Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi serta Pengembangan Budaya Perdamaian
Ma'had Al-Zaytun atau Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun adalah sebuah pondok pesantren yang terletak di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pesantren ini merupakan usaha dari Yayasan Pesantren Indonesia (YPI), yang memulai pembangunannya pada 13 Agustus 1996. Pembukaan awal pembelajaran dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 1999 dan peresmian secara umum dilakukan pada 27 Agustus 1999 oleh Presiden Indonesia ke-3, B.J. Habibie.[3][4]
Pondok pesantren yang disebut oleh The Washington Times (29 Agustus 2005) sebagai pesantren terbesar se-Asia Tenggara ("the largest Islamic madrasah in Southeast Asia")[5] ini berdiri di atas lahan seluas 1.200 hektar. Tercatat pada tahun 2011 telah ada sekitar 7.000 santri yang menimba ilmu di pesantren ini. Santri ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia serta luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Timor Leste, dan Afrika Selatan.[6] Pesantren ini juga dikenal terutama karena berbagai kontroversi yang dilakukan oleh pimpinannya, Panji Gumilang, dan keterkaitan antara pesantren ini dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII).
Sejarah
Yayasan Pendidikan Indonesia (YPI) didirikan pada 1 Juni 1993, dengan akta pendirian tertanggal 2 Januari 1994 pada notaris Ny. li Rokayah Sulaiman, SH.[7] Terdapat sebuah kebingungan terkait bagaimana YPI bisa menguasai lahan ribuan hektar tanpa adanya hubungan formal dengan Keluarga Soeharto maupun Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).[8]Panji Gumilang, pendiri YPI ini menyatakan,[9]
Kami sama sekali tidak ada hubungannya dengan Keluarga Cendana [merujuk kepada Keluarga Soeharto] ataupun konglomerat ... semua bisa berjalan [dengan lancar], karena banyak hamba Allah yang mewakafkan tanah, bangunan dan ternaknya di sini.
Pada 1995, YPI merintis pembangunan fisik, dan membentuk tim insinyur yang kemudian disebut Tanmiyah Ma'had al-Zaytun untuk memulai apa yang mereka sebut "Proyek Pesantren Al-Zaytun."[10] Para "karyawan pembangunan" kemudian direkrut dari anggota sejumlah kelompok pengajian. Tercatat bahwa ada 1.550 orang karyawan yang terlibat pembangunan awal Al-Zaytun saat itu.[11] Pada 1999, Al-Zaytun mulai merekrut guru dan murabbi, serta mengumumkan penerimaan 1.584 siswa baru, yang setelah diseleksi ulang menjadi 1.459 siswa.[12] Pada Agustus 1999, Presiden ke-3 Indonesia, B.J. Habibie meresmikan Pondok Pesantren Al-Zaytun.[13]
Abduh Umar mencatat bahwa terdapat keterkaitan antara Al-Zaytun dengan Abu Totok, pendiri Negara Islam Indonesia (NII) KW 9. Pada akhirnya, nama "Abu Totok" dikaitkan dengan Panji Gumilang itu sendiri.[14] Al-Zaytun juga dianggap memiliki sebuah "proyek" misterius, dan digambarkan sebagai pesantren yang anti-sosial oleh penduduk di tiga desa yang terletak di sekitarnya. Umar juga mencatat bahwa penjelasan pihak Al-Zaytun terhadap warga sekitar juga dinilai asing, seperti "Proyek untuk Allah, sekaligus milik ABRI, dan untuk Madinah II."[15]
Kurikulum
Pondok pesantren ini memiliki landasan yang disebut "Pesantren spirit but modern system", menggunakan kurikulum yang mengacu pada Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Muatan lokal pun diberikan kepada para siswa, seperti Piagam Madinah dan Hak Asasi Manusia serta Jurnalistik. Selain itu, siswa dibekali kemampuan didaktik agar bisa mengajar.[16] Santri Al-Zaytun mengatakan bahwa mereka diajarkan Islam yang terbuka dan toleran, menghindari perpecahan seperti pada aliran Sunni dan Syiah, serta menerima penganut agama lain, seperti ditulis oleh Post-Gazette, "Siswa di sekolah tersebut mengatakan bahwa mereka diajarkan versi Islam yang terbuka dan toleran, menghindari perpecahan seperti Sunni dan Syiah, serta menerima penganut agama lain."[17]
Jenjang pendidikan
Pendidikan formal
Sistem pendidikan Ma'had Al-Zaytun menganut Sistem Pendidikan Satu Pipa (One Pipe Education System), yaitu sistem pendidikan yang berkelanjutan dari tingkat usia dini hingga perguruan tinggi,[18] sebagai berikut:
Terdapat pula sejumlah Fakultas atau program studi pada Institut Agama Islam Al-Zaytun, sebagai berikut:
Fakultas Tarbiyah
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
Pendidikan Bahasa Arab (PBA)
Fakultas Syari'ah
Hukum Tata Negara (Siyasah)
Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
Fakultas Dakwah
Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
Manajemen Dakwah (MD)
Pendidikan non-formal
ICDL-AGICT
Pendidikan komputer bekerjasama dengan lembaga International Computer Driving Licence (ICDL) untuk sertifikasi penggunaan komputer tingkat dasar.
ICDL Al-Zaytun Global Information and Communication Technology (ICDL-AGICT) didirikan tahun 2002. Pada 3 Januari 2003 ICDL-AGICT mendapatkan akreditasi dari kantor pusat ICDL, di London, Inggris sebagai test centre yang pertama untuk seluruh kawasan Indonesia.
Pada bulan Desember 2006 ICDL Licensee in Indonesia, atau ICDL AGICT, sebagai perpanjangan tangan kantor pusat ICDL di Indonesia, berhasil membangun kesepakatan kerjasama dengan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Depdiknas, untuk memberikan pelatihan-pelatihan penguasaan komputer, kepada unit-unit pelaksana teknis daerah pendidikan nonformal.
Dengan akreditasi yang dimiliki itulah, ICDL-AGICT berhak merekrut peserta, melakukan pelatihan menggunakan silabus dan kurikulum dari ICDL, serta melaksanakan serangkaian tes kepada peserta pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi ICDL. Pada 12-18 Maret 2007 Al-Zaytun melaksanakan pelatihan sertifikasi ICDL kepada 39 pegawai negeri sipil (PNS) yang berdinas di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Daerah, Pendidikan Luar Sekolah. Peserta berasal dari 17 daerah di seluruh Indonesia.[23]
NCC Education
Pendidikan komputer bekerjasama dengan lembaga NCC Education untuk jenjang pendidikan komputer sampai tingkat Master.
Program pendidikan tinggi lainnya
Program Pendidikan Pertanian Terpadu (P3T), yang ditempuh dalam waktu empat semester dan bekerjasama dengan para tenaga pengajar dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Program Pendidikan Bahasa Terpadu (P2BT).
Program Pendidikan Teknik Informasi Terpadu (P2T1).
PKBM
Bagi masyarakat sekitar, melalui PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), Al-Zaytun membuka kelas dewasa untuk keterampilan-keterampilan baik peternakan, pertanian, pertukangan dan juga kelas KF (Keaksaraan Fungsional) bagi mereka yang belum dapat membaca dan menulis.[butuh rujukan]
Fasilitas
Masjid
Di lingkungan pondok pesantren ini terdapat Masjid Rahmatan lil 'Alamin yang masih dalam tahap pembangunan. Masjid ini berukuran enam hektar dan berlantai enam dengan kapasitas mencapai 100.000 orang.[24] Terdapat pula Masjid Al-Hayat yang dapat menampung 7.000 orang.[butuh rujukan]
Gedung pembelajaran dan asrama
Al-Zaytun memiliki gedung tempat belajar mengajar. Gedung tersebut yaitu gedung Abu Bakar (ditulis sebagai Abu Bakar Al Siddiq), gedung Umar bin Khattab (ditulis sebagai Umar Ibnu Khaththab), gedung Utsman bin Affan (ditulis sebagai Utsman Ibnu Affan), dan gedung Ali bin Abi Thalib yang kesemuanya adalah nama sahabat nabi Islam Muhammad dan anggota Khulafaur Rasyidin dalam Islam Sunni. Sedangkan dua gedung lagi diambil dari nama Presiden pertama dan kedua Indonesia, Soekarno dan Soeharto.[25]
Selain memiliki gedung untuk tempat belajar mengajar, Gedung yang disebut asrama di antaranya Asrama Al-Mushthofa, Asrama Al-Fajr, Asrama Al-Nur, Asrama Al-Madani, Asrama Persahabatan, dan akan dibangun Asrama Syarifah Hidayatullah.[26]
Program Pertanian Terpadu
Untuk membangun kemandirian pesantren ini menerapkan Program Pertanian Terpadu. Program ini meliputi pertanian, peternakan dan perikanan sebagai satu kesatuan yang saling terikat. Berbagai teknologi dipelajari dan diterapkan di lapangan, di antaranya teknologi kultur jaringan, pemuliaan tanaman dan pembibitan, transfer embrio dan inseminasi buatan, teknologi pemerahan susu, teknologi pasteurisasi untuk pengolahan susu, teknologi pembuatan silase, teknologi pembuatan pupuk dari kotoran ternak, kotoran manusia dan urin manusia, pembuatan pupuk dari daun-daunan dan teknologi pembuatan pupuk bokasi dan kascing.[butuh rujukan]
Alumni Program Pendidikan Pertanian Terpadu (P3T) langsung dikaryakan untuk mengelola lahan di pesantren ini serta menangani koperasi simpan pinjam yang bekerjasama dengan masyarakat desa sekitar pesantren, serta memberikan penyuluhan untuk peningkatan hasil pertanian masyarakat desa sekitar. Masyarakat Koperasi Desa Mekarjaya-Ma’had Al Zaytun (MKDM-MAZ) membantu permodalan masyarakat untuk berusahatani padi.[27]
Pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan penelitian mengenai pesantren ini dan hasilnya menyatakan bahwa ada keterkaitan kepemimpinan dan finansial antara Ma'had Al-Zaytun dengan Negara Islam Indonesia (NII) KW 9.[32]
Menanggapi isu-isu yang kemudian berkembang di masyarakat mengenai keterkaitan Ponpes Al-Zaytun dengan NII pada tahun 2011, Panglima TNI Jenderal Moeldoko yang saat itu menjabat panglima Kodam III/Siliwangi, berinisiatif untuk melakukan komunikasi dari kedua pihak, baik dari Panji Gumilang selaku pengasuh Pesantren Al-Zaytun dan kelompok masyarakat tertentu. Hasilnya, isu bahwa Ponpes Al-Zaytun mendidik siswa atau santri agar menolak Pancasila tidak terbukti. Kata Moeldoko, "Sekarang kita lihat hasilnya, gaya komunikasi yang saya lakukan. Tidak ada kecurigaan lagi. Ini masalahnya komunikasi".[33]
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Hendropriyono membantah jika Ponpes Al-Zaytun disebut sebagai sarang kelompok NII.[34] Ia mengaku sering berkunjung ke pondok pesantren tersebut. Dalam buku Al-Zaytun Sumber Inspirasi Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara yang ditulis Drs. Ch. Robin Simanullang, Hendopriyono menegaskan,[34]
Al-Zaytun ini mengajarkan toleransi dan perdamaian, mengajarkan Pancasila dan mendidik santrinya supaya menjadi warga negara Republik Indonesia yang baik, sesuai kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama Republik Indonesia. Itu kebenarannya. Tapi oleh orang-orang lain masih dituding NII (Negara Islam Indonesia). Bagaimana mungkin NII mengajarkan Pancasila? Bukankah NII menentang dan mengkafirkan Pancasila dan NKRI?".
Menurut Hendropriyono, pembuktian bahwa ponpes tersebut bukan sarang NII dapat dilihat dari beberapa hal: salah satunya adalah hasil dari penelitian tim Kementerian Agama, yang menyatakan bahwa ajaran dalam Ponpes tersebut tidak ada yang menyalahi ajaran Islam.[34][35][36]
Salah seorang alumni Ponpes Al-Zaytun yang berasal dari Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, merasa keberatan jika lembaga tempatnya menuntut ilmu dituding sebagai sarang Negara Islam Indonesia (NII). Ia mengaku tidak pernah menemukan indikasi mencurigakan seperti penerapan paham-paham radikal dan NII. "...Jangan mentang-mentang salah satu pengurus ponpes bekas anak buah Kartosoewiryo, yang pernah membina pesantren ini, sehingga Al-Zaytun terbawa-bawa dengan gerakan NII," ujarnya.[37]
Sedang pimpinan ponpes, Panji Gumilang menanggapi isu-isu tersebut dengan mengatakan bahwa persoalan NII menurut sejarah Indonesia sudah selesai pada tahun 1962.[38][39] Terkait dengan persoalan finansial, Panji Gumilang menjelaskan, semuanya didapat dari uang siswa dan usaha ekonomi pesantren. Misalnya, pertanian padi dan perkebunan jati. Selain itu, dia mengatakan bahwa beberapa sahabatnya memberikan bantuan dana.[butuh rujukan]
2023
Pada awal tahun 2023, beredar sebuah unggahan video yang memperlihatkan Panji Gumilang beserta otoritas Ma'had Al-Zaytun yang sedang melaksanakan salat ʿĪd untuk Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Dalam video itu, terlihat shaf salat wanita bercampur dengan laki-laki, yang berbeda dengan tata cara salat Muslim kebanyakan.[40][41] Bahkan, dikabarkan ada satu orang non-Muslim yang ikut salat dalam barisan shaf tersebut. Sementara itu, pimpinan pondok, Panji Gumilang beralasan bahwa shaf salat yang tidak rapat terkait dengan perintah melapangkan tempat duduk dalam majelis yang menurutnya dicantumkan di dalam Al-Qur'an, sementara non-Muslim tersebut diperbolehkan ikut salat dengan dalih toleransi. Adapun perempuan yang terlihat di shaf depan adalah istri Panji sendiri.[42] Panji mengatakan bahwa alasan istrinya berada di shaf depan adalah untuk menunjukkan bahwa Islam memuliakan wanita.[43]
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) wilayah Indramayu, K.H. Satori, menyebutkan bahwa para ulama Indramayu sendiri tidak mengetahui mazhab apa yang dianut oleh Al-Zaytun. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa tidak ada transparasi yang diterima MUI mengenai ajaran pondok pesantren ini.[44] Sementara itu, Panji Gumilang dikatakan telah menyebut dirinya (juga pondok pesantrennya) sebagai penganut "mazhab Soekarno", berbeda dari Muslim kebanyakan yang menganut empat mazhab (Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi'i).[45] Mubalig Indonesia, Adi Hidayat mengeklaim bahwa hal ini termasuk bid'ah dalam Islam,[46][47] sementara ahli fikih Muhammad Shiddiq al-Jawi menyatakan bahwa Soekarno, Presiden pertama Indonesia, bukanlah seorang ahli fikih; sehingga tidak mungkin untuk mendeklarasikan diri sebagai pengikut mazhab Soekarno.[48] Berkaitan dengan kontroversi salat ʿĪd, MUI dan Kementerian Agama Republik Indonesia mengeklaim bahwa salat ʿĪd tersebut tetap sah, namun hukumnya makruh.[49]
Pada 15 Juni 2023, sekelompok massa yang mengatasnamakan "Forum Indramayu Menggugat" melakukan aksi demonstrasi di pintu masuk pondok pesantren Al-Zaytun.[50][51] Aksi demonstrasi ini dilatarbelakangi oleh pihak Ma'had yang dikabarkan memperbolehkan hubungan seks bebas (yang dalam Islam disebut sebagai zina dan telah dilarang oleh ajaran Islam) dengan syarat menebusnya dengan uang sebesar 2 juta Rupiah.[52][53] Hal ini juga telah memicu kontroversi baru pada awal pertengahan tahun 2023, di mana sejumlah ulama terkemuka Indonesia, termasuk Buya Yahya,[54]Abdul Somad, dan Rizieq Shihab, mengeklaim bahwa Al-Zaytun mengajarkan ajaran sesat kepada murid-muridnya dan bahkan meminta penutupan pondok pesantren ini.[55][56]
Referensi
Catatan
^Panji Gumilang, pemimpin Al-Zaytun, menggambarkan dirinya sebagai pengikut "mazhabSoekarno", sebuah pernyataan yang ditentang oleh banyak umat Islam Indonesia dan menyebabkan Panji Gumilang dinilai sesat.[1][2]