Menjelang tahun 1970, Pastor Paroki Katedral Kristus Raja Tanjungkarang, Wilhelmus Lorentius Cornelius Boeren SCJ merasa bahwa Gereja Katedral ‘’’Christi Regis’’’ (Kristus Raja) terasa sempit dikarenakan banyaknya umat dari berbagai tempat mengikuti misa di katedral tersebut, terlebih misa hari raya besar, seperti Natal dan Paskah. Maka pastor Boeren, pastor Jan Emil Vranken SCJ, dan beberapa tokoh, mulai berunding. Mereka sepakat untuk mendirikan sebuah gedung gereja baru untuk wilayah kecamatan Kedaton, yang saat itu masih bagian dari Kabupaten Lampung Selatan. Akhirnya mereka membeli sebidang tanah bekas perkebunan seluas 0,15 hektare. Pada 8 April1970, Panitia Pendirian Gereja Katolik Kedaton pun ditetapkan, tugasnya untuk mengurus segala sesuatu termasuk perizinan. Mereka juga mencari sumbangan dana dari warga, dan sebagian besar sumbangannya berasal dari pihak Gereja dalam hal ini Keuskupan Tanjungkarang. Saat itu, di sekitar lokasi pendirian gereja, sudah terdapat 15 KK Katolik. Pembangunan pun dimulai.
Penolakan beberapa pihak
Pada tanggal 5 Agustus1970, unjukrasa pun terjadi di depan halaman pembangunan gereja. Mereka menyatakan ketidaksetujuan atas pembangunan gereja tersebut dengan mengeluarkan Surat Pernyataan Tidak Setuju. Meskipun sebenarnya pihak panitia telah mendapat izin resmi dari Ketua RT sampai ke Camat Kedaton, bahkan juga telah mendaftar ke Kantor Urusan Agama. Izin Mendirikan Bangunan juga telah diajukan oleh Pastor Boeren pada BupatiLampung Selatan pada 11 Juli1970. Maka panitia pun terpaksa memberhentikan pekerjaan tersebut untuk sementara waktu. Padahal saat itu, gereja yang saat itu diperkirakan berdaya tampung 400 jemaat, telah berbentuk. Pada 24 Agustus1970, Camat Kedaton, menyurati Panitia agar pekerjaan tidak dilanjutkan. Panitia boleh melanjutkan asal mendapat izin dari Bupati terlebih dahulu. Mendengar hal tersebut, Kepala Bagian Urusan Katolik saat itu, FX Soedar Adiwasito pun membantu. Bupati pun dihubungi pada 29 September1970. Karena juga belum ada tanggapan, Mgr. Hermelink pun mengirim surat kepada Gubernur pada 2 November1970. Beberapa bulan setelah itu, Bupati Lampung Selatan menerbitkan IMB per tanggal 19 Januari1971. Dengan demikian tak ada lagi persoalan dalam hal legalitas gedung gereja ini. Sekitar dua minggu kemudian, datanglah penolakan yang kedua kalinya. Tepatnya pada 31 Januari1971, hari Minggu, sekitar jam 10 pagi. Terjadilah unjuk raga yang ditandai dengan besarnya kekerasan yang terjadi. Tetapi pihak gereja tidak melakukan reaksi melawan. Seorang ABRI beragama Katolik, Serda Latman, segera menemui para pengujuk rasa tersebut. Ia pun berhasil menghentikan kebringasan mereka. Panitia pun cepat – cepat melapor ke Putepra dan Polsek Kedaton. Setelah dilapori, para pelaku pun ditangkap dan diperiksa. Panitia akhirnya meminta jaminan keamanan terhadap pembangunan kompleks ini. Pembangunan pun dapat dilanjutkan.
Penyelesaian dan pemberkatan
Akhirnya pembangunan dilanjutkan hingga selesai. Lalu gedung diisi dengan berbagai perlengkapan sebagai mana umumnya sebuah gereja. Halaman depan diberi pagar tralis. Selain bangunan gereja, Panitia juga membangun Pastoran, dan rumah untuk koster. Jaringan telepon pun dibangun, dan saluran tersebut merupakan saluran telepon pertama di sepanjang jalan tersebut. Pada perayaan Kamis Putih, 7 April1971, gereja tersebut diberkati langsung oleh Bapa Uskup Hermelink. Kepadatan gereja Katedral pun berkurang, karena umat Kedaton dan sekitarnya sudah bisa mengikuti misa di sebuah gereja baru. Namanya pun telah dipilih dan ditetapkan yaitu ‘’’Gereja Santo Yohanes Rasul’’’. Pada malam setelah perayaan pemberkatan gereja, para umat mengikuti Tuguran, meski saat itu hujan turun cukup lebat. Misa Jumat Agung, Malam Paskah dan Hari Raya Paskah dilangsungkan dengan sangat meriah.
Pembangunan Gereja Baru
Perbedaan antara gereja lama dan gereja baru. Foto gereja lama (kiri) ini diambil sebelum diratakan tahun 1996. Pada sebelah kanan foto juga tampak gereja yang telah selesai dibangun.
Pada masa sekitar awal kehadiran Pastor Paul Billaud, di seputar Kedaton saja jumlah umat sudah mencapai hampir 2.000 orang. Daya tampung gereja terasa sudah tak memadai lagi. Setiap kali misa mingguan saja, pasti terdapat begitu banyak umat yang tidak kebagian duduk di dalam. Terpaksalah setiap kali misa, dipasang bangku-bangku darurat di halaman depan. Belum lagi jika terjadi hujan, umat menjadi tidak nyaman dan banyak mengeliuh, seakan sungguh cepat terasakan betapa tak memadainya lagi gedung gereja yang ada. Maka sejak 1990, Pastor Paul beserta sejumlah tokoh awam, mulai berbicara soal kemungkinan pembaruan gereja. Dimulailah membuat perencanaan, lalu diteruskan dengan perwujudannya. Kepanitiaan pun dibentuk pada 1 Maret1990. Pelaksana pun dipilih, yakni Bapak Ir. Henri Hosana seorang warga lingkungan St. Anna yang juga kebetulan sedang mengerjakan pembangunan gedung gereja Paroki Telukbetung ‘’(maka sampai saat ini, gedung gereja paroki Kedaton mempunyai bentuk yang hampir sama dengan paroki Telukbetung)’’. Dana pun diusahakan sedapat mungkin swasembada, swadana. Umat dan donatur yang ingin menyumbang pun dipersilakan. Segala urusan perizinan ditangani panitia.
Dengan ide desain dari RD. Ferdinando Pecoraro, dan ditangani oleh Ir. Henri Hosana, maka pada 1993 pekerjaan fisik pun dimulai. Para pekerja sudah mulai melakukan pekerjaannya masing-masing. Jadilah dalam suatu waktu, di sekitar awal 1996, terlihatlah pemandangan lucu. Ada sebuah gereja besar ingin melahap sebuah gereja kecil di depannya. Supaya urusan tak bertambah rumit, maka akhirnya gereja kecil atau gereja lama tersebut diratakan dengan tanah. Pembangunan ini pun juga diwarnai dengan beberapa unjuk rasa, tetapi semua itu bersifat kecil dan tidak radikal. Sementara masalah dari internal yaitu, membengkaknya dana pembangunan gereja ini. Tetapi ternyata semuanya itu ada penyelesaiannya. Maka pembangunan pun diteruskan, hingga akhirnya selesai pada 1997. Gereja baru inilah yang sampai saat ini digunakan oleh umat Paroki Kedaton. Tetapi pembangunan pun belum usai, masih ada pastoran dan wisma gita yang harus diperbaiki. Hingga akhirnya dibangunlah sebuah pastoran baru di sebelah kiri gereja saat ini.
Gaya arsitektur gereja baru
Gereja baru ini berbentuk seperti setengah gunung. Di depan bentuknya seperti kerucut, tetapi di belakang bentuknya rata. Jadi, bentuknya bukanlah kerucut sempurna. Gaya atapnya seperti gunung dengan tiga permukaan yang masing-masing ukuran luasnya berbeda. Bentuk gereja ini diilihami dari ide RD. Ferdinando Pecoraro yang bentuknya direalisasikan oleh Ir. Henri Hosana. Selain bagian tengah gereja yang menghadap langsung ke depan altar, sebelah kiri dan sebelah kanan altar juga terdapat tempat duduk umat yaitu sayap kiri dan sayap kanan. Gereja ini dapat menampung kira-kira 500 – 750 umat yang dapat duduk di dalam gereja. Gereja ini juga mengadopsi bentuk tradisional Jawa yang terlihat dari bentuk atapnya. Pada puncak atapnya terdapat sebuah salib.
Menjadi paroki
Pada akhir Agustus 1971, Pastor Kaam (pastor pertama di gereja tersebut) mengambil cuti untuk menghadiri pesta emas pernikahan orangtuanya di Belanda. Di awal September, Pastor A. Sandiwan Broto, Pr. datang untuk sementara membantu melayani umat Kedaton. Pada bulan Oktober, Pastor Kaam pun kembali ke Indonesia. Rupanya sudah ada perkembangan baru, yaitu datangnya seorang romo baru. Ia adalah Pastor Andreas Henrisusanta SCJ yang ditempatkan di Kedaton sejak 14 September 1971 setelah pindah dari Gereja Paroki Ratu Damai, Telukbetung. Pastor Andreas pun menjadi pastor paroki pertama untuk Kedaton. Dan jelaslah sudah, saat itu Kedaton telah menjadi paroki baru, dan menjadi paroki kesepuluh Keuskupan Tanjungkarang. Pastor Kaam pun mendapat tugas baru untuk melayani stasi – stasi lain. Pastor H. Baart SCJ pun juga membantu melayani Kedaton. Pada 1972, pastoran sedikit diperluas dengan dibelinya sebidang tanah berikut rumah di sebelah kiri pastoran. Terasa masih sempit, sekalipun jumlah umat pada saat itu barulah 1.071 orang. Itupun seudah termasuk para umat di Way Kandis, Margo Agung, Natar, dan sebagainya. Pada April 1972, setelah bertugas di Metro dan Kotabumi, Pastor Henrisusanta pun membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Dewan Paroki. Dari Panitia tersebut lahirlah Dewan Paroki I untuk periode 1973-1975 dengan Sdr. T. Sukiji sebagai ketua. Pembagian kring pun dipertegas. Jumlah kring menjadi lebih banyak dan bertambah. Wilayah yang terlalu luas, diperkecil dan wilyah yang terlalu kecil, digabung dengan kring lainnya.
Perluasan kompleks dan rehabilitasi gereja
Pada tahun kedua setelah diberkati, Gereja juga telah berusaha untuk memperluas kompleks dengan membeli sebuah rumah di samping kiri pastoran. Pada Maret 1975, Pastor Andreas Henrisusanta dan Pastor Boeren membeli tanah, yang letaknya kebetulan berhadapan langsung dengan gereja ini. Tanah inilah yang sekarang menjadi lahan parkir, dan rumahnya dijadikan tempat pembelajaran untuk pra komuni atau disebut dengan sekolah minggu. Luas tanah tersebut 450 meter persegi. Dua tahun kemudian dibeli pula sebidang tanah di samping kiri pastoran sekitar 250 meter persegi. Pada Mei 1989, tanah dan rumah di samping kanan gereja, seeluas 1.300 meter persegi juga dibeli. Semua upaya tersebut dilakukan demi perluasan lahan gereja. Terakhir pada November 1994, dibeli pula tanah di Gang Salak, dengan luas 250 meter persegi. Pada masa sekitar awal kehadiran Romo Paul Billaud (tahun 1986) jumlah umat sekitar Kedaton dan Sukarame saja hampir 2.000 orang. Daya tampung gereja juga tak memadai lagi. Setiap kali misa mingguan saja, umat yang datang terlambat terpaksa duduk di luar gereja. Gerejapun memasang bangku – bangku darurat. Di kota Bandar Lampung juga terjadi ledakan jumlah penduduk, yang menyebabkan bertambahnya umat Katolik dimana – mana.Tentu mereka merasa perlu untuk datang ke gereja. Pada 1990, Romo Paul beserta para tokoh, mulai berbicara mengenai kemungkinan untuk merehab gereja. Lalu kepanitiaan dibentuk pada 1 Maret1990. Dana untuk rehab didapatkan dari sumbangan, sumbangan kring secara rutin sesuai kemampuan kring masing-masing, dan juga kolekte yang diadakan dua kali; yang pertama bersifat rutin dan yang kedua khusus untuk dana pembangunan gereja. Pada tahun 1993 pekerjaan fisik pun dimulai. Namun rintangan pun terjadi lagi, yaitu bengkaknya dana dan juga unjuk rasa. Namun semuanya bisa diselesaikan. Maka pembangunannya dilanjutkan hingga akhirnya rampung, pada tahun 1997. Dan diberkati oleh Uskup yang juga bekas Pastor Paroki Kedaton yaitu Mgr. Andreas Henrisusanta pada tanggal 5 Januari1997. Hari pemberkatan itu juga bertepatan dengan ‘’Hari Raya Epifani’’ yaitu Hari Raya ‘’Kristus Cahaya semua Bangsa’’. Prasasti peringatan pun ditandatangani oleh Uskup sendiri dan Wali kotaBandar Lampung saat itu, Soeharto.[2]
Stasi
Terdapat tujuh stasi di bawah naungan Paroki Kedaton, yaitu: