Proyek The MAJ Collection Hotel & Residence (kiri) berada di belakang perumahan warga di kawasan Dago Elos. Tampak sebuah bus Trans Metro Pasundan yang diuji coba sedang terparkir di Terminal Dago, salah satu wilayah yang juga disengketakan dalam konflik ini.
Konflik Dago Elos adalah konflik atas sengketa lahan yang berlangsung antara warga Kampung Dago Elos, Dago, Coblong, Bandung, Jawa Barat melawan pemilik lahan atas nama pihak dari Keluarga Müller dan PT Dago Inti Graha sejak Desember 2016. Konflik berawal dari gugatan yang diterima warga Dago Elos oleh Keluarga Müller yang mengklaim bahwa lahan seluas 6,3 hektare di kawasan tersebut diwariskan kepada mereka melalui hak eigendom, hak milik sesuai Undang-Undang Agraria 1870.[1][2]
Wilayah 6,3 hektare lahan yang disengketakan berada di ujung utara Jalan Terusan Ir. H. Djuanda sebagai salah satu akses dari pusat Kota Bandung menuju Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Saat masih dimiliki Keluarga Müller, lahan tersebut digunakan sebagai pabrik semen, tambang pasir, dan sedikit perkebunan. Kini, lahan tersebut telah menjadi perumahan dan terminal angkutan kota, di mana warga setempat telah mendapatkan sertifikat tanah yang sah dari Pemerintah Indonesia.[3] Sementara, beberapa bidang tanah yang diklaim Keluarga Müller telah dialihkan kepada PT Dago Inti Graha untuk dimanfaatkan sebagai pengembangan kawasan apartemen The MAJ Collection Hotel and Residence.[4][1]
Gugatan tersebut sempat dikalahkan di tingkat Kasasi Mahkamah Agung pada 2019 sebelum dianulir pada proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung pada 2022.[5] Masyarakat setempat bersama lembaga swadaya masyarakat terkait menduga terdapat unsur penipuan dalam pengumpulan barang bukti saat proses PK di Mahkamah Agung.[6][7]
Pada malam tanggal 14 Agustus 2023, kerusuhan terjadi di sekitar Dago Elos setelah warga melakukan pemblokiran jalan setelah upaya warga dalam melaporkan pemalsuan barang bukti sengketa lahan dengan Keluarga Müller ditolak pihak kepolisian.[8] Dilaporkan polisi menembakkan gas air mata dan melakukan tindak kekerasan di rumah-rumah warga setelah aksi tersebut dibubarkan.[9] Per 15 Agustus 2023, 4 orang luka-luka dan 7 orang ditahan akibat kerusuhan ini.[10]
Duduk perkara
Sengketa kepemilikan tanah di Dago Elos mengalami perkembangan baru setelah putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) tahun ini. Keputusan tersebut ternyata menguntungkan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha, yang mendapatkan prioritas dalam kepemilikan tanah, sementara lebih dari 300 warga Elos menghadapi ancaman penggusuran. Dalam putusan PK nomor 109/PK/Pdt/2022, melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, MA menyatakan bahwa lebih dari 300 warga Elos dianggap bersalah melakukan perbuatan melanggar hukum.[11]
Warga Elos diminta untuk meninggalkan tempat tinggal mereka, dan jika menolak, kemungkinan besar alat berat dan aparat negara akan digunakan untuk mengusir mereka, bahkan dengan kekerasan. Putusan tersebut menyatakan, "Menghukum para tergugat (Tergugat I sampai dengan Tergugat CCCXXXV) atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan dan membongkar bangunan yang berdiri di atasnya serta menyerahkan tanah objek sengketa tanpa syarat apapun kepada PT Dago Inti Graha selaku Penggugat IV, bilamana perlu melalui upaya paksa dengan menggunakan bantuan alat keamanan negara."[11]
Warga Elos dipaksa untuk meruntuhkan rumah mereka dan menyerahkan tanah kepada PT Dago Inti Graha tanpa syarat. Meskipun demikian, warga enggan menyerah dan saat ini mereka memilih untuk mempertahankan kampung mereka sambil mencari celah hukum lain yang mungkin masih dapat diambil.[11]
Gugatan kepada warga Dago Elos
Para warga Dago Elos di Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, diwajibkan untuk meninggalkan area tersebut setelah kalah dalam gugatan yang diajukan oleh tiga individu yang diklaim sebagai keturunan Muller dari Belanda, yaitu HHM, DRM, dan PSM, serta sebuah perusahaan, PT DIG. Mereka mengklaim hak atas tanah seluas 6,9 hektar dengan merujuk pada tiga surat tanah dari masa pemerintahan Hindia Belanda yang disebut milik GHM.[12]
Pada periode tahun 2016-2017, gugatan dari trio Muller dan perusahaan tersebut dikabulkan oleh majelis hakim. Meskipun warga sempat mengajukan banding yang diterima di tingkat Mahkamah Agung, namun putusan tersebut kemudian dibatalkan melalui proses peninjauan kembali.[12]
Sebanyak 80-an warga, yang sebagian besar merupakan ibu-ibu, tiba di Jakarta menggunakan dua bus. Mereka berpusat di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta Pusat. Kedatangan warga tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap pihak yang terlibat sengketa dengan mereka, serta sebagai tanda ketidakgentaran mereka menghadapi praktik mafia tanah. Sejak pagi, warga telah bersiap di halaman Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, mayoritas mengenakan pakaian serba hitam. Terdapat pula deretan payung hitam bertuliskan "Stop Penggusuran."[12]
Sebelum memutuskan untuk datang ke Jakarta, warga Dago Elos sebelumnya telah menempuh jalur hukum pidana. Mereka melaporkan dugaan pemalsuan dokumen, keterangan palsu dalam persidangan, dan pelanggaran lainnya ke Polrestabes Bandung. Akan tetapi, upaya ini berujung pada kericuhan.[12]