Guilherme dos Santos (lahir 4 Januari 1939) adalah tokoh pro-integrasi Timor Timur dan liurai di Memo. Dia pernah menjabat sebagai Bupati Bobonaro dari 1992 hingga 1999. Sebelumnya, dia juga menjabat sebagai ketua DPRD Tingkat I Provinsi Timor Timur.
Pada tanggal 10 Juli 2003, dia dinyatakan bersalah secara in absentia oleh Panel Khusus Kejahatan Berat (Special Panels for Serious Crimes) di Dili atas keterlibatannya dalam pembantaian di kantor Polres Maliana yang berlangsung pada tanggal 8 September 1999.[1]
Kehidupan awal dan karir politik
Dos Santos lahir di Desa Memo, Maliana, pada tanggal 4 Januari 1939. Ayahnya merupakan liurai (raja) di Memo pada masa Portugis.[2] Dia menjalani pendidikan dasar (escola primária) dan lulus pada tahun 1953, sebelum melanjutkan ke sekolah menengah pertama (escola pré-secundária) selama dua tahun dan lulus pada tahun 1955. Dos Santos ikut mendirikan Partai Asosiasi Pahlawan Timor (Tetun: Klibur Oan Timor Asuwain, KOTA) pada tahun 1974, sebuah partai yang didukung oleh para liurai seperti dirinya.[a] Semasa pendudukan Indonesia, Dos Santos bergabung dengan Golongan Karya (Golkar).[4]
Dos Santos merupakan anggota delegasi Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT) yang pergi ke Jakarta untuk menyampaikan petisi integrasi kepada Presiden Soeharto di Istana Negara pada tanggal 7 Juni 1976.[5] Setelah pembentukan DPRD Tingkat I Timor Timur pada tanggal 4 Agustus 1976 dengan komposisi anggota sebanyak 30 orang, dia ditunjuk untuk menjadi salah satu anggotanya.[4][6] Guna menunjang karirnya sebagai birokrat, Dos Santos mengikuti kursus dasar orientasi pemerintahan (Sus Orientasi Pemerintahan) pada tahun 1977 dan kursus DPRD (Sus DPRD) I dan II pada tahun 1985. Dia terpilih menjadi ketua DPRD Tingkat I Timor Timur pada tahun 1982, sebelum kemudian menjadi anggota MPR dua tahun berikutnya.[4]
Dos Santos terpilih menjadi anggota DPR RI pada tanggal 1 Oktober 1992, di mana dia menjadi anggota Komisi I DPR RI. Di tahun yang sama, dia juga diangkat menjadi Bupati Bobonaro untuk menggantikan Mariano Lopes da Cruz. Saat menjabat sebagai bupati, dia terlibat dalam sengketa lahan pertanian dengan para petani penggarap dari Saburai yang cenderung pro-kemerdekaan. Dos Santos mengklaim bahwa tanah tersebut adalah warisan dari ayahnya selaku liurai.[2] Dia merupakan anggota delegasi Indonesia yang mengunjungi Vatikan pada bulan Agustus 1993 dalam rangka melakukan ziarah.[7]
Karir sebagai bupati
Keterlibatan dalam kekerasan politik
Sebagai bupati, dia terlibat dalam membangun kekuatan milisi pro-integrasi dan mengatur berbagai tindak kekerasan yang mereka lakukan guna memastikan kemenangan kaum pro-otonomi dalam referendum yang diadakan oleh PBB pada tahun 1999.[8] Dos Santos memerintahkan beberapa pejabat pembantunya untuk memberi dukungan material kepada milisi, seperti Manuel Gama (Kabag Keuangan Kabupaten Bobonaro), Jose Monis da Cruz (Kabag Pembangunan), dan Antonio Mendonça (Asisten Bupati I). Sebagian yang lain bergabung dengan milisi Dadurus Merah Putih (DMP).[1]
Dos Santos juga secara rutin mengalihkan dana dari anggaran sosial dan pembangunan kabupaten kepada para pemimpin Forum Persatuan Demokrasi dan Keadlian (FPDK), sebuah organisasi sayap politik dari para milisi pro-integrasi. Dia sering menghadiri berbagai rapat tertutup untuk ikut mengambil keputusan mengenai tindakan milisi.[1]
Awalnya, Dos Santos setuju untuk mengadakan dialog dengan kelompok pelajar pro-kemerdekaan. Namun, akibat pengaruh dari Siagian, pandangannya berubah dan dia menolak segala bentuk dialog dan negosiasi dengan mereka.[9] Oleh karena itu, dia tidak berniat untuk menyelenggarakan referendum di Bobonaro dengan itikad baik. Pada tanggal 24 Maret 1999, dia mengeluarkan instruksi yang mengharuskan semua pegawai negeri di kota Maliana untuk mengisi formulir yang menyatakan pendapat mereka mengenai status Timor Leste menjelang referendum. Identitas responden tidak dilindungi dan tiap responden harus meminta tanda tangan dari atasan mereka. Selain itu, tidak diterangkan pula alasan Dos Santos memerlukan dokumen tersebut.[10]
Pada tanggal 8 April 1999, di Bobonaro diadakan sebuah aksi unjuk kekuatan yang dilakukan oleh ratusan milisi pro-Indonesia dari seluruh Timor Leste, di mana opsi pro-Indonesia dalam referendum digaungkan secara militan di depan para pejabat militer dan sipil.[1] Kemudian, pada bulan Juni 1999, dia kemungkinan besar merestui serangan terhadap kerabat dari aktivis hak asasi manusia terkemuka, Aniceto Guterres Lopes. Dos Santos pernah berkata bahwa dia akan "berurusan langsung" dengan para aktivis yang bertemu dengannya.[1][11]
Dalam sebuah acara kampanye pada tanggal 17 Juli, dia mengatakan bahwa satu-satunya dokumen yang diperlukan dalam pemungutan suara adalah kartu tanda penduduk (KTP). Ini bertentangan dengan syarat yang diminta oleh PBB, yakni dokumen identifikasi (seperti KTP dan surat baptis) dan surat kelayakan untuk mengikuti pemungutan suara.[12] Pada pertengahan bulan Juli 1999, Dos Santos mengancam akan membunuh personel PBB dari Australia apabila mereka tidak menjalankan peraturan pendaftaran pemungutan suara "dengan adil".[13]
Menjelang pelaksanaan pemungutan suara pada tanggal 30 Agustus, Dos Santos ikut memperparah masalah pengungsi yang sudah akut dengan memaksa warganya untuk melarikan diri ke Atambua. Dia mengatakan bahwa itu "lebih baik" daripada menghadapi konsekuensi yang akan terjadi jika kelompok pro-kemerdekaan memenangkan referendum. Untuk memfasilitasinya, pihak kabupaten akan menyediakan fasilitas transportasi. Sebagai penekanan, Dos Santos mengatakan bahwa dia "memiliki banyak uang" sehingga dapat tinggal di mana saja, tak seperti warganya yang "tidak punya uang". Milisi di Bobonaro juga mengancam akan mengobarkan "perang" jika rakyat menolak mendukung otonomi.[1][14]
Selain itu, dia juga menghambat proses registrasi untuk pemungutan suara dengan memerintahkan polisi, tentara, dan milisi di Bobonaro untuk memaksa pemilih agar tidak memberikan surat baptis mereka seperti yang diminta oleh PBB. Sebagai bupati, dia juga mengimbau warganya untuk tidak tidak berpartisipasi dalam pendaftaran. Dos Santos secara pribadi mengatakan bahwa dirinya tidak akan ikut serta.[1]
Untuk memastikan kemenangan kelompok pro-otonomi, Dos Santos berencana untuk memboyong pemilih secara ilegal dari Timor Barat. Dalam rapat Pemda Bobonaro pada tanggal 22 Juli 1999, dia menyampaikan rencana untuk menyelundupkan sekitar 10.000 pemilih dari Atambua.[15] Hal ini menyebabkan Ketua Perwakilan UNAMET, Ian Martin, mengajukan keluhan secara tertulis kepada kepala satuan tugas Indonesia, Agus Tarmidzi, pada tanggal 19 Agustus. Martin menyatakan bahwa Dos Santos selaku bupati dan Letkol Kav Burhanuddin Siagian selaku Dandim Bobonaro telah menentang kebijakan pemerintah Indonesia untuk menjamin kondisi yang layak untuk pelaksanaan referendum.[1]
Dos Santos terlibat dalam perencenaan Pembantaian Maliana.[1] Pada tanggal 10 Agustus, dia ikut memimpin rapat di kantor bupati untuk memutuskan bagaimana milisi akan bereaksi terhadap kekalahan Indonesia dalam referendum. Selain Dos Santos, beberapa tokoh lain juga ikut memimpin jalannya rapat, seperti Letkol Kav Burhanuddin Siagian (Komandan Kodim di Bobonaro), Lettu Inf Sutrisno, João da Costa Tavares, dan Jorge da Silva Tavares. Semua kepala desa dan pemimpin milisi (termasuk Natalino Monteiro) juga hadir dalam rapat. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa milisi akan mencoba memancing reaksi dari Falintil, sehingga mereka dapat dimobilisasi untuk membunuh para pendukung kemerdekaan. Dos Santos dan Tavares menyarankan pembuatan daftar pendukung kemerdekaan, sedang Burhanuddin akan menyediakan bantuan senjata untuk melaksanakan rencana tersebut.[1][16]
Pada tanggal 8 September 1999, para anggota milisi Dadarus Merah Putih [de] (DMP) di bawah pimpinan Natalino Monteiro, atas perintah Letkol Kav Burhanuddin Siagian, menyerang 47 pendukung kemerdekaan yang pada tanggal 3 September telah diimbau untuk mengungsi di kantor Polres Maliana. Saat terjadi pembantaian, Dos Santos tidak mengambil tindakan apapun untuk menghentikannya atau mencegah pembantaian susulan yang terjadi sehari berikutnya.[1][17]
Buntut
Pada bulan Januari 2000, Dos Santos diinterogasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta. Ia sebelumnya sudah dituntut oleh Kejaksaan Agung. Namun, tanpa alasan yang jelas, namanya tiba-tiba keluar dari daftar tuntutan sekitar bulan Mei 2000. Pada bulan Agustus 2000, dia berada di Timor Barat, di mana dia bergabung dengan organisasi Uni Timor Aswain (Untas) yang dirintis oleh para pemimpin milisi pro-Indonesia dengan maksud membalikkan proses kemerdekaan untuk Timor Leste.[1] Dua pegawai negeri yang berada di bawah wewenangnya, Sabino Gouveia Leite dan Francisco Noronha, didakwa di depan Panel Kejahatan Serius pada bulan Februari 2001 di Dili karena terbukti melakukan tindak kejahatan kemanusiaan.[1]
Kehidupan pribadi
Dos Santos mempunyai seorang istri yang secara politik berseberangan dengannya. Sang istri mendukung kemerdekaan Timor Leste, hal yang sangat bertentangan dengan pandangan politiknya. Pada tanggal 7 Juli 1999, setelah berpidato di sebuah kampanye pro-otonomi, dia memukul dan mengancam akan membunuh istrinya. Sang istri kemudian dievakuasi untuk mendapatkan perawatan medis.[1]
Catatan
^Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) menulis bahwa Dos Santos adalah anggota UDT[3]
^Sahude, Syaldi (1 Juli 2007). "Natalino Monteiro". Masters of Terror. Diakses tanggal 24 Mei 2024.
^Sahude, Syaldi (1 Juli 2007). "Maliana". Masters of Terror. Diakses tanggal 20 Mei 2024.
Daftar pustaka
Center for Strategic and International Studies (1994). Kliping tentang Timor Timur. 1. Jakarta: Center for Strategic and International Studies.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Gonggong, Anhar; Zuhdi, Susanto (1995). Sejarah Perjuangan Rakyat Timor Timur(PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)