Awal mula dilaksanakannya Aksi Kamisan diprakarsai oleh 3 keluarga korban pelangaran HAM berat, yaitu (1) Maria Catarina Sumarsih, orang tua dari Bernardus Realino Norma Irmawan, salah satu mahasiswa yang tewas dalam Peristiwa Semanggi I, (2) Suciwati, istri mendiang pegiat HAM, Munir Said Thalib, dan (3) Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang yang diduga PKI pada tahun 1965-1966.[2]
Aksi Kamisan merupakan sebuah aksi lanjutan dari keberadaan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dalam menjalankan programnya. Perwujudan kamisan lebih kepada aksi damai dengan bentuk demonstrasi diam disertai payung hitam bertuliskan tuntutan-tuntutan penyelesaian kasus. Kamisan sendiri dilatar belakangi dari sikap pemerintah yang semakin mengabaikan penyelesaian HAM terutama Trisakti, Semanggi I dan II. Pemerintah yang terus diam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu kemudian menimbulkan efek domino berupa sikap aktif dari para keluarga korban dalam menyuarakan aspirasinya.
JSKK sendiri baru mengagendakan kamisan 2 tahun setelah mereka berdiri dan mantap sebagai paguyuban yang memayungi korban pelanggaran HAM pada masa lalu. Sebelumnya JSKK sendiri hampir bubar, dengan alasan bahwa agenda keorganisasian JSKK berbenturan langsung dengan Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Namun dalam perjalanannya, forum JSKK memutuskan agar paguyuban terus jalan dan kelak membubarkan diri jika dirasa sudah tidak efektif.[3]
Sasaran
Sasaran dari aksi kamisan adalah empat lembaga yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasus pelanggaran HAM. Yaitu presiden sebagai penerbit regulasi bernama Keputusan Presiden (Keppres), DPR sebagai instansi yang merumuskan surat rekomendasi kepada Presiden, komnas HAM sebagai lembaga penyelidik, dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik.
Namun, yang menjadi sorotan dari para korban pelanggaran HAM pada aksi kamisan ialah presiden, dengan pertimbangan yang mengacu pada substansi UU No. 26 tahun 2000, dimana presiden memegang peran sebagai pembuat keputusan utama dalam pembentukan pengadilan adhoc maupun Keppres yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Menurut Bedjo Untung, salah satu korban pelanggaran HAM pada kasus pasca 1965, target utama dari aksi kamisan ini agar presiden memberikan respon nyata dan positif terhadap kasus penyelesaian pelanggaran HAM. Menurut beliau, presiden serta ketegasannya merupakan kunci utama dalam penegakan keadilan hak asasi manusia di Indonesia.[3]
Tanggapan
Sejak pertama kali diadakan, Aksi Kamisan sudah melewati 2 masa pemerintahan yaitu masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Staf Dewan Pertimbangan Presiden saat itu, Albert Hasibuan menyatakan bahwa pemerintah mengetahui dan sudah memberikan perhatian lebih terhadap Aksi Kamisan. Menurutnya pemerintah selalu membuka pertemuan terbuka dengan peserta Aksi Kamisan. Pemerintah juga menerima hasil penelitian komnas HAM tentang kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Presiden juga berencana untuk meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu.[3]
Pemerintahan Joko Widodo
Sejak pertama kali aksi diadakan di depan Istana Negara pada tahun 2007, barulah pada tanggal 31 Mei 2018 yaitu pada Aksi Kamisan ke-450 para peserta diterima untuk pertama kalinya oleh presiden. Dalam pertemuan tertutup tersebut, Presiden Joko Widodo didampingi oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Koordinator Staf Khusus Teten Masduki, serta Staf Khusus bidang komunikasi Johan Budi dan Adita Irawati.[4] Namun hingga akhir pemerintahannya, Jokowi dianggap tidak memberlihatkan kebijakan berarti untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelumnya. [5][6] Sumarsih, salah satu penggerak Aksi Kamisan yang sempat berniat untuk menghentikan aksi ini dengan terpilihnya Jokowi pada tahun 2014, akhirnya menyatakan kekecewaannya karena Prabowo Subianto malah diangkat menjadi jenderal kehormatan selama masa pemerintahannya.[7]
^Putra, Leonardo Julius (2016). "Aksi Kamisan: Sebuah Tinjauan Praktis dan Teoritis Atas Transormasi Gerakan Simbolik". Jurnal Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45 Jakarta. 2 (1).