Gudo, Jombang
Gudo adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Jombang yang terletak di selatan. Gudo berbatasan langsung dengan Kabupaten Kediri di sebelah selatan dan dilalui jalan raya penghubung Kecamatan Jombang dengan Kediri.[1] Gudo dikenal dengan adanya Klenteng Hong San Kiong yang merupakan tempat peribadatan umat Tridharma (Buddha dan Konghucu) tertua di Jombang, berdiri di abad ke-19.[2] Klenteng ini menjadi lokasi ditemukannya wayang potehi tertua di Indonesia. Wayang potehi adalah kesenian yang dibawa oleh imigran dari Tiongkok selatan yang bekerja di pabrik gula zaman Belanda dan sampai sekarang masih dilestarikan.[3] Gudo terpisah dari Kecamatan Kunjang di Kediri oleh Kali Konto yang berhulu di Gunung Kelud dan bermuara di Sungai Brantas. Pada zaman kolonial Belanda, dibangun bendungan ikonik yang dinamakan Rolak 70 di perbatasan Gudo dengan Kunjang untuk mengatasi banjir termasuk aliran lahar dingin Kelud. Namun, Rolak 70 sekarang sudah terbengkalai akibat perubahan aliran sungai dan fungsi bangunan tersebut digantikan oleh Bendung Gude.[4] Desa Plumbon Gambang di Gudo dikenal sebagai sentra produksi manik-manik yang dibuat dari limbah kaca. Usaha ini pertama kali dirintis sekitar tahun 1978 dan sekarang sudah ada puluhan rumah produksi di Gudo yang produknya sudah banyak diekspor ke negara lain.[5] GeografiSecara geografis, Gudo berupa dataran rendah yang dominan lahan persawahan. Gudo dipisahkan dari Kecamatan Kunjang di Kediri dengan adanya Kali Konto yang dibendung dengan Bendungan Rolak 70 dan Bendung Gude. Kali Konto berhulu di Gunung Kelud dan bermuara di Sungai Brantas. Kali Konto juga menjadi lokasi aliran lahar dingin Kelud sehingga di beberapa titik seperti Desa Bugasur Kedaleman marak aktivitas penambangan pasir ilegal yang beresiko merusak lingkungan sekitar dan bencana banjir.[6] Batas wilayah Kecamatan Gudo adalah sebagai berikut:[1]
Daftar desa dan dusunKecamatan Gudo terdiri dari 18 desa yang dibagi menjadi beberapa dusun atau dukuh, yakni sebagai berikut:[7][1]
Tempat terkenal
KebudayaanWayang potehi adalah kesenian yang dibawa oleh imigran dari Tiongkok selatan yang menetap di Indonesia sejak lama dan sekarang berkembang menjadi bagian dari kekayaan budaya Nusantara. Wayang potehi merupakan boneka yang terbuat dari kayu dan kain dan dipentaskan dalam sebuah panggung. Dalam Serat Nawaruci karya Mpu Siwamurti abad ke-16, wayang dari Cina sudah berkembang di Nusantara di zaman itu yang terdiri dari wayang kulit mirip wayang Jawa dan wayang potehi. Namun bukti fisik keberadaan wayang potehi terawal di Indonesia baru ada sekitar tahun 1900-an di Klenteng Hong San Kiong Gudo. Di dalam klenteng tersebut sekarang terdapat Museum Potehi agar kesenian tersebut tetap lestari. Pada masa Orde Baru, pertunjukan wayang potehi dibatasi sehingga kurang berkembang di kota besar. Namun, kondisi politik Gudo yang kondusif memungkinkan wayang potehi tetap dipentaskan. Memang di Gudo banyak warga Tionghoa yang menetap sebagai pegawai pabrik gula yang saat itu masih beroperasi.[3][10] Tokoh terkenal
Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia