Kerajaan Tanah Bumbu didirikan di atas bekas wilayah Negeri Pamukan atau Kerajaan Pamukan yang terletak di kawasan Teluk Pamukan. Negeri Pamukan merupakan salah satu daerah vazal kesultanan Banjar.
Negeri Pamukan atau Kerajaan Pamukan adalah sebuah nama wilayah historis di muara Daerah Aliran Sungai Cengal menurut sejarah Kesultanan Banjar.[4]
Diceritakan dalam Hikayat Banjar-Kotawaringin bahwa Negeri Pamukan atau Kerajaan Pamukan turut serta mengirim prajurit membantu Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung (Raja Negara Daha terakhir).
Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan:[4]
Keberadaan wilayah Negeri Pamukan atau Kerajaan Pamukan, diceritakan dalam Hikayat Banjar-Kotawaringin merupakan salah satu daerah yang mengirim pasukan perang untuk membantu Raja Banjar Pangeran Samudera (Sultan Suryanullah) melawan pamannya Pangeran Tumenggung (Raja Negara Daha):[4]
Karaëng-Patingallowang meminjam negeri-negeri di pantai timur sebagai Tanah Pinjaman Kesultanan Makassar sebagai tempat berdagang. Pada masa itu Negeri Pamukan merupakan vazal state Kesultanan Banjar. Pada masa kekuasaan Raja BanjarIslam ke-4 Maruhum Panembahan alias Sultan Mustain Billah (w. 1642) Baginda mengijinkan berdirinya pemukiman orang-orang Makassar dan Bugis di pantai timur Kalimantan.
Sekitar tahun 1641 Raja Tallo yang bernama I Mangngadaccinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang (m. 1641-1654) telah meminjam negeri-negeri di pantai timur Kalimantan kepada Raja Banjar Sultan Mustain Billah sebagai Tanah Pinjaman Kesultanan Makassar.
Hikayat Banjar-Kotawaringin menyebutkan:
Kemudian daripada itu tatkala Kiai Martasura ke Mangkasar, zaman Karaing Patigaloang itu, ia menyuruh pada Marhum Panembahan itu meminjam Pasir itu akan tempatnya berdagang serta bersumpah: "Barang siapa anak cucuku hendak aniaya lawan negeri Banjar mudah-mudahan dibinasakan Allah itu." Maka dipinjamkan oleh Marhum Panembahan. Itulah mulanya Pasir - serta diberi desa namanya Satui dan Hasam-Hasam dan Kintap, dan Sawarangan itu, Banacala, Balang Pasir dan Kutai dan Berau serta Karasikan - itu tiada mahanjurkan hupati ke Martapura itu.
Sejarah Kepemilikan Tanah Bumbu
Sultan Mustain Billah berputra 5 orang dari permaisuri yaitu Pangeran Dipati Tuha (01), Pangeran Dipati Anom (01), Pangeran Dipati Anta-Kasuma, Pangeran Dipati Antasari dan Putri Busu alias Ratu Hayu (isteri Pangeran Martasari. Sedangkan dari selir orang Jawa berputra Raden Halit (Sultan Rakyatullah).
Pangeran Dipati Anom 01 alias Pangeran di Darat sebagai wakil raja jadi penerus dipati Tuwah (01) dengan kepemilikan atas wilayah bagian tenggara kerajaan Banjar, disebut Tanah boemboe (tanah campuran). Namun beliau tetap memerintah kerajaan sebagai pemangku (mangkubumi) kerajaan Banjar selama lima tahun, kemudian jabatan ini diwariskan kepada ratu Kota-ringin, pangeran Anta Kesuma bergelar Ratu Bagawan Mahapandita dan menyerahkan kekuasaan kepada ratu Anom. Dia memerintah seperti itu selama lima belas tahun. Dengan demikian, tampaknya sultan sendiri tidak menjalankan pemerintahan, tetapi berada di tangan perdana menteri.[5]
Pangeran Dipati Anom 02, saudara Dipati Tuwa, mungkin tidak puas dengan tatanan yang ada, melarikan diri ke pedalaman, dan berusaha mendirikan kerajaan di antara suku Biaju, menghasut penduduk pedalaman itu melawan Banjarmasin. Tiga ribu orang Biaju menyusuri sungai besar dengan perahu kecil, memasuki Batang Banyu, tetapi dihentikan terlebih dahulu. Pangeran dipati Anom sendiri memajukan Kayu Tangi, didukung oleh pangeran Kesuma Mandoera, pangeran Kota-ringin, dan mengklaim sebagian pemerintahan saham negara bagian Bagus Kesuma Mataram, gubernur negara bagian Kota-ringin. Ini menye babkan perang internal. Bandjermasin adalah kerajaan yang sangat luas, menguasai separuh besar Kalimantan, meliputi seluruh pantai timur dan selatan, dan sebelumnya juga pantai barat, dan pedalaman sebagai sampai ke sungai besar Kapuas (Kapuas Buhang), atasan atas semua suku asli yang disebut Biaju.
[5]
Raja Tanah Bumbu
Pangeran Dipati Tuha (Pangeran Dipati Mangkubumi) bin Sultan Saidullah (1660-1700). Ia diutus Sultan Banjar mengamankan wilayah tenggara Kalimantan dari para pendatang atas permintaan penduduk lokal orang-orang suku Dayak Samihim (kode: mhy-sam[6]) yaitu rumpun Dayak Maanyan yang tinggal dahulu tinggal di kota Pamukan di muara sungai Cengal yang telah dihancurkan oleh para penyerang dari laut. Kemudian kedatangan rombongan Pangeran Dipati Tuha melalui jalan darat yang berasal dari Kelua (utara Kalsel) dan menetap di Sampanahan pada sebuah sungai kecil bernama sungai Bumbu (anak sungai Sampanahan) sehingga wilayah ini kemudian dinamakan Kerajaan Tanah Bumbu berdasarkan nama sungai Bumbu tersebut dengan wilayah kekuasaan membentang dari Tanjung Aru hingga Tanjung Silat. Pangeran Dipati Tuha (Pangeran Dipati Mangkubumi) memiliki dua putera yaitu Pangeran Mangu (Mangun Kesuma) dan Pangeran Citra (Citra Yuda). Setelah berhasil mengamankan Tanah Bumbu dari pendatang, Pangeran Citra kembali ke tanah lungguh milik ayahnya Pangeran Dipati Tuha yaitu negeri Kalua dan menjadi sultan negorij Kloeak. Sedangkan Pangeran Mangu dipersiapkan sebagai Raja Tanah Bumbu berikutnya.[7]
Pangeran Mangu (Pangeran Mangun Kesuma) bin Pangeran Dipati Tuha (1700-1740); memiliki anak bernama Ratu Mas. Ratu Mas bersaudara dengan Ratu Sepuh.[7]
Ratu Mas binti Pangeran Mangu (1740-1780); Ratu Mas dari Tanah Bumbu menikah dengan seorang pedagang Bugis bernama Daing Malewa yang bergelar Pangeran Dipati; pasangan ini memperoleh anak bernama Ratu Intan I. Dari dua istri orang bawahan, Daeng Malewa memiliki putra yaitu Pangeran Prabu dan Pangeran Layah. Ratu Intan I menikahi Aji Dipati yang bergelar Sultan Dipati Anom Alamsyah (Sultan Pasir III tahun 1768-1799).[8] Pernikahan Ratu Intan I dengan Sultan Anom tidak memiliki keturunan, tetapi dari istri selir Sultan Anom memiliki anak bernama: Pangeran Muhammad, Andin Kedot, Andin Girok, dan Andin Proah. Pangeran Layah memiliki anak bernama: Gusti Cita (putri) dan Gusti Tahora (putra). Sepeninggal Ratu Mas, maka sejak 1780, kerajaan Tanah Bumbu dibagi menjadi beberapa divisi (negeri). Ratu Intan I memperoleh negeri Cantung dan Batulicin.[9] Ratu Intan I masih dikenang dalam ingatan suku Dayak Meratus.[10] Pangeran Layah memperoleh negeri Buntar Laut. Sedangkan Pangeran Prabu bergelar Sultan Sepuh sebagai Raja Sampanahan, Bangkalaan, Manunggul dan Cengal.[7]
Kerajaan Tanah Bumbu tamat, dan dibagi menjadi beberapa divisi (negeri)
Negeri
Penguasa
Cantung, Batu Licin
Ratu Intan I binti Daeng Malewa/Pangeran Dipati (anak kandungnya)
Buntar Laut
Pangeran Layah bin Daeng Malewa/Pangeran Dipati (anak tirinya)
Sampanahan, Bangkalaan, Manunggul, Cengal
Pangeran Prabu (Sultan Sepuh) bin Daeng Malewa/Pangeran Dipati (anak tirinya)
Berita Lontara Bilang
Menurut Lontara Bilang, pada 28 Juli1699 atau 1 Safar 1111 Hijriyah, Pangeran-Aria (Pangeran Pamukan di pantai Timur Kalimantan) menikahi Daëng-Nisajoe (janda Aroe Teko ?), putri Karaëng Mandallé (Daeng Tulolo?). Pada 18 Juli1707/16 Rabiul akhir 1119 Hijriyah Pangeran Arija pergi bersama istrinya (Daëng-Nisajoe, putri Karaeng-Mandallé) ke negaranya (Pamoekan). Pada 1 Januari1707 Karaeng-Balassari (Zainab Saëná, putri Aru Teko lahir dari Daeng-Nisayu) menikahi raja (masa depan) (Siradjoe-d-din). Pada 30 Desember1707/ 6 Syawal 1119 Hijriyah Karaeng-Balassari (saudara perempuan Aroe-Kadjoe dan istri calon raja Tallo dan Gowa Siradju-d-din) melahirkan seorang putri bernama Karaeng-Tana-Sanga Mahbulaah Mamunja-ragi. Pada 9 Juli1715/ 7 Rajab 1127 Hijriyah. Daëng Mamuntoli Aroe-Kadjoe kembali dari Laut-poelo (pulau di selatan Kalimantan, biasa disebut Pulau Laut).[11][12][13]
^Truhart P., Regents of Nations. Systematic Chronology of States and Their Political Representatives in Past and Present. A Biographical Reference Book, Part 3: Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1245-1257, ISBN 3-598-21545-2.