Hubungan antara penggunaan media digital dan kesehatan jiwa telah diselidiki oleh beragam peneliti—kebanyakan di antaranya psikolog, sosiolog, antropolog dan pakar medis—terutama sejak pertengahan dasawarsa 1990-an setelah pertumbuhan World Wide Web. Sejumlah besar penelitian telah mendalami fenomena kecanduan yang umumnya dikenal sebagai "kecanduan digital" atau "ketergantungan digital". Fenomena ini telah berkelindan dalam banyak komunitas dan budaya lewat jalur yang berbeda-beda. Beberapa pakar telah menyelidiki manfaat penggunaan media digital yang cukup dalam pelbagai sisi, termasuk dalam kesehatan jiwa, dan perawatan masalah kesehatan jiwa dengan penyelesaian teknologi baru.
Media digital dan waktu layar telah mengubah cara anak-anak berpikir, berinteraksi, dan berkembang dengan cara yang positif dan negatif, tetapi peneliti tidak pasti mengenai keberadaan hubungan sebab-akibat yang dihoptesiskan antara penggunaan media sosial dan hasil kesehatan mental. Kaitan tersebut bergantung kepada individu dan platform yang mereka gunakan. Beberapa perusahaan teknologi besar telah membuat komitmen atau mengumumkan strategi untuk mengurangi risiko penggunaan media digital.
Sejarah dan terminologi
Hubungan antara teknologi digital dan kesehatan mental telah diselidiki dari banyak perspektif.[1][2][3] Manfaat penggunaan media digital dalam perkembangan anak-anak dan remaja telah ditemukan.[4] Kekhawatirkan telah diangkat oleh peneliti, dokter, dan masyarakat sehubungan dengan perilaku kompulsif pengguna media digital, karena korelasi antara penggunaan teknologi berlebihan dan masalah kesehatan jiwa menjadi jelas.[1][5][6]
Terminologi yang digunakan untuk merujuk kepada perilaku penggunaan media digital tidak dibakukan atau diakui secara umum. Istilah tersebut di antaranya "kecanduan digital", "ketergantungan digital", "penggunaan bermasalah", atau "penggunan berlebihan", yang sering digambarkan oleh platform media digital yang digunakan atau sedang dipelajari (seperti kecanduan penggunaan ponsel cerdas atau kecanduan penggunaan internet).[7] Penggunaan perangkat teknologi yang tidak terkendali dapat berpengaruh kepada perkembangan, sosial, mental, dan fisik serta berujung pada gejala yang mirip dengan sindrom ketergantungan psikologis atau kecanduan perilaku.[8][6] Fokus pada penggunaan teknologi bermasalah dalam penelitian, terutama dalam kaitannya terhadap paradigma kecanduan perilaku, menjadi lebih diterima, terlepas dari pembakuan yang lemah dan penelitian yang saling bertentangan.[9]
Kecanduan internet telah diusulkan sebagai diagnosis sejak pertengahan 1990-an dan media sosial dan hubungannya dengan kecanduan telah diuji sejak 2009. Laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2018 mencatat manfaat penggunaan internet yang terstruktur dan terbatas pada anak-anak dan remaja untuk tujuan perkembangan dan pendidikan, tetapi penggunaan yang berlebihan dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental. Ini juga mencatat peningkatan 40% secara keseluruhan dalam penggunaan internet pada anak-anak usia sekolah antara 2010 dan 2015, serta bahwa negara-negara OECD yang berbeda telah menandai variasi dalam tingkat penggunaan teknologi masa kanak-kanak, serta perbedaan dalam platform yang digunakan.[10]
The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (Diagnosis dan Panduan Statistik Gangguan Kejiwaan) belum secara resmi mengodifikasikan penggunaan media digital yang bermasalah dalam kategori diagnosis, tetapi dianggap gangguan permainan internet sebagai kondisi untuk studi lebih lanjut pada tahun 2013. Gangguan permainan, umumnya dikenal sebagai kecanduan video game, telah diakui dalam ICD-11. Berbagai rekomendasi dalam DSM dan ICD sebagian disebabkan oleh kurangnya konsensus ahli, perbedaan dalam penekanan dalam manual klasifikasi, serta kesulitan menggunakan model hewan untuk kecanduan perilaku.[8]
Kegunaan dari istilah kecanduan (addiction) sehubungan dengan penggunaan media digital yang berlebihan telah dipertanyakan, sehubungan dengan kesesuaiannya untuk menggambarkan kategori psikiatrik baru yang dimediasi secara digital, yang bertentangan dengan penggunaan yang berlebihan sebagai manifestasi dari gangguan kejiwaan lainnya.[2][3] Penggunaan istilah ini juga telah dikritik karena menggambar paralel dengan perilaku penggunaan narkoba. Penggunaan istilah yang ceroboh dapat menyebabkan lebih banyak masalah — baik mengecilkan risiko bahaya pada orang yang terkena dampak serius, maupun risiko berlebihan penggunaan media digital yang non-patologis.[3] Evolusi terminologi yang menghubungkan penggunaan media digital yang berlebihan dengan penggunaan yang problematis daripada kecanduan didorong oleh Panova dan Carbonell, psikolog di Universitas Ramon Llull, dalam sebuah tinjauan tahun 2018.[11]
Psikologi Siber
Penggunaan Internet yang makin marak di zaman sekarang ini mendorong manusia untuk menciptakan suatu dunia di dalam media dengan tingkah laku dan interaksi yang baru. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya psikologi siber (cyberpsychology). Psikologi Siber sendiri sudah ada sejak pertengahan tahun 1990-an, namun baru bisa dikatakan mencuat di dekade akhir ini. Psikologi Siber diartikan sebagai studi yang mempelajari tingkah laku ataupun interaksi manusia yang terjadi di dunia maya. Banyak sekali fenomena yang ada dalam psikologi siber, misalnya, cyberbullying, online dating, gaming, dan lainnya.[12]