Cambridge Analytica adalah perusahaan konsultan politik asal Inggris yang membantu kliennya di sejumlah negara dengan mengkombinasikan penyalahgunaan data, penambangan data, broker data, dan analisis data dengan komunikasi strategis selama masa pemilihan.[5][6] Cambridge Analytica berdiri sekitar tahun 2013 sebagai anak perusahaan dari Grup SCL (Strategic Communication Laboratories), sebuah perusahaan riset dan strategi komunikasi yang bermarkas di Chelmsford, Inggris.[6][7][8] Namanya menjadi populer setelah skandal pengumpulan data pengguna Facebook secara ilegal oleh Cambridge Analytica mengemuka ke publik. Pada 1 Mei 2018, Cambridge Analytica menyatakan bangkrut dan menutup operasinya.[9] Namun, orang-orang di Grup SCL dan Cambridge Analytica tetap menjalankan operasinya di bawah entitas legal bernama Emerdata Limited.[10]
CEO Cambridge Analytica, Alexander Nix mengatakan perusahaannya terlibat dalam 44 kampanye di kontestasi politik AS pada 2014.[15] Pada 2015, CA diketahui mengirim stafnya ke markas besar kampanye Ted Cruz guna membantu memberikan analisis data untuk kampanye bakal calon presiden dari Partai Republik.[16] Ted Cruz kalah lalu mundur dari pencapresan yang kemudian menyisakan Donald Trump sebagai kandidat presiden dari Partai Republik .[17][18] Pada 2016, CA bekerja untuk kampanye calon presiden Donald Trump melawan Hillary Clinton.[19] Pada tahun yang sama, mereka juga bekerja untuk Leave.EU, sebuah organisasi yang mengkampanyekan referendum agar Inggris keluar dari Eropa meski hal ini dibantah oleh CEO Alexander Nix di hadapan Parlemen Inggris.[20] Peran kontroversial CA dalam kampanye-kampanye tersebut mendorong dilakukannya investigasi kriminal di kedua negara.[21] Sejumlah ilmuwan politik mempertanyakan efektivitas metode penargetan pemilih yang dilakukan Cambridge Analytica.[21]
Pada Maret 2018, sejumlah media memberitakan kabar tentang praktik bisnis Cambridge Analytica. Surat kabar Amerika The New York Times dan surat kabar Inggris The Observer merupakan pihak pertama yang membuka aib Cambridge Analytica.[22] Keduanya melaporkan bahwa perusahaan telah memperoleh dan menggunakan data pribadi pengguna Facebook dari seorang peneliti eksternal yang mengatakan kepada Facebook bahwa ia mengumpulkannya untuk tujuan akademik.[23] Lebih dari 50 juta data pengguna Facebook dikumpulkan tanpa izin pengguna dan itu menjadikannya sebagai kebocoran data terbesar sepanjang sejarah jejaring media sosial.[23]
Tidak lama setelah itu tepatnya pada 19 Maret 2018, Channel 4 News menyiarkan sebuah video investigasi yang memperlihatkan bagaimana Alexander Nix sesumbar mengatakan perusahaannya telah melakukan serangkaian "trik kotor" untuk memengaruhi pemilu di seluruh dunia.[24] Dalam video itu, Nix mengungkap pihaknya menggunakan "jebakan madu" (honeytrap), operasi penyuapan, hingga mengirim pelacur guna mencari informasi yang bisa digunakan untuk mendiskreditkan atau melemahkan lawan politik.[25] Nix juga mengakui perusahaannya menjalankan kampanye digital Donald Trump.[25] Menanggapi laporan media, Information Commissioner's Office (ICO) Inggris meminta surat perintah pada pengadilan untuk menggeledah kantor CA di London. Pada tanggal 23 Maret 2018, Pengadilan Tinggi Inggris memberikan ICO surat perintah tersebut.[26] Sementara itu, Facebook memblokir Cambridge Analytica dari layanan beriklan di platformnya, mengatakan bahwa mereka telah ditipu.[27]
Pada Rabu, 4 April 2018, Facebook memberikan keterangan resmi pertama tentang kebocoran data oleh Cambridge Analytica setelah sebelumnya Mark Zuckerberg angkat bicara melalui tulisan di status Facebook pribadinya.[27][28] Facebook mengatakan data sebanyak 87 juta pengguna, (lebih besar daripada angka 50 juta yang banyak dikutip media sebelumnya) mungkin telah dibagikan secara illegal pada sebuah perusahaan konsultan politik yang terhubung dengan Donald Trump selama pemilu 2016.[28][29] Data sebanyak itu didapatkan dari 270.000 pengguna Facebook yang menggunakan aplikasi "This Is Your Digital Life".[30] Sistem Facebook pada saat itu memberikan izin pada aplikasi pihak ketiga untuk mendapatkan data dari teman-teman yang menggunakan aplikasi tersebut sekalipun mereka tidak pernah menggunakan aplikasinya.[28] Dari sinilah sebanyak 87 juta data pengguna berhasil dikumpulkan. Pengembang aplikasi kemudian dianggap melanggar persyaratan layanan Facebook karena memberikan data ke Cambridge Analytica.[30]
Sejarah
Cambridge Analytica tercatat berbadan hukum pada 6 Januari 2015 (pada awalnya bernama SCL USA Limited) dengan alamat kantor yang terdaftar di Westferry Circus, London.[31] Jumlah staf yang tercantum dalam dokumen pendiriannya hanya satu yaitu CEO perusahaannya sendiri, Alexander James Ashburner Nix.[31] Alexander Nix juga direktur di sembilan perusahaan serupa yang terdaftar pada kantor yang sama di London, seperti Firecrest Technologies, Emerdata, dan enam perusahaan Grup SCL termasuk "SCL Elections Limited".[32][33]
Dalam situs resminya, Grup SCL menyebut dirinya sebagai "agen manajemen pemilu global".[34]Politico melaporkan bahwa mereka dikenal karena keterlibatannya "dalam kampanye disinformasi militer hingga pencitraan merek (branding) di media sosial dan penargetan pemilih".[35] Keterlibatan SCL dalam dunia politik terutama di negara berkembang telah digunakan oleh militer dan politisi untuk mempelajari serta memanipulasi opini publik dan kemauan politik.[35] Penulis Slate, Sharon Weinberger membandingkan bagaimana Grup SCL menjalankan sebuah skenario pengujian hipotetis dengan kemungkinan untuk memicu kudeta.[36]
Cambridge Analytica didirikan oleh pengusaha berpandangan konservatif Steve Bannon dan Robert Mercer. Berdasarkan laporan The New York Times, Mercer menginvestasikan setidaknya 15 juta dolar di perusahaan itu.[37] Sementara kepemilikan Bannon diperkirakan mencapai 1 hingga 5 juta dolar tetapi kemudian dilepas pada April 2017 sebagai syarat yang harus dpenuhi saat Ia menjabat sebagai kepala strategi Gedung Putih.
Pada Maret 2018 nama Cambridge Analytica mulai muncul ke publik setelah pelapor pelanggaran (whistleblower) Christopher Wylie berbicara pada media. Ia mengatakan bahwa aktivitas pertama Cambridge Analytica sejak didirikan adalah pada penghimpunan data. Perusahaan itu dibeli oleh induk perusahaannya, SCL pada 2014 dari sebuah perusahaan bernama Global Science Research yang didirikan oleh Aleksandr Kogan[38] yang bekerja sebagai psikolog di Cambridge.
Metode
Metode analisis data yang dilakukan Cambridge Analytica sebagian besar didasarkan pada pekerjaan akademis Michal Kosinski. Pada 2008, Kosinski bergabung dengan Psychometrics Center of Cambridge University di mana ia dan rekan-rekannya mengembangkan suatu sistem pembuatan profil menggunakan data daring umum seperti "like" Facebook, dan data ponsel cerdas.[39][40][41] Ia menunjukkan bahwa dengan jumlah "suka" yang meski terbatas, orang dapat dianalisis lebih baik daripada yang bisa dilakukan oleh teman atau kerabat. Hanya dari data "likes" yang dilakukan oleh pengguna, sebuah algoritme bisa memprediksi agama, politik, ras, hingga orientasi seksual seseorang. Penargetan psikologis individu diyakini sebagai alat yang ampuh untuk memengaruhi orang. Namun, dalam sebuah artikel yang dipublikasikan Kompas pada tahun 2013, para peneliti sudah memperingatkan pembuatan profil digital seseorang dapat melanggar privasi dan Kosinski mengatakan bahwa hal itu "bisa mengancam kebebasan bahkan hidup".[40]
Cambridge Analytica akan mengumpulkan profil pemilih menggunakan sumber-sumber seperti demografi, perilaku konsumen, aktivitas internet, serta sumber-sumber publik dan swasta lainnya. Laporan The Guardian menyebutkan, CA menggunakan data psikologis yang berasal dari jutaan pengguna Facebook, di mana sebagian besarnya tanpa izin atau sepengetahuan pengguna. Sumber informasi lain adalah aplikasi seluler "Cruz Crew" yang dapat melacak pergerakan fisik dan kontak teman pengguna.[42]
Hari ini di Amerika Serikat, kami memiliki sekitar empat atau lima ribu titik data pada setiap individu ... Jadi kami memodelkan kepribadian setiap orang dewasa di seluruh Amerika Serikat, sekitar 230 juta orang..
— Alexander Nix, Chief Executive of Cambridge Analytica, October 2016.[1]
Perusahaan mengklaim menggunakan "perangkat peningkatan data dan teknik segmentasi audiens", memberikan "analisis psikografis" untuk mendapatkan "pengetahuan yang lebih dalam mengenai target audiens".[43] Perusahaan menggunakan model Kepribadian Big Five dan apa yang dinamakan sebagai "behavioral microtargeting".[44] Dengan cara ini, perusaha mampu memprediksi kebutuhan subjek atau apa yang diinginkan oleh audiens dan bagaimana kebutuhan ini akan berubah seiring waktu. Perusahaan kemudian dapat melakukan penargetan individu untuk kepentingan klien di arena politik, pemerintahan dan perusahaan mampu menyediakan "gambaran yang lebih baik dan bisa ditindaklanjuti pada audiens utama mereka". Menurut Sasha Issenberg, apa yang dilakukan CA ini menunjukkan bahwa mereka dapat menceritakan hal-hal tentang seorang individu yang bahkan mungkin tidak ketahui oleh dirinya sendiri.
^"[[:Templat:Metatags.title]]". web.archive.org. 2016-02-16. Archived from the original on 2016-02-16. Diakses tanggal 2019-12-18.Konflik URL–wikilink (bantuan)Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
^"[[:Templat:Metatags.title]]". web.archive.org. 2016-02-16. Archived from the original on 2016-02-16. Diakses tanggal 2019-12-25.Konflik URL–wikilink (bantuan)Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)