Ilias (bahasa Yunani Kuno: Ἰλιάς, translit. Iliás, artinya "[syair] tentang Ilion") adalah salah satu dari dua wiracaritaYunani Kuno yang diyakini sebagai hasil karya pujangga Homeros. Wiracarita ini adalah salah satu tinggalan karya sastra tertua yang masih banyak diminati khalayak modern. Sama seperti Odiseya, wiracarita ini terbagi menjadi 24 parwa dan dianggit seturut kaidah heksameter daktilis. Versinya yang berterima umum terdiri atas 15.693 larik. Dengan latar suasana menjelang kesudahan Perang Troya, perang pengepungan kota Troya selama satu dasawarsa oleh persekutuan negara-negara kota Yunani Mikene, wiracarita ini mengisahkan kejadian-kejadian penting pada minggu-minggu terakhir perang itu, khususnya tentang pertengkaran sengit Raja Agamemnon dengan Akhiles, wirawan ternama. Ilias terbilang sebagai salah satu karya sastra utama di dalam lingkup sastra wiracarita, dan jamak dianggap sebagai karya sastra Eropa pertama yang berbobot.
Agaknya Ilias maupun Odiseya ditulis dalam bahasa Yunani Homeros, bahasa sastra bauran bahasa Yunani dialek Yonia dengan dialek-dialek lainnya, kemungkinan besar sekitar akhir abad ke-8 atau permulaan abad ke-7 Pramasehi. Pada zaman Klasik, jarang sekali ada orang yang meragukan bahwa kedua wiracarita itu adalah hasil karya pujangga Homeros, tetapi dewasa ini para sarjana pada umumnya menduga bahwa Ilias dan Odiseya bukanlah hasil karya satu orang pujangga yang sama, dan kisah-kisah yang terangkum di dalamnya merupakan bagian dari suatu tradisi lisan yang panjang. Wiracarita ini dilantunkan oleh para pelantun syair Homeros profesional yang disebut rapsoidos.
Pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam wiracarita ini antara lain adalah kleos (kemuliaan), ujub, takdir, dan murka. Sekalipun terkenal lantaran kisah-kisahnya yang tragis dan mencekam, terselip pula kisah-kisah jenaka dan gelak-tawa.[1] Wiracarita ini kerap disifatkan sebagai wiracarita maskulin atau kegagahberanian, khususnya jika dibandingkan dengan Odiseya. Ilias dengan cermat menjabarkan perkakas-perkakas perang dan siasat-siasat tempur kuno, serta hanya menampilkan segelintir tokoh perempuan. Dewa-dewi Olimpus juga berperan besar di dalam wiracarita ini, dengan membantu wira kesayangan mereka dan menengahi cekcok-cekcok antarpribadi. Di dalam wiracarita ini, perwatakan dewa-dewi Olimpus sengaja dimanusiawikan supaya mudah dipahami khalayak Yunani Kuno, dengan menghadirkan suatu kesan nyata dari budaya dan kepercayaan turun-temurun mereka. Dari segi gaya formal penulisannya, pengulangan kalimat serta pemakaian majas simile dan julukan-julukan di dalam wiracarita ini kerap dijadikan bahan kajian oleh para sarjana.
Selayang pandang
Perhatian: Nomor parwa (dalam tanda kurung) mendahului rangkuman isi parwa.
Gelar cerita (parwa 1-4)
(1) Sesudah menyeru para Musai, cerita langsung bergulir in medias res (ke bagian inti) mendekati kesudahan perang antara orang Troya dan orang Akhaya. Syahdan Krises, pendeta Dewa Apolon di Troya, menawarkan harta kekayaan kepada para pejuang Akhaya sebagai imbalan pembebasan anak perempuannya, Kriseis, yang ditawan Agamemnon, pemimpin orang Akhaya. Meskipun banyak pejuang Akhaya yang tergiur, Agamemnon tidak bersedia melepaskan tawanannya. Krises akhirnya menyeru sesembahannya agar sudi mengulurkan pertolongan, maka Dewa Apolon pun menulahi pihak Akhaya dengan wabah penyakit.
Sesudah sembilan hari lamanya pihak Akhaya didera tulah, Akhiles, pemimpin laskar Mirmidon, menggelar rapat untuk mencari jalan keluar. Karena terdesak, Agamemnon bersedia memulangkan Kriseis kepada ayahnya, tetapi memutuskan untuk mengambil Briseis, tawanan Akhiles, sebagai ganti rugi. Akhiles naik pitam lalu mengumumkan bahwa ia maupun laskarnya sudah tidak sudi berjuang untuk kepentingan Agamemnon dan akan bertolak pulang ke tanah air. Odiseus mengambil sebuah kapal dan memulangkan Kriseis kepada ayahnya, sehingga Dewa Apolon akhirnya berkenan mengakhiri tulah.
Akhiles sangat kesal ketika para pesuruh Agamemnon datang mengambil Briseis. Sambil duduk di pantai, ia menyeru ibunya, Tetis,[2] agar memohon Dewa Zeus membuat pihak Akhaya dipojokkan pihak Troya, sehingga Agamemnon sadar bahwa pihak Akhaya membutuhkan Akhiles. Tetis menuruti kemauan anaknya, dan permohonannya dikabulkan Dewa Zeus.
(2) Melalui mimpi, Dewa Zeus menghasut Agamemnon untuk menyerbu Troya. Agamemnon bertindak mengikuti petunjuk mimpinya, tetapi lebih dulu ingin menguji semangat juang angkatan perang Akhaya dengan menyuruh mereka pulang ke tanah air. Muslihatnya malah menjadi senjata makan tuan, dan hanya berkat campur tangan Odiseus yang diilhami Dewi Atena sajalah keberangkatan pulang para pejuang Akhaya dapat dicegah.
Odiseus menghardik dan menghajar Tersites, seorang prajurit biasa yang menyuarakan ketidaksenangannya berjuang bagi Agamemnon. Usai bersantap, para pejuang Akhaya dikerahkan laskar demi laskar ke padang Troya. Sang pujangga memanfaatkan bagian ini untuk menguraikan asal-usul tiap-tiap laskar pejuang Akhaya.
Ketika kabar pengerahan laskar-laskar Akhaya dipersembahkan ke hadapan Raja Priamos, pihak Troya pun menanggapinya dengan melancarkan serangan-serangan dadakan ke padang. Pada bagian ini, sang pujangga menjabarkan kekuatan tempur negara kota Troya beserta laskar-laskar sekutunya.
(3) Kedua belah pihak bergerak saling mendekat, tetapi sebelum bentrok terjadi, Paris mohon kepada Hektor, abangnya sekaligus panglima angkatan bersenjata Troya, agar diizinkan bertarung satu lawan satu dengan Menelaos demi menghindari pertumpahan darah besar-besaran. Pada bagian ini sang pujangga mengungkit akar masalah yang memicu terjadinya perang dengan menceritakan bahwa Helene "menyulam sengketa antara orang Troya dan orang Akhaya, maka Dewa Ares membuat kedua belah pihak saling memerangi demi dirinya." Perkara pemicu perang diperjelas sang pujangga pada bagian akhir alinea dengan menceritakan bagaimana Helene diberitahu bahwa Paris dan "Menelaos akan bertarung memperebutkan dirimu, dan engkau akan menjadi istri si pemenang." Kedua belah pihak bersumpah untuk berhenti saling memerangi dan sepakat menerima apa pun hasil duel. Paris kalah, tetapi Dewi Afrodite menyelamatkan dan menuntunnya ke petiduran bersama Helene sebelum Menelaos dapat membunuhnya.
(4) Karena tekanan Dewi Hera yang benci kepada Troya, Dewa Zeus membuat Pandaros memanah Menelaos. Dengan demikian Pihak Troya telah melanggar sumpah gencatan senjata. Agamemnon mengumandangkan aba-aba serbu, dan pertempuran pun pecah.
Perang tanding (parwa 5-7)
(5) Diomedes berhasil menewaskan banyak pejuang Troya, termasuk Pandaros, dan mengalahkan Aineias. Dewi Afrodite turun menyelamatkan Aineias, tetapi Diomedes malah menyerang dan melukai sang dewi. Dewa Apolon menghadang Diomedes dan memperingatkannya akan bahaya memerangi para dewa. Sejumlah pahlawan dan panglima ikut terjun ke kancah pertempuran, termasuk Hektor. Dewa-dewi pun ikut campur dengan mendukung pihak pilihan masing-masing, dan berusaha mempengaruhi jalannya pertempuran. Karena disemangati Dewi Atena, Diomedes memberanikan diri melukai Dewa Ares agar tidak dapat bertempur membela pihak Troya.
(6) Hektor membakar semangat para prajurit Troya dan mencegah mereka kabur. Diomedes dari pihak Akhaya dan Glaukos dari pihak Troya sepakat menjalin persahabatan ketika tahu bahwa mendiang datuk-datuk mereka (Oineus dan Belerofon) ternyata bersahabat karib semasa hidup. Sebagai tanda persahabatan, keduanya bertukar pakaian tempur, meskipun pakaian tempur Glaukos yang terbuat dari emas jauh lebih tinggi nilainya daripada pakaian tempur Diomedes yang terbuat dari perunggu. Hektor masuk kota, mengimbau warga Troya untuk berdoa dan mempersembahkan korban kepada dewa-dewi, menyemangati Paris untuk berjuang, mengucapkan salam perpisahan kepada istri (Andromake) dan anaknya (Astianaks) di tembok kota, lalu kembali ke kancah pertempuran.
(7) Hektor berduel melawan Ayas tetapi tidak sampai tuntas, karena pertempuran harus ditunda bilamana hari berganti malam. Pihak Akhaya sepakat memperabukan mayat pejuang-pejuang mereka dan membangun tembok untuk melindungi kapal-kapal dan perkemahan mereka, sementara pihak Troya mempertengkarkan usulan untuk memulangkan Helene. Paris menyatakan kesediaanya untuk menyerahkan harta kekayaan sebagai ganti rugi, tetapi tidak akan memulangkan Helene. Kedua belah pihak menyepakati gencatan senjata selama satu hari untuk memperabukan jenazah para pejuang yang gugur. Waktu gencatan senjata juga dimanfaatkan pihak Akhaya untuk membangun tembok dan menggali parit.
Bala Yunani kocar-kacir (parwa 8-15)
(8) Pagi hari berikutnya, Dewa Zeus melarang dewa-dewi ikut campur, dan pertempuran kembali pecah. Pihak Troya terbukti unggul tanpa bantuan dewa-dewi. Pihak Akhaya terdesak sampai ke tembok yang baru dibangun, tetapi Dewi Hera dan Dewi Atena dilarang membantu mereka. Hari keburu berganti malam sebelum pihak Troya berhasil menerobos tembok pertahanan Akhaya. Mereka berkemah di padang agar dapat langsung menyerbu perkemahan Akhaya begitu fajar menyingsing, dan api-api unggun yang mereka nyalakan di padang untuk berjaga-jaga terlihat seperti bintang-bintang di angkasa malam.
(9) Pihak Akhaya putus asa. Agamemnon mengakui kekhilafannya dan mengirim perutusan yang terdiri atas Odiseus, Ayas, Foiniks, dan dua orang juru warta untuk menawarkan penyerahan Briseis berikut sejumlah besar harta kekayaan agar Akhiles berkenan kembali berjuang. Akhiles beserta laskar Mirmidon ketika itu berkemah di sebelah kapal mereka. Kedatangan perutusan disambut baik Akhiles dan Patroklos, tetapi Akhiles dengan marah menolak tawaran Agamemnon. Ia menegaskan akan kembali bertempur hanya jika pihak Troya sudah sampai ke kapalnya dan mengancam mereka dengan api. Perutusan pulang dengan tangan hampa.
(10) Malam itu juga, Odiseus dan Diomedes mengendap-endap memasuki perkemahan pihak Troya, membunuh Dolon, dan mengobrak-abrik perkemahan laskar Trakia sekutu Troya.
(11) Pagi hari berikutnya, pertempuran berlangsung sengit. Agamemnon, Diomedes, dan Odiseus terluka. Akhiles mengutus Patroklos mencari tahu keterangan tentang korban-korban di pihak Akhaya. Ketika sedang menjalankan tugasnya, Patroklos tergugah mendengar pidato yang disampaikan Nestor.
(12) Pihak Troya menyerbu tembok Akhaya dengan menggunakan kendaraan. Tanpa menghiraukan pertanda sial yang ditunjukkan gelagat seekor burung rajawali, Hektor memimpin pertempuran yang memakan banyak korban. Pihak Akhaya kelabakan dan terkepung, gapura tembok pelindung bobol, dan Hektor menyerbu masuk.
(13) Dewa Poseidon merasa kasihan kepada pihak Akhaya. Ia melanggar larangan Dewa Zeus dan turun ke kancah pertempuran demi membantu pihak Akhaya. Idomeneus berjuang dengan gagah berani. Banyak korban berguguran di kedua belah pihak. Ahli tenung Troya, Polidamas mendesak Hektor untuk mundur dan memperingatkannya akan Akhiles, tetapi tidak diindahkan.
(14) Dewa Zeus terlena bujuk rayu Dewi Hera sehingga Dewa Poseidon berkesempatan menolong bangsa Yunani. Pihak Troya dapat dipukul mundur ke padang.
(15) Dewa Zeus terbangun dan murka melihat perbuatan Dewa Poseidon. Tanpa menghiraukan suara-suara keberatan dari dewa-dewi pendukung Akhaya, Dewa Zeus mengutus Dewa Apolon untuk membantu pihak Troya. Tembok pertahanan Akhaya sekali lagi dibobol, dan pertempuran akhirnya sampai ke tempat kapal-kapal bersandar.
Patroklus gugur (parwa 16-18)
(16) Patroklos tidak tahan lagi melihat jalannya pertempuran dan memohon Akhiles mengizinkannya ikut berjuang demi melindungi kapal laskar Mirmidon. Dengan berat hati Akhiles memberi izin dan meminjamkan pakaian tempurnya kepada Patroklos, tetapi dengan keras mengingatkannya untuk tidak memburu para pejuang Troya, agar tidak merampas ketenaran Akhiles. Patroklos memimpin laskar Mirmidon memasuki kancah pertempuran, tepat ketika pihak Troya mulai membakar kapal-kapal Akhaya. Pihak Troya kewalahan menghadapi serbuan dadakan laskar Mirmidon, dan Patroklos pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menewaskan Sarpedon, anak Dewa Zeus yang memimpin salah satu laskar sekutu Troya. Tanpa menghiraukan peringatan Akhiles, Patroklos memburu pejuang-pejuang lawan sampai dihadang Dewa Apolon di depan gapura kota Troya. Setelah bertarung melawan Dewa Apolon dan Euforbos, Patroklos akhirnya tewas di tangan Hektor.
(17) Hektor menanggalkan pakaian tempur Akhiles dari tubuh Patroklos, tetapi pertempuran seketika pecah di sekitar mayat Patrokos.
(18) Akhiles tidak kuasa menahan kesedihannya mendengar berita kematian Patroklos. Ia bersumpah untuk membalas dendam kepada Hektor. Ibu Akhiles, Tetis, juga berdukacita karena sudah mengetahui bahwa Akhiles ditakdirkan mati muda jika menewaskan Hektor. Akhiles didesak membantu usaha pengambilan mayat Patroklos tetapi pakaian tempurnya sudah hilang. Dengan sekujur tubuh bermandi cahaya gemilang dari Dewi Atena, Akhiles berdiri di dekat tembok Akhaya dan meraung-raung meluapkan kemarahannya. Pihak Troya terperangah melihat penampilannya sehingga pejuang-pejuang Akhaya berkesempatan melarikan mayat Patroklos. Polidamas sekali lagi mendesak Hektor untuk mundur ke dalam kota, tetapi Hektor sekali lagi tidak mengindahkan kata-katanya. Ketika hari berganti malam, angkatan bersenjata Troya malah berkemah di padang. Selagi Akhiles meratapi kematian Patroklos, Tetis meminta Dewa Hefaistos membuat seperangkat pakaian tempur baru untuk akhiles, termasuk sebuah perisai yang sangat mengagumkan.
Akhiles murka (parwa 19-24)
(19) Pagi hari berikutnya, Agamemnon menyerahkan semua hadiah yang dijanjikannya kepada Akhiles, termasuk Briseis, tetapi tidak dihiraukan Akhiles. Akhiles berpantang makan minum sementara pejuang-pejuang Akhaya melahap makanan mereka. Ia mengenakan pakaian tempur barunya lalu mengambil tombaknya. Ksantos, salah seekor kuda penarik keretanya, meringkikkan nubuat kematian Akhiles. Dengan mengendarai kereta, Akhiles memasuki kancah pertempuran.
(20) Dewa Zeus menarik kembali larangannya kepada dewa-dewi untuk ikut campur, sehingga dewa-dewi dengan leluasa dapat menolong pihak pilihan masing-masing. Dibakar amarah dan dukacita, Akhiles menewaskan banyak prajurit musuh.
(21) Terjangan Akhiles membelah angkatan bersenjata Troya menjadi dua kelompok. Satu kelompok ia kejar sampai ke Sungai Skamandros. Seluruhnya tewas dibantai Akhiles, sampai-sampai Sungai Skamandros penuh dengan mayat mengambang. Sungai Skamandros yang murka dicemari korban pembantaian pun meluap menerjang Akhiles tetapi seketika surut disambar petir berapi Dewa Hefaistos. Dewa-dewi bertempur satu sama lain. Pintu-pintu gapura raksasa kota Troya terbuka menyambut pejuang-pejuang yang mundur menyelamatkan diri. Dewa Apolon memancing Akhiles menjauh dari kota dengan menyaru sebagai orang Troya.
(22) Saat Dewa Apolon menyingkap jati dirinya kepada Akhiles, semua pejuang Troya sudah selamat berlindung di dalam kota, kecuali Hektor yang sudah dua kali mengabaikan nasihat Polidamas. Ia malu melihat kekalahan pihak Troya dan bertekad menghadapi Akhiles. Imbauan pulang dari kedua orang tuanya, Raja Priamos dan Permaisuri Hekabe, tidak mampu membuat Hektor mengurungkan niatnya. Tekad Hektor yang membara serta-merta tawar saat melihat kereta Akhiles melaju kenjang menghampirinya. Akhiles mengejarnya keliling kota. Dewi Athina akhirnya berhasil memperdaya Hektor sehingga menghentikan kereta dan menghadapi lawannya. Dalam duel yang berlangsung singkat, Akhiles berhasil menghujamkan bilah pedangnya menembus batang leher Hektor. Dengan tarikan napas terakhir, Hektor mengingatkan Akhiles bahwa lawannya itu pun sudah ditakdirkan gugur di medan perang yang sama. Akhiles menista mayat Hektor dengan cara mengikatnya pada buritan kereta lalu memacu kudanya sehingga mayat Hektor terseret-seret sepanjang jalan.
(24) Roh Patroklos mendatangi Akhiles dalam mimpi. Ia ingin Akhiles menggelar upacara pemakaman mayatnya dan mengupayakan agar kemudian hari tulang-belulang mereka berdua dapat beristirahat bersama-sama di dalam satu makam. Pihak Akhaya menyarungkan senjata selama satu hari untuk melangsungkan upacara pemakaman, dan Akhiles membagi-bagikan hadiah kepada para pejuang.
(24) Dewa Zeus masygul melihat Akhiles terus-menerus menista mayat Hektor, sehingga memutuskan bahwa mayat Hektor harus diserahkan kepada Raja Priamos. Dituntun Dewa Hermes, Priamos meninggalkan kota Troya sambil mengemudikan sebuah pedati, lalu menyusuri padang sampai ke perkemahan pihak Akhaya tanpa disadari orang. Sambil mendekap erat lutut Akhiles, Priamos memohon kesudiannya menyerahkan mayat Hektor. Akhiles menangis terharu dan bersama-sama Priamos meratapi orang-orang terkasih yang gugur di medan laga. Seusai bersantap, Priamos menaikkan mayat anaknya ke dalam pedati lalu kembali ke kota. Mayat Hektor dikubur, dan seisi kota berkabung.
Dewa-dewi Yunani dan Ilias
Dewa-dewi yang disembah bangsa Yunani
Agama bangsa Yunani Kuno tidak memiliki tokoh pengasas, bukan pula ciptaan seorang guru yang ketiban wangsit, melainkan terlahir dari aneka ragam kepercayaan bangsa Yunani.[3] Kepercayaan-kepercayaan tersebut sejalan dengan gagasan-gagasan tentang dewa-dewi di dalam agama politeistis Yunani. Adkins (tahun 2020) maupun Pollard (tahun 1998) membenarkan pandangan ini dengan berpendapat bahwa "orang-orang Yunani terdahulu memersonifikasi segala aspek yang ada di dunia mereka, baik aspek-aspek alam maupun aspek-aspek budaya, serta pengalaman mereka di dalamnya. Darat, laut, gunung, sungai, hukum adat (temis), hak dan kewajiban seseorang di dalam masyarakat berikut kebaikan-kebaikannya, semuanya dipandang sebagai pribadi sekaligus sebagai unsur alam."[4]
Sebagai akibat dari fikrah semacam ini, tiap-tiap dewa atau dewi di dalam agama politeistis bangsa Yunani dikaitkan dengan salah satu aspek dari dunia manusia. Sebagai contoh, Poseidon adalah dewa laut, Afrodite adalah dewi kecantikan, Ares adalah dewa perang, dan seterusnya. Demikianlah kebudayaan Yunani terbentuk, manakala banyak orang Atena merasakan kehadiran dewa-dewi mereka melalui campur tangan ilahi di dalam peristiwa-peristiwa penting kehidupan mereka. Sering kali mereka dapati bahwa peristiwa-peristiwa tersebut tak terselami dan tak terjelaskan.[5]
Di dalam Ilias
Di dalam Perang Troya sastrawi Ilias, dewa-dewi Olimpus maupun dewa-dewi rendahan saling bertarung dan menceburi kancah peperangan manusia, sering kali dengan cara mencampuri urusan manusia guna melawan dewa-dewi lain. Berbeda dari penggambaran dewa-dewi di dalam ajaran agama bangsa Yunani, Homeros menyajikan penggambaran dewa-dewi yang sejalan dengan tujuan penceritaannya. Dewa-dewi di dalam fikrah tradisional orang Atena pada abad ke-4 tidak akan dijumpai di dalam karya-karya Homeros.[5] Sejarawan zaman klasik, Herodotos, mengatakan bahwa Homeros dan Hesiodos, rekan sezamannya, adalah pujangga-pujangga pertama yang mencantumkan nama dewa-dewi berikut penggambaran rupa dan sifatnya di dalam karya mereka.[6]
Mary Lefkowitz (2003)[7] membahas relevansi tindakan dewata di dalam Ilias, berusaha menjawab pertanyaan benar tidaknya campur tangan dewata merupakan merupakan kejadian istimewa, atau benar tidaknya perilaku dewata semacam itu hanya sekadar kiasan watak manusia. Minat intelektual para pujangga zaman Klasik, semisal Tukidides dan Platon, terbatas pada kemanfaatannya sebagai "suatu cara untuk membicarakan kehidupan manusia ketimbang sebagai suatu penjabaran atau suatu kebenaran", karena jika dewa-dewi tetap merupakan sosok-sosok keagamaan alih-alih merupakan kiasan watak manusia, maka "keberadaan" mereka—tanpa landasan dogma atau kitab suci—akan memungkinkan budaya Yunani memiliki keluasan intelektual dan kebebasan untuk menyeru dewa-dewi sesuai fungsi religius apa pun yang mereka butuhkan sebagai sebuah bangsa.[7][8]
Psikolog Julian Jaynes (tahun 1976)[9] menggunakan Ilias sebagai bukti utama yang mendukung teori Alam Pikiran Bikameral yang ia cetuskan. Teori ini mengatakan bahwa sampai dengan waktu yang dijabarkan di dalam Ilias, umat manusia memiliki mentalitas yang jauh berbeda dengan umat manusia dewasa ini. Ia berpendapat bahwa umat manusia pada masa itu tidak memiliki sesuati yang dewasa ini disebut "kesadaran". Ia menduga bahwa umat manusia mendengar dan mematuhi perintah-perintah dari sesuatu yang mereka anggap sebagai dewata sampai akhirnya terjadi perubahan mentalitas yang memasukkan daya penyemangat ke dalam alam kesadaran manusia. Ia menunjukkan bahwa hampir semua tindakan di dalam Iiad diarahkan, disebabkan, atau dipengaruhi dewata, dan bahwa terjemahan-terjemahan terdahulu secara mencengangkan memperlihatkan ketiadaan kata-kata yang menyiratkan pemikiran, perencanaan, maupun mawas diri. Menurutnya, kemunculan kata-kata semacam itu di dalam terjemahan-terjemahan Ilias adalah akibat dari penafsiran keliru para penerjemah yang memaksakan mentalitas modern kepada tokoh-tokoh Ilias.[9]
Sejumlah sarjana yakin bahwa dewa-dewi ikut campur dalam urusan dunia fana lantaran adanya cekcok di antara mereka. Homeros membahasakan dunia pada masa itu dengan menggunakan hasrat dan emosi dewa-dewi sebagai faktor-faktor penentu kejadian-kejadian di tataran umat manusia.[10] Salah satu contoh dari hubungan sebab akibat semacam ini di dalam Ilias adalah cekcok di antara Dewi Atena, Dewi Hera, dan Dewi Afrodite. Di dalam parwa pamungkas wiracarita ini, Homeros menulis, "ia membuat Atena dan Hera tersinggung—kedua-dua dewi."[11] Atena dan Hera dengki kepada Afrodite lantaran di dalam sebuah ajang adu cantik di Gunung Olimpus, Paris selaku juri memilih Afrodite sebagai dewi tercantik, mengalahkan Hera dan Atena. Wolfgang Kullmann menjelaskan lebih lanjut bahwa, "kekecewaan Hera dan Atena melihat kemenangan Afrodite dalam peristiwa Penilaian Paris menentukan seluruh polah-tingkah kedua dewi tersebut di dalam Ilias dan merupakan biang keladi kebencian mereka terhadap Paris, si juri, maupun terhadap kotanya, Troya."[10]
Hera dan Atena terus mendukung pihak Akhaya di sepanjang wiracarita ini lantaran Paris berada di pihak Troya, sementara Afrodite membantu Paris dan pihak Troya. Emosi-emosi yang dirasakan ketiga dewi tersebut satu sama lain sering kali terejawantahkan menjadi tindakan-tindakan mereka di dunia fana. Sebagai contoh, di dalam Parwa ke-3 Ilias, Paris menantang siapa saja dari pihak Akhaya yang berani bertarung satu lawan satu dengannya, dan Menelaus maju menjawab tantangan itu. Menelaus lebih unggul dan sedikit lagi akan merenggut nyawa Paris. "Kini dia sudah menyudutkannya dan meraih kemuliaan abadi, tetapi Afrodite, anak Zeus, bergegas turun tangan, meretas tali belulang itu."[11] Afrodite mengintervensi atas kepentingan diri sendiri untuk menyelamatkan Paris dari angkara Menelaus, karena Paris sudah membantunya memenangkan ajang adu cantik para dewi. Keberpihakan Afrodite terhadap Paris membuat semua dewa-dewi terpancing untuk ikut mengintervensi, khususnya untuk menyampaikan wejangan-wejangan pengobar semangat juang kepada anak emasnya masing-masing, dan kerap menampakkan diri dalam wujud orang yang mereka kenal baik.[10] Keterkaitan emosi dengan tindakan di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh yang muncul di berbagai bagian wiracarita ini.[butuh rujukan]
Tema
Takdir
Takdir (bahasa Yunani: κήρ, kēr, artinya "ketentuan ajal") menggerakkan sebagian besar peristiwa di dalam Ilias. Sekali takdir ditetapkan, dewa-dewi maupun manusia wajib menjalaninya, dan tidak berdaya atau tidak berniat menentangnya. Tidak diketahui bagaimana takdir ditetapkan, yang jelas takdir diungkap para Moira dan Zeus dengan cara mengirim pertanda kepada para ahli tenung seperti Kalkhas. Manusia dan dewa-dewi mereka terus-menerus berbicara tentang penerimaan secara perwira dan penghindaran secara pengecut terhadap takdir seseorang.[12] Takdir tidak menentukan setiap tindakan, insiden, maupun kejadian, tetapi memang menentukan hasil akhir dari dari jalan hidupnya. Sebelum menewaskan Patroklos, Hektor menyebutnya orang bodoh karena secara pengecut menghindari takdir dengan coba-coba mengalahkannya.[butuh rujukan] Patroklos menjawab dengan kalimat berikut ini:
[13]
Engkau keliru, takdir pembinasa bersama putra Leto sudah membunuhku,
juga Euforbos, dari antara manusia; kau cuma orang ketiga yang menewaskanku.
Dan camkan baik-baik perkataanku ini di dalam hatimu.
Engkau sendiri pun bukan orang yang akan hidup lama, malah sekarang ini juga
maut dan takdir yang perkasa sudah berdiri mengapit engkau,
untuk gugur di tangan Akhiles, putra mulia Ayakos.[14]
Dengan kalimat di atas, Patroklos mengungkit takdirnya untuk tewas di tangan Hektor sekaligus takdir Hektor untuk tewas di tangan Akhiles. Semua orang menerima akhir jalan hidupnya masing-masing, tetapi tidak seorang pun yang tahu pasti apakah dewa-dewi dapat mengubah takdir. Ketidakpastian ini mengemuka di dalam parwa 16. Saat melihat Patroklos menewaskan Sarpedon, putranya yang beribu manusia, Dewa Zeus bersabda:
Aduhai, betapa sudah takdir Sarpedon, yang terkasih di antara manusia,
harus gugur di tangan Patroklos putra Menoitios.[15]
Melihat kegundahan Zeus, Dewi Hera bertanya kepadanya:
Wahai Baginda, putra Sang Kronos, perkataan macam apa yang Paduka tuturkan itu?
Hendakkah Paduka hidupkan semula seorang insan yang fana, yang sudah lama
oleh takdirnya dikutuk celaka, dari maut yang sumbang bunyinya, lalu melepaskan dia?
Perbuatlah demikian kalau begitu; tapi tak satu pun dari kami, dewa-dewi ini, akan benarkan tindakan Paduka.[16]
Sesudah menimbang-nimbang, Zeus, raja dewa-dewi, akhirnya mengizinkan kematian Sarpedon ketimbang mengubah takdirnya. Motif serupa kembali mengemuka ketika Zeus mempertimbangkan untuk membiarkan Hektor, tokoh yang ia kasihi dan hormati, tetap hidup. Kali ini, ia digugat Dewi Atena dengan perkataan berikut ini:
Wahai Bapa empunya petir berkilat, yang berselubung kabut gelap, apakah yang Paduka katakan itu?
Hendakkah Paduka hidupkan semula seorang insan yang fana, yang sudah lama
oleh takdirnya dikutuk celaka, dari maut yang sumbang bunyinya, lalu melepaskan dia?
Perbuatlah demikian kalau begitu; tapi tak satu pun dari kami, dewa-dewi ini, akan benarkan tindakan Paduka.[17]
Dewa Zeus sekali lagi tampaknya berkuasa mengubah takdir, tetapi tidak melakukannya, malah memutuskan untuk menuruti ketentuan takdir. Dengan cara yang sama, takdir menyelamatkan nyawa Aineas sesudah Dewa Apolon meyakinkannya untuk bertempur melawan Akhiles yang jauh lebih kuat. Poseidon mewanti-wanti dewa-dewi dengan perkataan berikut ini:
Mari kita luputkan sendiri orang ini dari maut, supaya tidak
murka Sang Putra Kronos kalau Akhiles sekarang
membunuh orang ini. Dia sudah ditakdirkan selamat,
agar tidak punah zuriat Dardanos…[18]
Dengan bantuan ilahi, Aineias luput dari angkara murka Akhiles dan selamat menyintasi Perang Troya. Entah mampu atau tidak mampu mengubah takdir, yang jelas dewa-dewi menuruti ketentuan takdir, sekalipun merugikan insan-insan kesayangan mereka. Jadi asal-usul takdir yang misterius itu adalah suatu kuasa yang mengatasi dewa-dewi. Takdir menentukan kekuasaan atas dunia terbelah tiga apabila Zeus, Poseidon, dan Hades menggulingkan Kronos, ayah mereka. Zeus menguasai udara dan angkasa, Poseidon menguasai perairan, dan Hades menguasai pratala, dunia orang mati, tetapi ketiganya bersama-sama berdaulat atas dunia. Meskipun dewa-dewi Olimpus berkuasa mengatur dunia, hanya ketiga Moira yang menentukan nasib manusia.
Ketenaran
Ketenaran (bahasa Yunani: κλέος, "kemuliaan" atau "ketenaran") adalah konsep mengenai keharuman nama yang diperoleh seseorang karena berprestasi di medan laga.[19] Meskipun demikian, Akhiles harus memilih salah satu di antara dua macam takdir yang disiapkan bagi dirinya, nostos (pulang dengan selamat) atau kleos.[20] Di dalam parwa 9 (IX.410–16), Akhiles dengan ketus memberitahu perutusan Agamemnon (Odiseus, Foiniks, dan Ayas yang memohon kesudiannya untuk kembali ikut berperang) tentang dua pilihan takdir (διχθαδίας κήρας, diktadias kiras, 9.411) yang dihadapkan kepadanya.[21] Larik-lariknya adalah sebagai berikut:
Aku tahu dari ibuku, Dewi Tetis sang duli selaka
Dua macam takdir kupikul sesampai waktu ajalku tiba.
Andai aku tetap di sini, juang di pinggir negara Troya,
maka hilang peluang pulang, tapi nama besarku abadi.
Jika aku pulang memijak tanah tercinta para pitarah,
maka sirna kemuliaanku, tetapi umur panjang menanti,
akhir hayat tak akan datang menghampiriku dengan tergesa.
—Ilias, larik 410-416
Dengan mengorbankan nostos, ia akan menerima pahala yang lebih besar, yakni kleos aftiton (κλέος ἄφθιτον), ketenaran yang tak akan binasa.[21] Di dalam Ilias, kata aftiton (ἄφθιτον, tidak dapat binasa) masih muncul lima kali lagi,[23] dan masing-masing digunakan untuk menyifatkan benda tertentu, yakni tongkat kebesaran Agamemnon, roda kereta Hebe, rumah Poseidon, singgasana Zeus, dan rumah Hefaistos. Richmond Lattimore menerjemahkan frasa kleos aftiton menjadi abadi selama-lamanya dan tak dapat binasa selama-lamanya, menyiratkan keabadian Akhiles lewat penonjolan pahala lebih besar yang sudah menanti dirinya jika kembali memerangi Troya.
Kleos kerap diwujudkan dalam bentuk rampasan yang didapatkan dari pertempuran. Saat mengambil Briseis, Agamemnon merenggut sebagian kleos Akhiles.
Gambar bintang-bintang menghiasi bagian tengah perisai buatan Hefaistos yang diberikan Tetis kepada Akhiles. Bintang-bintang menghadirkan gambaran mendalam tentang tempat seorang insan, seperwira apa pun dirinya, di dalam perspektif seluruh kosmos.
Kepulangan
Kepulangan (bahasa Yunani: νόστος, nostos) muncul tujuh kali,[24] sehingga menonjol sebagai salah satu tema sampingan di dalam Ilias. Meskipun demikian, tema kepulangan banyak digarap di dalam karya sastra Yunani Kuno lainnya, teristimewa di dalam kejadian-kejadian selama perjalanan pulang yang dialami anak-anak Atreus (Agamemnon dan Menelaos) dan Odiseus (baca artikel Odiseia).
Ujub
Ujub atau keangkuhan adalah penggerak alur cerita Ilias. Orang Akhaya berkumpul di padang negeri Troya demi merebut kembali Helene dari orang Troya. Sekalipun mayoritas orang Troya dengan senang hati bersedia memulangkan Helene kepada pihak Akhaya, mereka menuruti keangkuhan pangeran mereka, Aleksandros, yang juga dikenal dengan nama Paris. Dengan kerangka berpikir semacam inilah Homeros menggubah wiracaritanya. Pada permulaan Ilias, ujub Agamemnon melahirkan serentet peristiwa yang berbuntut pada tindakannya merampas Briseis, gadis yang sebelumnya ia berikan kepada Akhiles sebagai imbalan sumbangan tenaganya bagi perjuangan pihak Akhaya. Akibat tindakan tersebut, Akhiles enggan bertempur dan meminta ibunya, Tetis, untuk mendesak Dewa Zeus membuat pihak Akhaya terpojok di medan tempur sampai Agamemnon sadar akan kesalahannya terhadap Akhiles.[25]
Ujub Akhiles mendorongnya untuk meminta Tetis mendatangkan maut bagi kawan-kawan Akhayanya. Di dalam parwa 9, ketika ditawari pampasan perang dan Briseis oleh kawan-kawannya agar mau kembali ikut bertempur, Akhiles malah menampik, dan tetap mempertahankan niatnya untuk membalas penghinaan Agamemnon karena dorongan ujub. Akhiles tetap mempertahankan keangkuhannya sampai saat-saat akhir, manakala kemarahannya terhadap diri sendiri lantaran kematian Patroklos mengalahkan keangkuhannya lantaran kesalahan Agamemnon sehingga ia kembali ke medan laga dan menewaskan Hektor. Akhiles sekali lagi mengalahkan ujubnya ketika ia meredam amarah dan menyerahkan mayat Hektor kepada Priam pada bagian akhir cerita. Jelas ujublah yang menggerakkan alur wiracarita Ilias dari awal sampai akhir.[i][26]
Kepahlawanan
Ilias mengangkat tema kepahlawanan dengan berbagai macam cara melalui bermacam-macam tokoh, teristimewa Akhiles, Hektor, Patroklus, dll. Meskipun konsep kepahlawanan yang tradisional sering kali dikaitkan secara langsung dengan tokoh utama, yang memang diniatkan untuk dikisahkan dalam semangat kepahlawanan, ilias justru bermain-main dengan gagasan kepahlawanan dan tidak secara terang-terangannya menunjukkan siapa tokoh pahlawan sejatinya. Wiracarita Ilias dengan cermat menyoroti tokoh pahlawan besar Yunani Akhiles, maupun angkara murkanya dan kehancuran yang timbul akibat angkara murkanya. Sama seperti yang dilakukannya terhadap Akhiles, wiracarita ini juga dengan cermat menyoroti pahlawan Troya Hektor dan segala usaha dan perjuangannya demi melindungi keluarga dan rakyat negerinya. Pada umumnya orang beranggapan bahwa, lantaran Akhiles adalah tokoh utama, dialah tokoh pahlawan di dalam wiracarita ini. Meskipun demikian, jika mencermati sepak-terjangnya di sepanjang cerita, lalu membandingkannya dengan sepak-terjang tokoh-tokoh lain, sebagian pihak bisa saja akan menyimpulkan bahwa sebenarnya Akhiles bukanlah tokoh pahlawannya, dan mungkin saja justru tokoh antiwira. Orang dapat pula berpendapat bahwa Hektorlah sang pahlawan yang sesungguhnya di dalam wiracarita Ilias lantaran sifat-sifat kepahlawannan tampaknya sudah mendarah daging di dalam dirinya, misalnya kesetiaan kepada keluarganya serta ketangguhan dan kebulatan tekadnya untuk membela rakyatnya negerinya, maupun upacara pemakamannya secara terhormat yang menjadi sorotan utama bagian akhir cerita. Tokoh pahlawan Ilias yang sesungguhnya tidak pernah ditampilkan dengan gamblang, dan sengaja dibiarkan untuk ditafsirkan sendiri-sendiri oleh pujangga Homeros, yang berniat menampilkan keruwetan dan cacat-cela kedua tokoh tersebut, terlepas dari siapa pun yang dianggap sebagai pahlawan "sejati".
Kehormatan
Kleos berkaitan erat dengan timē (τιμή, artinya "kehormatan, marwah"), yakni gagasan tentang kehormatan yang didapatkan seorang insan bermartabat lewat prestasi (budaya, politik, pertempuran) yang ia capai dengan kedudukannya semasa hidup. Di dalam parwa 1, orang Akhaya mulai merasa jengah sejak Raja Agamemnon mencoreng kehormatannya dengan berbagai ulah yang tidak pantas diperbuat seorang raja. Pertama-tama Agamemnon mengancam Pendeta Krises (1.11), kemudian membuat orang Akhaya kesal ketika ia menghina Akhiles dengan menyita tawanannya, Briseis (1.171). Rasa sebal para pejuang Akhaya terhadap raja yang tidak bermartabat itu merusak semangat juang mereka.
Ketakaburan
Ketakaburan (bahasa Yunani: Ὕβρις, Hibris) memainkan peran yang sama dengan timê. Amarah Akhiles dan dampak destruktifnya menjadi tesis wiracarita Ilias. Amarah mengacaukan jarak aman yang memisahkan manusia dari dewa-dewi. Amarah yang tidak terkendali merusak tatanan hubungan sosial dan menggangu keseimbangan kebajikan yang mencegah dewa-dewi terpancing mendekati manusia. Meskipun jalan cerita Ilias berfokus pada amarah Akhiles, hibris juga memainkan peranan penting di dalamnya, yakni sebagai penyulut sekaligus bahan bakar bagi banyak peristiwa destruktif.[27]
Karena hibris, Agamemnon menampik harta tebusan Kriseis dan melukai harga diri Akhiles dengan mengambil kembali Briseis sebagai ganti rugi. Hibris memaksa Paris berlaga satu lawan satu dengan Menelaos. Agamemnon menghasut orang Akhaya untuk bertempur dengan cara menggugat harga diri Odiseus, Diomedes, dan Nestor. Ia bertanya, mengapa mereka bersikap pengecut dan menunggu-nunggu bantuan pada saat mereka seharusnya tampil memimpin penyerbuan. Meskipun kejadian-kejadian di dalam Ilias berfokus pada amarah Akhiles dan kerusakan yang ditimbulkannya, hibris-lah bahan bakar yang membuat kedua-duanya terus membara.[28]
Murka
Kata pembuka cerita, μῆνιν (mēnin; aku.μῆνις, mēnis, artinya "amarah, murka"), menjadi tema utama Ilias, yakni "Murka Akhiles".[29] Amarah pribadi dan harga diri keprajuritannya yang terluka menggulirkan cerita, karena mengakibatkan terpojoknya pihak Akhaya di medan perang, tewasnya Patroklos dan Hektor, serta kejatuhan kota Troya. Di dalam parwa 1, tema Akhiles murka pertama kali mengemuka di dalam pertemuan yang diprakarsainya, yakni pertemuan antara raja-raja Yunani dan Kalkhas si tukang tenung. Syahdan Raja Agamemnon telah merendahkan martabat Krises, pendeta Dewa Apolon di Troya, dengan menggertak dan mementahkan usaha sang pendeta menebus putrinya, Kriseis, sekalipun ditawari "hadiah yang tak terbilang banyaknya."[30] Sang pendeta yang terhina pun menyeru Dewa Apolon untuk menolongnya, maka Dewa Apolon menurunkan wabah yang mendera pihak Akhaya sembilan hari lamanya. Di dalam pertemuan tersebut, Akhiles menuding Agamemnon sebagai "orang yang paling tamak di antara manusia."[31] Agamemnon membalas tudingannya dengan perkataan berikut ini:
Maka ini ancaman untukmu.
Lantaran Dewa Foibos Apolon mengambil Kriseis kepunyaanku.
'Kan kupulangkan dengan kapalku, diantar langsung orang-orangku;
tetapi aku akan mengambil Briseis gadis berpipi halus,
yang sudah jadi jatahmu itu, 'kan kudatangi sendiri kemahmu, agar betul-betul kau sadar
lebih mulia aku darimu, agar yang lain tidak berani
merasa diri sejajar denganku atau sebanding dengan diriku.[32]
Sesudah mendengar ucapan Agamemnon, hanya Dewi Atena yang sanggup mengekang amarah Akhiles. Akhiles berikrar tidak akan lagi mematuhi perintah Agamemnon. Dengan amarah membara, Akhiles menyeru ibunya, Tetis. Ibu Akhiles membujuk Dewa Zeus untuk membuat pihak Troya unggul di medan perang sampai Akhiles mendapatkan kembali hak-haknya. Sementara itu, angkatan perang Troya di bawah pimpinan Hektor berhasil memukul mundur pihak Akhaya sampai ke pantai (parwa 12). Agamemnon belakangan mengakui kekalahannya dan pulang ke Yunani (parwa 14). Amarah Akhiles sekali lagi mengubah peruntungan kedua belah pihak di medan perang ketika ia berusaha membalas dendam kematian Ptroklos di tangan Hektor. Rasa duka yang dalam membuat Akhiles menjambak rambutnya dan mengotori mukanya sendiri. Setelah Tetis datang untuk menghibur putranya itu, Akhiles berkata kepadanya:
Inilah tempatnya narapati Agamemnon membuatku murka.
Namun akan kita biarkan semuanya lalu, biar segala
nestapa dipalu kuasa amarah ke lubuk hati kita.
Kini aku akan berangkat, mengalahkan pembunuh orang terkasih,
Hektor; lalu akan kusongsong ajalku, kapan pun
Zeus dan para abadi lain menghendakinya.[33]
Dengan kerelaan dijemput maut sebagai ganjaran pembalasan dendam kematian Patroklos, Akhiles kembali ke medan laga, menewaskan Hektor dan menumbangkan Troya. Akhiles akhirnya berhasil menewaskan Hektor, sesudah dua putaran penuh mengejarnya keliling kota Troya. Mayat Hektor ia ikatkan pada buntut keretanya, sehingga terseret-seret sepanjang perjalanan pulangnya ke perkemahan.
Pengagungan perang
Sebagian besar isi Ilias mengulik perkara berhadapan dengan maut. Demi meraih ketenaran, para pejuang haruslah piawai membunuh. Meskipun demikian, adakalanya sang pujangga menyajikan segi-segi damai dari peperangan. Contoh pertamanya termaktub di dalam parwa ke-3, yakni tatkala Menelaus dan Paris bersepakat untuk bertarung satu lawan satu demi mengakhiri perang itu. Percakapan Menelaus dengan Paris ini memperlihatkan adanya hasrat yang sangat besar akan kedamaian di dalam sanubari kedua belah pihak. Masih di dalam parwa ke-3, urusan kedamaian sekali lagi mengemuka ketika para sesepuh mengutarakan kepada Priam bahwa sekalipun Helene itu cantik jelita, tetap saja perang adalah pengorbanan yang terlalu besar untuk dilakukan hanya demi mempertahankan satu orang. Bagian-bagian semacam ini menunjukkan sisi kemanusiaan dari peperangan. Di dalam parwa ke-6, kisah tentang kembalinya Hektor ke dalam kota demi menjenguk anak-istri merupakan bagian lain yang sangat menonjolkan kedamaian, karena dengan jelas diperlihatkan bahwa Hektor ternyata lebih dari sekadar seorang pejuang besar. Ia adalah seorang ayah yang menyayangi anaknya dan seorang suami yang mencintai istrinya. Kasih sayang yang mereka tunjukkan satu sama lain jauh bertolak belakang dengan adegan-adegan pertempuran yang mengerikan, sehingga menampakkan betapa besarnya arti kedamaian. Kisah-kisah damai yang terakhir dapat dijumpai di dalam parwa ke-23 dan ke-24. Yang pertama adalah kisah tentang lomba-lomba ketangkasan yang digelar untuk memeriahkan upacara pemakaman Patroklus. Lomba-lomba ketangkasan itu mengungkap perasaan bahagia, dukacita, maupun kegembiraan yang dapat saja muncul di tengah peperangan. Di dalam parwa ke-24, damai sekali lagi ditonjolkan ketika Akhiles dan Priam bersama-sama duduk bersantap sembari meratapi kepergian orang terkasih. Di dalam kisah perjumpaan ini, Akhiles dan Priam saling mengungkapkan rasa turut berbelasungkawa lalu menyepakati gencatan senjata selama 12 hari sehingga upacara pemakaman jenazah Hektor dapat dilangsungkan dengan khidmat.[34]
Wiracarita Ilias diduga berasal dari kurun waktu arkais pada zaman Klasik. Menurut konsensus para sarjana, wiracarita ini disusun pada abad ke-8 Pramasehi, tetapi menurut yang lain pada abad ke-7 Pramasehi.[butuh rujukan] Bagaimanapun juga terminus ante quem (batas akhir jangka waktu) pertanggalanIlias adalah tahun 630 Pramasehi, terbukti dari karya-karya seni rupa dan sastra yang menggambarkan isi wiracarita ini.[35]
Sesudah meminta petunjuk Orakel di Dodona, Herodotos memperkirakan bahwa Homeros dan Hesiodos hidup dan berkarya kira-kira 400 mendahului masa hidupnya, yakni sekitar tahun 850 Pramasehi.[36]
Latar sejarah wiracarita ini adalah masa-masa pralaya Zaman Perunggu Akhir pada awal abad ke-12 Pramasehi. Dengan demikian Homeros terpisah kira-kira 400 tahun dari materi karya tulisnya, selang waktu 400 tahun ini dikenal dengan sebutan Abad Kegelapan Yunani. Di kalangan sarjana timbul perdebatan sengit seputar pertanyaan manakah bagian-bagian wiracarita Ilias yang melestarikan tradisi-tradisi asli dari zaman Mikene. Katalog Kapal pada khususnya memuat unsur-unsur yang secara geografis bukanlah gambaran negeri Yunani pada Zaman Besi, yakni masa hidup Homeros, melainkan gambaran negeri Yunani sebelum invasi orang Doria.
Kata Ἰλιάς, Ilias (gen.Ἰλιάδος, Iliados), adalah elipsis (kependekan) dari ἡ ποίησις Ἰλιάς, he poíesis Iliás (syair Troya). Kata Ἰλιάς, Ilias (Troyawi, asal Troya), adalah bentuk kata sifat khusus feminin dari Ἴλιον, Ilion (Troya). Bentuk kata sifat khusus maskulinnya adalah Ἰλιακός, Iliakos, atau Ἴλιος, Ilios.[37] Kata inilah yang dipakai Herodotos di dalam karya tulisnya.[38]
Naskah salinan Venetus A, yang dibuat pada abad ke-10 Masehi, adalah naskah lengkap Ilias tertua yang masih ada saat ini.[39]Editio princeps atau edisi cetak perdana Ilias, disunting Demetrios Khalkokondiles dan diterbitkan Bernardus Nerlius bersama Demetrios Damilas di Firenze pada tahun 1488/1489.[40]
Sebagai tradisi lisan
Pada Abad Kuno, bangsa Yunani menjadikan Ilias dan Odiseia sebagai dasar-dasar pedagogi. Sastra merupakan unsur utama dari fungsi budaya-didik rapsoidos keliling (sahibul hikayat), yang menghasilkan wiracarita-wiracarita konsisten dari ingatan dan improvisasi, serta menyebarluaskannya lewat nyanyian dan tembang di persinggahan-persinggahan sepanjang pengembaraan maupun di ajang pesta krida Panatenaya, yakni kejuaraan atletik, pentas musik, pergelaran seni bersyair, dan upacara persembahan korban yang diselenggarakan untuk memperingati hari jadi Dewi Atena.[41]
Mula-mula para klasikawan menganggap Ilias maupun Odiseia sebagai syair-syair tertulis dan Homeros sebagai seorang penulis. Pada era 1920-an, Milman Parry (1902–1935) memprakarsai gerakan yang membantah anggapan tersebut. Penelitian gaya lisan Homeros—"julukan penyifatan" dan "pengulangan" (kata, frasa, bait)—yang dilakukannya menunjukkan bahwa formula semacam ini merupakan unsur-unsur peninggalan tradisi lisan yang tidak sukar dituangkan ke dalam sebaris larik heksametris. Pengulangan julukan yang terdiri atas dua kata (misalnya "Odiseus [nan] cerdik") diserangkaikan dengan nama tokoh sehingga mencukupi separuh dari jumlah suku kata yang dibutuhkan untuk menganggit satu larik, dengan demikian untuk separuh sisanya sang pujangga dapat leluasa merangkai kata-kata "ciptaan sendiri" sehingga menyempurnakan makna larik tersebut.[42] Di Yugoslavia, Parry dan asistennya, Albert Lord (1912–1991), mempelajari komposisi formula-lisan dari puisi lisan Serbia sehingga menghasilkan tesis Parry/Lord yang memunculkan bidang kajian oral tradition studies, yang kemudian hari dikembangkan oleh Eric Havelock, Marshall McLuhan, Walter Ong, dan Gregory Nagy.
Di dalam buku The Singer of Tales (terbit tahun 1960), Albert Lord memaparkan berbagai kemiripan kemalangan-kemalangan yang menimpa Patroklos, tokoh Akhaya di dalam Ilias, dengan kemalangan-kemalangan yang menimpa Enkidu, tokoh Sumeria di dalam wiracarita Gilgames, dan berdasarkan "analisis yang cermat atas pengulangan pola-pola tematis" dengan tegas membantah pendapat yang mengatakan bahwa alur pengisahan Patroklos mengacaukan formula komposisi Homeros yang sudah baku, yakni formula "murka, melarikan mempelai perempuan, dan usaha penyelamatan"; oleh karena itu pengulangan julukan penyifatan tidak membatasi orisinalitasnya dalam menyusun cerita sedemikian rupa sehingga berima.[43] Sejalan dengan Albert Lord, James Armstrong memaparkan di dalam karya tulisnya (terbit tahun 1958)[44] bahwa formulae syair tersebut melahirkan makna yang lebih kaya karena diksi "motif si malang"—menggambarkan Akhiles, Agamemnon, Paris, dan Patroklos—berguna untuk "menonjolkan betapa pentingnya …suatu momen yang mengesankan," oleh karena itu, "[pengulangan] menciptakan atmosfer lancar-mengalir," dan di dalam atmosfer semacam inilah Homeros membedakan Patroklos dari Akhiles, dan meramalkan kematian Patroklos dengan frasa yang bernada positif maupun yang bernada negatif.[45][44]
Di dalam Ilias, ketidakkonsistenan sintaktis mungkin saja adalah suatu tradisi lisan. Sebagai contoh, Dewi Afrodite disifatkan sebagai "pecinta-tawa", kendati terluka parah diserang Diomedes (Parwa V, 375); dan tokoh-tokoh dewata yang dihadirkan dapat saja merupakan hasil pencampuradukkan mitologi Mikene dengan mitologi Abad Kegelapan Yunani (sekitar tahun 1150–800 Pramasehi), dengan menyejajarkan para menak basileis yang berkuasa turun-temurun (para pemimpin yang lebih rendah kelas sosialnya) dengan dewa-dewi rendahan, misalnya tokoh Skamandros, dan lain-lain.[46]
Penggambaran peperangan
Penggambaran laga prajurit pejalan kaki
Meskipun Mikene maupun Troya adalah negara maritim, Ilias tidak menyajikan kisah pertempuran laut.[47] Jadi Fereklos, pembuat kapal Troya (kapal yang melayarkan Helene ke Troya), bertempur di darat selaku prajurit pejalan kaki.[48] Pakaian dan senjata yang dipakai tokoh jagoan dan prajurit di dalam pertempuran diuraikan dengan saksama. Mereka memasuki medan lagi dengan mengendarai kereta perang, melemparkan lembing-lembing ke formasi-formasi pasukan musuh, kemudian turun dari rata untuk berhadap-hadapan dengan musuh sembari melemparkan lagi lembing-lembing, melemparkan batu, dan bila perlu bertarung dengan sebilah pedang dan sebuah hoplon (perisai) tersandar di bahu.[49]Ayas Tua, anak Telamon, membawa sebuah perisai bundar (σάκος) berukuran besar yang ia gunakan untuk melindungi dirinya sendiri dan juga melindungi Teukros, adik tirinya:
Yang kesembilan adalah Teukros, datang merentangkan busur lengkungnya.
Tegak di balik perisai Ayas anak Telamon, kakandanya.
Setiap kali Ayas menyiah perisai,
Teukros tampil lincah melesatkan panah setangkai,
menghujam satu lawan di tengah kerumunan, menumbangkan sang sena
di tempat ia berdiri, merenggut nyawanya lantas undur ke belakang kakanda,
meringkuk di dekat Ayas, seperti kanak-kanak di sisi bunda.
Ayas pun lindungi dia dengan perisai berkaca-kaca.[50]
Perisai Ayas yang berat lebih cocok dipakai untuk bertahan ketimbang untuk menyerang, sementara saudara misannya, Akhiles, menenteng sebuah perisai bundar astakona berukuran besar yang ia gunakan bersama lembingnya untuk menyerang pihak Troya:
Ibarat orang membangun tembok rumah yang tinggi,
menyusun batu tertumpuk rapat membendung badai,
demikianlah dekat ketopong dengan perisai,
rimpit perisai dengan perisai, dempet ketopong dengan ketopong,
rapat wirawan dengan wirawan pada barisan byuha ketopong,
berpacak gulu beradu jambul si surai kuda.
Dalam uraiannya tentang laga prajurit pejalan kaki, Homeros menyinggung byuha falangs,[52] tetapi para sarjana rata-rata tidak yakin bahwa byuha ini benar-benar dipakai dalam Perang Troya.[53] Pada Zaman Perunggu, rata merupakan kendaran tempur utama (misalnya pada Pertempuran Kadesh). Bukti-bukti yang ada, dari zirah Dendra sampai lukisan-lukisan Istana Pilos, mengindikasikan bahwa orang Mikene menggunakan rata dua awak, dan pengendara utamanya dipersenjatai sebatang tombak panjang, berbeda dari rata tiga awak buatan Het yang dinaiki prajurit bersenjata tombak pendek, juga berbeda dari rata dua awak buatan Mesir dan Asyur yang dinaiki prajurit bersenjata panah. Sembari mengendarai rata, Nestor maju mendahului pasukannya; Ia mewejangi mereka sebagai berikut:
Dalam gebu semangatmu menggempur Troya si seteru,
jangan gesa keretamu menyerbu maju lebih dulu,
yakin tegar tenagamu dan ilmu laga berkudamu.
Jangan pelan keretamu, akan celaka pasukanmu.
Jika telak keretamu bertemu rata si seteru,
hujam lembing ke lawanmu segera dari keretamu.
Itulah kiat berperang, kiat muslihat paling jitu,
untuk serbu gempur lebur kota benteng kubu seteru —
sudah sebati menetap di jiwa wirawan nan dulu.[54]
Meskipun penggambaran Homeros bersifat grafis, dapat dilihat pada bagian akhir bahwa kemenangan perang lebih merupakan suatu keadaan menyedihkan, manakala semua kerugian menjadi tampak nyata. Di lain pihak, kejuaraan-kejuaraan yang digelar dalam penyelenggaraan upacara duka justru meriah dan penuh semangat, karena diadakan untuk merayakan kehidupan si mati. Penggambaran perang yang menyeluruh ini bertolak belakang dengan banyak penggambaran perang Yunani Kuno lainnya, yang mencitrakan perang sebagai usaha yang gigih untuk meraih kemuliaan yang lebih besar.
Rekonstruksi perisai, senjata, dan gaya tempur
Ada sejumlah kecil rekonstruksi senjata, zirah, dan corak hias (yang tepat dari segi arkeologi, sejarah, maupun sastra Homeros) yang sudah dihasilkan pada zaman modern dengan mengacu kepada penggambaran Homeros. Beberapa rekonstruksi historis sudah dihasilkan oleh Salimbeti cs.[55]
Dampak terhadap cara-cara berperang Yunani klasik
Meskipun belum tentu merupakan karya sastra yang diluhurkan bangsa Yunani Kuno, hampir dapat dipastikan bahwa syair-syair Homeros (khususnya Ilias) dipandang sebagai tuntunan penting bagi pemahaman intelektual semua anak bangsa Yunani yang berpendidikan. Terbukti dari kenyataan bahwa menjelang akhir abad ke-5 Pramasehi, "kemampuan menyitir ayat-ayat Ilias dan Odiseus di luar kepala merupakan salah satu ciri orang terpandang."[56]:36 Selain itu, boleh dikata peperangan yang digambarkan di dalam Ilias, maupun cara penggambarannya, meninggalkan dampak yang mendalam dan terlacak pada cara-cara berperang bangsa Yunani pada umumnya. Pada khususnya, dampak-dampak dari sastra wiracarita dapat dibedakan menjadi tiga kategori: taktik, ideologi, dan pola pikir para panglima. Supaya dapat memahami dampak-dampak tersebut, orang perlu mencermati beberapa contoh dari tiap-tiap kategori.
Sebagian besar pertarungan yang diuraikan secara terperinci di dalam Ilias adalah pertarungan tertata satu-lawan-satu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pahlawan. Malah, seperti di dalam Odiseus, ada rangkaian ritual khusus yang harus dilakukan di dalam tiap-tiap pertarungan tersebut. Sebagai contoh, jika seorang pahlawan besar berhadap-hadapan dengan seorang pahlawan kroco, maka pahlawan kroco diperkanalkan terlebih dahulu, dilanjutkan dengan saling melontarkan ancaman, dan diakhiri dengan ditewaskannya pahlawan kroco. Sering kali pemenang melucuti baju zirah dan perlengkapan ketentaraan dari jenazah lawan.[56]:22–3 Berikut ini adalah salah satu contoh uraian ritual tersebut dan pertarungan satu-lawan-satu di Ilias:
Di sana Ayas anak Telamon memukul jatuh putra Antemion,
Simoeisios muda rupawan, warisi rupa ayu ibunda
terlahir dari kandungan Ida di tepian sungai Simoeis
tatkala ikut bapa dan biyung menggembalakan kawanan domba.
Itulah asal nama Simoeisios; tapi tiada sudah dayanya
membalas kasih orang tuanya; pendek umurnya mati tertikam
tembiang Ayas si tinggi hati, di puting dada sebelah kanan
lembing perunggu jitu menghujam, lolos menembus pundak yang kanan.[57]
Hambatan terbesar dalam usaha memastikan adanya tautan antara pertempuran di dalam Ilias dengan tata cara berperang bangsa Yunani kemudian hari adalah falangs, atau hoplites, yakni tata cara berperang yang tampak di dalam sejarah bangsa Yunani lama sesudah Homeros menulis Ilias. Meskipun ada pembahasan tentang pengaturan barisan prajurit yang menyerupai byuha falangs di sepanjang penceritaan Ilias, pemusatan perhatian wiracarita ini kepada laga kepahlawanan sebagaimana disebutkan di atas tampaknya berkontradiksi dengan kiat-kiat tempur falangs. Meskipun demikian, falangs memang memiliki segi-segi kegagahberanian. Pertarungan secara jantan satu lawan satu di dalam Ilias terejawantahkan dalam pertempuran falangs dengan penekanan pada usaha untuk teguh bertahan di dalam byuha. Laga semacam ini menggantikan kompetisi kepahlawanan bersifat tunggal yang dikisahkan di dalam Ilias.[56]:51
Salah satu contohnya adalah kisah 300 wira pilihan Sparta yang bertempur melawan 300 wira pilihan Argos. Di dalam pertempuran para petarung unggulan ini, hanya dua orang yang tersisa di pihak Argos dan satu orang yang tersisa di pihak Sparta. Otriades, wira Sparta yang tersisa, undur kembali ke dalam barisan pasukan Sparta dengan sekujur tubuh terluka parah, sementara dua wira Argos yang tersisa langsung pulang ke Argos untuk mewartakan kemenangan mereka. Oleh sebab itu Sparta mendaku sebagai pemenang, karena wira terakhir mereka menunjukkan kegagahberanian yang paripurna dengan bertahan pada posisinya di dalam byuha falangs.[58]
Di ranah ideologi para panglima dalam sejarah Yunani kemudian hari, Ilias memiliki efek yang menarik. Ilias mengekspresikan ketidaksukaan mutlak terhadap pemakaian tipu muslihat dalam berperang, ketika Hektor berkata, sebelum menantang Ayas Agung:
Aku tahu cara terobos riuh derap kuda sembrani; Aku tahu cara tapaki lantai suram dewata yuda. Namun sebesar apapun engkau, tidak bakal aku membokong, akan kutunggu kesempatanku, tetapi dengan terang-terangan, sampai nanti tiba saatnya mungkin dapat kuhantam engkau.[59]
Meskipun ada contoh-contoh ketidaksukaan terhadap tipu muslihat tempur, ada alasan untuk meyakini bahwa Ilias, maupun tata cara berperang Yunani kemudian hari, mengedepankan kepiawaian para panglima dalam menyusun taktik. Sebagai contoh, ada banyak bagian di dalam Ilias yang mengisahkan para panglima semisal Agamemnon atau Nestor mendiskusikan pengaturan pasukan supaya menguntungkan pihaknya. Perang Troya malah dimenangkan dengan tipu daya orang Akhaya yang termasyhur, yakni muslihat Kuda Troya. Fakta ini bahkan belakangan dirujuk Homeros di dalam Odiseya. Dalam kasus ini, keterkaitan antara kiat tipu daya orang Akhaya dan orang Troya di dalam Ilias dengan kiat tipu muslihat bangsa Yunani kemudian hari tidaklah sukar untuk ditemukan. Para panglima Sparta, yang kerap dipandang sebagai puncak kedigdayaan militer bangsa Yunani, dikenal karena tipu dayanya, dan bagi mereka, kemampuan merancang tipu muslihat merupakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh seorang panglima. Malah jenis kepemimpinan seperti inilah yang merupakan anjuran standar para sastrawan kiat perang Yunani.[56]:240
Pada akhirnya, meskipun pertempuran ala sastra Homeros (atau pertempuran ala wiracarita) sudah pasti tidak sepenuhnya tereplikasi dalam tata cata perang bangsa Yunani yang terjadi kemudian hari, banyak di antara nilai-nilai luhur, kiat tempur, dan instruksi-instruksinya dapat dipastikan masih terus dipakai bangsa Yunani.[56]
Menurut Hans van Wees, kurun waktu yang berkaitan dengan riwayat peperangan tersebut dapat ditentukan secara spesifik, yaitu pada paro pertama abad ke-7 Pramasehi.[60]
Ilias sudah dihargai sebagai salah satu karya sastra standar yang sangat penting pada zaman Yunani Klasik dan masih terus dihargai pada zaman Helenistis dan zaman Kekaisaran Romawi Timur. Para penulis naskah drama sangat gemar menggarap subjek-subjek dari Perang Troya. Trilogi gubahan Aiskhilos, yakni Oresteya, yang terdiri atas Agamemnon, Para Pembawa Persembahan Curah, dan Emenides, mengisahkan perjalanan hidup Agamemnon sepulangnya dari medan perang. Homeros memberi dampak yang besar terhadap budaya Eropa ketika minat masyarakat Eropa terhadap hal-ihwal kepurbakalaan Yunani kembali tumbuh pada Abad Renensans, dan masih menjadi karya sastra yang terutama dan yang paling berpengaruh di antara karya-karya sastra kanon Barat. Karya sastra ini kembali hadir secara utuh di Italia dan Eropa Barat sejak abad ke-15, terutama melalui terjemahan-terjemahannya ke dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa rakyat setempat.
Meskipun demikian, sebelum kemunculan kembali tersebut, suatu versi ringkasan Latin dari syair tersebut, yang dikenal dengan sebutan Ilias Latina, sudah dikaji secara luas dan dijadikan bahan bacaan wajib di sekolah. Bangsa Eropa cenderung menganggap Homeros tidak dapat dipercaya lantaran merasa sudah memiliki keterangan-keterangan saksi mata Perang Troya yang lebih membumi dan realistis yang ditulis Dares dan Diktus, yang konon menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepala sendiri. Riwayat-riwayat palsu dari Abad Kuno Akhir tersebut mendasari penulisan sejumlah romansa aswasada yang sangat populer pada Abad Pertengahan, teristimewa yang dihasilkan oleh Benoît de Sainte-Maure dan Guido delle Colonne.
Karya sastra tersebut pada gilirannya memunculkan banyak karya sastra lain dalam berbagai bahasa Eropa, misalnya buku cetak pertama di Inggris, Recuyell of the Historyes of Troye yang terbit tahun 1473. Riwayat-riwayat lain yang dibaca pada Abad Pertengahan adalah saduran-saduran Latin Kuno semisal Excidium Troiae maupun karya-karya sastra dalam bahasa-bahasa rakyat setempat semisal Saga Troya Islandia. Tanpa Homeros sekalipun, cerita Perang Troya tetap akan menjadi jantung budaya sastra Abad Pertengahan dan kesadaran jati diri bangsa Eropa Barat. Banyak bangsa dan beberapa keluarga kerajaan mengaku sebagai keturunan wirawan Perang Troya. Sebagai contoh, konon Brutus orang Troya menetap di Britania.
William Shakespeare memanfaatkan alur cerita Ilias sebagai materi sumber bagi sandiwara karangannya, Troilus dan Kresida, tetapi berfokus pada legenda Abad Pertengahan, yakni kisah asmara Troilos, anak lanang Priamos, Raja Troya, dan Kresida, anak gadis Kalkhas, juru tenung Troya. Sandiwara yang kerap dianggap sebagai lakon komedi ini menunggangbalikkan pandangan-pandangan tradisional tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perang Troya, serta menyifatkan Akhiles sebagai pengecut, Ayas sebagai prajurit upahan yang pandir, dst.
William Theed Tua membuat sebuah patung perunggu yang mengesankan, menampilkan Tetis yang membawakan senjata baru tempaan Hefaistos untuk Akhiles. Patung ini terpajang di Museum Seni Rupa Metropolitan, Kota New York, sejak tahun 2013.
Di dalam puisinya yang berjudul Development, Robert Browning menuturkan perkenalannya dengan cerita-cerita Ilias saat masih kanak-kanak, kesukaannya terhadap wiracarita itu, maupun debat-debat seputar jati diri penulis Ilias yang berlangsung pada zamannya.
Menurut Sulaiman Albustani, pujangga abad ke-19 yang pertama kali menerjemahkan Ilias ke dalam bahasa Arab, wiracarita ini mungkin sudah beredar luas dalam versi terjemahan Suryani dan Pahlawi pada awal Abad Pertengahan. Menurut Sulaiman Albustani, Teofilus dari Edesa adalah orang yang berjasa menghasilkan terjemahan Suryani, yang diduga (bersama-sama dengan karya tersebut dalam bahasa Yunani, yakni bahasa Aslinya) secara luas dibaca atau didengar para sarjana Bagdad pada masa-masa jaya Khilafah Bani Abas, kendati sarjana-sarjana tersebut tidak pernah berusaha menerjemahkannya ke dalam bahasa resmi negara Khilafah itu, yakni bahasa Arab. Ilias juga merupakan syair wiracarita pertama yang diterjemahkan secara utuh dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab, dengan diterbitkannya karya lengkap Albustani pada tahun 1904.[61]
Di bidang kesenian pada abad ke-20
Simone Weil menulis esai berjudul "The Iliad or the Poem of Force" pada tahun 1939, tak lama sesudah Perang Dunia II meletus. Esai ini menjabarkan betapa Ilias memperlihatkan bagaimana tindak kekerasan dilakukan seekstrem mungkin di dalam perang, merendahkan harkat korban maupun pelaku kekerasan ke taraf budak dan automaton yang tidak bernalar.[62]
King Priam, opera karya Sir Michael Tippett yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1962 didasarkan atas wiracarita Ilias.
War Music, puisi karangan Christopher Logue, merupakan "penjelasan", bukan terjemahan, dari Ilias, mulai digubah atas pesanan pada tahun 1959 untuk sebuah acara radio. Puisi ini terus ia kembangkan sampai akhir hayatnya pada tahun 2011. Puisi yang disebut Tom Holland sebagai "karya luar biasa dari khazanah sastra purnayuda" ini turut mempengaruhi Kae Tempest dan Alice Oswald, yang mengatakan bahwa puisi tersebut "memancarkan sejenis energi teatrikal nan terlupakan ke dalam dunia."[63]
Cassandra (terbit tahun 1983), novel karangan Christa Wolf, adalah suatu pendekatan kritis terhadap Ilias. Kasandra dijadikan Wolf sebagai narator, karena pandangan-pandangan yang terbersit di dalam benaknyalah yang dituturkan tepat sebelum ia tewas dibunuh Klitemnestra di Sparta. Narator Wolf menghadirkan pandangan feminis terhadap perang itu, maupun terhadap perang pada umumnya. Penuturan Kasandra ditambah dengan empat esai yang disampaikan Wolf di forum Frankfurter Poetik-Vorlesungen. Esai-esai tersebut menyajikan keprihatinan selaku seorang penulis dan orang yang menulis ulang wiracarita Ilias yang sudah baku itu, serta menampakkan awal mula penulisan novel tersebut melalui pembacaan-pembacaan dari sudut pandang Wolf sendiri dan dalam perjalanannya ke Yunani.
Men in Aida karya David Melnick (bdk. μῆνιν ἄειδε) (terbit tahun 1983) adalah terjemahan homofonispascamodern dari parwa pertama Ilias ke dalam suatu skenario rumah pemandian yang penuh dengan guyonan kosong. Bunyi-bunyinya dipertahankan tetapi makna aslinya hilang.
Ilium, novel fiksi ilmiah bertema kepahlawanan karangan Dan Simmons yang dirilis pada tahun 2003, mendapatkan penghargaan Locus Award untuk novel fiksi ilmiah terbaik tahun 2003.[butuh rujukan]
Troy (2004), adaptasi bebas wiracarita Ilias ke dalam film, menuai beragam tanggapan tetapi sukses di pasaran, terutama di pasaran internasional. Film ini mampu meraup laba bruto sebanyak 133 juta dolar di Amerika Serikat dan 497 juta dolar di seluruh dunia, sehingga menempatkannya pada peringkat ke-188 di antara film-film peraup laba bruto tertinggi sepanjang masa.[67]
Novel perdana Madeline Miller berjudul The Song of Achilles yang terbit pada tahun 2011[68] bercerita tentang kebersamaan Akhiles dan Patroklos sebagai kawan masa kecil, kekasih, dan prajurit. Novel yang the 2012 penghargaan Women's Prize for Fiction tahun 2012 ini menggunakan Ilias maupun karya-karya tulis pujangga klasik lainnya seperti Statius, Ovidius, dan Vergilius sebagai sumber rujukannya.[69]
Memorial (terbit tahun 2011), bunga rampai puisi Alice Oswald yang keenam,[70] didasarkan pada, tetapi keluar dari, bentuk naratifIlias, agar lebih fokus kepada, dan dengan demikian mengenang kembali, tokoh-tokoh orang pribadi yang disebutkan namanya dan dikisahkan ajalnya di dalam Ilias.[71][72][73] Pada bulan Oktober 2011, Memorial masuk ke dalam daftar pendek calon pemenang penghargaan T. S. Eliot Prize,[74] tetapi Alice Oswald meminta bukunya dikeluarkan dari daftar tersebut pada bulan Desember 2011[75][76] seraya menyuarakan keprihatinannya terhadap etika pihak sponsor penghargaan tersebut.[77]
The Rage of Achilles, karya Terence Hawkins, penulis Amerika dan pengasas Konferensi Penulis Yale, menceritakan kembali Iliad dalam bentuk novel dengan gaya bahasa modern dan kadang-kadang dengan bahasa grafis. Dengan pengetahuan tentang teori alam pikiran bikameralJulian Jaynes dan historisitas Perang Troya, sang penulis menghadirkan tokoh-tokoh Ilias di dalam novelnya sebagai manusia-manusia sejati, dan penampakan-penampakan dewa-dewi hanyalah halusinasi mereka atau suara-suara perintah pada masa-masa peralihan yang mendadak dan menyakitkan menuju kesadaran modern.[butuh rujukan]
Di bidang ilmu pengetahuan
Psikiater Jonathan Shay menulis dua buku, yaitu Achilles in Vietnam: Combat Trauma and the Undoing of Character (1994)[78] dan Odysseus in America: Combat Trauma and the Trials of Homecoming (2002),[79] yang menghubungkan Ilias dan Odiseya dengan gangguan stres pascatrauma dan luka moral yang didapati di dalam riwayat-riwayat rehabilitasi pasien-pasien veteran yang pernah terjun langsung ke medan tempur.
Naskah-naskah
Ada lebih dari 2000 naskah karya-karya Homeros.[80][81] Beberapa naskah yang paling terkenal adalah sebagai berikut:
^Frobish (2003:24) mengemukakan di dalam karya tulisnya bahwa Perang Troya "bermula dengan ujub dan sikap kurang dewasa Akhiles, tetapi berakhir dengan kemahiran dan keperwiraannya di medan laga.”
Kutipan
^Bell, Robert H. "Homer's humor: laughter in the Iliad." hand 1 (2007): 596.
^Homer. The Iliad. New York: Norton Books. hlm. 115.
^ abJaynes, Julian. (1976) The Origin of Consciousness in the Breakdown of the Bicameral Mind. hlm. 221
^ abcKullmann, Wolfgang (1985). "Gods and Men in the Iliad and the Odyssey". Harvard Studies in Classical Philology. 89: 1–23. doi:10.2307/311265. JSTOR311265.
^ abHomer (1998). The Iliad. Diterjemahkan oleh Fagles, Robert; Knox, Bernard. New York: Penguin Books. hlm. 589.
^Dunkle, Roger (1986). "ILIAD," dalam The Classical Origins of Western Culture, The Core Studies 1 Study Guide.Brooklyn College. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Desember 2007.
^Frobish, T.S. (2003). “An Origin of a Theory: A Comparison of Ethos in the Homeric Iliad with That Found in Aristotle’s Rhetoric.” Rhetoric 22(1):16-30.
^Frobish, T.S. (2003). “An Origin of a Theory: A Comparison of Ethos in the Homeric Iliad with That Found in Aristotle’s Rhetoric.” Rhetoric 22(1):16-30.
^Thompson, Diane P. “Achilles’ Wrath and the Plan of Zeus.”
^Thompson, Diane P. “Achilles’ Wrath and the Plan of Zeus.”
^Kellaway, Kate (2 October 2011). "Memorial by Alice Oswald – review". The Observer. London: Guardian News and Media Limited. Diakses tanggal 1 Juni 2012.
^Bird, Graeme D. (2010). Multitextuality in the Homeric Iliad: The Witness of the Ptolemaic Papyr. Washington, D.C.: Center for Hellenic Studies. ISBN978-0-674-05323-6.