Câncio de Carvalho
Câncio Lopes de Carvalho, S.H. (1962 – 5 Maret 2022)[1] adalah mantan pemimpin Mahidi, sebuah milisi pro-Indonesia di Timor Timur yang diduduki Indonesia. Awal kehidupan dan karir awalCâncio adalah anak keempat dari sepuluh bersaudara yang lahir dari pasangan Mateus de Carvalho dan Margarida Lopes de Carvalho. Ayahnya adalah seorang liurai di Cassa (Ainaro) sekaligus anggota partai Apodeti, sebelum kemudian pindah ke Golkar.[2][3] Mateus juga ikut serta dalam delegasi yang menyerahkan petisi integrasi di Jakarta pada tanggal 7 Juni 1976.[4] Saat masih kecil, Câncio dipaksa oleh tentara Indonesia untuk membantu operasi militer dengan menjadi tenaga bantuan operasi (TBO). Setelah lulus SMP di Ainaro, dia melanjutkan pendidikan SMA di Kupang.[5][6][a] Câncio juga sempat tinggal bersama keluarga Arnaldo dos Reis Araújo di Jakarta. Arnaldo saat itu menjabat sebagai Gubernur Timor Timur. Namun, karena tidak senang dengan sikapnya yang sering bermain dengan perempuan, dia dikirim kembali ke Timor Timur.[1] Di sana, dia awalnya menganggur sebelum akhirnya bekerja di kantor Departemen Kehakiman di Dili. Pada tahun 1994, dia diangkat menjadi pegawai tetap dan pada bulan Mei 1998, Câncio pindah ke kantor Departemen Kehakiman di Kupang.[5] Keterlibatan dalam kekerasan politikAktivitas awalSetelah pembantaian Santa Cruz pada bulan November 1991, Câncio menjadi informan Satuan Gabungan Intelijen (SGI), yang merupakan badan intelijen dari Kopassus. Bersama dengan para putra simpatisan atau anggota partai Apodeti, dia mendirikan sebuah kelompok "sukarelawan" yang berbasis di Cassa sesuai instruksi SGI dengan tujuan mengintimidasi para aktivis pro-kemerdekaan.[1][5] Pada bulan Agustus 1998, Câncio, bersama dengan pemimpin milisi João da Costa Tavares dan Eurico Guterres, bertemu dengan Danrem 164/Wira Dharma, Kolonel Inf Tono Suratman. Para pemimpin milisi diberitahu bahwa mereka harus menjaga "integrasi" Timor Timur dengan Indonesia.[7] Pertemuan tersebut dapat dilihat sebagai awal dari kekerasan milisi terhadap aktivis pro-kemerdekaan yang bekerja menuju jajak pendapat setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada bulan Mei.[1] Mendirikan dan memimpin MahidiDi bawah arahan SGI, Câncio menghidupkan kembali kelompok yang ia dirikan pada tahun 1991 dan menamainya Mahidi (Mati Hidup dengan Indonesia). Pada tanggal 1 Januari 1999, di hadapan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ainaro, Letkol Pol Razali, dan Komandan Kodim (Dandim) 1633/Ainaro, Letkol Inf Paulus Gatot Rudianto, Mahidi secara resmi didirikan. Mereka bermarkas di Cassa, kampung halaman Câncio. Beberapa anggota milisi dipaksa untuk bergabung di dalamnya. Kakaknya, Nemecio (juga Remecio atau Remesio), menjabat sebagai "perwira intelijen" di Mahidi.[1] Mahidi dibentuk untuk melawan sentimen pro-kemerdekaan yang semakin militan di Kabupaten Ainaro. Pada bulan April 1999, Mahidi memiliki sekitar 1.000 sampai 2.000 anggota dan 500 pucuk senjata. Câncio mengatakan kepada BBC dalam sebuah wawancara bahwa dia menerima senjata otomatis dari Kodim di Ainaro.[5] Mereka dilatih oleh tentara Indonesia.[1][5] Sejak bulan Desember 1998, Mahidi mulai menyerang para pendukung kemerdekaan. Tak jarang, aksi tersebut disertai penyiksaan, pembunuhan, pengusiran, dan penculikan. Câncio terlibat langsung dalam sebagian insiden dan juga secara langsung memerintahkan kejahatan tersebut. Misal, pada tanggal 25 Januari 1999, Mahidi menyerang Desa Galitas (di Kabupaten Covalima). Serangan tersebut menewaskan tiga orang dan lima lainnya terluka. Dalam penyerangan tersebut, turut menjadi korban seorang wanita bernama Angelina de Araujo yang saat itu tengah hamil. Anggota Mahidi membelah perutnya dan mengeluarkan janin yang ada di dalamnya. Dalam wawancaranya dengan BBC, dia berbicara tentang insiden itu dengan penuh rasa bangga.[1] Câncio juga terlibat dalam pembantaian di rumah Manuel Carrascalão, di mana dalam tayangan SCTV, dia terlihat sedang menembakkan senapan M16.[1] Pada bulan April 1999, dia diangkat menjadi Komandan Persatuan Milisi PPI (Pasukan Pejuang Integrasi) di Sektor III. Dengan demikian, dia secara resmi bertanggung jawab atas milisi Mahidi, Laksaur, Ablai dan AHI, dengan komando utama berada di tangan João da Costa Tavares.[1] Dia berulang kali mengancam akan mengobarkan "perang" jika orang Timor Timur memilih opsi merdeka dalam jajak pendapat. Sebelum pelaksanaan pemungutan suara pada tanggal 30 Agustus, Câncio memberikan kepada seorang anggota Mahidi daftar nama yang berisi sekitar 100 pendukung pro-kemerdekaan yang diketahui untuk dibunuh. Ketika kekalahan Indonesia dalam jajak pendapat menjadi terang, Mahidi melancarkan aksinya di Cassa.[1] Pada tanggal 5 September 1999, Mahidi diperintahkan untuk membunuh siapapun yang menolak untuk pergi ke Timor Barat. Seorang penduduk Cassa, Fernando Gomes, menolak untuk pergi. Dia akhirnya dibunuh oleh Mahidi. Pada tanggal 12 September, Câncio menginterogasi seorang terduga pendukung kemerdekaan. Dia kemudian diserahkan kepada seorang anggota TNI dan kakaknya, Nemecio, yang kemudian membunuhnya. Pada tanggal 23 September, sekitar 60 anggota Mahidi yang dipimpin oleh Nemecio, menyerang Desa Mau-Nuno pada dini hari. Desa tersebut diserang karena penduduknya menolak untuk pergi ke Timor Barat. Akibatnya, 11 penduduk tewas dan sisa penduduk desa dipaksa untuk pergi ke Timor Barat. Rumah-rumah mereka juga dibakar dan ternak mereka dibunuh. Baru saat pasukan pasukan INTERFET tiba di Ainaro pada awal bulan Oktober kekerasan milisi dan ABRI dapat dihentikan.[1] BuntutUntuk menghindari penangkapan, Câncio melarikan diri ke Kupang. Dia menetap di sana dan membantu mereorganisasi PPI. Pada bulan Januari 2000, dia dan anggota milisinya mengancam akan membakar Kupang jika Indonesia memaksa para pengungsi Timor Timur untuk kembali ke tanah kelahirannya. Pada bulan Oktober 2000, Câncio mengatakan bahwa dia telah mengirim anggota Mahidi ke Timor Timur untuk "bergerilya". Pada saat yang sama, ia dan tiga pimpinan milisi lainnya (Nemecio, Domingos Pereira, dan Joanico da Costa) menawarkan informasi kepada Sekjen PBB mengenai keterlibatan Kopassus dalam kekerasan 1999 dengan imbalan amnesti saat mereka kembali ke Timor Timur. Namun, negosiasi berhenti di tengah jalan saat Kepala Staf UNTAET, Nagalingam Parameswaran, berhenti dari jabatannya. Câncio, yang sebelumnya berencana untuk kembali ke tanah kelahirannya, akhirnya mengurungkan niat tersebut karena "alasan teknis". [1][8][9] Sebanyak 22 anggota Mahidi didakwa atas kejahatan terhadap kemanusiaan pada tanggal 28 Februari 2003, termasuk Câncio dan kakaknya Nemecio. Dakwaan tersebut menyoroti serangan terhadap Desa Mau-Nuno pada tanggal 23 September 1999, pembunuhan dua pemuda pada tanggal 3 Januari di Manutaci , pembunuhan pendukung pro-kemerdekaan pada tanggal 25 Januari, penganiayaan dan pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa yang sedang melakukan KKN di Suai pada tanggal 13 April.[6] Namun saat itu, semua terdakwa, termasuk Câncio, sedang tidak berada di Timor Timur sebab mereka telah melarikan diri ke Indonesia. Surat perintah penangkapan telah diajukan di Pengadilan Distrik Dili dan diteruskan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Interpol. Akibatnya, beberapa anggota milisi dijatuhi hukuman penjara.[1][10] Kehidupan di IndonesiaCâncio tergabung dalam Paguyuban Pejuang Timor-Timur (PPTT) dan sempat menjadi ketuanya. Pada bulan Juni 2020, dia dan beberapa perwakilan tokoh pro-integrasi menggelar jumpa pers di Atambua. Câncio meminta pemerintah Indonesia untuk memperjelas status hukum 401 orang, termasuk dirinya, yang didakwa sebagai pelanggar HAM berat atas tindakan mereka selama tahun 1999 oleh PBB.[11] Dia menganggap bahwa masuknya nama-nama tersebut di dalam daftar hanyalah sebatas "konspirasi" dan "sandiwara", sebab hingga saat itu mereka belum diadili juga.[12] Selain itu, dia juga meminta agar pemerintah menetapkan 4.115 orang pro-integrasi sebagai veteran dan diberi kompensasi sesuai kemampuan negara.[11] Akhir kehidupanCancio meninggal dunia di kediamannya di Manado pada tanggal 5 Maret 2022 akibat serangan jantung. Atas permintaan keluarga besarnya, jenazahnya dipulangkan ke Desa Litamali di Kabupaten Malaka untuk disemayamkan.[13] Kehidupan pribadiCâncio memiliki tiga orang kakak dan enam orang adik. Salah seorang kakaknya, Francisco Lopes de Carvalho, memiliki pendidikan yang lebih baik dan bekerja sebagai seorang informan untuk Kopassus melalui SGI. Francisco sebelumnya bekerja sebagai sekretaris pribadi Gubernur José Abílio Osório Soares, sebelum bergabung dengan Gerakan Rekonsiliasi dan Persatuan Timor Timur (GRPTT) yang dibentuk oleh Manuel Carrascalão dan menjadi sekretaris jenderalnya.[14] Adapun kakaknya yang lain, Nemecio, ikut terlibat dalam kepemimpinan Mahidi yang ia dirikan. Saat menetap di Kupang, dia menikah dengan seorang wanita Timor Barat beretnis Tetun.[1] Referensi
CatatanDaftar pustaka
|