Kalomel adalah mineralraksaklorida dengan rumusHg2Cl2 (lihat raksa(I) klorida). Namanya berasal dari bahasa Yunani kalos (cantik) dan melos (hitam) karena ia berubah menjadi hitam jika bereaksi dengan amonia. Hal ini diketahui oleh para alkimiawan.[2]
Pertama kali zat yang kemudian dikenal sebagai kalomel didokumentasikan pada era Suriah Kuno oleh sejarawan medis Persia, Rhazes; namun, hanya beberapa senyawa yang dia sebutkan yang dapat diidentifikasi secara positif sebagai kalomel karena tidak setiap alkimiawan mengungkapkan senyawa apa yang masuk ke dalam obat mereka.[4] Kalomel pertama kali masuk literatur medis Barat pada 1608, ketika Oswald Croll menulis tentang preparasi obat dalam bukunya "Tyroncium Chemicum," meskipun tidak disebut kalomel sampai 1655 ketika nama itu dibuat oleh Théodore de Mayerne.[5] Pada tahun 1618, Mayerne adalah orang pertama yang mempublikasikan preparasi dan formula untuk kalomel di "Farmakope Londinensis" (“Pharmacopoeia of Londinensis”).[4]
Pada abad ke-19, kalomel dipandang sebagai obat mujarab, atau obat sakti, dan digunakan untuk menyembuhkan hampir setiap penyakit. Beberapa penyakit ini termasuk: sifilis, bronkitis, kolera, kuku kaki tumbuh ke dalam, tumbuh gigi, asam urat, tuberkulosis, influenza, dan kanker. Meskipun apoteker abad ke-18 dan awal ke-19 menggunakan kalomel dengan sangat berhati-hati, pada akhir tahun 1840-an kalomel diresepkan dalam dosis heroik.[6] Ini, sebagian, karena penelitian Benjamin Rush yang menciptakan istilah dosis heroik berarti sekitar 20 butir diminum empat kali sehari.[7] Sikap ini didukung oleh Dr. Samuel Cartwright yang percaya bahwa mengambil dosis besar adalah "paling lembut" pada tubuh.[8] Saat kalomel meningkat popularitasnya, lebih banyak penelitian dilakukan tentang cara kerjanya.
J. Annesley adalah yang pertama menuliskan tentang perbedaan efek kalomel ketika diminum dalam dosis kecil dan besar.[8] Melalui percobaan pada anjing, Annesley menyimpulkan bahwa kalomel beraksi lebih seperti laksatif pada seluruh tubuh daripada aksi spesifik pada sistem vaskular atau liver seperti yang diyakini oleh para dokter.[8] Pada tahun 1853, Samuel Jackson menjelaskan efek merugikan kalomel pada anak-anak melalui publikasinya untuk Transactions of Physicians, Philadelphia.[6] Ia mencatat bahwa kalomel mempunyai efek merugikan yang menyebabkan gangren pada kulit, gigi tanggal, dan kerusakan gusi.[6] Pada 4 Mei 1863, William A. Hammond, Surgeon-General Amerika Serikat menyatakan bahwa kalomel tidak lagi digunakan oleh militer karena disalahgunakan oleh tentara dan dokter.[6] Ini menyebabkan banyak perdebatan di bidang medis, dan akhirnya menyebabkan ia digeser sebagai Surgeion-General.[9] Kalomel tetap digunakan hingga tahun 1890-an dan bahkan hingga di awal abad ke-20.[6] Akhirnya popularitas kalomel mulai berkurang ketika lebih banyak penelitian dilakukan, dan para ilmuwan menemukan bahwa raksa dalam senyawa tersebut meracuni pasien.
Kalomel adalah komponen utama dari tiga komponen pil nomor 9 tentara Inggris selama Perang Dunia Pertama.[10]
Elektrokimia
Kalomel digunakan sebagai antarmuka antara raksa logam dan larutan kloidanya dalam elektrode kalomel jenuh, yang digunakan dalam elektrokimia untuk menentukan pH dan potensial listrik dalam larutan. Dalam sebagian besar pengukuran elektrokimia, diperlukan agar salah satu elektrode dalam sel elektrokimia tersebut berada pada potensial konstan. Ini disebut elektrode referensi yang memungkinkan untuk mengendalikan potensial pada elektrode kerja.[11]
Sifat kimia
Calomel is a powder that is white when pure. When it is exposed to light or contains impurities it takes on a darker tint.[5] Calomel is made up of mercury and chlorine with the chemical formula Hg2Cl2. Depending on how calomel was administered, it affected the body in different ways. Taken orally, calomel damaged mainly the lining of the gastrointestinal tract. Mercury salts (such as calomel) are insoluble in water and therefore do not absorb well through the wall of the small intestine. Some of the calomel in the digestive system will likely be oxidized into a former of mercury that can be absorbed through the intestine, but most of it will not.[12] Oral calomel was actually the safest form of the drug to take, especially in low doses. Most of the calomel ingested will be excreted through urine and stool.[12]
Powdered forms of calomel were much more toxic, as their vapors damaged the brain. Once inhaled, the calomel enters the bloodstream and the mercury binds with the amino acids methionine, cysteine, homocysteine and taurine.[12] This is because of the sulfur group these amino acids contain, which mercury has a high affinity for. It is able to pass through the blood brain barrier and builds up in the brain. Mercury also has the ability to pass through the placenta, causing damage to unborn babies if a pregnant mother is taking calomel.[12]
Kalomel difabikasi dengan dua cara - sublimasi dan presipitasi. Ketika pertama kali kalomel difabrikasi, ia dibuat melalui sublimasi. Kalomel yang dibuat melalui sublimasi cenderung berbentuk serbuk putih yang sangat halus.[5] Terdapat beberapa kontroversi terhadap sublimasi kalomel. Banyak yang beranggapan bahwa semakin banyak kalomel disublimasi, semakin murni hasilnya. Sebaliknya, pihak-pihak yang kontra meyakini bahwa semakin sering diulang sublimasinya membuat kalomel kehilangan beberapa kemujarabannya.[4] Pada tahun 1788, apoteker Carl Wilhelm Scheele hadir dengan mekanisme pengendapan untuk fabrikasi kalomel. Metode ini cepat populer di industri farmasi karena lebih murah dan lebih aman untuk diproduksi.[4] Pengendapan juga cenderung membentuk garam kalomel yang sangat murni.[5]
Obat
Kalomel adalah obat yang populer digunakan selama era Viktoria dan banyak digunakan sebagai pengobatan untuk berbagai penyakit selama Perang Sipil Amerika. Obatnya tersedia dalam dua bentuk, pil biru dan massa biru.[9] Pil biru adalah bentuk oral kalomel yang mengandung raksa yang sering dicampur dengan pemanis, seperti licorice atau gula agar nyaman di mulut. Massa biru adalah bentuk padat dari kalomel di mana potongannya dapat dijepit dan diuji oleh dokter atau petugas medis lainnya. Tidak ada bentuk pengobatan yang datang dengan dosis standar. Tidak ada cara untuk mengetahui jumlah merkuro klorida yang terkandung dalam masing-masing dosis.[9]
Penggunaan
Kalomel dipasarkan sebagai zat pencahar untuk mengobati pembendungan darah dan sembelit, namun, dokter pada saat itu tidak memiliki ide tentang mekanisme pengobatan yang terjadi. Mereka mempelajari cara kerja kalomel melalui coba-coba. Teramati bahwa kalomel dosis kecil bertindak sebagai stimulan, kadang-kadang memicu pergeseran usu, sementara dosis yang lebih tinggi menyebabkan sedasi.[6] Selama abad ke-19, kalomel digunakan untuk mengobati sejumlah penyakit seperti gondong, demam tifoid, dan lain-lain—terutama dengan gejala saluran pencernaan seperti sembelit, disentri, dan muntah-muntah.[7] Oleh karena raksa yang dikandungnya memiliki pengaruh melunakkan gusi, maka digunakan sebagai konstituen utama serbuk penambal gigi, hingga pertengahan abad ke-20.[13]
Efek samping
Kalomel menjadi populer di akhir abad ke-18 dan diberikan dalam dosis yang sangat tinggi, karena Benjamin Rush membolehkan dosis heroik. Ini menyebabkan banyak pasien mengalami banyak ketidaknyamanan dan kadang-kadang efek samping yang mengancam nyawa. Kalomel, dalam dosis tinggi, memicu keracunan raksa, yang memiliki potensi menyebabkan cacat permanen dan bahkan kematian. Beberapa pasien mengalami gangren mulut yang dipicu oleh raksa dalam obat, yang menyebabkan jaringan pipi dan gusi di dalam mulut rusak dan mati.Beberapa pasien kehilangan giginya, sementara lainnya mengalami kerusakan wajah.[9] Kalomel dosis tinggi sering memicu kram ekstrim, muntah-muntah, dan diare berdarah, namun, pada saat itu, hal ini dianggap sebagai tanda bahwa kalomel sedang bekerja memperbaiki sistem dan menghilangkan penyakit.[7] Kalomel sering diberikan sebagai pengobatan disentri; efek kalomel sering kali memperparah diare parah akibat disentri dan bertindak sebagai katalis dalam mempercepat efek dehidrasi.[9] Salah satu korbannya adalah Alvin Smith, kakak tertua dari Joseph Smith, pendiri Gereja Yesus Kristus Orang Suci Akhir Zaman.[14] Kalomel juga digunakan oleh Charles Darwin untuk mengobati infeksi gastrointestinal parah yang diasumsikan sebagai awal fase induksi penyakit Crohn yang didokumentasikannya.[15] Akhirnya, diputuskan bahwa kalomel menyebabkan lebih banyak kerugian daripada manfaatnya, karena efek sampingnya sering kali lebih buruk daripada penyakit yang diobatinya. Berdasarkan hal tersebut kalomel ditarik dari rak obat di pasaran.[7]
^ abcdUrdang, George (1948). "The Early Chemical and Pharmaceutical History of Calomel". Chymia. 1: 93–108. doi:10.2307/27757117. JSTOR27757117.
^ abcdMeans, Alexander (1845). "Calomel - its Chemical Characteristics and Mineral Origins Considered". Southern Medical and Surgical Journal: 98.
^ abcdefHaller, Jr., John S. (1971). "Samson of the Materia: Medical Theory and the Use and Abuse of Calomel: In Nineteenth Century America Part II". Pharmacy in History. 13 (2): 67–76. JSTOR41108706.
^ abcdRisse, Guenter B. (1973). "Calomel and the American Medical Sects during the Nineteenth Century". Mayo Clinic Proceedings (XLVIII): 57–64.
^ abcHaller, Jr, John S. (1971). "Samson of the Materia Medica: Medical Theory and the Use and Abuse of Calomel: In Nineteenth Century America Part I". Pharmacy in History. 13 (1): 27–34. JSTOR41108691.
^Swiderski, Richard M. (2009). Calomel in America : mercurial panacea, war, song and ghosts. Boca Raton, FA: BrownWalker Press. hlm. 37–9. ISBN978-1-59942-467-5.
Palache, P.; Berman H.; Frondel, C. (1960). "Dana's System of Mineralogy, Volume II: Halides, Nitrates, Borates, Carbonates, Sulfates, Phosphates, Arsenates, Tungstates, Molybdates, Etc. (Seventh Edition)" John Wiley and Sons, Inc., New York, pp. 25–28.