Selama karier politiknya, Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo, telah menuai beragam kontroversi. Diantaranya dari isu politik dinasti, campur tangan pemilu, dan beragam kebijakan selama pemerintahannya.
Isu politik dinasti
Joko Widodo dituduh melakukan politik dinasti menjelang akhir pemerintahannya. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilihan umum Presiden Indonesia 2024 usai Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengubah batasan usia capres/cawapres yang diatur UU Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017.[1] Amar putusan MK tersebut memperbolehkan seseorang yang berusia dibawah 40 tahun mengikuti Pilpres dengan syarat pernah atau sedang menduduki suatu jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum.[2] Pada saat itu, Gibran yang belum berusia 40 tahun dan sedang menjabat sebagai Wali Kota Surakarta dapat mengikuti Pilpres setelah MK mengubah ambang batas usia capres-cawapres itu.[3]
Keputusan MK yang memperbolehkan Gibran maju sebagai cawapres memicu beragam kontroversi. Dimana Ketua MK Anwar Usman yang memimpin pembacaan hasil putusan tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan Jokowi dan Gibran.[4] Majelis Kehormatan Mahkamah Kontitusi (MKMK) membacakan putusan nomor 2/MKMK/L/11/2023, dimana Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa MKMK menjatuhkan sanksi kepada Anwar Usman yakni pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.[5]
Pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto
Pada 28 Februari 2024, Jokowi memberikan gelar Jenderal Kehormatan kepada Menteri Pertahanan IndonesiaPrabowo Subianto di Markas Besar (Mabes) TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.[9] Kenaikan pangkat Prabowo telah diatur dalam Keppres Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tanggal 21 Februari 2024 tentang Penganugerahan Pangkat Secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan.[10] Jokowi mengungkap dasar penganugerahan kenaikan pangkat tersebut karena Prabowo telah menerima anugerah Bintang Yudha Dharma Utama atas atas kontribusinya dalam kemajuan TNI dan kemajuan negara.[11]
Pemberian pangkat tersebut menuai protes dari Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) yang mencakup beberapa organisasi sipil seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Asia Justice and Rights (AJAR), Amnesty International Indonesia, dan Imparsial. Mereka menilai Prabowo turut andil dalam kasus pelanggaran HAM Penculikan aktivis 1997/1998.[12]