Banyak speskulasi mengenai asal usul Hamzah Fansuri. Sebagian mengatakan dia berasal dari Barus (sekarang berada di provinsi Sumatera Utara), ada juga yang berpendapat ia lahir di Ayutthaya, ibu kota lama kerajaan Siam.[4] Nama 'Fansuri' sendiri berasal dari arabisasi kata Pancur, sebuah kota kecil di pesisir Barat Tapanuli Tengah, dekat kota bersejarah Barus.[butuh rujukan] Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan.[5]
Sebagaimana asal usulnya yang masih misteri, makam Hamzah Fansuri pun hingga hari ini tidak bisa dipastikan. Pendapat pertama mengatakan makamnya terletak di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam, Aceh Selatan; dan pendapat yang lain mengatakan makamnya berada di Desa Ujung Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar.[5]
Dalam Seminar Hamzah Fansuri yang diadakan oleh Departemen Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata RI pada 2007, Claude Guillot dan Ludvik Kalus mengungkap temuan mengejutkan terkait sebuah nisan di Pemakaman Bab Ma'la di Mekah dengan nama Syaikh Hamzah bin Abdullah al-Fansuri yang wafat pada 9 Rajab 933 hijriah (11 April 1527 masehi).[6] Karena itu kepastian lokasi makam Hamzah Fansuri masih membutuhkan studi lebih lanjut.
Penyair dan ahli tasawuf Aceh abad ke 17 tersebut mendapat anugerah Bintang Budaya Parama Dharma pada 12 Agustus 2013, yang diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara penganugerahan Bintang Maha Putera dan Tanda Jasa di Istana Negara RI.[5]
Karya-karyanya
Puisi
Syair Hamzah Fansuri terdiri atas 13-21 bait. Setiap bait terdiri atas empat baris, yang berima a-a-a-a. Pada umumnya jumlah kata tiap baris ada empat, meskipun terdapat pengecualian. Syair Hamzah Fansuri banyak terpengaruh puisi-puisi Arab dan Persia (seperti rubaiyat karya Umar Khayyam), namun terdapat perbedaan. Rima rubaiyat adalah a-a-b-a, sedangkan Hamzah Fansuri memakai a-a-a-a.[2]
Dari segi tema setiap syair yang dikarang Hamzah Fansuri membahas salah satu aspek tasawuf yang dianut oleh sang penyair itu.[2]
A Teeuw menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri memperkenalkan individualitas, hal yang sebelumnya tidak dikenal dalam sastra Melayu lama. Dia juga memperkenalkan bentuk puisi baru untuk mengekspresikan diri. Inovasi lain adalah pemakaian bahasa yang kreatif. Hamzah Fansuri tidak segan-segan meminjam kata-kata dari bahasa Arab dan Persia dalam puisinya.[2][7]
^ abcdTeeuw, A. (1994). "Hamzah Fansuri, Sang Pemula Puisi Indonesia". Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
^Abdul Hadi, W. M. (1995). "Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya". Bandung, Penerbit Mizan.
^Marcinkowski, Muhammad Ismail (2005). From Isfahan to Ayutthaya: Contacts Between Iran and Siam in the 17th Century. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd. hlm. 49–53.
^Guillot, Claude; Kalus, Ludvik (2007). Batu Nisan Hamzah Fansuri. Diterjemahkan oleh Parasman, Rita. Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2023-08-09.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Marcinkowski, Muhammad Ismail (2005). From Isfahan to Ayutthaya: Contacts Between Iran and Siam in the 17th Century. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd. hlm. 49–53.
Teeuw, A. (1994). "Hamzah Fansuri, Sang Pemula Puisi Indonesia". Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.