Goryeo Cheongja atau Keramik Hijau Goryeo adalah jenis kerajinan keramik berwarna hijau (Bahasa Inggris:celadon) yang diciptakan pada zaman Dinasti Goryeo (935-1392) di Korea.[1] Celadon memiliki ciri khas warna biru-kehijauan karena metode pengglasiran secara khusus. Walau teknik pembuatannya diperkenalkan dari Cina, Goryeo Cheongja berhasil diciptakan pengrajin Goryeo dengan gaya dan metode yang berbeda. Pada masa Goryeo, keramik ini selain digunakan untuk perabot rumah tangga, juga dianggap sebagai karya seni bernilai yang dijual sebagai komoditas perdagangan.
Berbagai teori dan bukti sejarah yang dikemukakan oleh para sejarawan mengenai asal usul keramik hijau Goryeo di Semenanjung Korea antara lain kaitannya dengan produksi keramik hijau di Yuezhou, Provinsi Zhejiang, Cina selatan. Mengenai asal usul, ada 2 teori. Teori pertama, meyakini bahwa keramik hijau pertama di Korea dibuat pada abad ke-9, akhir periode Silla Bersatu (668-918). Teori kedua, keramik hijau pertama kali dibuat di pertengahan abad ke-10, masa Dinasti Goryeo.
Teori pertama paling kuat karena dibuktikan dengan penemuan berbagai jenis keramik mirip produksi Yuezhou di situs tungku pembakaran di pesisir barat Korea. Pada masa itu, Goryeo dipengaruhi Tang dalam berbagai bidang, yaitu agama Buddha, seni budaya, termasuk kerajinan keramik.Pengrajin keramik hijau dan putih pada zaman akhir Silla Bersatu semakin kreatif menciptakan berbagai bentuk baru namun tak ada dekorasi.
Periode Goryeo dan masa keemasan
Berlanjut ke pemerintahan Goryeo yang baru, metode ukir intaglio, relief, glasir besi, dan tatahan putih dipergunakan. Pengaruh khas Goryeo masih belum tampak karena masih meniru cara Cina untuk keramik pot, botol, dan vas maebyeong.
Warna hijau keramik masih cukup gelap kadang-kadang kuning karena proses bakar dalam tungku. Tapi lapisannya semakin tipis dan lebih tahan lama, menunjukkan adanya kemajuan dalam metode pembuatan.
Di pertengahan abad ke-11, Goryeo sudah cukup makmur untuk mengatur negerinya sendiri. Guna membuat keramik yang lebih bernilai pabrik-pabrik di pantai timur dan selatan ditutup dan pusat produksi pindah ke pesisir barat dekat ibu kota, khususnya ke Provinsi Jeolla. Dua daerah penting, Kecamatan Taegu, Kabupaten Gangjin dan Kecamatan Boan dan Kecamatan Chinso di Kabupaten Buan merupakan pusat produksi keramik yang dikelola secara khusus oleh pemerintah.
Keramik Cina masih jadi barang dagang di Goryeo sampai abad ke-12, antara lain keramik hijau Yaozhou Cina utara, keramik Ci-zhou dari Guangdong, keramik Ding, Jingdezhen, dan Xiuwu. Perabot-perabot ini menginspirasi produksi keramik Goryeo dari segi bentuk yang semakin bermacam-macam.
Pada masa pemerintahan Raja Injong (raja ke-17), pengrajin Goryeo mulai menemukan gaya khusus tahap demi tahap. Mulai tahun 1123 sampai 100 tahun berikutnya, disebut sebagai zaman kejayaan keramik hijau Goryeo saat banyak hasil karya bermutu tinggi diciptakan.
Hasil karya pengrajin Goryeo ditunjukkan dengan glasir keramik yang lebih transparan, jernih dan terang untuk menampilkan permukaan ukir-ukiran dan pola yang lebih ramai dan rumit. Sementara keramik hijau Cina berglasir lebih gelap sehingga menambahkan pola cukup sulit dilakukan.
Warna hijau batu giok yang didamba-damba pengrajin Goryeo pun sudah berhasil diciptakan dan menarik perhatian warga Cina dimana-mana. Xu Jing, utusan Huizong dari Song Utara menulis pengalamannya berkunjung ke Korea dalam buku Gaoli Tujing (Perjalanan utusan ke Goryeo) tahun 1123:
Rakyat Goryeo suka warna hijau batu giok. Cara membuatnya semakin maju dan glasirnya jadi lebih cantik...Mereka meniru keramik Ding...Di antara semuanya, pembakar dupa berbentuk singa yang paling unik dan semua keramik itu berwarna hijau serupa keramik dari Yue-zhou dan Ru-zhou.
Dalam buku Xiu Zhong Jin, Taiping Laoren menulis "keramik hijau Goryeo punya warna hijau tercantik di dunia".
Di antara jenis keramik hijau Goryeo yang paling dikagumi adalah sanggam cheongja, keramik hijau tatahan. Asalnya tak jelas, tetapi kemungkinan pertengahan abad 12 (1150-an) menurut penemuan mangkuk keramik hijau di kuburanMun Gong-yu yang meninggal tahun 1159.
Metode menatah sebenarnya digunakan untuk kerajinan metal didapat dari penelitan mendalam mengenai karaktaristik bahan ditambah keterampilan tinggi, merupakan penemuan besar orang Goryeo. Metode sanggam membuat pola tampak bagai lukisan, memperlihatkan paduan warna-warna yang harmonis. Pola yang disukai antara lain awan dan burung jenjang, representatif corak keramik Goryeo.
Setelah Invasi Mongol sampai akhir periode Goryeo
Pada tahun 1131, invasibangsa Mongol ke Korea menandai periode penurunan keramik hijau. Tahun berikutnya, pemerintahan pindah ke Pulau Ganghwa menghindari pasukan Mongol sampai akhirnya menyerah tahun 1270 dan kembali lagi ke Kaesong.
Pada masa ini metode tatahan masih dipraktikkan namun kualitasnya jauh berkurang karena warna hijau terang berubah gelap dan tidak menarik lagi. Pola-pola yang sebelumnya rumit diganti dengan yang lebih sederhana, biasa, dengan permukaan terlalu kosong atau terlalu banyak sehingga tidak seimbang. Harmoni warna memburuk, terlalu gelap atau terlalu terang karena pengrajin tidak lagi mencari nilai seni. Sebagian besar dibuat antara tahun 1269-1287. Pengaruh Arab dan barat masuk lewat Yuan pada tahun 1290-an memperkenalkan keramik-keramik asing. Keramik besar-besar dengan ukuran melebihi 70 cm juga diciptakan atas pengaruh Yuan bersama keramik glasir kuning dan keabu-abuan.
Pada abad ke-14 (tahun 1300-an), kualitas keramik hijau semakin melenceng, kali ini glasir hampir hitam dan tatahan jadi kasar bahkan produksinya semakin banyak. Hasil turunan ini adalah dasar keramik buncheong yang diminati pada masa Dinasti Joseon.
Sejak itu, dibawah kekuasaan Dinasti Yuan kerajinan keramik hijau telah kehilangan nilai dan kualitas hingga Goryeo jatuh pada tahun 1391.
Kebangkitan kembali
Setelah keruntuhan Goryeo, dan Dinasti Joseon memerintah selama 500 tahun lebih, kesenian membuat keramik hijau telah punah di Korea. Orang-orang Amerika dan Eropa yang tinggal di Korea adalah orang asing pertama yang menemukan kembali keramik hijau pada tahun 1881 di sebuah kuburan kuno di Kaesong (Korea Utara).
Lebih banyak lagi keramik hijau Goryeo yang ditemukan pada awal abad ke-20, saat Jepang membangun jalan kereta api untuk persiapan Perang Rusia-Jepang (1904-1905). Orang-orang asing ini mulai memusatkan perhatian untuk menggali harta karun keramik hijau di kuburan-kuburan kuno Goryeo di Kaesong (ibu kota Goryeo) dan Pulau Ganghwa, ibu kota darurat saat Korea diduduki bangsa Mongol.
Terdapat banyak upaya menghidupkan kembali kesenian keramik hijau Goryeo yang sudah punah, di antaranya berhasil dilakukan oleh seniman-seniman keramik di Korea Selatan, seperti Ko-Chung (Ji Jae-Seob) dan Chon-Jin pada tahun 1950-an.[3] Kebanyakan di antara mereka kini dihargai oleh pemerintah sebagai aset nasional, seperti Ji Jae-seob.[3] Sebagian besar kerajinan keramik hijau Goryeo yang diproduksi pada saat ini berasal dari rekonstruksi cara-cara lama dan tungku pembakaran baru di Kabupaten Gangjin, provinsi Jeolla Selatan.
Proses pembuatan, warna dan kepercayaan
Keramik hijau diciptakan dari tanah liat dan glasir yang mengandung sedikit besi.[4] Pada saat keramik dibakar dalam tungku, besi beroksidasi menghasilkan warna hijau seperti giok. Suhu tungku dipantau antara 1250 °C dan 1300 °C selama 24 jam untuk menjaga warna yang diinginkan pada keramik.
Warna dari keramik hijau ini ditentukan dari bahan pembuatan, antara lain kandungan besi dalam tanah liat, bahan glasir yang terbuat dari besi-oksida, mangan-oksida dan kwarsa tingkat pembakaran dalam tungku.[4] Suhu tungku umumnya berada pada atau sekitar 1150 °C dan level oksigen dalam tungku diturunkan dalam beberapa tahap pembakaran.[4]
Warna hijau yang dihasilkan oleh keramik hijau Goryeo berbeda dengan keramik hijau asal Cina. Sejak lama, kedua bangsa menganggap batu giok sebagai perhiasan bertuah dan berusaha membuat keramik dengan warna yang serupa mungkin dengan batu giok. Orang Cina menamakannya pishi (warna rahasia). Orang Goryeo berhasil menciptakan warna keramik hijau yang kebiru-biruan, agak berbeda dengan keramik Cina dan juga menjulukinya pisaek (warna rahasia).
Karena rakyat Goryeo beragama Buddha, maka warna keramik hijau diasosiasikan dengan pemikiran Buddhisme, sehingga warna hijau yang diciptakan juga melambangkan warna nirwana.[3]
Walaupun pada saat ini kandungan bahan kimiawi tanah liat, glasir dan material lain telah dianalisis secara tepat dan proses pembakaran menjadi lebih mudah dengan peralatan modern, para pengrajin zaman sekarang tidak mampu untuk membuat keramik hijau seperti asli. Dikatakan bahwa orang Goryeo mendedikasikan pemikiran religius mereka ke dalam keramik hijau serta mensyaratkan alasan-alasan agar keramik hijau dapat diciptakan secara sempurna. Pertama, negara harus berada dalam keadaan damai. Kedua, pengrajin harus menjaga pikiran yang jernih dan memiliki keterampilan yang baik. Ketiga, negara harus dalam kondisi bersatu. Jika semua hal ini telah terpenuhi, keramik hijau akan tercipta dengan hasil yang terbaik.
Teknik sanggam
Tidak hanya unggul dari warna, pengrajin Goryeo menemukan teknik baru untuk menghias keramik hijau yang dinamakan sanggam gibob (metode sanggam). Metode ini baru diciptakan pada tahun 1150-an dan dinamakan juga teknik menatah (inlay technique) dengan cara mengukir bagian permukaan keramik dan mengisinya dengan tanah liat.
Prosesnya dimulai dari pengukiran dengan pisau bambu, lalu membentuk pola-pola di permukaan yang setengah kering dan mengisinya dengan tanah liat putih dan merah sebelum dibakar. Pada saat proses pembakaran, tanah liat merah berubah jadi hitam dan tanah liat putih tetap berwarna putih. Setelah pembakaran pertama, keramik diberi glasir lagi dan dibakar untuk kedua kalinya.
Sebelum ditemukannya teknik sanggam, sebagian besar keramik hijau yang dibakar mengalami keretakan walau hanya menggunakan satu jenis tanah liat. Teknik sanggam yang memerlukan beberapa jenis tanah liat mengharuskan pengrajin Goryeo mendalami secara penuh karaktaristik tanah liat yang berbeda-beda dan bagaimana suhu yang tepat untuk membakarnya.
Sebelumnya, Cina telah berusaha membuat metode yang sama namun tidak berhasil, jadi mereka hanya menyapukan lukisan secara langsung ke permukaan keramik. Namun begitu, pengrajin Goryeo berhasil menciptakan keramik hijau dari beberapa jenis tanah liat dengan teknik yang pembakaran yang tepat sehingga mencegah keretakan. Hal ini tidak dilakukan oleh para pengrajin Cina.
Tungku
Tungku yang digunakan untuk membakar keramik hijau dibuat dengan bentuk bertingkat (naik) dari batu bata dengan kemiringan tertentu untuk mengalirkan udara dan nyala api ke arah atas lewat beberapa ruangan.[2] Keramik dibakar dalam suhu 1200-1300 °C, dengan tinggi 8 meter dan lebar rata-rata dari 1,2 - 1,5 meter.[2] Pada awalnya tungku hanya memiliki sebuah ruangan namun berkembang menjadi beberapa buah ruangan dan menjelang abad ke-14, tungku-tungku dibangun dengan bahan tanah liat.[2]
Artefak keramik hijau banyak ditemukan di situs kuburan dan tungku di Buan (Jeolla Utara) dan Gangjin (Jeolla Selatan).[2] Tungku-tungku sengaja dibangun dekat pesisir pantai karena memiliki banyak pasokan tanah liat bagus dan kayu bakar, selain untuk memudahkan pengiriman lewat laut.[2]
Jenis-jenis
Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa jenis keramik hijau yang juga bermakna khusus:[1]
Bunga seruni, melambangkan kesehatan dan kesejahteraan.
Pohon cemara, melambangkan kerajaan dan kesetiaan.
Artefak
Pada masa Goryeo, banyak keramik hijau yang dijadikan objek penguburan sehingga banyak peninggalan keramik hijau ditemukan utuh, terutama di wilayah Kaesong, Korea Utara.[2]
Berdasarkan Goryeosa (Babad Goryeo), Uijong yang gemar akan benda-benda seni, mempunyai sebuah pendopo beratap genteng keramik hijau di Kaesong, ibu kota Goryeo pada tahun 1157. Ini dibuktikan dengan penemuan genteng-genteng serupa di situs pabrik keramik di Gangjin pada tahun 1965. Fragmen-fragmen ditemukan bersamaan dengan keramik hijau yang sudah rusak seperti pembakar dupa, kendi, teko dan cawan.
Artefak juga ditemukan dalam kuburan-kuburan Song dan Yuan di Cina yang menunjukkan minat mereka akan keramik hijau Goryeo.
Penemuan di perairan Pulau Bian
Pada tahun 2003, ribuan keramik hijau ditemukan di kedalaman perairan Pulau Bian, Gunsan.[8] Menurut penelitian keramik hijau tersebut serupa dengan keramik hijau yang ditemukan di situs kuburan nomor 27 dan 28 di Desa Yucheon, Kabupaten Buan, sehingga artefak ini kemungkinan besar berasal dari desa Yucheon.[8] Diperkirakan pada abad ke-12, setelah diberangkatkan dari pelabuhan Julpo, Yucheon, kapal pembawa keramik tersebut menuju ibu kota (Gaegyeong) atau kota lain, tetapi mengalami musibah di tengah laut dan karam.[8] Artefak keramik hijau ini terdiri dari berbagai jenis peralatan seperti cawan dan mangkuk yang sebagian besar berpola, kemungkinan sebelum teknik sanggam ditemukan.[8] Selain itu ciri-cirinya adalah kasar dan tidak elegan, yang menunjukkan bahwa peralatan ini dibuat oleh pengrajin biasa.[8]
Penemuan di perairan Taean
Pada tanggal 18 Mei 2007, seorang nelayan bernama Kim Yeong-cheol berlayar ke perairan Pulau Daeseom, dekat wilayah Taean di Provinsi Chungcheong Utara untuk menangkap gurita.[9] Dari sana ia menemukan seekor gurita yang menjepit piring keramik hijau Goryeo.[9] Penemuan yang tidak disengaja ini mengarah kepada pencarian bangkai kapal Goryeo yang mengangkut keramik hijau dan dalam program yang dinamakan Proyek Taean.[9]
Sebagian besar artefak yang ditemukan adalah keramik hijau namun beberapa perabotan lain juga ditemukan.[9] Walaupun berbeda pola dan warna, seluruh keramik hijau yang ditemukan kemungkin diproduksi pada abad ke-12 di Kabupaten Gangjin, Jeolla Selatan, yang merupakan pusat produksi saat itu.[9] Barang-barang yang ditemukan merupakan keramik yang berkualitas tinggi yang mengindikasikan bahwa perabotan tersebut diproduksi untuk istana atau kaum bangsawan.[9]
Harta nasional
Harta Nasional Nomor 68
Pada saat penjajahan Jepang pada tahun 1910, banyak karya seni keramik hijau yang dibawa dan dikoleksi oleh kolektor barang antik Jepang.[3]
Cheongja-unhak-sanggam-mun-maebyeong adalah sebuah jenis maebyeong yang dikenal sebagai keramik hijau sanggam paling bermutu sehingga dijadikan sebagai Harta Nasional Korea Selatan Nomor 68.[10] Maebyeong ini berukuruan tinggi 42,1 cm yang membuatnya sebagai vas keramik hijau antik terbesar di Korea.[10] Di permukaannya diberi ilustrasi burung bangau yang dikelilingi lingkaran hitam dan putih.[10] Pola burung bangau berwarna putih dan mata serta sayap dan kakinya berwarna hitam.[10] Keramik ini pernah menjadi koleksi Chun Hyung-pil.[10] Chun membeli keramik ini seharga 20.000 Won dari seorang brokerJepang pada tahun 1935.[10] Kini, keramik ini tersimpan di Museum Seni Gansong di Seoul.[10]
Kutipan mengenai keramik hijau Goryeo
How many people could I make happy, if I could reproduce this color myself!
Bernard Leach (1887~1979)
The best Korean wares are not only original; they are the most gracious and unaffected pottery ever made. They have every virtue that pottery can have
William Honey dalam "The Ceramic Art of China and Other Countries of the
Far East" (1945)
The clear blue glaze represents Koryo’s sky, and the Koryo people knew very well how to fill this beautiful sky. They set carefree white clouds adrift in it, and between the white clouds, they offered their wishes to the heavens on the wings of a crane
Choi Soon-woo, mantan direktur Museum Nasional Korea dalam "a journey to Korean beauty"
the Goryeo celadon is my religion
Uchiyama Shozo, spesialis keramik Jepang
Galeri
Harta Nasional Nomor 95
Kundika
Vas
Harta Nasional Nomor 61
Referensi
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Goryeo_celadon.