Untuk kelompok etnis perpaduan antara Tionghoa dan Pribumi Nusantara, lihat Orang Peranakan.
Artikel harus menyertakan terjemahan dari frasa dalam bahasa non-Indonesia yang terkandung didalam artikel ini dengan menggunakan {{lang}}, {{transliteration}} untuk alih-bahasa, dan {{IPA}} untuk transkripsi IPA. Lihat kode ISO 639 untuk bantuan parameter.Lihat kenapa.
Orang Tionghoa-Indonesia 印度尼西亞華人 / 印尼華人 印度尼西亚华人 / 印尼华人
Orang Tionghoa-Indonesia[catatan 1] adalah salah sebuah kelompok masyarakat di Indonesia[7] yang asal-usul leluhur mereka berasal dari Tiongkok. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Pengelompokan
Masyarakat Tionghoa-Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan garis keturunannya[siapa?]:
Masyarakat Tionghoa-Indonesia keturunan penuh (Mandarin: 印尼華人 / 印尼华人 [Yìnní huárén] atau disebut 華僑 / 华侨 [Huáqiáo]/[Hoakiao] oleh orang Tionghoa Indonesia (endonim))
Merupakan sebuah kelompok masyarakat Tionghoa Warga Negara Indonesia (WNI) yang lahir dan besar di Indonesia, dan tidak ada garis keturunan campuran dengan orang non-Tionghoa-Indonesia dalam silsilahnya, masyarakat ini umumnya bersuku Hokkien, Khek/Hakka, Tiociu, Kanton, dsb.[butuh rujukan]. Mereka dapat dibagi lagi ke dalam kelompok orang Totok (yang masih mengikuti tradisi leluhur, dan bisa berbicara salah satu bahasa Tionghoa; biasanya WNI Tionghoa generasi pertama atau kedua), dan orang babah atau baba, yang sudah berasimilasi dan tidak lagi mengikuti tradisi serta tidak dapat berbicara bahasa Tionghoa.
Masyarakat Tionghoa-Indonesia keturunan parsial (Mandarin: 印尼華裔 / 印尼华裔 [Yìnní huáyì])
Merupakan sebuah kelompok masyarakat yang memiliki garis keturunan campuran antara suku bangsa di Indonesia dengan suku bangsa di Tiongkok (Han maupun lainnya). Kelompok ini biasanya membentuk komunitas baru yang kemudian membentuk suatu identitas etnis tersendiri, contoh dari etnis yang terbentuk dari kelompok masyarakat ini ialah Suku Peranakan (di Jawa Tengah dan Jawa Timur), Suku Benteng (di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat), dsb.
Masyarakat Cina yang hidup di Indonesia (Mandarin: 中國人 / 中国人 [Zhōngguó rén] atau disebut 華僑 / 华侨 (Huáqiáo) oleh orang Tiongkok)
Merupakan kelompok masyarakat warga negara Tiongkok yang hidup dan menetap di negara Indonesia. Kelompok ini masuk ke dalam kategori ekspatriat yang biasanya berupa pekerja (dikategorikan sebagai pekerja asing), maupun menikah dengan seorang Warga Negara Indonesia.
Orang WNI Tionghoa-Indonesia dapat tinggal di Indonesia, maupun tinggal di luar negeri, termasuk di Cina (sebagian Tionghoa Indonesia kembali ke Cina karena terpaksa memilih kewarganegaraan, pada era Orde Lama, atau karena sukarela: studi, bekerja, wisata, ataupun menikah), Amerika Utara, Eropa, Asia Tenggara, dan negara-negara lainnya. Di luar Indonesia, identitas mereka (dan orang-orang Indonesia dari suku lainnya) biasanya melebur menjadi "orang Indonesia" saja, atau Warga Negara Indonesia, tanpa embel-embel etnis.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.[per kapan?][butuh rujukan]
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.[butuh rujukan]
Wilayah pemukiman yang penduduknya mayoritas orang Tionghoa lazim disebut Pecinan (dalam bahasa Inggris konsep yang setara adalah "Chinatown", dan dalam Tionghoa modern disebut 唐人街; pinyin: Tángrén Jiē, alias Jalan Tenglang.[8][9]:13
Populasi di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930.[10] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[11]
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% atau 1.739.000 jiwa yang mengaku sebagai Tionghoa. Definisi "etnis" yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang disensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat dianggap sebagai batas bawah ("lowerbound") karena banyak warga Tionghoa yang enggan mengaku sebagai "Tionghoa" dalam sensus. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[12]
Menurut Perpustakaan Universitas Ohio, jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar Cina[13] Sedangkan pada tahun 2006 jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mencapai 7.670.000.[14] Poston, Dudley; Wong, Juyin (2016) memperkirakan populasi Tionghoa Indonesia mencapai lebih dari 8.010.720 jiwa.[15]
Daerah asal di Tiongkok
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk subgrup (minxi 民系):
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.[butuh rujukan]
Di Tangerang, Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Tionghoa, Jawa, Sunda dan Melayu.
Sejarah
Masa-masa awal
Orang dari Cina daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Cina pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Cina.[16]
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Tionghoa muslim menghuni ibu kota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[17] Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[18] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[19]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Cina selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Cina, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktikkan kultur Tionghoa.[20]
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Era kolonial
Pada masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[butuh rujukan]. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (ke-dua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[21]
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama Kesultanan Mataram, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743 yang disebut dengan peristiwa Perang Kuning.[22] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[butuh rujukan] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825–1830. Pembantaian di Batavia tersebut[23][24][2]Diarsipkan 2009-09-21 di Wayback Machine. melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan permukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Pendidikan
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan pada tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Perekonomian
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pergerakan
Pemerintah kolonial Belanda makin khawatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Tiongkok, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel OranyeSurabaya.
Pasca kemerdekaan
Orde Lama
Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll.
Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora.
Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibu kota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.
Orde Baru
Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Reformasi
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Hasyim Muzadi menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya.
Empat kelompok utama bahasa Tionghoa di Indonesia adalah Hokkien (Min Selatan; Min Nan), Mandarin, Hakka, dan Kantonis. Selain itu, orang-orang Teochew berbicara dengan bahasa mereka sendiri yang memiliki tingkat pemahaman yang sama dengan Hokkien. Namun, perbedaan antara keduanya menonjol di luar wilayah asalnya. Ada sekitar 2,2 juta penutur asli dari pelbagai varietas bahasa Tionghoa di Indonesia pada tahun 1982: 1.300.000 penutur varietas Min Selatan (termasuk Hokkien dan Teochew); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton; dan 20.000 penutur dari varietas Timur Min (termasuk bahasa Fuzhou). Selain itu, sekitar 20.000 berbicara dengan dialek bahasa Indonesia yang berbeda.
Cheongsam merupakan busana tradisional (perempuan) Tionghoa. Pakaian dicirikan oleh kerah berdiri, membuka sisi kanan, pas pinggang, dan tergelincir bawah, yang sepenuhnya dapat memicu keindahan bentuk tubuh perempuan. Cheongsam berasal dari chèuhngsāam (Hanzi:.. 长衫 / 長衫, 'kemeja panjang / baju'). [25]
Seni Pertunjukan
Barongsai
Barongsai adalah tari tradisional Tionghoa dengan menggunakan sarung dan kostum yang menyerupai singa. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Pada 1965 kesenian barongsai di Indonesia sempat terhenti akibat situasi politik dan adanya pelarangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Meski saat itu barongsai tidak diizinkan dimainkan, namun ada satu tempat yang bisa menampilkan kesenianbudayabarongsai secara besar-besaran, yakni di Kota Semarang, tepatnya di panggung besar Kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Barongsai di Indonesia kemudian mengalami masa marak ketika masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mempopulerkan senibarongsai. Pada 9 Agustus 2012 di Jakarta, telah berdiri FOBI (Federasi Olahraga Barongsai Indonesia) yang menjadi wadah dari olahraga barongsai di Indonesia. FOBI akhirnya resmi masuk KONI pada 11 Juni 2013. Barongsai pun kini tidak hanya dimainkan oleh etnis Tionghoa saja, namun juga dimainkan oleh para kaum muda non-Tionghoa.[26]
Liang Liong
Tari Naga (karakter sederhana: 舞龙; karakter tradisional: 舞龍; pinyin: wǔ lóng) atau disebut juga Liang Liong di Indonesia. Tarian ini sering tampil pada waktu perayaan-perayaan tertentu. Orang Tionghoa sering menggunakan istilah 'Keturunan Naga'(龍的傳人 atau 龙的传人, lóng de chuán rén) sebagai suatu simbol identitas etnis. Dalam tarian ini, satu regu orang Tionghoa memainkan naga-nagaan yang diusung dengan belasan tongkat atau lebih. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan, menyorongkan dan mengibas-kibaskan kepala naga-nagaan tersebut yang merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah seorang penari.
Wayang Potehi
Wayang Potehi merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Tiongkok bagian selatan. Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara pada masa lampau dan telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia. Potehi berasal dari kata pou 布 (kain), te 袋 (kantong), dan hi 戯 (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok.
Wushu
Wushu (武術 atau 武术; Hanzi: wǔshù) secara harafiah berarti "seni bertempur/bela diri". Ini juga merupakan istilah lain dari kungfu yang lebih dahulu populer, yang berarti "ahli" dalam bidang tertentu. Kata Wushu berasal dari dua kata yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari kata “Wu” adalah ilmuperang, sedangkan arti kata “Shu” adalah seni. Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai seni untuk berperang atau seni beladiri (Martial Art). Wushu juga mempelajari seni, olahraga, kesehatan, pengobatan, beladiri, pernapasan, pikiran dan mental. Semua aliran kung fu atau seni bela diri yang berasal dari Chinatradisional, baik keras atau lembut dapat disebut Wushu. Wushu keras termasuk tinju selatan Nanquan dan tinju panjang Changquan. Wushu lembut termasuk tinju Taiji, Telapak Baguazhang, dan tinju xingyiquan. Adapun seni beladiri Wushu yang telah dikembangkan oleh orang-orang etnis Tionghoa yang menetap di wilayah Asia Tenggara (terutama Indonesia) sering kali disebut dengan istilah Kuntao.[27]
Festival
Festival Qingming
Festival Qingming 清明節 merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah kubur sesuai dengan ajaran Khong Hu Cu. Festival tradisional Tionghoa ini dilaksanakan pada hari ke-104 setelah titik balik Matahari di musim dingin (atau hari ke-15 pada hari persamaan panjang siang dan malam di musim semi), pada umumnya dirayakan pada tanggal 5 April atau 4 April pada tahun kabisat. Festival ini masih sering dirayakan di Kepulauan Bangka Belitung.
Imlek
Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama (Tionghoa: 正月; Pinyin: zhēng yuè) di tarikh Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh 十五暝 元宵節 pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī 除夕 yang berarti "malam pergantian tahun". Perayaan ini dirayakan dengan kumpul keluarga, jamuan besar, berdoa, penyalaan lampion dan penyulutan kembang api.
Kerusuhan Rasial terhadap Warga Tionghoa di Indonesia
Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946–1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya.[28]
Beberapa contoh kerusuhan rasial yang terjadi yaitu:
Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.[29]
Desember, tahun 1966. Sekolah- sekolah Tionghoa di Indonesia ditutup pada bulan Desember.[30]
Jakarta, tahun 1967. Koran- koran berbahasa Tionghoa ditutup oleh pemerintah.[30]
April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti-Tionghoa di Jakarta.[30]
Pekalongan, 31 Desember 1972. Terjadi keributan antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara pemakaman.
Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
Bandung, 5 Agustus 1973. Dimulai dari serempetan sebuah gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.[31]
Jakarta, tahun 1978. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Tionghoa di setiap barang/ media cetak di Indonesia.[32]
Ujungpandang, April 1980. Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
Medan, 12 April 1980. Sekelompok mahasiswa USU bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
Solo, 20 November 1980. Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku peranakan Tionghoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang Tionghoa.[33][34]
Surabaya, September 1986. Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya suku peranakan Tionghoa. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang Tionghoa.[35]
Pekalongan, 24 November 1995. Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tionghoa.[36]
Bandung, 14 Januari 1996. Massa mengamuk seusai pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang Tionghoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya karcis.
Rengasdengklok, 30 Januari 1997. Mula-mula ada seorang suku peranakan Tionghoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko Tionghoa.[37]
Ujungpandang, 15 September 1997. Benny Karre, seorang keturunan Tionghoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi. Hal itu menyulut emosi massa warga pribumi yang kemudian menghakimi Benny Karre hingga tewas, belum puas, kerusuhan pun meledak, toko-toko Tionghoa dibakar, dirusak dan dihancurkan, sambil meneriakkan provokasi dengan kata-kata rasis.[28]
Februari 1998. Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari – Anti-Tionghoa.[28]
Kerusuhan Mei 1998. Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massa terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut. Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.[28][33]
5-8 Mei 1998. Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.[28][33]
Jakarta, 13-14 Mei 1998. Kemarahan massa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik tertentu jadi kerusuhan anti-Tionghoa. Peristiwa ini merupakan peristiwa anti-Tionghoa paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.[28][33]
Solo, 14 Mei 1998. Ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghoa.[28][33][38]
Tanjungbalai, 29-30 Juli 2016. Kerusuhan Tanjungbalai, Sumatera Utara, meliputi aksi pengrusakan, penjarahan dan pembakaran yang menyasar rumah, tempat-tempat ibadah dan balai yayasan sosial Tionghoa. Kerusuhan terjadi akibat adanya unsur provokasi dengan ujaran kebencian di media sosial yang memuat isu SARA terkait keluhan volume pengeras suara masjid dari salah seorang warga keturunan tionghoa yang kemudian mengundang aksi massa. Kerugian akibat kejadian itu ditaksir mencapai hingga sedikitnya ratusan juta rupiah.[39]
Peran Warga Tionghoa Bagi Republik Indonesia
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya.
Peran Ekonomi
Implikasi peran ekonomi warga Tionghoa dalam berbagai sektor termasuk usaha, investasi, dan kontribusi positif pada ekonomi negara. Implikasi tersebut tidak hanya menjadi pelaku utama dalam bisnis besar dan investasi, tetapi juga berperan sebagai penggerak ekonomi lokal melalui usaha mikro, kecil, dan menengah. Warga Tionghoa juga terlibat dalam tenaga kerja di berbagai sektor, memberikan kontribusi pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Kontribusi tersebut melalui pembayaran pajak mendukung keuangan negara, dan implikasi dalam perdagangan membantu mengembangkan pasar domestik dan memperluas akses ke pasar internasional. Kemitraan dan jaringan bisnis yang dibangun oleh warga Tionghoa turut memfasilitasi pertukaran ekonomi dan teknologi antara Indonesia dan negara-negara lain, memperkuat posisi Indonesia dalam panggung ekonomi global.
Peran Sosial Budaya dan Pendidikan
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran Sin Po, di mana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat Indonesia, namun Sie Kok Liong merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda.
Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong.
Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 – 28 Oktober 1928.
Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan DeliMakmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya kurang lebih 50 miliar rupiah.[butuh rujukan]
^"Statistics" (dalam bahasa Tionghoa). National Immigration Agency, ROC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-18. Diakses tanggal 5 Februari 2022.
^Vasanty, Puspa (2004). Prof. Dr. Koentjaraningrat, ed. "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2.
^Skinner, G.W. (1963). R.T. McVey, ed. "The Chinese Minority", Indonesia. New Haven, HRAF. hlm. hal. 99.Periksa nilai tanggal di: |year= (bantuan)
^ abcdefg[Purdey, Jemma. "Anti-Chinese violence in Indonesia, 1996-1999," Honolulu: University of Hawai'i Press, 2006].
^[Tan, Giok-Lan, "The Chinese of Sukabumi", Ithaca, NY: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Dept. of Asian Studies, Cornell University, 1963].
^ abc[Coppel, Charles. "Indonesian Chinese in Crisis," Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978].
^ abcde[Siegel, James T. "Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City, Princeton, NJ: Princeton University Press, 1986].
^[Siegel, James T. “Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998, in Jakarta,” dalam Violence and the State in Suharto's Indonesia, ed. Benedict Anderson (Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2001.].
Ma, Rosey Wang (2005), "Hui Diaspora", dalam Ember, Melvin; Ember, Carol R.; Skoggard, Ian, Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World, New York, N.Y.: Springer Science+Business Media, hlm. 113–124, ISBN978-0-387-29904-4.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
McKeown, Adam (2005), "Chinese Diaspora", dalam Ember, Melvin; Ember, Carol R.; Skoggard, Ian, Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World, New York, N.Y.: Springer Science+Business Media, hlm. 65–76, ISBN978-0-387-29904-4.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Penny, Janet; Gunawan, Tuti (2001), "Indonesians", dalam Jupp, James, The Australian People: An Encyclopedia of the Nation, Its People and Their Origins (edisi ke-2nd), Cambridge, M.A.: Cambridge University Press, hlm. 439–441, ISBN978-0-521-80789-0.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Reid, Anthony (2007), "Entrepreneurial Minorities, Nationalism, and the State", dalam Chirot, Daniel; Reid, Anthony, Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Europe, Seattle: University of Washington Press, hlm. 33–73, ISBN978-0-295-97613-6.
Tan, Mely G. (2005), "Ethnic Chinese in Indonesia", dalam Ember, Melvin; Ember, Carol R.; Skoggard, Ian, Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World, New York, N.Y.: Springer Science+Business Media, hlm. 795–807, ISBN978-0-387-29904-4.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Wibowo, Agustinus (2024). Kita dan Mereka. Jakarrta: Mizan Pustaka.
Sumber sekunder
Ananta, Aris; Arifin, Evi Nurvidya; Bakhtiar (2008), "Chinese Indonesians in Indonesia and the Province of Riau Archipelago: A Demographic Analysis", dalam Suryadinata, Leo, Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 17–47, ISBN978-981-230-834-4.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Chua, Christian (2008), Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital, Routledge Contemporary Southeast Asia Series, London: Routledge, ISBN978-0-415-45074-4.
Coppel, Charles A. (2002), Studying Ethnic Chinese in Indonesia, Asian Studies Monograph Series, Singapore: Singapore Society of Asian Studies, ISBN978-9971-9904-0-4.
Cunningham, Clark E. (2008), "Unity and Diversity among Indonesian Migrants to the United States", dalam Ling, Huping, Emerging Voices: Experiences of Underrepresented Asian Americans, Piscataway, N.J.: Rutgers University Press, hlm. 90–108, ISBN978-0-8135-4341-3.
Dawis, Aimee (2009), The Chinese of Indonesia and Their Search for Identity: The Relationship Between Collective Memory and the Media, Amherst, N.Y.: Cambria Press, ISBN978-1-60497-606-9.
Heidhues, Mary Somers (2001), "Chinese Settlements in Rural Southeast Asia: Unwritten Histories", dalam Reid, Anthony, Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, hlm. 164–182, ISBN978-0-8248-2446-4.
Hoon, Chang-Yau (2006), "'A Hundred Flowers Bloom': The Re-emergence of the Chinese Press in Post-Suharto Indonesia", dalam Sun, Wanning, Media and the Chinese Diaspora: Community, Communications and Commerce, London: Routledge, hlm. 91–118, ISBN978-0-415-35204-8.
Phoa, Liong Gie (1992), "The Changing Economic Position of the Chinese in Netherlands India", dalam Fernando, M. R.; Bulbeck, David, Chinese Economic Activity in Netherlands India: Selected Translations from the Dutch, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 5–18, ISBN978-981-3016-21-7.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Reid, Anthony (2001), "Flows and Seepages in the Long-term Chinese Interaction with Southeast Asia", Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, hlm. 15–50, ISBN978-0-8248-2446-4.
Robison, Richard (1986), "The Emergence of a Capitalist Class: Chinese-Owned Capital", Indonesia: The Rise of Capital, Sydney: Allen & Unwin, hlm. 271–322, ISBN978-0-04-909024-8.
Sen, Krishna (2006), "'Chinese' Indonesians in National Cinema", dalam Sun, Wanning, Media and the Chinese Diaspora: Community, Communications and Commerce, London: Routledge, hlm. 119–136, ISBN978-0-415-35204-8.
Setiono, Benny G. (2003), Tionghoa dalam Pusaran Politik [Indonesia's Chinese Community under Political Turmoil], Jakarta: Elkasa, ISBN978-979-96887-4-3.
Skinner, G. William (1963), "The Chinese Minority", dalam McVey, Ruth, Indonesia, Survey of World Cultures, New Haven, C.T.: Yale University Southeast Asia Studies, hlm. 97–117, OCLC411723.
Suryadinata, Leo (2002), "Democracy and Ethnic Chinese Politics", Election and Politics in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 126–138, ISBN978-981-230-121-5.
Suryadinata, Leo (2008), "Chinese Indonesians in an Era of Globalization: Some Major Characteristics", dalam Suryadinata, Leo, Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 1–16, ISBN978-981-230-834-4.
Suryadinata, Leo (1984), Dilema Minoritas Tionghoa [Dilemma of the Chinese Minority], Jakarta: Grafiti Pers, OCLC11882266.
Suryadinata, Leo; Arifin, Evi Nurvidya; Ananta, Aris (2003), "The Ethnic Chinese: A Declining Percentage", Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Indonesia's Population Series, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 73–102, ISBN978-981-230-218-2.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Tan, Mely G. (2002), "Chinese Dietary Culture in Indonesian Urban Society", dalam Wu, David Y. H.; Cheung, Sidney C. H., The Globalization of Chinese Food, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, hlm. 152–169, ISBN978-0-8248-2582-9.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Tan, Mely G. (2008), Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan [Ethnic Chinese in Indonesia: Collected Writings] (dalam bahasa Inggris and Bahasa Indonesia), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN978-979-461-689-5.
Suryadinata, Leo, ed. (1997), Political Thinking of the Indonesian Chinese, 1900–1995: A Sourcebook (edisi ke-2nd), Singapore: Singapore University Press, ISBN978-9971-69-201-8.