Kabinet Tōjō
Kabinet Tōjō adalah Kabinet Jepang ke-40 yang dipimpin oleh Hideki Tojo yang juga menjabat sebagai Menteri Perang dan Jenderal aktif mulai 18 Oktober 1941 sampai 22 Juli 1944. SejarahPenunjukan TojoKonoe Fumimaro menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt menuntut ditariknya tentara Jepang dari Tiongkok Daratan dan Indochina Prancis serta pengunduran diri Jepang dari Pakta Tripartit dengan Jerman dan Kerajaan Italia. Tuntutan tersebut ditentang oleh Angkatan Darat. Tiga bulan setelah pelantikan Kabinet Konoe Ketiga, yang merupakan kabinet rombak, terdapat perselisihan dengan Menteri Perang Hideki Tojo, yang menyebabkan perselisihan di dalam kabinet sehingga kabinet bubar. Baik Konoe dan Tojo berharap untuk dapat membentuk kabinet baru yang dipimpin dari Wangsa Kekaisaran Jepang untuk mengatasi perselisihan tersebut, dan menunjuk Jenderal Angkatan Darat Pangeran Naruhiko Higashikuni sebagai kandidat perdana menteri selanjutnya. Pangeran Naruhiko dipilih karena posisinya sebagai tentara aktif, dan dipercaya dapat memimpin militer. Kaisar Showa menyetujui penunjukan Pangeran Naruhiko dengan syarat bahwa "Angkatan Darat dan Laut dapat menyetujui kebijakan damai." Namun ketika Penjaga Cap Pribadi Kaisar, Kōichi Kido mengonfirmasikan hal tersebut dengan Tojo, Tojo mengungkapkan keinginannya untuk menarik dukungannya dan mencari kandidat perdana menteri baru. Karena hal tersebut, Kido menolak penunjukan Pangeran Naruhiko dengan alasan "apabila pimpinan militer dan politik diserahkan kepada keluarga kekaisaran, apabila terjadi kesalahan dalam pemerintahan, ditakutkan rakyat akan melampiaskan amarah mereka kepada keluarga kekaisaran." Pada akhirnya alasan Kido diterima bahwa "Tojo, yang menganjurkan sikap garis keras, secara paradoks bisa menindas militer," dan Tojo pada akhirnya diberikan mandat untuk membentuk kabinet. Pangeran Naruhiko kemudian menjadi Perdana Menteri pada 17 Agustus 1945, setelah perang berakhir. Tojo dipromosikan menjadi Jenderal Angkatan Darat pada pelantikannya sebagai perdana menteri, yang di mana promosi tersebut tidaklah sesuai peraturan kenaikan pangkat yang menyatakan bahwa "kenaikan pangkat jenderal tidak dapat dilakukan sebelum penerima pangkat letnan jenderal telah bertugas selama sekurang-kurangnya lima tahun." Tidak hanya memegang jabatan Perdana Menteri, Tojo juga memegang kekuasaan besar dengan menjabat sebagai Menteri Perang dan Menteri Dalam Negeri, dan dijuluki sebagai "Keshogunan Tojo." Ketika Tojo menetima mandat untuk membentuk kabinet, Kaisar Showa menyarankannya untuk "melanjutkan negosiasi dengan Amerika Serikat." Menyanggupi saran tersebut, Tojo menunjuk Shigenori Tōgō, seorang negosiator untuk menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Terdapat pandangan bahwa tiga jabatan yang dipegang oleh Tojo (Perdana Menteri, Menteri Perang, dan Menteri Dalam Negeri) memang disengaja agar Tojo dapat menggunakan kekuatan kepolisian dan angkatan darat untuk menekan kerusuhan sosial yang diperkirakan dapat terjadi apabila negosiasi Jepang-AS berakhir dengan adanya konsesi dari Jepang. Penunjukan Tojo sebagai Menteri Perang diprakarsai oleh Kido, dengan tujuan untuk memastikan pasukan dapat segera ditarik dari wilayah jajahan pada akhir negosiasi dengan Amerika Serikat. Angkatan Laut merekomendasikan Soemu Toyoda sebagai Menteri Angkatan Laut, namun Tojo yang khawatir dengan sikap anti angkatan darat Toyoda, menolak rekomendasi tersebut dan menyebut perintah Kaisar untuk bekerja sama dengan Angkatan Darat dan Laut sebagai alasannya. Pangeran (Panglima Tinggi) Fushimi Hiroyasu yang memiliki pengaruh kuat di Angkatan Laut juga mengeluhkan rekomendasi terhadap Toyoda. Akhirnya, Angkatan Laut mengalah dan mantan Menteri Angkatan Laut, Koshirō Oikawa kemudian merekomendasikan Shigetaro Shimada sebagai Menteri Angkatan Laut. Setelah pelantikanMayoritas Angkatan Laut, yang menyadari perbedaan besar kekuatan angkatan laut dengan Angkatan Laut Amerika Serikat merupakan mereka yang ingin menghindari perang dengan Amerika Serikat, namun Menteri Shigetaro Shimada menyebut, "Tidak baik bagi seorang Menteri Angkatan Laut dengan sendirian menentang dan melewatkan peluang perang." Namun, setelah Menteri Luar Negeri Shigenori Togo menjabat, ia membuang faksi pro Jerman di dalam kementerian dan menyatukan kementerian dengan ide untuk mempromosikan negosiasi dengan Amerika Serikat. Lalu, fakta bahwa Jepang telah berubah dari pemerintahan sipil di bawah Perdana Menteri Konoe menjadi pemerintahan militer di bawah Perdana Menteri dan Menteri Perang Tojo, yang diarahkan untuk memulai perang, tentu saja dirasakan oleh negara-negara demokratis seperti Inggris dan Amerika Serikat. Selain itu, meskipun secara nominal diarahkan oleh Menteri Luar Negeri Cordell Hull, pada kenyataannya kemudian diketahui dengan dirilisnya Venona Papers bahwa Harry White, petinggi Departemen Keuangan Amerika Serikat, bersembunyi di dalam pemerintahan Amerika Serikat dan sedang melakukan spionase untuk Uni Soviet. Kabinet Tojo mengabaikan negosiasi dengan Amerika Serikat dan menganggap Nota Hull yang ditulis oleh salah satu bawahan Menteri Keuangan Morgenthau sebagai sebuah "ultimatum'' kepada pemerintah Jepang, dan Kabinet Tojo beralih untuk memulai perang. Akibatnya, Kabinet Tojo memutuskan untuk berperang melawan Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan kekuatan Sekutu lainnya. Setelah perang dimulai dengan invasi Malaya dan pengeboman Pearl Harbor pada 8 Desember, sebuah dekrit deklarasi perang atas nama Kaisar Showa diumumkan. Perdana Menteri Tojo mengungkapkan tekadnya kepada rakyat Jepang melalui siaran radio bertajuk "Saya tunduk kepada dekrit Kaisar.''[1] Empat hari kemudian, pada tanggal 12 Desember di tahun yang sama, keputusan Kabinet mencakupkan Perang Tiongkok-Jepang, yang telah terjadi sejak Kabinet Konoe pertama. Kemudian, ketika pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat ke-21 diadakan 1 tahun setelah perang dimulai. Tojo mengundurkan diri dari posisi Menteri Dalam Negeri dan digantikan oleh Michio Yuzawa, seorang birokrat Kementerian Dalam Negeri yang berpengalaman. Di sisi lain, untuk meningkatkan kepemimpinannya dalam operasi militer, Tojo mengambil posisi Kepala Staf. Selain itu, untuk memperkuat sikap pada masa perang, pemerintahan merombak badan dan kementerian, termasuk Kementerian Asia Timur Raya dan Kementerian Amunisi, mempromosikan sumber daya manusia, dan sentralisasi kekuasaan. Akibat dari Tojo yang mengemban jabatan sebagai Menteri Amunisi, Nobusuke Kishi yang merupakan Menteri Perdagangan dan Industri (juga menjabat sebagai Perdana Menteri setelah perang), secara tidak wajar diturunkan posisinya sebagai Wakil Menteri Amunisi, selagi mengemban jabatan sebagai Menteri Negara. Di satu waktu, terdapat rencana untuk membubarkan Kementerian Perang dan Kementerian Angkatan Laut untuk membentuk Kementerian Pertahanan. Di tengah situasi tersebut, Menteri Luar Negeri Togo mengundurkan diri karena perlawanannya atas pembentukan Kementerian Asia Timur Raya. Lalu, ketika penjelasan di parlemen mengenai sistem metropolitan Tokyo dan reformasi sistem kotamadya, kota dan desa, yang berfokus pada wali kota yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Menteri Dalam Negeri Michio Yuzawa terpaksa mengundurkan diri setelah menimbulkan kebencian dari Asosiasi Politik Pendukung. Fondasi pemerintahan kemudian terus melemah seiring dengan kekalahan tentara Jepang dan situasi perang yang semakin memburuk. Di sisi lain, terdapat sekelompok pengikut senior, termasuk mantan perdana menteri, dan sekelompok keluarga kekaisaran yang berpusat di sekitar Pangeran Takamatsu Nobuhito, salah satu adik Kaisar Showa (pengikut senior, Fumimaro Konoe, bukan bagian dari keluarga kekaisaran tetapi anggota bangsawan, tetapi merupakan kepala keluarga Sekke). Rencana untuk menggulingkan pemerintahan oleh seorang adipati yang kedudukannya setara dengan anggota keluarga kekaisaran terjadi di balik layar. Sebagai respon, Tojo mencoba mengatasi situasi tersebut dengan menunjuk pengikut senior sebagai menteri. Namun, Pertempuran Mariana dan jatuhnya Saipan memudahkan militer AS untuk mengebom daratan (serangan udara di daratan Jepang). Kishi menolak permintaan Perdana Menteri Tojo agar ia mengundurkan diri, dan pada tahun 1944 terjadi perselisihan di dalam kabinet . Kabinet Tojo mengundurkan diri secara massal pada tanggal 18 Juli sebagai bentuk tanggung jawab atas jatuhnya Saipan pada tanggal 9 Juli. Penggantinya adalah Kuniaki Koiso, yang menjadi Perdana Menteri, dan Kabinet Koiso dibentuk. PencapaianDalam rangka melaksanakan perang total, Undang-Undang Bencana Masa Perang disahkan di tahun 1942 (17 Showa), yang menetapkan pengerahan masyarakat secara umum dan kompensasi secara nasional.[2] Pasal 1 menetapkan manfaat yang didapat oleh anggota keluarga penyintas seperti perawatan medis, disabilitas, amputasi, dan pemakaman. Undang-undang tersebut dihapuskan oleh Panglima Tertinggi Sekutu pada September 1946 setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.[3] Anggota KabinetMenteri NegaraPara menteri negara ditunjuk pada 18 Oktober 1941 (16 Showa).[4] Kabinet tersebut bertugas selama 745 hari.
Sekretaris Kabinet & Direktur Jenderal Badan Legislasi
Kabinet yang direorganisasiReferensi
|