Ia terpilih menjadi Prefek Apostolik Tanjungkarang pada tanggal 27 Juni 1952. Saat Prefektur Apostolik Tanjungkarang ditingkatkan statusnya menjadi Keuskupan, Ia diangkat menjadi Uskup pertama di Keuskupan Tanjungkarang. Ia menjabat sampai pada tanggal 18 April 1979.[1]
Mgr. Hermelink sangat mudah bergaul dengan umat Katolik yang mayoritas bersuku Jawa. Lama-kelamaan ia menjadi fasih berbicara bahasa Jawa. Dari situlah ia dipanggil Romo Kanjeng.
Keluarga
Albert Hermelink dilahirkan di Barger-Compascuum, Emmen, Belanda pada 5 Agustus 1898. Ia merupakan sulung dari tiga belas bersaudara. Ayahnya bernama Hermanus Hermelink, sementara ibunya bernama Elizabeth Scholte Aalbas. Dua adiknya, yakni Hendricus Geradus Majjela Hermelink dan Joannes Antonius Hermelink, juga menjadi pastor SCJ. Adapun adik perempuannya yang bernama Adeline Hermelink menjadi suster kongregasi Fransiskanes Denekamp dan pernah tinggal di Pringsewu, Lampung.
Hidup keagamaan
Pendidikan seminari
Albertus Hermelink mendapatkan pendidikan di seminari kecil di Bergen of Zoom pada tahun 1911 hingga 1916. Setelah itu, ia juga mendapatkan pendidikan seminari tinggi di Liesbosch Princenhage pada tahun 1918 hingga 1925. Ia ditahbiskan sebagai pastor tahun 1925 oleh Uskup Breda, Mgr. Pieter Adriaan Willem Hopmans, di Liesbosch Princenhage.
Karya dan misi
Romo Kanjeng, demikian ia sering dipanggil umatnya, tiba di Indonesia tahun 1926. Ia bersama dengan lima suster dari ordo Fransiskanes charitas roosendal, berkarya di Talang Jawa, Palembang. Pada tahun 1928, Romo Kanjeng tiba di Tanjung Karang. Saat itu, ia berkarya sebagai pastor pembantu prefek apostolik, Pastor HJD van Oort SCJ. Pada tahun yang sama atas saran dari Pastor FX Strater SJ, ia berangkat ke Yogyakarta belajar Bahasa Jawa. Sekembalinya dari Yogyakarta pada tahun 1929, Romo Kanjeng mendapatkan tugas mengajar di Holland Chineesche School (HSC) di Teluk Betung. Tahun 1930, ia bertugas di sebagai pastor di Tanjungsakti. Satu tahun kemudian, Romo Kanjeng untuk sementara waktu diangkat menggantikan Pastor HJD van Oort SCJ, sebagai Pro-prefek di Tanjung Karang. Tahun 1932, Romo Kanjeng menetap di Pringsewu. Ia meletakkan dasar misi gereja Katolik di Pringsewu. Pada masa penjajahan Jepang, Romo Kanjeng bersama pastor lain dan para suster diinternir di penjara Lebak Budi, Bandar Lampung. Pengasingannya pun terus berpindah-pindah hingga terakhir di kamp Belalau, Lubuk Linggau. Setelah Indonesia merdeka, Romo Kanjeng dan pastur lainnya pun dibebaskan. Ia menetap dan berkarya di Talang Jawa. Pada tahun 1949, Romo Kanjeng kembali ke Tanjung Karang. Dua tahun kemudian kembali ke rumah lamanya di Pasturan Pringsewu. Pada tahun 1952, ia diangkat sebagai Prefek Apostolik Tanjung Karang. Ia dilantik oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Jonge de Ardonye SCJ. Tahun 1953, Romo Kanjeng menjadi warga negara Indonesia. Namanya bertambah dengan nama belakang Gentiaras.[2]
Kematian
Ia wafat pada 25 Februari 1983 di Jakarta dan dimakamkan di Pringsewu. Ketika dipindahkan ke makamnya yang baru, jasad Mgr. Hermelink masih utuh dan pakaiannya pun masih utuh.[3]
Pemindahan makam
Pada hari Selasa, 6 Juli 2010, di Pringsewu, tepatnya di pemakaman para suster FSGM dan rohaniwan serta para religius yang berkarya di Keuskupan Tanjungkarang, atas restu Mgr. Andreas Henrisoesanta, dilaksanakan pembongkaran dan pemindahan jenazah Mgr. Alb. Hermelink Gentiaras, SCJ yang telah dimakamkan 27 tahun yang lalu. Dalam rangka peristiwa itu Pastor P. Gunawan Setyadi, S.C.J., memberitahu dan mengajak umat untuk ikut dalam acara itu, khususnya berdoa bersama di Kapel Makam yang baru selesai dibangun dan akan diberkati pada tanggal 22 Juli 2010 mendatang. Proses pembongkaran, pengangkatan, dan pembersihan jenazah dimulai pada pukul 08.00 WIB dan berlangsung hingga pukul 13.00 WIB. Dalam rangkaian acara itu, selama pembongkaran makam, Pastor P. Gunawan Setyadi, S.C.J. bersama para suster dan umat berdoa rosario dan merenung. Namun banyak juga umat yang datang hanya untuk menyaksikan pembongkaran makam tersebut.[4][5]
Proses pembongkaran makam Mgr. Hermelink yang diperkirakan akan selesai pada pukul 10.00 ternyata meleset, karena makam itu cukup dalam dan ditutup dengan adukan semen yang kuat dan juga ditutup dengan balok-balok semen yang keras sehingga memakan waktu yang lama untuk membongkar itu semua. Walau memakan waktu, tetapi akhirnya sampai juga pada peti jenazah. Hanya saja tempat peletakan peti jenazah itu dipenuhi dengan air. Peti jenazah terbuat dari kayu jati ukiran dan ternyata setelah terendam selama 27 tahun tidak mengalami kerusakan sedikitpun dan hanya peliturnya yang sudah hilang. Ketika diangkat, para pembongkar kewalahan karena peti berat sekali sehingga terpaksa menggunakan derek. Sesampainya di atas, peti lalu dibuka dan baru diketahui bahwa di dalam peti, jenazah pun dipenuhi dengan air, sehingga jenazah tampak mengapung. Jenazah tidak seperti yang diduga sebab, jenazah bukanlah tulang belulang yang tak dapat dikenali lagi, melainkan justru masih dikenali. Jenazah belum hancur, melainkan beberapa bagian tampak "utuh" walau tak sempurna. Di dalam jubah uskup yang kotor oleh air keruh itu masih dirasakan/kelihatan isi tubuhnya; yang jelas masih kelihatan kepala bagian muka namun rambut sudah rontok. Kaki, tangan, dan hampir seluruh tubuh dirasakan masih ada. Setelah melihat kenyataan seperti itu, maka proses pemindahan jenazah ke peti yang lain (baru) diurungkan. Kemudian dengan hati-hati para suster FSGM dan seorang sepuh bernama Pak Hartoyo dibantu beberapa umat mengeluarkan air dari dalam peti sambil membersihkan jenazah dengan sangat hati-hati, karena kalau tidak bagian-bagian dari tubuh jenazah Mgr Hermelink diperkirakan akan rontok. Setelah semuanya selesai, kasula diselipkan di bawah salibnya yang terkalung, di atas tubuhnya; peti dan tutupnya diplitur kembali.[6][7]
Pada kesempatan jenazah dirawat (belum selesai) pada pukul 12.00–12.40 dipersembahkanlah Misa Kudus, yang dipimpin oleh Vikjend Keuskupan Tanjungkarang, RD. Piet Yoenanta Sukowiluyo, dan didampingi oleh RP. P.Gunawan, SCJ (Romo Paroki Pringsewu), RP Th. Suratno, SCJ, M.T. Joko S, SCJ dan diikuti oleh para suster, bruder dan sebagian umat awam beriman yang pada kesempatan itu hadir untuk menyaksikan pembongkaran jenazah Mgr. Hermelink Gentiaras, SCJ. Karena mendapat informasi dan arahan dari Mgr. Henrisoesanta yang saat itu sedang mengikuti Raker Regio Jawa dan Tanjungkarang di Bandung, setelah semuanya selesai, jenazah Mgr. Hermelink kemudian disemayamkan di kapel makam yang baru dibangun. Mgr. Henri akan datang dan menyaksikan jenazah tersebut setelah pulang dari Raker. Namun karena acara yang begitu padat, Mgr. Henri kemungkinan besar baru pada tanggal 22 Juli 2010 mendatang akan diadakan pemberkatan makam dan kapel baru itu olehnya. Selama jenazah Mgr. Hermelink disemayamkan di kapel makam, banyak umat, tidak hanya dari Pringsewu tetapi juga dari beberapa paroki yang ada di Keuskupan Tanjungkarang, bahkan dari luar Provinsi Lampung datang untuk menjenguk dan mendoakan silih berganti.[8]