Luat Siregar (28 November 1908 – 19 Februari 1953) adalah Wali kota Medan dari 3 Oktober 1945 hingga 10 November 1945.
Riwayat Hidup
Kehidupan Awal
Luat dilahirkan pada tanggal 28 November 1908 di Sipirok. Dia memulai pendidikanya di Hollandsch-Inlandsche School
Sipirok. Selepas menamatkan pendidikanya di HIS Sipirok, Luat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Batavia dan lulus pada tahun 1926. Selanjutnya, dia melanjutkan sekolahnya ke Algemeene Middelbare School dan setelah itu dia masuk ke sekolah hukum. Ia meraih gelar sarjana hukum di Leiden pada tahun 1934.[1]
Karier Awal
Setelah menamatkan pendidikan hukumnya di Leiden, Luat menjadi pengacara di Medan pada tahun 1935. Selain itu, Luat bergabung dengan organisasi Taman Persahabatan. Pada tahun 1936, Luat terpilih sebagai Ketua Taman Persahabatan. Selama menjabat sebagai ketua, Luat mencoba untuk membentuk sarikat pedagang pribumi di Sumatra Timur, Aceh, dan Tapanuli. Pendirian sarikat ini berdasar untuk membangun kemampuan para pedangang pribumi.[1]
Pada tahun 1937, Luat mencalonkan diri sebagai Anggota Dewan Kota Medan bersama tujuh orang lainnya. Pada tahun yang sama, Parindra cabang Medan membentuk Komisi Ekonomi dan Luat terpilih sebagai anggota yang mewakili serikat buruh pribumi. Tugas dari komisi ini ialah melakukan penyelidikan mengenai kondisi perekonomian masyarakat asli yang nantinya laporanya diserahkan kepada Parindra Pusat.[1]
Pada masa penjajahan Jepang, Luat Siregar diangkat menjadi Sekretaris Wali Kota Medan dan aktif dalam Badan Oentoek Membantoe Pertahanan Asia (BOMPA).[2]
Luat diangkat sebagai Walikota Medan dari tanggal 3 Oktober 1945-10 November 1945. Jabatan sebagai walikota medan tidak berlangsung lama karena dia naik jabatan menjadi Residen Sumatra Timur. Selama menjadi Residen Sumatra Timur, Luat juga menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatra Timur.[1] Pada tahun 1946, Revolusi Sosial pecah di Sumatra Timur dan pada saat itu Luat Siregar bertindak sebagai juru damai.[3] Sayangnya, dia tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan mengundurkan sebagai Residen Sumatra Timur. Tidak hanya itu, pemerintahan Sumatra Timur mengungsi ke Pematang Siantar mengingat kondisi yang memanas dan Belanda berhasil menguasai Sumatra Timur.[1]
Pada tahun 1947, Luat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta.[1] Selama berkiprah di KNIP, Luat menjadi Ketua FDR.[4]
Setelah penyerahan kedaulatan
Pada tanggal 16 Agustus 1950, Luat diangkat menjadi anggota DPRS sebagai perwakilan dari Partai Rakyat Kedaulatan.[1] Luat Siregar sempat dicalonkan sebagai Wakil Ketua II DPRS bersama dengan Arudji Kartawinata dan Melkias Agustinus Pellaupessy. Arudji mendapatkan 56 dan Luat bersama dengan Melkias mendaptkan suara yang sama, 47. Berhubung tidak ada kelebihan suara mutlak, pemilihan Wakil Ketua II DPRS dilakukan kembali dan sebelum pemilihan dilaksanakan, Luat mengundurkan diri. Luat kembali dicalonkan sebagai Wakil Ketua III bersama dengan Tadjuddin Noor dan untuk kesempatan yang satu ini Luat kalah.[5]
Tiga tahun kemudian tepatnya pada Kamis, 19 Februari 1953, Luat menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 15:30 di Medan.[1]
Referensi