Setelah belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (Melayu), Teungku Chik Pante Kulu melanjutkan pelajarannya pada Dayah Tiro yang dipimpin oleh Teungku Chik Haji Muhammad Amin di Dayah Cut, seorang tokoh ulama Tiro yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji di Mekah, dan sangat besar pengaruhnya di Aceh. Setelah belajar beberapa tahun sehingga mahir bahasa Arab dan menamatkan beberapa macam kitab ilmu pengetahuan ia mendapat gelar Teungku Rangkang (Asisten Dosen). Kemudian dengan izin gurunya Teungku Chik Haji Muhammad Amin, ia melanjutkan studinya ke Mekkah sambil menunaikan ibadah haji. Di Mekkah ia memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya, seperti sejarah, logika, falsafah, sastra dan sebagainya. Di samping belajar, ia juga mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Pada waktu pecah perang Aceh sebagai akibat agresi Belanda, Teungku Chik Muhammad di Pante Kulu telah berada di Mekkah. Sebagai seorang patriot yang ditempa oleh sejarah hidup pahlawan-pahlawan Islam kenamaan, maka dia telah bertekad untuk pulang ke Aceh ikut berperang bersama-sama ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin serta rakyat Aceh. Azamnya tidak bisa ditahan-tahan lagi, setelah mendengar salah seorang sahabatnya, Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro telah diserahi tugas oleh kerajaan untuk memimpin perang semesta melawan serdadu-serdadu kolonial Hindia Belanda. Kira-kira akhir tahun 1881 M Teungku Chik Muhammad di Pante Kulu meninggalkan Mekkah menuju Tanah Aceh yang bergelar Serambi Mekkah.
Dalam perjalanan pulang, di atas kapal antara Jeddah dengan Penang, dia berhasil mengarang sebuah karya sastera yang sangat besar nilainya, yaitu Hikayat Prang Sabi, sebagai sumbangsihnya untuk membangkitkan semangat jihad melawan Belanda. Yang mendorong dia untuk mengarang sajak-riwayat Hikayat Prang Sabi, yaitu kesadaran dia tentang betapa besar pengaruhnya syair-syair penyair Hassan bin Tsabit dalam mengobarkan semangat jihad kepada kaum Muslimin di zaman rasul.
Hikayat Prang Sabi yang dikarang Teungku Chik di Pante Kulu ini, adalah dalam bentuk puisi yang terdiri dari empat cerita (kissah), yang sekalipun fiktif tetapi berdasarkan sejarah. Keempat kisah tersebut, yaitu Kisah Ainul Mardliyah, Kisah Pasukan Gajah, Kisah Sa'id Salmy dan Kisah Muhammad Amin (Budak Mati Hidup Kembali)
Karya sastra yang amat berharga ini sesampainya di Aceh dipersembahkan kepada Teungku Chik di Tiro oleh pengarangnya Teungku Chik di Pante Kulu, dalam suatu upacara khidmat di Kuta Aneuk Galong. Menurut Abdullah Arif, selain dari Hikayat Prang Sabi, masih ada lagi karya Teungku Chik di Pante Kulu, baik dalam bentuk prosa ataupun puisi, baik dalam bahasa Melayu Jawi ataupun dalam bahasa Aceh sendiri, tetapi tidak begitu luas tersiarnya.
Teungku Chik Muhammad di Pante Kulu mempunyai dua orang isteri, yang pertama berasal dari Kampung Titeue, Kecamatan Keumala, Kabupaten Pedir, sementara isteri yang kedua Teungku Nyak Aisyah berasal dari Kampung Grot, Indra Puri, Aceh Besar. Dari isteri yang pertama, dia memperoleh seorang putera yang kemudian ikut serta bertempur sebagai mujahid di Aceh Besar. Setelah menyertai Teungku Chik di Tiro dalam berbagai medan perang dengan senjata Hikayat Prang Sabi-nya, maka Teungku Chik Muhammad di Pante Kulu berpulang ke rahmatullah di Lam Leu'ot, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar dan dimakamkan di sana.[2]
Makam Teungku Chik Pante Kulu
Makam ulama dan pahlawan penulis Hikayat Prang Sabi ini terletak di areal tanah datar di samping persawahan Desa Lam Leuot, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar. Di antara makam lain di sana, pusara Teungku Chik Pante Kulu tampak menonjol karena kain merah yang membentang di atasnya.
Beton berlapis keramik putih--yang warnanya telah berganti kecoklatan karena lumut--mengelilingi undakan tanah. Hanya satu yang menandakan bahwa itu adalah makam sang ulama besar: coretan nama beraksara Arab di bagian kepala makam, meski tulisannya sudah kurang jelas karena memudar.[3]