga terlihat pada populasi orang dewasa.[80] Penjelasan hubungan antara ADHD dan obesitas anak termasuk tapi tidak terbatas pada kelainan dalam jalur hipodopaminergik, kebiasaan makan abnormal yang diciptakan ADHD, atau spontanitas terkait dengan binge-eating yang menyebabkan ADHD pada penderita obesitas.[80][81] Sebuah ulasan sistematis terhadap kajian yang membahas hubungan antara obesitas dan ADHD menyimpulkan bahwa seluruh kajian yang diulas melaporkan berat badan pengidap ADHD lebih tinggi di luar dugaan.[81] Namun, ulasan yang sama juga menyatakan bahwa seluruh bukti yang mendukung hubungan tersebut masih terbatas dan riset lebih lanjut masih diperlukan untuk mempelajarinya lebih dalam. Mengingat tingkat prevalensi obesitas dan ADHD pada anak, memahami hubungan yang memungkinkan antara keduanya penting bagi kesehatan masyarakat, terutama dalam menyelidiki opsi penanganan dan manajemen. Beberapa tahun belakangan ini, terapi psikologis sebagai intervensi langsung dalam pengobatan obesitas anak semakin banyak dilakukan. Sebuah metaanalisis tentang terapi psikologis untuk mengobati obesitas anak dan remaja mendapati terapi perilaku berbasis keluarga (FBT) dan terapi perilaku khusus orang tua menjadi praktik yang paling efektif dalam mengobati obesitas anak di bawah rangka kerja psikologis.[82] PengelolaanObesitas anak ditangani dengan perubahan pola makan dan aktivitas fisik. Akan tetapi, melakukan diet dan melewati jam makan sangat tidak disarankan.[83] Pemantauan BMI dan konseling tentang berat badan tidak begitu memberi dampak.[84] Gaya hidupPemberian ASI direkomendasikan untuk bayi baru lahir karena kandungan nutrisinya serta manfaat-manfaat lain.[85] Perubahan pola makan dan gaya hidup yang dilakukan orang tua terhadap anak dengan memberi porsi makan yang sesuai, meningkatkan aktivitas fisik, dan meminimalkan kebiasaan kurang gerak mampu menurangi tingkat obesitas anak.[86] Jika anak lebih aktif bergerak, tingkat obesitas akan berkurang. Para orang tua harus menyadari tanda-tanda kelebihan berat dan mendorong anak mereka untuk lebih aktif bergerak. Ketimbang menggunakan kendaraan bermotor atau menonton televisi, berjalan atau bersepeda dapat menurunkan aktivitas kurang gerak.[87] Obat-obatanBelum ada obat yang disetujui pihak berwenang untuk menangani obesitas anak. American Academy of Pediatrics menyarankan penggunaan obat untuk obesitas seminim mungkin.[83] Orlistat dan sibutramina mungkin dapat membantu penanganan obesitas sedang pada remaja.[85] Metformin tidak begitu manjur.[88] Sebuah kajian oleh Cochrane pada tahun 2016 menyimpulkan bahwa obat-obatan mampu menurunkan sebagian kecil IMT dan berat badan anak-anak dan remaja penderita obesitas. Kesimpulan ini hanya didasari bukti yang rendah.[89] OperasiSampai pada tahun 2015, belum ada bukti yang cukup kuat dari kajian yang membandingkan pengaruh operasi dan perubahan gaya hidup terhadap obesitas anak meskipun terdapat sejumlah kajian bermutu tinggi yang menelaah topik ini.[90] Operasi bariatrik semakin banyak dijalani para remaja yang memiliki obesitas parah untuk menurunkan berat badan.[91] Catatan kaki
|