José Protacio Rizal Mercado y Alonso Realonda[7] (bahasa Spanyol: [xoˈseriˈsal,-ˈθal], Tagalog: [hoˈse ɾiˈsal]; 19 Juni 1861 – 30 Desember 1896) adalah seorang tokoh bangsa, penulis, dan polimatik asal Filipina yang aktif di akhir masa kolonial Spanyol. Dia dianggap sebagai pahlawan nasional (pambansang bayani) Filipina.[8] Berprofesi sebagai dokter oftalmologi, Rizal juga seorang penulis dan anggota kunci dari gerakan propaganda Filipina, yang mengadvokasi reformasi politik untuk koloni di bawah Spanyol .
Dia dieksekusi oleh pemerintah kolonial Spanyol atas kejahatan pemberontakan setelah Revolusi Filipina pecah; itu terinspirasi dari tulisannya. Meskipun dia tidak terlibat aktif dalam perencanaan atau pelaksanaannya, dia akhirnya menyetujui tujuannya yang akhirnya menghasilkan kemerdekaan untuk Filipina.
Para rahib Dominikan memberikan kepada keluarganya hak untuk menyewa sebuah hacienda dan sawah yang ada di situ, tetapi kemudian terjadilah tuntutan. Belakangan Jenderal Valeriano Weyler memerintahkan bangunan di tanah pertanian itu dibongkar.
Ketika mendaftar di Ateneo, Rizal mengganti nama keluarganya menjadi "Rizal" agar ia tidak terkena akibat buruk dari nama "Mercado". Abangnya, Paciano Mercado, terkait dengan sejumlah pastor Filipina, Mariano Gomez, José Burgos dan Jacinto Zamora yang dinyatakan subversif, sehingga mereka dihukum mati dengan "garrote" (teknik hukuman mati dengan cekikan).
Rizal merupakan keturunan kelima Domingo Lam-co, seorang imigran Tiongkok yang telah berhijrah ke Filipina dari Amoy, Tiongkok pada pertengahan abad ke-17 (lihat Tionghoa Filipina). Lam-co berumah tangga dengan seorang perempuan Sangley, kelahiran Luzon, Inez de la Rosa. Untuk menghindari keturunannya dari kebijakan rasialis yang diberlakukan atas penduduk Tionghoa oleh pemerintah Spanyol yang menjajah Filipina pada masa itu, Lam-co mengganti nama keluarganya menjadi "Mercado" (pasar) untuk menunjukkan akar mereka sebagai pedagang. Nama Rizal, aslinya Ricial, atau pucuk hijau, diciptakan oleh Paciano untuk memungkinkan José bebas bepergian, karena keluarga Mercado telah dicap negatif karena kecerdasan intelektual anak mereka. Perlu dicatat bahwa sejak masa kanak-kanak Rizal telah mengajukan gagasan-gagasan politik yang asing pada masa itu, berupa kebebasan dan hak-hak individu yang tentu telah membangkitkan amarah penguasa.
Selain garis keturunan Melayu dan Tionghoa, penelitian silsilah baru-baru ini menemukan bahwa José juga memiliki darah Spanyol, Jepang dan Negrito. Kakek buyutnya dari pihak ibunya (buyut Teogodra) adalah Eugenio Ursua, seorang keturunan dari para pemukim Jepang, yang menikahi seorang perempuan Filipa yang bernama Benigna (nama keluarganya tidak diketahui). Keduanya ini melahirkan Regina Ursua yang menikahi seorang mestizo Sangley dari Pangasinán, seorang hakim yang bernama Manuel de Quintos, kakek Teodora. Anak perempuan mereka, Brígida de Quintos, menikah dengan seorang mestizo (campuran Spanyol) yang bernama Lorenzo Alberto Alonzo, ayah dari Teodora.
Pendidikan
José Rizal mulai belajar dengan Justiniano Cruz di Biñan, Laguna. Ia kemudian pergi ke Manila untuk belajar di Ateneo Municipal de Manila dan di sana ia meraih ijazah S1-nya pada 1877 dan lulus sebagai mahasiswa terbaik di kelasnya. Ia meneruskan pelajarannya di Ateneo Municipal untuk meraih ijazah dalah bidang pengukuran dan pemetaan tanah dan pada masa yang sama, belajar di Universitas Santo Tomas dalam bidang sastra dan filsafat. Ketika ia mengetahui bahwa ibunya akan menjadi buta, ia berencana untuk mengambil bidang kedokteran (mata) di Universitas Santo Tomas tetapi tidak menamatkan kuliahnya karena merasa orang Filipina didiskriminasi oleh paderi-paderi Dominikan yang mengurus universitas tersebut.
Tanpa sepengetahuan dan persetujuan keluarganya, tetapi dengan dukungan penuh dan rahasia dari abangnya Paciano, ia kemudian pergi ke Madrid, Spanyol dan belajar kedokteran di Universidad Central de Madrid. Dari situ ia mendapatkan gelar sarjana kedokteran. Pendidikannya dilanjutkannya di Universitas Paris dan Universias Heidelberg di Jerman dan di sana ia mendapatkan gelar doktornya yang kedua.
Karya
José Rizal terkenal dengan karangan dua novel, Noli Me Tangere (1887) dan El Filibusterismo (1891), keduanya merupakan kritik mengenai penjajahan Spanyol atas Filipina. (Buku-buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia - "Noli Me Tangere" pada 1975 dengan judul Jangan Sentuh Aku dan "El Filibusterismo" pada 1994 dengan judul Merajalelanya Keserakahan, oleh Tjetje Jusuf dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya).
Buku-buku ini, yang diilhami oleh gagasan-gagasan dalam
Cervantes, Uncle Tom's Cabin, Don Quixote dan Pangeran Monte Cristo, membangkitkan kemarahan orang-orang Spanyol dan orang-orang Filipina yang terpengaruh Spanyol, karena simbolismenya yang terus-terang dan menghina di dalam buku-buku itu. Hal ini akhirnya menyebabkan ia dituntut sebagai penghasut revolusi, lalu diajukan ke pengadilan militer dan dihukum mati. Revolusi Filipina tahun 1896 terjadi tak lama sesudah itu. Pengadilan Rizal dianggap sebagai lelucon bahkan oleh tokoh-tokoh Spanyol pada zamannya. Tak lama sesudah hukuman matinya, filsuf Miguel de Unamuno, dalam suatu ungkapan yang penuh perasaan dan tidak terlupakan, mengakui Rizal sebagai seorang Spanyol, yang dibesarkan dalam tradisi-tradisi yang terbaik dari negeri itu, "...lebih Spanyol daripada jiwa-jiwa malang yang, di atas jenazahnya yang masih hangat, melontarkan seruan hujatan ke langit yang bagaikan penghinaan itu, 'Viva España' (Hidup Spanyol!).
Bahkan di dalam kematian, kata-kata Rizal masih membangkitkan inspirasi. Ketika Undang-undang Organik Filipina diperdebatkan di Kongres, keraguan tentang kemampuan bangsa Filipina untuk memerintah dirinya sendiri dihapuskan oleh pidato yang penuh perasaan oleh Anggota Kongres Henry Cooper dari Wisconsin yang mengandung kutipan dari terjemahan bahasa Inggris puisi kehormatannya, "Mi Ultimo Adios," lalu menutupnya dengan pertanyaan yang menggugah, "Di bawah suasana atau langit apakah tirani ini boleh mengklaim korban yang lebih agung?"
Keberanian
Setelah menulis Noli me Tangere, di antara berbagai puisi, drama, dan traktat yang masih ditulisnya, Rizal kembali memperoleh cap negatif di antara orang-orang spanyol. Berlawanan dengan nasihat keluarga dan sahabat-sahabatnya, ia kembali ke Filipina untuk menolong keluarganya, yang saat itu masih mengalami masalah dengan para tuan tanah Dominikan. Ia mengajukan permohonan kepada masyarakat Calamba untuk berbicara melawan para rahib itu. Sebagai balasan, para rahib Dominikan menghukum para petani Calamba dengan lebih hebat lagi, hingga bahkan mengusir mereka dari rumah-rumah mereka karena menolak membayar harga sewa tanah yang selangit. Rizal belakangan kembali meninggalkan negerinya.
Wenceslao Retana menghina Rizal dengan Referensi yang sembrono kepada orangtuanya, dan segera meminta maaf setelah ditantang untuk berduel. Ia selamat setelah mengeluarkan permintaan maaf, dan bahkan kemudian menjadi pengagumnya dan menulis biografi Rizal yang pertama di Eropa.
Beberapa saat sebelum ia ditembak mati oleh pasukan infantri yang terdiri dari bangsa Filipina asli, yang didukung oleh pasukan yang menjaminnya yang terdiri dari pasukan infantri Spanyol, si kepala Departemen Kesehatan Filipina, seorang Spanyol, meminta untuk memeriksa denyut nadinya. Normal. Mengetahui hal ini, si sersan Spanyol yang bertugas memimpin pasukan pendukung menyuruh pasukannya untuk diam ketika mereka mulai menyerukan "viva" dengan kerumunan partisan.
Peninggalan
Rizal lebih merupakan pelopor sebuah masyarakat yang terbuka, daripada seorang pejuang revolusioner yang menuntut kemerdekaan politik. Ia menganjurkan sistem perwakilan rakyat untuk menghasilkan pembaruan institusional dengan cara-cara damai, dan bukan melalui revolusi kekerasan. Dalam hal ini ia adalah penganjur pembaruan politik anti-kekerasan pertama di Asia.
Sebagai ketua gerakan Gerakan Propaganda mahasiswa Filipina di Spanyol, ia menyumbangkan beberapa artikel kepada surat kabar La Solidaridad di Barcelona dengan agenda-agenda yang berikut:
Bahwa Filipina menjadi salah satu provinsi Spanyol
Perwakilan bagi orang Filipina di Cortes (Parlemen)
Gereja-gereja Filipina dipimpin oleh imam-imam Filipina dan bukan para imam Augustinian Spanyol
Kebebasan berserikat dan bersuara
Hak yang sama di hadapan undang-undang (untuk orang Filipina maupun Spanyol yang mengadu ke pengadilan)
Pemerintah kolonial di Filipina tidak menyukai pembaruan-pembaruan ini, meskipun misalnya usul-usul itu didukung secara terbuka oleh para intelektual Spanyol seperti Morayta, Unamuno, Pi y Margal dll. Sekembalinya ke Manila pada 1892, ia membentuk sebuah gerakan masyarakat yang dinamai La Liga Filipina. Liga ini menganjurkan pembaruan-pembaruan sosial yang moderat ini melaui cara-cara yang legal, tetapi kemudian dibubarkan oleh pemerintah. Pada saat itu, ia sudah dinyatakan sebagai musuh negara oleh penguasa Spanyol karena novel-novelnya yang menghasut. Noli me Tangere, khususnya, menampilkan para rahib dalam gambaran yang sangat buruk, dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada harapan untuk diperbaiki.
Sebagai seorang pembaru politik, ia setara dengan Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, dan Sun Yat Sen sebagai perintis yang mengubah cara berpikir di benua Asia, tetapi sebagai seorang modernis yang mendapatkan yang terbaik dari apa yang dapat diberikan oleh peradaban Eropa, ia melampaui negara maupun benua, seorang visioner yang berpandangan jauh ke depan, dengan pesan yang relevan untuk masa kini.
Begitu pula dikarenakan jiwa sosialnya yang tinggi tanpa memandang ras dan bangsa, maka pemerintahan Kota Medan, Indonesia, mengabadikan nama Jose Rizal menjadi salah satu nama jalan di Kota Medan.
Hari-hari terakhir
Rizal dianggap terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberontakan yang sedang berkembang dan pada Juli 1892 ia dibuang ke Dapitan di provinsi Zamboanga (Mindanao). Di sana ia mendirikan sebuah sekolah dan rumah sakit. Selain itu ia merancang sebuah sistem saluran air untuk rakyat. Ia bertemu dan berpacaran dengan anak tiri dari seorang pasien, seorang perempuan Irlandia bernama Josephine Bracken, tetapi ia tidak dapat melangsungkan pernikahan secara gerejawi, karena ia tidak mau kembali ke agama masa mudanya. Selain itu, ia juga dianggap pro revolusi. Untuk menghilangkan kaitan antara dirinya dengan revolusi berdarah, Rizal menjadi relawan dan diberikan izin oleh Gubernur Jenderal Spanyol Ramon Blanco y Erenas untuk pergi dan melayani para korban demam kuning di Kuba.
Pada 1896, pemberontakan yang dirancang oleh Katipunan, sebuah perhimpunan rahasia nasionalis, berkembang menjadi suatu revolusi besar-besaran, sebagai sebuah pemberontakan nasionalis sejati dan menyebabkan diproklamasikannya republik pertama yang benar-benar demokratis di Asia. Rizal ditahan di tengah perjalanan, dipenjarakan di Barcelona, dan diajukan ke pengadilan. Ia dinyatakan terlibat dalam revolusi melalui hubungannya dengan para anggota Katipunan dan diadili di pengadilan militer dengan tuduhan pemberontakan, pengkhianatan, dan permufakatan. Selama dalam perjalanan, ia tidak dirantai dan mempunyai banyak kesempatan untuk melarikan diri, tetapi ia menolaknya. Itu adalah lambang wataknya bahwa tak seorang Spanyol pun yang dapat menyentuhnya. Rizal dinyatakan terbukti bersalah atas ketiga tuduhan dan dijatuhi hukuman mati.
Sementara hukumannya semakin mendekat, Rizal menulis puisinya yang terakhir, yang, meskipun tidak berjudul, akhirnya dikenal sebagai "Mi Último Adiós" (Selamat Tinggalku yang Terakhir). Puisi ini lebih tepat diberi judul, "Adios, Patria Adorada" (harafiah: "Selamat Tinggal, Tanah Air Tercinta"), dari logika dan tradisi sastranya: kata-kata yang muncul pada baris pertama puisi itu sendiri.
Dalam suratnya yang terakhir, dari rangkaian surat-menyurat yang sangat tebal dan tidak ada tandingannya dalam tradisi Asia, kepada Profesor
Fernando Blumentritt dari Sudeten, Jerman -
Saudaraku tercinta, saat engkau menerima surat ini, aku sudah tiada. Esok pada pk. 7, aku akan ditembak; namun aku tidak bersalah atas tuduhan melakukan pemberontakan... Ia harus meyakinkan sahabatnya bahwa ia tidak pernah berubah menjadi seorang revolusioner, seperti yang pernah dipertimbangkannya, bahwa cita-cita yang diperjuangkan oleh keduanya tetap dipegangnya hingga akhir. Ia pun menyerahkan sebuah buku yang secara pribadi dijilidnya di Dapitan untuk 'sahabat terbaik dan tercintanya'. Ketika orang Austria itu menerimanya, ia menangis dan meratap.
Setelah Rizal dijatuhi hukuman mati, muncul banyak keraguan mengenai kejadian-kejadian di sekitar kematiannya. Banyak orang yang tetap percaya bahwa Rizal tidak menikahi kekasihnya tercinta Josephine Bracken sesuai tradisi Katolik Roma beberapa jam sebelum hukuman matinya, ataupun mencabut bagian-bagian tulisannya yang bernada anti Katolik, sebuah pertikaian yang tidak kunjung berkurang. Firasat Rizal sendiri adalah pembelaannya setelah kematiannya. Tersisip dalam 'Mi Ultimo Adios' sebuah kunci yang mungkin menyingkapkan isi hatinya, "Aku pergi ke tempat di mana tidak ada budak, tidak ada algojo atau penindas, di mana iman tidak membunuh..." Ini adalah komentarnya yang terakhir tentang Gereja Katolik pada masanya. Karena kecerdasannya yang luar biasa, teladannya terhadap para sahabat dan musuhnya, perjuangannya yang baik dan tidakannya yang berani atas nama perdamaian, ia menjulang melampaui semua pahlawan Filipina.
Di tempat ia gugur kini berdiri sebuah patung, yang dirancang oleh pematung Swiss, Richard Kissling yang terkenal karena patungnya, "William Tell". Patung itu memuat tulisan: "Aku ingin memperlihatkan kepada orang-orang yang mencabut hak mereka untuk mencintai negaranya, bahwa ketika kita tahu bagaimana mengorbankan diri kita demi tugas dan keyakinan kita, maut tidaklah menjadi masalah bila seseorang mati untuk mereka yang dicintainya– untuk negaranya dan untuk mereka yang dicintainya".
Craig, Austin (1913). Lineage Life and Labors of Jose Rizal. Philippine Education Company.
Guerrero, Leon Ma (1963). The First Filipino: A Biography of Jose Rizal. National Historical Institute.
Hilario, Frank A (2005). indios bravos! José Rizal as Messiah of the Redemption. Lumos Publishing House.. This also contains the latest (December 2005) English translation of Rizal's valedictory poem.
Zaide, Gregorio F. (2003). Jose Rizal: Life, Works and Writings. National Bookstore.