Abdul Hadi W.M. atau nama lengkapnya Abdul Hadi Wiji Muthari (24 Juni 1946 – 19 Januari 2024) adalah sastrawan, budayawan dan ahli filsafat berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya yang bernapaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusasteraan MelayuNusantara dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme.[1]
Masa kecil
Abdul Hadi W.M. terlahir dengan nama Abdul Hadi Wijaya. Ketika dewasa ia mengubah nama Wijaya menjadi Wiji. Ia lahir dari garis keturunan peranakan Tionghoa di wilayah Sumenep, Madura.[2] Ayahnya, saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu Muthar, dan ibunya adalah putri keturunan Mangkunegaran bernama RA Sumartiyah atau Martiyah. Mereka dikaruniai sepuluh orang anak dan Abdul Hadi adalah putra ketiga; tetapi kedua kakaknya dan empat adiknya yang lain meninggal dunia ketika masih kecil. Anak sulung dari empat bersaudara (semua laki-laki) ini pada masa kecilnya sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat dari pemikir-pemikir seperti Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal. Sejak kecil pula ia telah mencintai puisi dan dunia tulis-menulis. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Bersama teman-temannya Zawawi Imron dan Ahmad Fudholi Zaini, Hadi mendirikan sebuah pesantren di kota kelahirannya tahun 1990 yang diberi nama Pesantren An-Naba, yang terdiri dari masjid, asrama, dan sanggar seni tempat para santri diajari sastra, seni rupa (berikut memahat dan mematung), desain, kaligrafi, mengukir, keramik, musik, seni suara, dan drama.[3]
Pendidikan
Pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya diselesaikan di kota kelahirannya. Ketika memasuki sekolah menengah atas, Abdul Hadi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke Surabaya untuk menuntut ilmu di kota itu. Ia kemudian menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hingga tingkat sarjana muda, lalu pindah ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral, namun tidak diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dan mengambil program studi Antropologi. Selama setahun sejak 1973-1974 Hadi bermukim di Iowa, Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun untuk mendalami sastra dan filsafat. Pada tahun 1992 ia mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar master dan Doktor Filsafat dari Universitas Sains Malaysia di Penang, Malaysia, di mana pada saat yang bersamaan ia menjadi dosen di universitas tersebut. Sekembalinya ke Indonesia, Hadi menerima tawaran dari teman lamanya Nurcholis Madjid untuk mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, universitas yang sama yang mengukuhkannya sebagai Guru Besar Falsafah dan Agama pada tahun 2008.[4]
Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Ia memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-karyanya kian kuat diwarnai oleh tasawuf Islam. Orang sering membandingkannya dengan sahabat karibnya Taufik Ismail, yang juga berpuisi religius. Namun ia membantah. “Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi moralistisnya.”
Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporer, puitika sufistik yang dikembangkan Abdul Hadi menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan pengikutnya. Tampak ia ikut menafasi kebudayaan dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami, ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler.[8]
Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka.
Pada tahun 1969, Abdul Hadi memperoleh Hadiah Puisi Terbaik II Majalah Sastra Horison.[butuh rujukan] Hadiah ini diperoleh untuk sajaknya yang berjudul Madura yang terbit tahun 1968. Lalu pada tahun 1977, Abdul Hadi memperoleh Hadiah Buku Puisi Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta. Hadiah ini diberikan kepadanya untuk kumpulan sajak yang ditulisnya, yaitu Meditasi. Kumpulan sajak ini diterbitkan pada tahun 1976. Pemerintah Indonesia juga memberikan Hadiah Seni kepadanya pada tahun 1979 atas prestasinya dalam penulisan sajak. Kemudian, pada tahun 1985, Abdul Hadi menerima Hadiah Sastra ASEAN dari Putra Mahkota Thailand di Bangkok. Hadiah ini merupakan penghargaan atas sajaknya yang berjudul Tergantung pada Angin. Sajak ini diterbitkan pada tahun 1983.[9]
Abdul Hadi juga meneriama Anugerah Mastera dari Majelis Sastra Asia Tenggara pada tahun 2003. Selain itu, ia menerima Penghargaan Satyalancana Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2010.[butuh rujukan] Lalu pada bulan Maret 2011, Hadi memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.[10] Pada tahun 2014, Abdul Hadi memperoleh Habibie Award di bidang sastra dan kebudayaan.[butuh rujukan]
Kehidupan pribadi
Pada 25 November tahun 1978, ia menikah dengan wartawati dan pelukis Tedjawati atau akrab dikenal sebagai Atiek Koentjoro. Atiek adalah saudara sepupu budayawan Umar Kayam. Mereka dikaruniai tiga orang putri yaitu Gayatri Wedotami (atau juga dikenal sebagai Chen Chen, seorang cerpenis dan aktivis di bidang perdamaian antar-iman), Dian Kuswandini (seorang jurnalis yang sekarang bermukim di Paris), dan Ayusha Ayutthaya (seorang guru bahasa Mandarin). Saat ini Abdul Hadi WM memperoleh tiga orang cucu, dua orang anak perempuan dari Gayatri dan seorang dari Ayusha.
Sewaktu masih tinggal di Jakarta, Abdul Hadi WM hidup bertetangga dengan saudara sepupu ibunya, Soetarni, istri dari tokoh PKI Nyoto. Dari sini keluarga Sutarni maupun keluarga Abdul Hadi WM menjadi dekat. Abdul Hadi WM menyukai karya Bach, Beethoven, dan The Beatles. Selain membaca buku, ia juga gemar berkebun.[butuh rujukan]
^Sugono, D., dkk., ed. (2003). Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern(PDF). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 6–7. ISBN979-685-308-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)
"Naturmagie und Sufismus - Gedichte des indonesischen Lyrikers Abdul Hadi W.M.", dalam Orientierungen 1/1991, S. 113-122.
"Struktur sajak penyair Abdul Hadi W.M." (1998) oleh Anita K. Rustapa
"Mysticism reborn? — The poet Abdul Hadi W.M." (1974) oleh Christine Deakin
"Arjuna in meditation: three young Indonesian poets: selected verse of Abdul Hadi W.M., Darmanto Jt & Sutardji Calzoum Bachri", (1976) Writers Workshop, Calcutta.