Abdullah Ujong Rimba atau dikenal dengan sebutan Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba (1 November 1903 – 11 September 1983) adalah ulama yang cukup berpengaruh di Aceh.[1][2] Ia juga seorang guru tarekat dan ulama yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah.[2] Ia merupakan ulama yang mempelopori berdirinya Majelis Ulama Indonesia di Aceh sekaligus menjabat sebagai ketuanya yang pertama pada tahun 1975.[1][3][4]
Kehidupan awal dan pendidikan
Teungku Abdullah Ujong Rimba lahir dengan nama Abdullah.[2] Nama tambahan Ujong Rimba merupakan hasil dari tradisi masyarakat Aceh yang mengharuskan menisbahkan nama ulama dengan nama daerah asalnya.[2] Teungku Abdullah adalah putera dari Haji Hasyim, ulama yang berpengaruh di desanya.[1] Ketika kecil Teungku Abdullah mendapat pendidikan agama langsung dari ayahnya, terutama untuk mengaji al-Qur'an. Pada usia 10 tahun, ia belajar di Dayah (Pesantren) Ie Leubeu Meunasah Blang di bawah asuhan Teungku Ali. Di dayah tersebut Teungku Abdullah mulai memperdalam ilmu bahasa Arab, fiqih, tafsir dan tasawuf.[2] Selanjutnya ia juga melanjutkan perjalanannya mencari ilmu di beberapa Dayah lain di Kabupaten Pidie dan Aceh Besar hingga menginjak usia dewasa.[1] Pada tahun 1927 ia pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus melanjutkan belajarnya di sana selama beberapa tahun.[1][2] Di sana Teungku Abdullah berguru kepada ulama-ulama Mekah, baik yang berasal dari Nusantara maupun dari Timur Tengah. Di antara gurunya yang terkenal adalah Syeikh Amr bin Abu Bakar Banejed.[1] Di Mekah ia juga sempat berguru kepada seorang mursyid (guru tarekat) Tarekat al-Haddadiyah.[2]
Setelah selesai belajar di Mekah, Teungku Abdullah pulang ke Pidie untuk mengamalkan ilmunya di bidang pendidikan Islam.[1] Ia mendirikan dayah di kampungnya, Ujong Rimba yang kemudian dikenal dengan nama Dayah Ujong Rimba.[1][2]
Masa pergerakan nasional
Pada masa pergerakan nasional, banyak berdiri partai politik dan berbagai organisasi, termasuk organisasi keagamaan, baik yang berskala nasional maupun lokal.[1] Pada tahun 1939, di wilayah Aceh didirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di bawah kepimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh (Ketua I) dan Teungku Abdurrahman Meunasah Mencap (Ketua II).[1][5] PUSA memiliki tujuan utama untuk memajukan dunia pendidikan dan memperkuat ukhuwah Islamiyah (hubungan antar muslim) di Aceh.[5] Sedangkan Teungku Abdullah sendiri termasuk salah seorang anggota pengurus besar PUSA di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh sebagai ketuanya.[1]
Ketika pemberontakan Darul Islam Aceh meletus, Teungku Abdullah pada awalnya ikut bergabung dengan pimpinan gerakan tersebut, yakni Teungku Muhammad Daud Beureueh.[2] Namun setelah dua tahun berlalu, ia kemudian menarik diri bersama ulama-ulama Aceh lainnya yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah.[2] Teungku Muhammad Hasan Krueng Kale (guru Teungku Abdullah) menyebut pemberontakan tersebut sebagai bughah mazmumah (pemberontakan tercela).[2] Menurut para ulama yang menarik diri dari pemberontakan tersebut, orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan tersebut telah menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya.[2] Hal itu dikarenakan mereka telah memberontak terhadap pemerintahan negara yang sah, dan pemimpinnya yang pada saat itu Sukarno, adalah seorang muslim.[2]
Memimpin MUI (Majelis Ulama Indonesia) Aceh
Teungku Abdullah merupakan salah satu dari beberapa ulama yang menggagas berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia), sebagaimana ulama lain seperti Buya Hamka, K.H. Syukri Ghozali, K.H. Hasan Basri, K.H. E.Z. Muttaqin, K.H. Mansoer Daoed Dt. Palimo Kayo dan lain-lain.[1] Dengan lahirnya MUI, Teungku Abdullah kemudian dipilih menjadi ketua MUI Daerah Istimewa Aceh dengan wakilnya Prof. H. Ali Hasymi pada tahun 1975, sementara pemimpin pusat MUI diketuai oleh Buya Hamka.[1][6] Di samping itu ia juga diangkat sebagai angggota dewan pertimbangan MUI pusat.[1]
Sebagai pemimpin MUI Daerah Istimewa Aceh, Teungku Abdullah berhasil mengadakan dua seminar yang bertema "Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh" pada tahun 1978 dan "Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara" pada tahun 1980 yang telah mengubah anggapan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara (Indonesia) melalui Aceh bukan pada abad ke 13 Masehi, melainkan pada abad ke 8 Masehi.[1]
Referensi