Leila Salikha Chudori
Leila Salikha Chudori (lahir 12 Desember 1962) adalah seorang penulis dan kritikus film berkebangsaan Indonesia.[1] Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa cerita pendek, novel, dan skenario drama televisi.[2] Leila merupakan salah satu sastrawan yang mengawali debutnya sejak anak-anak. Latar belakangLeila S. Chudori bercerita tentang kejujuran, keyakinan, dan tekad, prinsip dan pengorbanan. Mendapat pengaruh dari bacaan-bacaan dari buku-buku yang disebutnya dalam cerpen-cerpennya yang kita ketahui dari riwayat hidupnya ialah Franz Kafka, pengarang Jerman yang mempertanyakan eksistensi manusia, Dostoyewsky pengarang klasik Rusia yang menggerek jauh ke dalam jiwa manusia. D. H. Lawrence pengarang Inggris yang memperjuangkan kebebasan mutlak nurani manusia, pengarang Irlandia James Joyce, yang terkenal dengan romannya Ullysses. Suatu pelaksanaan proses kreatif Stream of Consciousnes, Herman Jesse, Freud, Erich Fromm, A.S. Neill. Maka tidak mengherankan apabila Leila S. Chudori memperlihatkan tokoh-tokoh cerita yang mempunyai kesadaran yang dalam dan hasrat jiwa yang bebas merdeka. Leila S. Chudori pun tak asing dengan Baratayudha, Ramayana dari dunia pewayangan. Leila S. Chudori juga menggunakan imajinasinya untuk meruak ruang dan waktu, penuh ilusi dan halusinasi, angan-angan dan khayalan. Leila melukiskan kejadian-kejadian secara paralel dan simultan, berbaur susup-menyusup untuk saling memperkuat kesan pengalaman dan penghayatan. Leila juga mensejajarkan pengalaman pribadi, membaurkannya dengan cerita mitologi. Dengan teknik pembauran seperti ini, terjadi dimensi baru dalam pengaluran cerita. Satu hal lain yang istimewa dalam cerpen-cerpen Leila bahwa dia tidak ragu-ragu menceritakan hal-hal yang tabu bagi masyarakat tradisional. Gaya cerita Leila S. Chudori intelektual sekaligus puitis. Banyak idiom dan metafor baru di samping pandangan falsafi baru karena pengungkapan yang baru.[3] Leila terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di "Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges)" di Victoria, Kanada. Lulus sarjana Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada.[4] Sejak tahun 1989 hingga kini bekerja sebagai wartawan majalah berita Tempo. Pada tahun-tahun awal, Leila dipercayakan meliput masalah internasional—terutama Filipina dan berhasil mewawancarai Presiden Cory Aquino pada tahun 1989, 1991 di Istana Malacanang; Fang Lizhi seorang ahli Fisika dan salah satu pemimpin gerakan Tiannamen, Tiongkok, WWC di Cambrige University pada tahun 1992, Presiden Fidel Ramos di Manila pada tahun 1992, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Jakarta, pada tahun 1992, Pemimpin PLO Yasser Arafat pada tahun 1992 dan 2002 di Jakarta, Nelson Mandela pada tahun 1992 di Jakarta, dan Pemimpin Zimbabwe Robert Mugabe pada tahun 2003, di Jakarta. Kini Leila adalah Redaktur Senior Majalah Tempo, bertanggung-jawab pada rubrik Bahasa dan masih rutin menulis resensi film di majalah tersebut.[5] Proses kreatifKarya-karya awal Leila dimuat saat ia berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini ia menghasilkan buku kumpulan cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra. Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di majalah Zaman, majalah sastra Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia).[6] Buku kumpulan cerita pendeknya Malam Terakhir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzte Nacht (Horlemann Verlag).[7] Cerpen Leila dibahas oleh kritikus sastra Tineke Hellwig Leila S. Chudori and women in Contemporary Fiction Writing dalam Tenggara, Tineke Hellwig kembali membahas buku Leila, 9 dari Nadira dan mengatakan bahwa buku ini memiliki “authencity in reality” dan mengandung “complex narrative”.[8] Nama Leila Chudori juga tercantum sebagai salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus sastra Dictionnaire des Creatrices yang diterbitkan EDITIONS DES FEMMES, Prancis, disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus sastra ini berisi data dan profil perempuan yang berkecimpung di dunia seni.[9] Pada tahun 2001 Leila menjadi salah satu juri Festival Film Asia Pasifik yang diadakan di Jakarta. Tahun 2002, Leila menjadi juri Festival Film Independen Indonesia SCTV. Tahun 2010 dan 2011, Leila juga menjadi juri Indonesian Movie Awards, sebuah festival film yang diselenggarakan RCTI.[10] Leila pernah menjadi editor tamu untuk jurnal sastra berbahasa Inggris Menagerie bersama John McGlynn yang diterbitkan Yayasan Lontar.[11] Bersama Bambang Bujono, Leila menjadi editor buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo.[12] Leila adalah penggagas dan penulis skenario drama televisi berjudul Dunia Tanpa Koma[13] yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro ditayangkan di RCTI tahun 2006. Sejak awal Leila dan produser SinemArt Leo Sutanto sama-sama sepakat serial TV ini harus dibuat serius dan hanya dibuat sebanyak 14 episode. Drama televisi ini mendapat penghargaan Sinetron Terpuji Festival Film Bandung 2007 dan Leila juga menerima penghargaan sebagai Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji pada festival dan tahun yang sama. Terakhir, Leila menulis skenario film pendek Drupadi,[14] sebuah tafsir dari kisah Mahabharata dan juga film Kata Maaf Terakhir.[15] Pada tahun 2009, Leila S. Chudori meluncurkan buku kumpulan cerpen terbarunya 9 dari Nadira (yang oleh banyak kritikus sastra dianggap sebagai novel) dan penerbitan ulang buku Malam Terakhir oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang dilangsir oleh Harian Kompas sebagai “kembalinya anak emas sastra Indonesia”.[16] Dengan terbitnya kembali karya baru Leila, maka pada bulan Desember 2011, ia diundang menghadiri Asia Pacific Literary Symposium di Perth;[17] Winternachten Literary Festival yang diadakan Writers Unlimited, Den Haag (Belanda) pada bulan Januari 2012, dan Acara Sastra Soirée Leila Chudori yang diselenggarakan Asosiasi Indonesia-Prancis di Paris, Pasar Malam juga pada bulan Januari 2012.[18] Buku
Skenario
Penghargaan
Penghargaan
Referensi
Pranala luar |