Anggota parlemen Irak pertama dipilih setelah pembentukan monarki konstitusional pada tahun 1925. Konstitusi 1925 mengamanatkan dibentuknya parlemen bikameral dengan majelis rendah, Majelis Deputi (Majelis an-Nuwwab) akan dipilih oleh seluruh laki-laki. Majelis tinggi, Senat (Majlis al-'yan) akan ditunjuk oleh raja. Sepuluh pemilihan diselenggarakan antara tahun 1925 hingga kudeta tahun 1958.[1]
Pada tanggal 17 Januari 1953, pemilihan Majelis Deputi (juga dikenal sebagai Majelis Nasional) diadakan. Setelah kontroversi pelaksanaan Pakta Bagdad, Perdana Menteri Nuri Pasha as-Said mengadakan pemilihan umum pada tahun berikutnya, di awal 1954. As-Said membubarkan majelis tak lama setelah itu dan mulai memerintah dengan dekret, tetapi pihak oposisi memaksa ia untuk mengadakan pemilu ketiga dalam rentang tiga tahun. Pemilu Kedua 1954 sangat korup, dengan musuh politik as-Said dilarang mencalonkan diri, dan adanya pemaksaan pemilih. Majelis dibekukan kembali, dan pada 1958 kudeta militer menggulingkan as-Said dan Raja, dan menghapuskan parlemen.
Di Bawah Saddam Hussein
Konstitusi Tahun 1970 mendirikan sebuah republik dengan Majelis Nasional (al-Majlis al-Watani) yang dipilih langsung. Namun, pemilihan umum untuk Majelis tidak diadakan sampai Juni 1980, di bawah presiden baru Saddam Hussein. Beberapa pemilu diadakan antara tahun 1989 hingga 2003. Majelis ini hanya berperan sebagai tukang stempel untuk kebijakan presiden. Pemilihan umum ini tidak dianggap jujur dan adil oleh komunitas internasional. Hanya calon dari Partai Ba'ath yang terpilih.
Masa transisi
Pada tahun 2003, Saddam Hussein secara paksa dihapus dari kekuasaan oleh Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya selama Perang Irak. Pada bulan Maret 2004, sebuah dewan yang didirikan oleh Otoritas Sementara Koalisi menandatangani sebuah konstitusi sementara yang disebut untuk pemilihan transisi Nasional Majelis selambat-lambatnya akhir bulan januari 2005. Majelis ini akan rancangan permanen konstitusi yang kemudian akan diserahkan untuk persetujuan oleh rakyat Irak dalam sebuah referendum.
Pemilihan untuk Majelis Nasional transisi (al-Jam`iyya al-Wataniyya) diselenggarakan pada 30 Januari 2005. Aliansi Irak Bersatu memenangkan 140 kursi dengan 48% suara. Sebanyak 85 anggota merupakan perempuan.
Sesuai dengan konstitusi yang disahkan 15 Oktober 2005, kewenangan legislatif diberikan kepada dua lembaga, Majelis Perwakilan dan Majelis Persatuan.
Majelis Perwakilan beranggotakan 325 orang yang dipilih setiap empat tahun, dengan dua masa sidang setiap tahunnya. Majelis ini mengesahkan undang-undang federal, mengawasi kerja eksekutif, meratifikasi perjanjian, dan menyetujui penunjukkan pejabat tertentu. Mereka memilih presiden republik, yang memilih perdana menteri dari koalisi mayoritas di Majelis. (Pada masa awal, tiga anggota Dewan Kepresidenan dipilih oleh Majelis Perwakilan untuk menjalankan tugas kepresidenan.)
Pemilihan untuk anggota Majelis Perwakilan diselenggarakan pada 15 Desember 2005. Majelis pertama kali rapat pada 16 Maret 2006, tepat setahun setelah rapat perdana majelis transisi.
Majelis Perwakilan Irak mempunyai nama yang sama dengan di negara Arab lainnya (مجلس النواب, Majlis an-Nuwwab) seperti majelis rendah di Bahrain, Maroko, Yordania, dan Yaman, dan lembaga unikameral di Lebanon dan Tunisia. Namun dalam bahasa Inggris, terjemahan resmi dapat berbeda.
Majelis Persatuan, atau Majelis Federasi (Majlis al-Ittihad), terdiri dari perwakilan wilayah di Irak. Keanggotaan dan tanggung jawabnya tidak dinyatakan langsung di konstitusi dan akan ditentukan oleh Majelis Perwakilan.
Sekelompok anggota parlemen Sunni memboikot parlemen karena Mahmoud al-Mashhadani disingkirkan sebagai ketua parlemen Juni 2007, akibat beberapa tindakan kontroversial. Mereka akhirnya kembali bergabung ke parlemen di bulan Juli setelah al-Mashhadani kembali diangkat sebagai ketua dengan kesepakatan ia akan mengundurkan diri setelah beberapa sidang. Anggota parlemen Syiah juga kembali dari boikot pada Juli setelah memperoleh hasil penyelidikan pemboman sebuah masjid Syiah. Parlemen ditekan oleh Amerika Serikat untuk mengesahkan undang-undang yang berhubungan dengan anggota Partai Ba'ath, distribusi pendapatan minyak, otonomi daerah, dan reformasi konstitusi, pada September 2007.[4]
Unjuk rasa tahun 2016
Gedung Parlemen diserbu oleh demonstran pada April 2016; para demonstran juga menyerang gedung-gedung di sekitar kompleks parlemen.[5]
Reformasi Pemilu tahun 2018
Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pemungutan suara pada tanggal 11 Februari 2018, untuk menambah kursi tambahan bagi kelompok minoritas, di Kegubernuran Wasit untuk suku Feyli Kurdi, sehingga jumlah total anggota parlemen sama dengan 329 sebelum pemilihan parlemen tahun 2018.[6]
Reformasi Pemilu tahun 2019
Akibat protes di Irak tahun 2019, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui undang-undang baru pada 24 Desember 2019 yang bertujuan untuk memudahkan politisi independen untuk memenangkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang baru ini akan membagi setiap gubernuran di Irak menjadi beberapa daerah pemilihan, dengan satu legislator dipilih untuk setiap 100.000 penduduk, sehingga menggantikan sistem perwakilan proporsional menjadi sistem berbasis distrik. Undang-undang baru ini juga akan mencegah partai-partai untuk mencalonkan diri dalam daftar terpadu.[7]
Pemilu tahun 2021
Sejak pemilihan parlemen pada bulan Oktober 2021, telah terjadi krisis politik di Irak, dengan anggota Dewan Perwakilan Irak tidak dapat membentuk pemerintahan koalisi yang stabil, atau memilih Presiden baru. Sudah 10 bulan sistem politik nasional mengalami kebuntuan politik.[8] Pada tanggal 3 Agustus 2022, Muqtada al-Sadr menyerukan pemilihan cepat.[9]