Peninjauan kembali

Salinan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Cindra Wijaya alias Acin, seorang wiraswasta Indonesia.

Peninjauan kembali atau disingkat PK adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan di bawah sistem peradilan Indonesia.[1] Putusan tersebut dapat dilaksanakan secara hukum jika Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak mengajukan banding.[2] Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat ditinjau kembali - misalnya, jika putusan tersebut menyatakan bahwa terdakwa bebas dari segala tuntutan.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia.[3] Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu persidangan di Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi di Mahkamah Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara.[2] Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap.[4] PK dapat diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.[3]

Sejarah

Konsep yang serupa dengan peninjauan kembali telah ada ketika Indonesia masih berada dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (1847-1940). Pada masa itu konsep memeriksa kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dikenal dengan istilah Herziening van Arresten en Vonnissen dengan lembaga herziening sebagai pelaksana proses pemeriksaan. Ketentuan pelaksanaan herziening diatur dalam Het Reglement op de Strafvordering yang merupakan hukum acara pidana yang berlaku di pengadilan Raad van Justitie (RVJ) pada masa Hindia Belanda.[5]

Istilah peninjauan kembali dalam perundang-undangan nasional mulai dipakai pada Undang-Undang No 19 tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.[6] Dalam pasal 15 undang-undang tersebut disebutkan bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan undang-undang.[6] Permohonan PK dalam sistem peradilan umum di Indonesia diterima oleh Mahkamah Agung melalui Lembaga Peninjauan Kembali (Lembaga PK).[7] Pada perkembangannya, keberadaan Lembaga PK dalam sistem peradilan di Indonesia mengalami tahap pasang-surut dalam arti kadang aktif kadang tidak.[8] Sekitar tahun 1970-an, Lembaga PK menjadi tidak aktif.[7] Lembaga PK kembali aktif dalam sistem peradilan Indonesia pada tahun 1980-an setelah terkuak kasus peradilan "Sengkon-Karta" yang menghebohkan dunia hukum pidana Indonesia saat itu.[7]

Kasus Sengkon-Karta adalah kasus pembunuhan seorang penjaga warung kecil beserta istrinya di Desa Bojongsari, Bekasi dengan tersangka Sengkon dan Karta pada tahun 1974.[9][10][11] Sesaat sebelum meninggal diceritakan bahwa penjaga warung berhasil membisikkan nama Sengkon kepada saksi yang membawanya ke rumah sakit. Sengkon dikenal sebagai preman di wilayah tempat kejadian dan selalu bekerja bersama rekannya yang bernama Karta.[9] Setelah kejadian pembunuhan, Sengkon dan Karta ditangkap polisi kemudian menjalani proses hukum.[12] Di pengadilan Sengkon dan Karta masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara.[11] Terhadap putusan pengadilan tersebut Sengkon mengajukan banding namun ditolak sedangkan Karta menyatakan menerima. Enam tahun kemudian saat berada di penjara, Sengkon dan Karta bertemu dengan Gunel yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan terhadap penjaga warung beserta istrinya di Bekasi. Berbekal pengakuan Gunel, Sengkon dan Karta dengan dibantu pengacara Abert Hasibuan mengajukan permohonan untuk membuka kembali kasusnya kepada Mahkamah Agung.[9][11] Bukti pengakuan Gunel membuat Prof. Oemar Seno Adji (ketua Mahkamah Agung saat itu) mengupayakan cara untuk membebaskan Sengkon dan Karta karena diyakini tidak bersalah.[12][9] Pada Akhirnya Sengkon dan Karta dibebaskan dengan upaya hukum peninjauan kembali.[10] Atas kasus Sengkon-Karta, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1980 mengenai Peninjauan Kembali yang menjadi dasar melakukan upaya hukum luar biasa dalam KUHAP Republik Indonesia saat ini.[9]

Prinsip umum

Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula

Prinsip ini diatur dalam Pasal 266 ayat 3 KUHAP yang berbunyi Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Mahkamah Agung tidak diperkenankan menjatuhkan putusan yang hukuman pidananya melebihi putusan pengadilan yang diajukan PK. Prinsip ini sesuai dengan tujuan diadakannya Lembaga PK yaitu untuk memenuhi hak pemohon untuk mencari keadilan. Dengan upaya PK, terpidana diberikan kesempatan untuk membela kepentingannya agar terbebas dari ketidakbenaran penegakan hukum.[13]

Tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi

Secara normatif undang-undang mengatur bahwa PK tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi (pelaksanaan putusan).[14] Berdasarkan Pasal 23 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2004 dan Pasal 67 UU MA, objek permohonan upaya hukum PK adalah suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap (BHT). Hal ini berarti bahwa saat putusan BHT dijatuhkan, terdakwa telah berubah status hukumnya menjadi terpidana. Putusan pengadilan yang BHT demikian tidak terpengaruh dengan proses PK yang diajukan sehingga tetap dilaksanakan.[8]

Dapat dilakukan berkali-kali

Dalam Pasal 268 ayat 3 KUHAP, dijelaskan bahwa PK terhadap suatu putusan pengadilan hanya dapat dilakukan satu kali.[3] Pada tahun 2013 Antasari Azhar mengajukan uji materi Pasal 268 ayat 3 KUHAP ke Mahkamah Konstitusi (MK).[15] Uji materi ke MK dilakukan untuk menilai apakah suatu pasal atau undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).[15] Antasari yang merupakan terpidana 18 tahun dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain merasa dirinya belum mendapat keadilan dengan upaya PK yang pernah ia lakukan.[15][16] Dalam persidangan uji materi tersebut terdapat perdebatan mengenai keadilan dan kepastian hukum. Apabila PK dapat dilakukan berkali-kali maka kepastian status hukum seseorang sukar ditentukan. Yusril Ihza Mahendra yang tampil sebagai saksi ahli dalam sidang uji materi di MK menerangkan bahwa PK berkali-kali adalah dalam rangka mencari keadilan materil.[17] Pada 6 Maret 2014 MK memutuskan mengabulkan permohonan Antasari Azhar yakni PK dapat dilakukan berkali-kali. Putusan ini dikritik oleh Mantan Ketua MK Mahfud MD.[18] Mahfud berpendapat bahwa putusan MK terkait PK berkali-kali menimbulkan kepastian hukum seseorang menggantung.[18] Terkait putusan MK tersebut, maka Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang mengatur bahwa PK hanya bisa diajukan satu kali sudah tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 45.

Yang dapat mengajukan

Pasal 263 ayat 1 KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya.[3] Namun, dalam perkembangan praktik peradilan saat ini terdapat tiga pihak yang dapat mengajukan PK yaitu terpidana, ahli waris, atau kuasa hukum terpidana.[19]

Terpidana atau ahli waris

Terpidana dan ahli waris memiliki kedudukan yang sama dalam mengajukan PK. Hal ini berarti bahwa sekalipun terpidana masih hidup, ahli waris dapat langsung mengajukan PK. Apabila terpidana meninggal dunia pada saat permohonan PK diajukan maka ahli waris berperan menggantikan posisi terpidana dalam mengajukan PK.[20]

Kuasa hukum

Dasar hukum diperbolehkannya PK ialah aturan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP yang tertuang dalam bentuk Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983. Aturan tersebut memperbolehkan terdakwa pada suatu kasus untuk memberi kuasa kepada kuasa hukum (pengacara) dalam upaya mengajukan kasasi. Berdasarkan penggunaan tersebut, Mahkamah Agung secara konsisten menggunakan dasar yang sama untuk diterapkan dalam syarat permohonan upaya hukum PK.[21]

Alasan pengajuan

Suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan upaya hukum PK dengan menyertakan alasan yang jelas.[2]

Keadaan baru

Salah satu alasan yang dapat diterima untuk pengajuan PK berdasar undang-undang ialah adanya atau ditemukannya bukti baru (sering disebut novum) yang belum pernah dihadirkan dalam persidangan. Bukti baru ini dapat berupa benda ataupun saksi yang bersifat menimbulkan dugaan kuat. Menimbulkan dugaan kuat yang dimaksud ialah jika seandainya bukti baru tersebut ditemukan saat sidang berlangsung, maka: (1) dapat membuat terpidana dijatuhi putusan bebas atau lepas dari seluruh tuntutan hukum, (2) dapat membuat putusan yang menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, atau (3) dapat membuat hakim menggunakan pasal yang lebih ringan dalam memutus terpidana.[2]

Kekeliruan atau kekhilafan hakim

Sebagai seorang manusia, sangat dimungkinkan hakim dalam membuat putusan pengadilan melakukan kekeliruan. Dalam praktik peradilan, putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dikoreksi dengan cara banding ke pengadilan tingkat dua (Pengadilan Tinggi) maupun ke tingkat tiga (Mahkamah Agung). Koreksi terhadap putusan dalam sistem peradilan berjenjang tersebut terkadang tetap menghasilkan suatu putusan yang keliru baik dalam hal penerapan pasal maupun pertimbangan hukum. Terhadap putusan-putusan seperti ini upaya hukum PK dapat diajukan.[2]

Proses

Permintaan

Peninjauan kembali diajukan oleh pemohon dalam hal ini terpidana atau ahli waris kepada panitera (petugas administrasi pengadilan) Pengadilan Negeri yang memutus perkara untuk pertama kali. Permintaan pengajuan PK dilakukan secara tertulis dilengkapi dengan alasan-alasan yang mendasari diajukannya PK. Panitera pengadilan yang menerima permintaan PK mencatat permintaan PK tersebut dalam suatu surat keterangan yang disebut Akta Permintaan Peninjauan Kembali. Tidak ada batas waktu dalam pengajuan PK, yang lebih diutamakan ialah terpenuhinya syarat-syarat pengajuan PK yang diatur UU dan KUHAP.[2]

Di Pengadilan Negeri

Sebelum permohonan PK diserahkan ke Mahkamah Agung, sesuai dengan KUHAP Pengadilan Negeri bertugas untuk memeriksa perkara PK terlebih dahulu. Dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk membentuk majelis hakim yang akan memeriksa permohonan. Majelis hakim yang dibentuk akan melakukan pemeriksaan terhadap materi PK terdakwa maupun saksi atau barang bukti yang diperlukan. Pemeriksaan pendahuluan di Pengadilan Negeri bersifat resmi dan terbuka untuk umum. Setelah pemeriksaan selesai, majelis hakim akan membuat pendapat terhadap PK yang diajukan. Pendapat tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pendapat yang turut dilimpahkan bersama berkas PK ke Mahkamah Agung.[2]

Di Mahkamah Agung

Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk memutus permohonan PK. Berita Acara Pendapat dari Pengadilan Negeri yang diperoleh dari pemeriksaan pendahuluan PK tidak selalu menjadi pertimbangan hakim MA dalam memutus perkara. Pada saat memeriksa permohonan PK, majelis hakim MA terdiri dari minimal tiga orang hakim agung. Putusan dibacakan dan ditandatangani oleh hakim agung yang melakukan pemeriksaan permohonan PK. Putusan PK oleh Mahkamah Agung dapat berupa: (1) permintaan dinyatakan tidak dapat diterima, (2) menolak permintaan peninjauan kembali, atau (3) menerima peninjauan kembali.[2]

Putusan-putusan PK kontroversial

Kasus Pollycarpus

Pollycarpus Budihari Priyanto adalah terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) bernama Munir.[22] Oleh Pengadilan Negeri Ia divonis 14 tahun penjara.[23] Pada tahapan kasasi Pollycarpus diputus bebas oleh Mahkamah Agung.[23] Atas putusan tersebut jaksa mengajukan PK kemudian diterima oleh Mahkamah Agung hingga akhirnya Pollycarpus divonis 20 tahun penjara.[23] Putusan PK tersebut merupakan hal yang tidak lazim karena sejatinya PK adalah hak terpidana yang lahir atas permasalahan Sengkon dan Karta bukan hak jaksa.[24]

Kasus Sudjiono Timan

Sudjiono Timan adalah mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang menjadi terpidana kasus korupsi senilai Rp 369 miliar.[25] Dalam kasus tersebut Sudjiono Timan divonis 15 tahun penjara pada tingkat kasasi namun kabur dan menjadi buron.[25] Pada tahun 2013 Mahkamah Agung Membebaskan Timan dari hukuman pidana melalui PK yang diajukan oleh istrinya.[25] Perdebatan timbul di kalangan ahli hukum karena istri (ketika suami masih hidup) bukan merupakan ahli waris sebagaimana syarat atau hak pengajuan PK adalah oleh terpidana atau ahli warisnya.[25]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Suharsono, Fienso (2010), Kamus Hukum (PDF), Vandetta Publishing, hlm. 7 
  2. ^ a b c d e f g h Harahap 2000, hlm. 607-644.
  3. ^ a b c d Pemerintah Republik Indonesia (1981). "Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981" (PDF). kontras.org. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-01-09. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  4. ^ H. Atja Sondjaja. "Beberapa Permasalahan Hukum" (PDF). mahkamahagung.go.id. hlm. 6. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  5. ^ Harahap 2000, hlm. 644-645.
  6. ^ a b Taufik Rahayu Syam. "Problematika Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali (PK) Pada Perkara Perceraian Di Peradilan Agama" (PDF). Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  7. ^ a b c Rustanto (2011). "Analisis Pengajuan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Oleh Jaksa Dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia" (PDF). Thesis Hukum. Bali: Universitas Udayana. Archived from the original on 2013-02-28. Diakses tanggal 2018-11-18. 
  8. ^ a b Harahap 2008, hlm. 431-470.
  9. ^ a b c d e Pompe 2005, hlm. 245-246.
  10. ^ a b Lubis & Lay 2009, hlm. 44.
  11. ^ a b c "Melindungi Para Jenderal dari Jerat Peradilan Internasional". tempo.co.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-11. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  12. ^ a b Ainun Yudhistira (2009). "Salah Hukum (Abuse of Justice) Dalam Kasus Sengkon-Karta Perspektif Hukum Islam" (PDF). Skripsi Fakultas Syari'ah. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. 
  13. ^ Harahap 2000, hlm. 639.
  14. ^ Ferdinan (2008). "MA: PK Tak Menangguhkan Eksekusi Amrozi Cs". news.okezone.com. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  15. ^ a b c Ikhwanul Khabibi (2013). "Uji Materi Soal PK, Antasari Ajukan Saksi Ahli Utama Susno Duadji". news.detik.com. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  16. ^ Eri Komar Sinaga (2014). "Antasari Azhar: Narapidana di Indonesia Tidak Boleh Sakit". tribunnews.com. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  17. ^ IS (2014). "Yusril: PK Berkali-kali Hanya Untuk Perkara Pidana". gatra.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  18. ^ a b Bambang Noroyono (2014). "Mahfud MD: Putusan MK Berbahaya". republika.co.id. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  19. ^ Harahap 2000, hlm. 616–618.
  20. ^ Harahap 2000, hlm. 617.
  21. ^ Harahap 2000, hlm. 618–619.
  22. ^ Suryanto (2006). "Kuasa Hukum Pollycarpus Serahkan Memori Kasasi". antaranews.com. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  23. ^ a b c ASH (2013). "MA Korting Vonis Pollycarpus". hukumonline.com. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  24. ^ "Pengajuan PK oleh Jaksa Dipertanyakan". nasional.kompas.com. 2009. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  25. ^ a b c d Ahmad Baiquni (2013). "Putusan Bebas Sudjono Timan Melecehkan Hakim". merdeka.com. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 

Daftar pustaka